Dua Puluh Dua
Camrynn berbaring di ranjangku, melihatku dengan mata menghakimi paling menjengkelkan di dunia. "Katakan, kau tidak akan berakhir dengan Hans! Sial! Kalian berdua sangat baik saat bersama," ucap Camrynn. Dia terlihat seakan ingin meledak.
"Ini hidupku, Cam. Kenapa kau yang panik?" balasku. Aku melemparkan buku catatan biologi-ku ke arahnya dan ikut menjatuhkan diriku ke atas ranjang. "Aku masih belum memutuskan akan melanjutkan atau mengakhiri hubunganku dengan Hans. Tapi ...," aku tersenyum, "kurasa dia benar-benar berbeda."
Tentu saja dia berbeda. Dia bukan manusia. Seorang Dewa. Astaga!
"Oh ..., apakah aku tidak salah dengar? Jadi kau menyukai Hans?" Cam berguling, menahan tubuhnya dengan sikunya untuk melihatku.
"Aku tidak bilang begitu," balasku.
Atau mungkin aku memang menyukai Hans? Dia benar-benar baik.
"Ayolah, tidak ada yang salah dengan itu. Jika kalian saling jatuh cinta itu sangat baik. Kau berhak merasakan itu Ash," ucap Cam.
Mungkin. Tapi aku tidak yakin apa ini benar-benar cinta. Maksudku aku baru 18 tahun. Orang-orang cenderung labil pada usia itu. Sering membuat keputusan yang salah.
"Hentikan itu, Cam! Aku akan memikirkannya lagi," desisku. "Lalu bagaimana kau dengan Elliot?"
"Kami?"
Dia bertanya, mukanya masam dan dia mengubur wajahnya ke bantalku.
"Iya kalian."
"Buruk. Sangat buruk, Ash. Aku tidak yakin bisa melihatnya tanpa merasa malu dan marah setengah mati. Mungkin dia hanya berengsek," jawab Cam tanpa mengangkat wajahnya.
Aku tidak mengerti ini dan tidak tahu kapan Cam mulai membenci Elliot. Well, akhir-akhir ini kami jarang bicara, aku kebanyakan bersama Hans. Oke aku tahu, aku bukan sahabat yang baik.
"Oh, Cam. Apa yang dia lakukan?" tanyaku.
Aku tidak akan ragu untuk memukul Vampire sialan itu jika dia melakukan hal yang bodoh dan menyakiti sahabatku. Mungkin lebih dari memukul.
"Dia hanya sialan, itu saja. Kita tidak harus membahasnya. Kau mungkin ada benarnya, aku tidak tahu apa pun tentang pria."
Aku menarik wajah Cam, memaksanya untuk melihatku. Tapi sial! Dia hampir menangis, matanya sembab, dan wajahnya memerah. Aku tidak suka melihat Cam sedih, dia satu-satunya orang yang terus ada untukku. Selalu berdiri untuku, jadi jika ada orang yang membuatnya menangis aku jelas tidak akan melepaskan orang itu begitu saja. Vampire atau bukan, Elliot harus membayar untuk ini.
"Ceritakan padaku! Dan jangan pernah menangis untuk pria! Mereka tidak pantas Cam!" ucapku. Cam memgusap matanya, menghapus air matanya sebelum itu jatuh ke pipinya. Dia mengangguk.
"Kau benar. Dia tidak pantas. Bahkan aku tidak mengerti kenapa aku menyukainya. Dia hanya berengsek, konyol, dan pengecut. Tidak ada yang bagus tentangnya," ucap Cam, tapi aku tahu dia tidak serius dengan semua kata-kata itu. Bagaimana matanya terlihat terluka dan masih berharap hal ini akan menjadi berbeda, aku tahu Cam masih menyukai Elliot, sangat.
"Tumpahkan itu! Biarkan semuanya keluar, katakan padaku apa yang salah," ucapku, sekali lagi membujuknya. Cam kembali menutup wajahnya dengan bantal. "Camrynn?"
"Aku mengatakannya. Aku tahu aku bodoh. Tapi Demi Tuhan! Aku tidak bisa menahan itu, itu hanya meluncur begitu saja dari mulutku. Aku mengatakan kata itu. Dan dia hanya menjadi sialan berengsek! Tapi setelah kami melakukan itu, maksudku setelah ...."
Aku menarik bantal dari wajah Cam, dia merona dan kembali mencoba menyembunyikan wajahnya dariku.
"Setelah apa?" aku menuntut.
"Well, kami bercinta. Dia luar biasa. Itu luar biasa. Aku tidak tahu apa yang terjadi Ash, aku hanya melihat matanya dan saat itu aku menginginkannya, itu terjadi begitu saja. Aku bahkan tidak mengerti bagaimana aku bisa ... astaga! Aku tidak lagi perawan! Dia pria pertamaku dan dia sialan!"
Aku akan membunuh Elliot! Tidak peduli itu dengan membakarnya atau memancang jantungnya dengan pasak perak. Yang mana pun yang akan berhasil, aku akan melakukannya!
"Kita akan membuatnya membayar untuk itu," desisku. Cam kembali menggeleng.
"Tidak. Tidak. Aku tidak bisa lagi melihatnya tanpa malu setengah mati. Kau tidak tahu semuanya Ash, Elliot tidak biasa. Dia spesial. Istimewa. Aku hanya bodoh," ucapnya. Aku mendengus.
Elliot hanya vampire bodoh dan aku akan membuat kepalanya terpisah dari lehernya. Jika aku tidak bisa, aku yakin Hans dapat melakukan sesuatu tentang hal ini.
"Dia berengsek dan dia akan membayarnya!"
"Ash, aku serius. Ini mungkin akan terdengar gila, tapi dia bukan manusia. Kau tidak bisa berurusan dengannya."
"Kau tahu?" tanyaku, terkejut dengan apa yang baru saja keluar dari mulut Cam. Dia terlihat bingung dengan reaksiku. "Kau tahu Elliot itu vampire?"
Dia menyingkirkan bantal dari seluruh wajahnya dan menatapku, matanya menyipit, mengawasiku dangan kilatan yang tajam. "Kau juga tahu? Sejak kapan?"
Aku meringis. Tidak yakin Cam akan menerima ini dengan baik. Aku harusnya memberitahunya lebih awal. "Beberapa bulan yang lalu."
"Ash!"
Dia berteriak marah. Bahkan mungkin murka cocok untuk mendefinisikannya saat ini. Dia melemparkan bantal padaku, meraung dengan jengkel dan meraih bantal lain untuk dilemparkan lagi padaku.
"Bagaimana kau bisa menyembunyikan hal ini dariku! Aku sahabatmu! Dan kau bahkan tidak memberitahuku kalau teman kencanku adalah vampire?"
Aku hanya menghindar dari lemparnya dan tahu ini baru akan mereda setelah dia selesai berteriak. Tidak ada gunanya bicara saat Cam mengamuk. Dia tidak akan mendengarkan apa pun.
"Kau hanya sialan? Atau apa?" teriaknya. Dia berhenti melempar bantal padaku dan aku bersyukur untuk itu.
"Pertama, secara teknis kau tidak memberitahuku kalau kalian berkencan." Dia kembali mendengus jengkel. Seolah-olah aku sudah mengkhianatinya. "Kedua, Elliot memintaku untuk tidak memberitahumu, dan dia janji tidak akan menyakitimu." Aku mendekat, kembali duduk di ranjang. Menyentuh lengannya untuk membuatnya lebih tenang. "Ketiga, aku yakin kau akan berpikir aku gila jika aku mengatakan itu. Jadi maafkan aku."
"Tidak. Kau benar, aku tidak akan percaya jika tidak melihatnya sendiri. Hanya saja ini menjadi terlalu kacau di kepalaku. Dia tidak mau pergi dari sana, dia selalu di sana. Aku masih mengingatnya dengan sangat jelas. Terutama saat taringnya menembus kulitku, tepat di urat nadiku, di leherku. Itu hanya luar biasa intens dan aku pikir itu lebih dari seks. Saat dia minum dariku, perasaan yang menyerangku seperti selubung kebahagiaan, seperti melayang. Katakan padaku kalau aku gila, Ash!"
"Kau gila!" ucapku ternganga dengan apa yang baru saja dia jabarkan. Gigitan, Elliot minum darinya, sialan!
"Benar. Itu gila tapi itu luar biasa," ucapnya setengah menerawang.
"Lalu apakah sekarang kau vampire?"
Dia berkedip dan kembali fokus untuk menatapku. "Tidak. Dia tidak mau aku menjadi sepertinya. Dia tidak menguras darahku dan memaksaku untuk meminum darahnya."
"Aku masih berpikir itu mengerikan," gumamku.
"Kau hanya belum tahu, Ash. Ketika kau tahu, kau hanya akan menginginkannya lagi dan lagi."
"Sejujurnya bukan hanya Elliot yang bukan manusia. Hans juga bukan manusia," ucapku.
Jika Cam tahu tentang Elliot kurasa tidak akan terlalu buruk jika dia juga tahu tentang Hans. Setidaknya aku tidak harus menyimpan semua ini sendirian lagi. Aku tidak harus menjadi gila karena semua hal tidak masuk akal di sekitarku. Aku bisa membaginya dengan Cam.
"Dia vampire?"
Dia berteriak dan hampir melompat dari tempatnya duduk.
"Bukan."
"Lalu?"
"God."
Cam menutup mulutnya, matanya melihatku dengan ketidakpercayaan yang murni, lalu dia mulai bicara, "Oh My, Ash!"
"Aku tahu itu," desisku dan aku tersenyum seperti gadis bodoh.
"Itu gila. Tapi sialan, siapa yang peduli?" dia berteriak dan meraih tanganku. "Apa yang bisa dia lakukan? Apa dia melakukan hal-hal yang luar biasa? Oh ... oh ... dan Dewa seperti apa dia? Maksudku ada banyak Dewa di mitologi."
"Aku tidak tahu, dia tidak memberitahuku."
"Apa pun itu, itu tetap menakjubkan," ucapnya, aku tertawa.
"Kupikir juga begitu, tapi bukan itu yang benar-benar penting. Aku hanya berpikir kalau dia tidak sama dengan pria-pria lain. Bagaimana dia menahan dirinya untukku, tidak memaksaku, dan cara dia menginginkanku, itu semua membuatku merasa berharga. Dicintai."
"Lihat siapa yang sedang jatuh cinta sekarang," godanya, memukul lenganku.
"Tidak. Aku masih tidak tahu, kami masih dalam konteks teman. Aku masih belum siap untuk hal sebesar itu."
Mungkin tidak akan pernah siap.
***
Aku terbangun saat merasakan sentuhan di wajahku, jari yang dingin dan panjang kemudian jari-jari itu menutup bibirku sebelum aku bisa berteriak. "Sttss ... ini hanya aku."
Itu suaranya. Hans, dia di sini? Aku tidak bisa melihatnya karena aku selalu mematikan lampuku saat tidur. Tapi dari aroma yang sekarang melingkupiku dan bagaimana jantungku berdetak aku tahu itu dia.
"Aku akan melepaskanmu jika kau berjanji kau tidak akan berteriak," desisnya. Aku dapat merasakan hembusan napasnya di wajahku, dan itu membuatku sadar betapa dekatnya kami saat ini. Dan aku berbaring di ranjang, dia di atas tubuhku. Itu tidak akan sulit untuk membawa ini ke sana. Untuk sebuah ... aku menggeleng karena yang muncul di kepalaku adalah adegan saat ayahku melakukan semua itu. Saat dia menggunakanku.
Tidak. Tidak. Hans tidak akan melakukan itu.
Dia menarik jari-jarinya dari mulutku, dan subuah isakan lolos dari mulutku. Aku menangis dan tiba-tiba merasa rentan. Merasa takut.
"Ash," bisiknya. Dia meraihku, memelukku.
Tidak. Lepaskan! Aku tidak bisa.
Aku menangis. Ingat saat jari-jari menjijikkan itu menyentuh kulitku. Di mana-mana. Tidak. Aku tidak mau kembali ke saat itu. Aku memberontak, mencoba lepas darinya tapi dia memelukku makin erat. Aku hampir menjerit. Tapi kemudian gelombang itu menyapuku, sensasi yang membuat tubuhku lemas dan relaks. Seperti aku baru saja mendapat dosis obat bius.
"Aku tidak akan melakukan apa pun. Aku tidak akan menyakitimu," Hans bergumam di dekat telingaku. Mencium rambutku dan telapak tangannya mengusap punggungku. Mencoba membuatku kembali tenang. Perlahan aku mengangguk, dia mulai melepaskanku. Aku masih tidak bisa melihatnya tapi aku tahu dia sedang mengamatiku. "Lebih baik?"
"Ya," jawabku serak. "Apa yang kau lakukan di sini?"
"Melihatmu," jawabnya.
"Di sini gelap, kau tidak bisa melihatku," balasku.
"Aku bisa. Sangat jelas bahkan. Setiap helai rambut cokelat milikmu, dan bagaimana bulu matamu mengibas dengan cantik saat kau berkedip. Atau bibirmu. Itu semua, aku bisa melihatnya."
Aku kehilangan napasku saat aku merasakan ujung bibirnya menyentuh bibirku. Lembut dan begitu manis. Itu hanya sebuah sentuhan singkat. "Hans?"
"Ya?"
"Aku ingin melihatmu juga," ucapku.
"Kita bisa menghidupkan lampu," jawabnya.
"Itu akan menarik perhatian Mrs. Evans jika dia berjalan ke dapur."
"Jadi?"
"Apa kau tidak bisa melakukan sesuatu? Seperti membuat mataku jadi sama tajamnya dengamu?"
Dia terkekeh dan itu suara yang menyenangkan. Menenangkan setiap ketegangan yang ada dalam tubuhku.
"Aku tidak bisa."
"Tapi kau seorang Dewa," rengekku. "Kau seharusnya bisa melakukan semua hal."
"Tapi aku bisa melakukan ini," ucapnya.
Aku tidak melihat apa pun pada awalnya, tapi ketika dia membuka telapak tangannya aku dapat melihatnya. Tabung kristal kecil dengan pender kemerahan. Aku memperhatikan benda itu dengan lebih teliti dan aku terengah. Itu darah. Darah yang besinar kemerahan. Cahaya itu redup tapi cukup untuk membuatku dapat melihat wajahnya. Ada rantai perak tipis yang menggantung di ujung tabung itu.
"Darahmu?" tanyaku terengah.
"Ya, tidak berwarna emas ternyata," ucapnya. Dia meraih ke belakang leherku, memasang kait rantai itu hingga tabung itu tergantung dengan indah, mengalir lembut di leherku. "Cantik. Sangat cantik."
"Aku tidak bisa ...." Sekali lagi jarinya menutup bibirku.
"Aku hanya ingin kau menyimpannya," ucapnya. "Kumohon."
Bagaimana aku bisa mengatakan tidak ketika dia begitu baik?
"Oke, dan apakah kau akan tinggal malam ini?" tanyaku. Aku tidak tahu dari mana pemikiran itu datang tapi aku tidak ingin dia pergi.
"Apa kau ingin aku tinggal?"
Aku tidak menjawabnya tapi aku bergeser dan menariknya untuk berbaring di sampingnya. Sangat dekat. Itu membuat jantungku kembali berdetak dengan lebih cepat tapi ketika lengannya melingkari pinggangku dan mengusap punggungku dengan lembut, kembali gelombang rasa tenang itu menghantamku dan tiba-tiba aku merasa mengantuk.
"Itu sihirmu?" gumamku.
"Tidur Ash, aku akan tinggal."
Dengan itu aku memejamkan mataku dan benar-benar jatuh ke dalam tidur paling tenang yang pernah aku miliki sejak insiden ayahku.
A/N : Aku minta maaf banget untuk lamanya update satu chapter ini. Aku tahu, aku menjengkelkan dan aku benar-benar minta maaf
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro