Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Enam

"Boleh aku tahu nanamu, Sweetheart?" Pria berambut pirang itu mengedipkan matanya padaku saat aku mencatat pesanannya.

"Boleh saya mencatat pesanan, anda?" balasku. Senyum masih tersungging di bibirku. Tentu saja aku tak bisa menampar atau menendang bokongnyakan?

"Satu Cuervo, Honey. Kau juga bisa pesan satu dan menemaniku." Dia kembali mengerling dan tangannya terulur untuk membelai lenganku. Tapi aku segera mengangguk dan langsung meninggalkan meja itu sebelum jemarinya bahkan sempat menyentuh kulitku.

Aku berjalan dengan sedikit menghentak saat sudah sampai di dapur. Dan senyumku sudah lenyap saat aku berbalik dari meja tadi.

"Sepertinya ada yang mengganggumu,Ash." Aku menoleh ke arah suara itu.

Jase mengamatiku dengan sudut bibir yang mencuat membentuk seringai.

"Oh, tidak. Hanya ada seorang pria tolol yang memanggilku Sweetheart dan Honey." balasku dengan nada ringan tapi bola mataku berputar dengan jengah.

"Kau bisa dapat tip banyak dari pria itu," Jase menaikan alisnya.

"Kau saja yang mengantar minumannya! Aku akan mengurusi meja lain," balasku menyerahkan nampanku padanya.

Dia tertawa. "Ash, serius. Kau harus membiasakan diri! Ini akan terjadi sepanjang waktu. Kau cantik dan masih muda, pasti banyak yang menggodamu."

Jase adalah teman kerja satu shiftku. Umurnya sudah 21 tahun. Dia cantik dan sexy. Serius lekuk tubuhnya akan membuat kalian iri, ditambah rambut pirang dan bibir merah yang menggoda. Itu yang membuatnya mendapat tip yang tidak tanggung-tanggung. Dan karena itu juga dia terus mengajariku cara melayani pengunjung dengan benar agar mendapat tip yang layak. Dan tentu saja aku selalu mengabaikan hal itu.

"Aku tidak peduli!" balasku. Aku mendorongnya keluar dan dia masih mentertawaiku.

Aku pergi ke meja nomor 8. Hanya ada seorang pria yang duduk di sana. Rambutnya hitam dan mengkilap dicukur pendek dan dibiarkan berantakan. Dia memakai kemeja abu-abu gelap panjang yang lengannya digulung sampai ke siku.

"Boleh saya mencatat pesanan anda?" ucapku saat aku sudah berdiri di samping mejanya.

Dia menoleh ke arahku. Wajahnya masih muda. Mungkin seumuran denganku, atau satu dua tahun lebih tua. Matanya berwarna kelabu dan tulang pipinya tajam membentuk rahang yang kokoh.

"Satu Orange juice, please!" Aku tak dapat menahan alisku untuk tidak terangkat. Yah, kukira dia akan memesan vodka atau sejenisnya. Tapi aku tetap mencatatnya. "Ada lagi?"

Dia menyeringai dan mengamati wajahku dengan tatapan terbakar. Aku jelas mengenali tatapan itu. Tapi aku tak akan memberikan kepuasan padanya dengan membiarkan pipiku merona atau mengalihkan pandanganku. Aku balas menatapnya dengan tatapan yang mengeras.

"Kurusa hanya itu," balasnya dengan suara serak. Aku mengangguk dan pergi.

Sesaat kemudian aku kembali ke mejanya. Meletakkan pesanannya di atas meja. Dan akan berbalik tapi ia menahanku. "Siapa namamu?"

Aku tak menjawab dan menarik lenganku. "Ada hal lain yang bisa saya bantu?"

Untuk ukuran pria seumuran dengannya. Dia memiliki cengkraman yang kuat. Dan tubuhnya. Oh Tuhan, itu menakjubkan. Tapi aku menepis semua pemikiran itu.

"Siapa namamu?" tanyanya lagi.

Aku kembali mengangkat alisku dan menjawab, "Kurasa sudah tidak ada lagi yang bisa saya lakukan untuk anda."

Dia menyeringai. Apa artinya itu?

Saat memasuki dapur Jase langsung menariku. "Siapa pria itu?"

Aku menatapnya bingung. "Pria mana?"

"Meja nomor 8."

Aku mengangkat bahuku. "Tidak tahu dan tidak mau tahu."

Aku bohong. Aku juga ingin tahu siapa dia. Maksudku, tidak biasanya ada cowok muda dan tampan mampir kemari. Oh, ya. Dia tampan, aku mengakuinya tapi itu tak berarti apapun.

"Dia sepertinya tertarik padamu," Jase menyenggolkan lengannya ke lenganku.

"Karena aku punya vagina. Hebat sekali!" balasku lalu keluar. Mengabaikan semua komentar konyol Jase.

***

Aku memasukan potongan ayam terakhir ke mulutku kemudian bersandar ke punggung kursi, mengamati Cam menghabiskan makanannya.

"Kau hanya ingin mengajakku makan siang atau ingin membicarakan sesuatu?" tanyaku saat Cam mengunyah saladnya.

"Aku ingin tahu bagaimana pekerjaanmu. Kau tak pernah menceritakannya." jawabnya.

"Karena memang tak ada yang menarik."

"Kau suka pekerjaannyakan? Maksudku kau nyamankan?" Cam kini mulai menatapku dengan serius.

"Yah. Tidak buruk. Aku cukup menyukainya." Itu tidak sepenuhnya benar. Sejujurnya aku sangat benci tiap kali para pria itu mencoba menggodaku.

"Oke. Lalu apa yang kau kerjakan?"

"Hanya mencatat pesanan dan mengantarkannya. Sesekali aku dapat tip dan itu lumayan." Mataku menatap langit-langit, mengingat kejadian saat ada pria yang memberiku tip 100 dolar dan membisiki telingaku untuk tidur dengannya sepulang kerja. Untungnya aku masih bisa menahan diri dan tidak menamparnya. Sebagai gantinya aku meremas uang itu dengan geram dan menjatuhkannya ke lantai tepat di depan matanya. Lalu pergi begitu saja.

"Ayah dan ibuku benar-benar berpikir kau sebaiknya berhenti dan tinggal bersama kami," ucap Cam. Dia sudah selesai dengan saladnya dan melipat tangannya di atas meja.

"Sudahlah Cam, aku tak ingin berdebat lagi," balasku malas.

"Aku serius, Ash!"

"Aku juga, Cam!"

Kami beradu tatapan cukup lama hingga akhirnya Cam menyerah. "Baiklah!"

Aku mengangguk. "Baiklah, bisa kita pergi? Aku punya beberapa cucian kotor di rumah."

"Baiklah. Aku merindukan Ash yang dulu. Kau hampir tak pernah tertawa sekarang." Dia berdiri dan aku mengikutinya.

Aku hanya butuh waktu Cam, waktu yang sangat lama.

"Aku ingin keluar denganmu nanti malam, Ash. Sepulang kerja. Aku akan menjemputmu," ucap Cam saat masuk mobil. Aku mengiyakan. Kurasa aku juga butuh hiburan.

Tak ada orang di rumah. Mungkin ayah pergi ke rumah teman mabuknya. Aku tidak peduli. Aku lebih suka saat seperti ini. Hening, tenang, dan sendirian.

Aku menaiki tangga. Masuk kamar dan tak melakukan apapun. Itu buruk. Karena sebentar lagi semua kenangan mengerikan akan segera berputar di otakku. Jadi aku segera mengumpulkan pakaian kotor dan mencuci. Terus bergerak. Itu kuncinya. Semua kenangan bodah itu tak akan menggapaiku selama aku sibuk.

Aku mulai merasa seperti diawasi saat mencuci piring.

Kau bersikap paranoid, Ash!

Tapi aku tak bisa menghilangkan perasaan itu. Rasanya seperti ada sepasang mata yang mengamatiku dari kegelapan. Menusuk punggungku dan membuatku tidak tenang. Tapi saat aku mengedarkan pandangan ke ruangan itu, semuanya sunyi dan tak ada apapun. Di luar jendela juga tak ada apapun.

"Apa kau mulai gila lagi, Ash?" gumamku pada diriku sendiri. Dan aku pergi untuk mandi. Aku harus bekerja.

"Hai, Ash!" suara Cris menyambutku saat aku masuk ke dapur.

Ada yang tidak beres dengan otak anak itu. Sudah beberapa minggu ini dia selalu membantu di dapur dan bersikap baik padaku. Oh, tentu saja aku punya beberapa gambaran tentang hal itu. Tapi apakah itu akan membantu? Jelas tidak.

"Hai, Cris! Kau membantu lagi?" bakasku. Tentu saja, aku tak bisa mengacuhkan anak boskukan? Dan di situlah masalahnya.

"Ya. Aku merindukanmu," jawabnya sambil menyisirkan jarinya ke rambut merahnya.

Kalian sudah lihat titik masalahnyakan?

"Candaan yang menarik," balasku.

"Aku tidak bercanda! Aku serius!" Dia mendekatiku.

"Yah, oke! Aku harus bekerja," Aku buru-buru keluar.

Aku mencatat pesanan para pria di meja nomor 12. Kembali ke dapur dan mengantarkannya. Aku dapat tip 10 dolar dari mereka. Malam ini ramai tapi sejauh ini tak ada pengunjung yang menyebalkan.

"Kau akan langsung pulang?" tanya Jase. Saat kami berganti seragam.

"Aku akan pergi keluar dengan temanku," jawabku.

Dia menoleh melihatku. "Kemana? Boleh aku ikut?"

"Dia tidak bilang mau kemana. Tapi kurasa dia tak keberatan jika kau ikut. Dan jangan cerita yang aneh-aneh pada Cam!" ucapku. Aku mengikat rambutku menjadi ekor kuda.

"Yang aneh-aneh ya?" Dia menyeringai ke arahku.

"Yah, atau dia akan menyeretku untuk tinggal di rumahnya. Dan akan mengomel sepanjang malam. Kurasa kau tak ingin mendengar omelannya sepanjang malam ini,"

"Tenang, Ash! Mulutku terkunci." Jase membuat gerakan mengunci mulut dengan tangannya.

"Oke. Aku tunggu di parkiran. Dia bilang akan menjemputku," Dia mengangguk dan aku keluar.

Saat aku keluar dari Cafe ada tangan yang langsung menahanku. Refleks aku berteriak tapi orang itu membekap mulutku dan menarikku ke tempat yang lebih gelap. Dan mendorongku ke tembok.

"Cris! Apa yang kau lakukan?" bentakku saat dia melepaskanku.

Dia tak menjawab tapi matanya sudah menelusuri tubuhku. "Kau sangat cantik, Ash."

"Cam menungguku aku harus pergi!" elakku menghindari perkataannya.

"Kita bisa pergi keluar berdua malam ini," Kedua tangannya menempel ke tembok. Mengurungku.

"Cris, jangan memaksaku!" ucapku memperingatkannya.

"Atau apa? Kau akan memukulku? Aku yakin kau akan berpikir dua kali." Tangan kanannya menelusuri tulang pipiku turun hingga ke bibirku.

"Hanya karena kau putra Mrs. Joseph. Bukan berarti aku tak akan menghajarmu!" Nada suaraku mulai meninggi dan kedua tanganku sudah terkepal. Kalau dia tidak segera menyingkir aku akan pastikan dia kehilangan beberapa giginya.

Ia tertawa.

"Hell! Menyingkirlah Cris!" Aku mendorongnya tapi ia malah menekankan bibirnya ke bibirku. Lidahnya memaksa masuk, mendobrak pertahananku. Dan sebelum tinjuku mencapai wajahnya dia mundur.

Aku mendongak. Dan melihat seseorang menarik kerah bajunya. "Dia bilang menyingkir, Pussy!"

Mata orang itu berkilat penuh kemarahan. Tangan kirinya kini menarik kerah baju bagian depan Cris dan tangan kanannya terkepal di depan wajah Cris.

"Kau ini siapa?" bentak Cris. Meski menurutku Suaranya bergetar. Dia takut.

Aku mendengar pria itu tertawa menyerupai geraman. "Siapa aku tidak penting! Enyah dan bawa bokong sialanmu itu!"

Dia mendorong Cris menjauh. Dan mengalihkan pandangannya padaku.

Aku masih mengamati Cris yang berlari sambil menoleh ke belakang hingga pria itu bicara, "Kau baik-baik saja?"

Aku menoleh dan mendapati pria yang waktu itu. Pria yang duduk di meja nomor 8. "Ya."

Sisa-sisa amarah masih tercetak di wajahnya tapi begitu dia menatap mataku. Semua itu berlalu dan dia tersenyum. "Aku bisa mengantarmu pulang."

"Aku akan pergi keluar dengan temanku," jawabku. Aku berjalan untuk pergi tapi ia menahanku.

Apa dia menolongku dari Cris hanya agar dia dapat memojokkanku?

"Lepaskan!" ucapku sambil menggeram.

"Siapa namamu?" tanyanya. Dia menarikku semakin dekat.

"Siapa aku tidak penting!" balasku meniru ucapannya.

"Aku hanya ingin tahu namamu." Dia menundukkan wajahnya. Napas kami beradu membuat wajahku menghangat. Mata kelabunya bersinar dalam gelap. Tajam dan dingin. Dan aroma tubuhnya. Oh Tuhan, ini memabukkan.

Aku menggelengkan kepalaku. Mengusir semua pemikiran tidak jelas yang dengan gilanya muncul di kepalaku. "Get off my back!"

Dia masih belum melepaskanku dan napasnya makin memburu. Napas yang hangat dan bibirnya. Oh hell! Bibirnya menggoda. Penuh dan merah.

"Apa yang kau lihat?" tanyanya dengan suara yang menggoda membawaku kembali dari lamunan gilaku.

Bibirmu, sialan!

"Tidak ada!"

Tinjuku sudah hampir menghantam rahangnya tapi dia menahannya dan mencengkram tanganku. Mengunciku. Dan ia mendorong tubuhnya ke arahku. Napasnya berada di leherku. Hangat dan menggelitik. Lalu lidahnya menjilat leherku meninggalkan bekas basah dan dingin. Aku mendesah dan dia kembali menggeram.

Aku menutup mataku. Sialan! Aku tak bisa mengendalikan diriku.

"Kau sangat manis." bisiknya di telingaku. Dan ia mengarahkan bibirnya ke bibirku. Menggigit bibirku dan mulai memperdalam ciumannya. Tanganya berada di punggungku turun ke pinggulku dan memberikan sensasi hangat yang menembus kaosku. Lidahnya masuk dan menghisap mulutku. Tangannya mulai meraba pahaku hingga ke pangkalnya membuat napasku terengah. Dan saat aku membuka mata aku bertemu dengan mata kelabunya yang menyala penuh gairah. Mata yang akan memerangkap siapa pun yang berani menatapnya.

Aku membeku tapi saat dia melepas kancing celanaku kesadaranku kembali. Aku mendorongnya. "Aku bukan wanita murahan!"

Dia tertegun. Matanya masih terbakar tapi semakin redup. Dan ia mengacak-acak rambutnya dengan frustasi. "Maafkan aku!"

Aku tertawa. "Persetan denganmu!"

Dengan itu aku melangkah pergi. Napasku masih terengah dan sialnya aku harus mengakui tubuhku menginginkannya. Pria brengsek yang tidak kukenal. Dan aku menginginkannya.

Hidupku pasti akan menjadi makin gila!

Bagus sekali Ash!

Tepat seperti yang kau butuhkan!

Aku tertawa seperti orang gila, apakah aku masih waras?

A/N:

Hallo aku balik lagi!

Apakah makin ke sini makin aneh?

Aku minta maaf kalau memang seperti itu.

Kasih masukan dong, biar tambah seru!

Udah gitu aja!

See you next part!!!

- Arum Sulistyani

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro