Delapan Belas
"Tidak bisakah aku hanya makai celana jeans dan kaos robek? Dan berperan jadi zombie?" gerutuku saat Camrynn memaksaku masuk ke dalam mobilnya.
"Kau sudah tahu jawabannya adalah tidak." Camrynn menyalakan mobilnya. "Dan aku sudah janji akan bertemu dengan Elliot di toko kostum nanti."
"Kenapa kau harus mengajakku kalau kau akan pergi dengan Elliot?" Aku menghidupkan MP3 player di mobil Camrynn.
"Kau tahu kenapa," balasnya.
Aku menaikan alisku. "Aku tidak tahu. Kecuali jika alasanmu adalah karena kau takut berdua dengannya."
Dia mendengus. "Aku tidak takut! Aku hanya, kau tahu? Gerogi."
"Ya, ya, terserah kau saja. Tapi menurutku pribadi, Elliot itu berbahaya."
Yah, berbahaya secara harfiah. Dia monster Cam!
"Ayolah, dia baik. Bahkan ia tak pernah menyentuhku," jawab Cam.
Dia tak menyentuhmu karena dia takut kalau kau tahu dia itu monster, tahu kalau dia itu Vampire berdarah dingin.
"Lupakan! Bagaimana kau dan Hans?" Cam menoleh ke arahku dan dari matanya aku tahu dia tak akan menyerah sebelum mendapatkan cerita seutuhnya.
"Yah, biasa saja." Aku menaikkan volume Mp3 Player hingga suara kami tertelan suara musik.
Cam menurunkan volumenya dan saat aku akan menaikan volume lagi, Cam langsung mematikannya. "Ayolah! Aku temanmu, ceritakan saat kau pulang dengannya! Apa ada adegan ciuman panas?"
Dan yang membuatku jengkel ingatan ciuman itu melintas di otakku, dengan sangat jelas. Bagaimana rasa bibirnya, tekstur dan bahkan aroma dirinya. Bahkan aku memimpikan ciuman itu dalam tidurku.
"Wajahmu memerah jadi kuanggap kalau kau memang berciuman. Bagaimana rasanya?" Aku benci saat Cam menyeringai tapi aku lebih benci diriku sendiri karena menikmati ciuman itu.
"Bagus," jawabku tak acuh.
Aku sepenuhnya bohong, ciuman itu luar biasa.
"Hanya bagus?" Cam menaikkan alisnya.
"Oke. Itu menakjubkan, puas?" dengusku jengkel. Cam tertawa terpingkal.
"Tidak, aku tidak puas. Maksudku itu ciumanmu bukan ciumanku jadi bagaimana aku bisa puas? Dan apa ini melibatkan lidah yang saling berbelit? Dan jika iya aku yakin itu adalah ciuman panas yang patut dikenang," ucap Cam masih dengan cekikikan.
"Yah, itu patut dikenang," desahku. Mengingat bagaimana dia membuatku melayang hampir lupa diri.
"Jadi, apa kau akan menerimanya?" Cam melirikku sekilas.
"Tidak. Aku tak akan merubah keputusanku hanya karena satu ciuman, Cam," balasku mengakhiri pembicaraan itu.
***
Salah satu hal yang membuatku tidak ingin pergi membeli kostum adalah karena aku yakin toko itu akan penuh sesak dengan pembeli dan aku jelas bukan orang yang menyukai keramaian. Tambahkan fakta bahwa hampir setengah dari pengunjung adalah anak-anak, itu jelas bukan tempat yang cocok untuku.
"Dimana Elliot?" gerutuku saat berdiri di depan pintu masuk. Sementara Cam masih memindai tempat parkir untuk menemukan Vampire sialan itu.
"Dia pasti sedang dalam perjalanan," gumam Cam tanpa melihatku.
"Ayo masuk dan selesaikan ini, dia bisa menyusul nanti," ucapku jengkel.
"Itu dia." Aku melihat ke arah yang ditunjuk Cam dan Elliot sedang melambai ke arah kami sambil berlari kecil.
"Hai, Cam! Maaf terlambat, aku tadi ada urusan," ucapnya. Dia hanya melihat Camrynn, sama sekali tidak melirikku.
"Kau pasti tadi sedang makan," ucapku dengan nada menyindir dan dia baru menyadari keberadaanku.
"Oh, hai Ash! Aku tak tahu kau ikut. Dan aku memang baru selesai makan," jawabnya dengan penuh penekanan di kata makan.
"Sayang sekali padahal aku ingin kita pergi makan bersama setelah membeli kostum," kata Camrynn.
"Dia tidak bisa makan bersama kita, Cam." Elliot memberiku tatapan membunuhnya dan Cam menatapku bingung. "Maksudku, dia pasti makan sangat banyak dan seleranya pasti berbeda dengan kita, seperti sesuatu berwarna merah. Raspberry cake mungkin, aku pernah melihatnya makan sangat banyak. Benarkan Elliot?"
"Ya mungkin saja," ucapnya. "Meski aku juga suka sesuatu yang cair dan segar."
"Oke, aku tidak tahu kalau kau suka makanan manis. Tapi bisakah kita segera masuk?" Cam menyela adu tatapku dengan Elliot.
"Kau benar," sahut Elliot, memutus kontak matanya denganku.
Di dalam toko suasana jauh lebih ramai dan aku mengutuk setiap sepuluh menit sekali karena orang-orang berusaha menyelip di antara aku dan Cam. "Ayo cepat putuskan! Aku akan ambil satu kostum apa saja dan mengakhiri ini. Keluar dari penyiksaan ini." Aku mengambil sebuah gaun berenda warna putih dan berumbai disertai kerudung dari bahan sifon.
"Kau yakin akan mengambil itu?" Cam bergumam dan masih sibuk memilih kostumnya.
"Ya. Aku tak peduli. Omong-omong Elliot akan jadi apa?" Aku melirik Elliot yang saat ini berdiri mengamati aku dan Cam.
"Vampire dan menurutku itu cocok untuknya. Dia memiliki kulit putih pucat yang sangat sesuai." Cam akhirnya mengambil sebuah gaun berwarna merah darah berbahan satin dan menunjukkannya padaku. "Bagaimana menurutmu? Apa ini akan cocok jika aku akan menjadi Ms. Vampire?"
"Yah, itu bagus untukmu," jawabku jujur. Cam sangat cocok dengan warna merah.
"Oke aku ambil ini. Ayo bayar dan pergi sebelum kau benar-benar meledak."
Itu yang kutunggu dari tadi.
***
Aku menatap gaunku dengan tak percaya.
Apa aku serius mengambil ini waktu itu?
"Cam? Kenapa kau tak menghentikanku mengambil ini?" Aku memelototi gaunku yang saat ini teronggok di ranjangku.
"Aku sudah memperingatkanmu, tapi waktu itu kau bilang 'Ya. Aku tak peduli.' dengan nada teramat yakin," balasnya. Dia sibuk mengoleskan lipstik merah mencolok ke bibirnya dan menambahkan eyeliner ke matanya.
Dan aku bersumpah dia sangat menawan!
"Oke. Rencana B, aku akan pakai kaos robek dan celana robek. Jadi zombie itu lebih masuk akal." Aku berderap membuka lemariku dan mengobrak-abrik kaos usangku.
"Tidak bisa!" Cam menutup pintu lemariku hingga tanganku hampir terjepit.
"What the hell? Aku tidak bisa jadi hantu pengantin atau apapun itu? Dan memakai gaun sialan itu!" teriakku.
"Kau akan tampak menawan dengan gaun itu. Biarkan aku merias wajahmu jadi lebih pucat, menambahkan sedikit lipstik merah mawar, eyeliner, dan eyeshadow. Kau akan jadi yang terbaik, percayalah padaku!" bujuk Cam dan dia menampilkan wajah membujuk terbaiknya. Mustahil aku bisa membantahnya.
Aku mendesah kalah. "Oke! Aku dan gaun sialan itu. Ini akan jadi malam buruk yang panjang."
"Percayalah! Ini akan menjadi malam yang menyenangkan."
Hanya perlu lima belas menit bagi Cam untuk menyulapku jadi ... yah, hantu pengantin yang cantik. Aku harus mengakui itu.
"Kau mempesona! Dan aku berani bertaruh setelah ini siswa laki-laki akan tergila-gila padamu."
Aku masih mengamati pantulan diriku di cermin. Kulit putihku terlihat lebih pucat, dengan garis mata yang jadi lebih tegas berkat eyeliner, beberapa glitter perak di sekitar sudut mataku berkilau seperti air mata kristal dan bibirku terlihat merah menggoda tidak semerah milik Camrynn tapi hampir. Dan gaunku membalut tubuhku dengan hebat. Rumbainya jatuh di tempat-tempat yang sesuai dan demi Tuhan aku tak tahu kalau aku punya lekuk tubuh yang sexy. Kerudungku jatuh di atas pundakku menutupi sebagian bahu telanjangku. Dan aku tahu, aku cantik.
"Ini menakjubkan," gumamku dan Cam tersenyum bangga.
"Tinggal sentuhan akhir." Cam membongkar tas ransel yang dia bawa dan menarik keluar sepasang high heel berwarna putih yang sexy.
"Kau menyiapkan segalanya, ya?" Aku menaikan alisku dan memakai sepatu itu.
"Ini pertama kalinya kita akan benar-benar pergi dengan pria. Jadi aku ingin ini sempurna. Hans akan menjemputmu, kan?"
"Aku tidak tahu." Aku mengambil tas tanganku dan Cam menatapku tercengang. "Apa?"
"Apa maksudnya dengan tidak tahu?" dia bertanya setengah jengkel dan geram. "Dia akan datang, kan?"
"Dia bilang akan berusaha untuk datang. Tapi dia juga bilang kalau dia ada urusan," jawabku. Dan aku menyadari muka garang Cam. "Ayolah! Aku tidak benar-benar berharap dia akan datang."
Siapa yang kutipu?
Cam atau diriku sendiri?
Aku ingin dia datang, sialan!
Elliot datang jam setengah delapan dalam balutan tuxedo hitam dan bibir merahnya.
Aku jadi berpikir apakah itu darah asli?
Dia menyapa Cam dan memujinya cantik. Dan itu menang benar.
"Dimana taringmu?" tanyaku setengah menyindir.
"Kusembunyikan untuk sementara waktu, tapi jika kau ingin melihatnya aku bisa menunjukkannya," dia membalasku dengan agresif.
"Mungkin lain waktu," balasku.
"Sudahlah! Apa kalian benar-benar akan memulai pertengkaran kalian lagi?" Cam menyela kami. "Kenapa kau tidak mencoba menghubungi Hans?" Cam beralih bertanya padaku.
"Aku tidak mau mengganggu urusannya," jawabku.
"Mengganggu urusan siapa?" tanya suara dari balik punggungku dan saat aku menoleh aku terpesona oleh penampilannya.
Tubuhnya yang berotot dibalut tuxedo biru gelap dan lehernya ditutupi cravat berwarna merah maroon dari bahan linen yang lembut. Dia memakai sepatu hitam dan jam tangan Rolex melingkar di pergelangan tangannya. Rambut hitamnya dibiarkan berantakan dan bibirnya terlihat menggoda dan terlarang seperti biasanya.
"Bagus, kau sudah datang. Jadi kita bisa berangkat sendiri-sendiri. Dan lebih baik kita segera berangkat," jawab Cam dan ia melenggang berasama Elliot menuju ke mobilnya. Meninggalkan aku dan Hans yang menggoda.
"Jadi, kau ini jadi apa?" dia bertanya setengah geli.
"Apa kau tidak bisa lihat?" jawabku sinis sambil merentangkan gaunku.
"Yang dapat kulihat hanyalah kau sangat cantik. Dan ini akan jadi malam terkutuk untukku," balasnya. Melingkarkan lengannya di sekeliling pinggangku dan membawaku ke Porchhe miliknya. Membukakan pintu untukku dan membatuku duduk. Dia mengitari mobil dan duduk di kursi pengemudi.
"Kau ini jadi apa? Dan kenapa akan jadi malam terkutuk untukmu?" tanyaku saat dia menghidupkan mesin.
Dia beralih melihatku dan matanya menyala dengan gairah. "Aku jadi hantu bangsawan inggris abad pertengahan. Dan malam ini akan jadi malam terkutuk untukku karena, saat ini aku benar-benar ingin menciummu."
"Oh," aku bergumam pelan dan merasakan pipiku memanas.
Dan aku sendiri mulai ragu untuk bisa menjaga mulutku tetap pada tempatnya. Karena saat aku melihat bibirnya aku ingin bibir itu melumat bibirku jadi siapa diantara kami yang pada akhirnya akan kalah dengan nafsu?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro