Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Spellbreaker

Sesuatu sangat salah, Janette menyadari itu begitu dia membuka matanya. Ingatannya begitu kabur, tapi dia yakin itu bukan hanya karena dia terlalu banyak minum. Rasa sakit yang sekarang membelah kepalanya tidak mungkin jika hanya disebabkan oleh alkohol.

Dia ingat malam sebelumnya, tarian dan ciuman. Ingat saat Tamlin membawanya ke kamar dan kemudian pagi ini. Rasa sakit semakin membelah kepalanya ketika dia mencoba mengingat apa tepatnya yang terjadi pagi ini. Dia menemukan ingatan itu kosong seolah seseorang telah merobeknya langsung dari otaknya.

Janette berguling sehingga dia bisa duduk di tepi ranjang. Jendela di kamar yang ia tempati menghadap ke timur sehingga dia bisa melihat dengan jelas cahaya pucat matahari musim dingin yang telah merangkak cukup tinggi di langit yang suram. Dia masih berusaha mengingat apa tepatnya yang terjadi tapi sekali lagi ingatannya nihil.

"Tamlin?" Suaranya terdengar serak, lidahnya terasa tebal di mulutnya dan tenggorokannya sangat kering.

Matanya menyimpang pada gelas air yang mungkin telah disiapkan Tamlin dari malam sebelumnya. Janette mengambil gelas itu, meneguk perlahan dan bersyukur pada kelembaban yang membasahi tenggorokannya yang sekering gurun. Namun perasaan buruk itu tetap tinggal di perutnya, seolah pikiran bawah sadarnya memperingatkan dirinya bahwa sesuatu yang mengerikan sedang terjadi atau telah terjadi?

"Apa yang dikatakan Tamlin tentang fajar?" gumam Janette sambil memijit pelipisnya yang terus berdenyut menyakitkan. Dia masih tidak berani berdiri, rasa sakit di ujung kepalanya memperingatkan dirinya untuk tidak bergerak sekarang.

Gadis-gadis yang mati. Mereka semua mati saat mencoba menghancurkan kutukannya.

"Aku tidak seharusnya berada di sini setelah fajar," ucap Janette pelan, dan sebagian dari dirinya ingin percaya bahwa Tamlin tidak berada di sini dan sekarang karena dia tidak ingin dirinya mati seperti gadis-gadis itu. Namun meskipun Janette tahu bahwa dirinya seharusnya pergi dari Chateau setelah fajar, sakit kepalanya tidak memungkinkan. Rasanya hanya bertambah parah setiap kali dia mencoba mengingat kejadian sore ini. Seolah dia bukan hanya bangun dari pingsan karena alkohol melainkan bangun dari kematian.

Karena tidak ada yang bisa dilakukan Janette akhirnya berbaring sekali lagi. Menarik selimut di atas kepalanya dan memejamkan mata. Berharap saat dia membuka matanya nanti matahari telah tenggelam dan Tamlin akan ada di sana. Namun jauh di dalam hatinya, Janette tahu itu hanyalah sebuah angan-angan. Bagian dari dirinya yang mendasar, yang terikat dengan jiwanya mengetahui bahwa saat dia membuka mata sekali lagi. Saat kegelapan menyelimuti keberadaanya. Saat matahari pucat akhirnya digantikan dengan awan hitam tebal yang bermuatan hujan badai, Tamlin tidak ada di sana.

***

Kali ini ketika dia membuka mata, perutnya menjerit kelaparan. Janette menekan jari-jarinya di atas perut saat matanya menatap jendela yang sekarang dicat hitam pekat karena malam yang telah jatuh menyelubungi belahan bumi ini. Butuh beberapa saat bagi matanya untuk menyesuaikan diri dengan ruangan yang gelap, dia hanya berhasil melihat siluet dari hal-hal yang ada di sana tanpa penerangan.

Ketakutan yang sebelumnya surut kembali naik di dalam dirinya. Tamlin tidak akan meninggalkan dirinya dalam kegelapan seperti itu. Jika pria itu berada di sini akan ada lilin yang menyala, kegelapan yang sekarang mengelilinginya memberitahu Janette satu hal, Tamlin pergi.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" bisik Janette dalam kegelapan, kali ini meskipun rasa sakit masih menggedor kepalanya, dia berjuang untuk bangun.

Kakinya yang telanjang dari malam sebelumnya menyentuh lantai kayu yang terasa dingin. Dia harus meraba-raba di sekitar untuk menemukan jalannya tanpa tersandung barang-barang di ruangan itu. Janette berhasil memutar kenop pintu, tersandung beberapa kali sebelum akhirnya sampai pada laci yang menyimpan lilin bersama korek api.

Jaringan gemetar karena urgensi saat dia menyulut sumbu lilin menyala. Menangkupkan tangannya untuk menjaga nyala api tetap hidup. Ada sesuatu di udara. Sesuatu yang sebelumnya tidak dia perhatikan sebelumnya. Dia tidak merasakan keberadaan sihir di sini. Tidak ada kehangatan dan getaran yang biasanya memenuhi seluruh ruangan. Entah bagaimana Janette tahu. Dia hanya tahu. Tamlin tidak lagi berada di sana. Pertanyaannya ke mana? Dan mengapa?

Janette mengedarkan lilin di sekelilingnya, mengamati ruangan yang dipenuhi kegelapan yang suram. Pikiran pertama yang masuk ke dalam kepalanya hampir membuat Janette lumpuh, tapi dia segera menyingkirkan pikiran itu dengan cepat. Tamlin tidak mati. Dia akan tahu jika pria itu mati. Dia harus tahu.

Lalu ke mana dia harus mencari? Janette memejamkan mata, berpikir keras untuk memikirkan ke mana Tamlin mungkin pergi? Tamlin yang seharusnya terikat dengan rumah ini. Tamlin yang mustahil pergi karena kutukannya. Tiba-tiba Janette membuka matanya. Tahu pasti ke mana Tamlin pergi, atau setidaknya tahu kepada siapa dia pergi, karena Janette yakin Tamlin tidak mati. Pertanyaan lain muncul di kepalanya. Kenapa? Dan kenapa sekarang?

Dia tidak berlama-lama memikirkan itu. Sebagai gantinya dia menerobos pintu depan. Berlari melalui pintu gerbang yang setengah terbuka. Udara dingin dari malam akhir bulan Oktober membuat kulit Janette merinding. Ini seharusnya malam Samhain, seharusnya mereka merayakan. Sesuatu mendorong kaki Janette untuk berlari lebih cepat, seolah dia tahu dia tidak memiliki cukup banyak waktu.

Lilin berkedip-kedip beberapa kali sebelum akhirnya padam sepenuhnya, menjerumuskan Janette dalam kegelapan saat dia berpacu melalui ranting dan cabang pohon yang memenuhi Carterhaugh. Detak jantungnya terdengar nyaring di telinganya sendiri. Hingga dia tidak dapat mendengar apa pun sampai langkahnya tergagap dan dia berhenti sepenuhnya.

Tidak apa-apa untuk membantu penglihatan manusia di tengah kegelapan hutan, tapi Janette tidak membutuhkan cahaya tambahan saat rombongan itu berbaris di jalan setapak.

Tujuh ksatria dengan baju besi perak yang bercahaya membentuk rombongan itu. Di bagian paling belakang dari barisan, kereta bercahaya ditarik menggunakan dua rusa sebesar kuda-kuda di sekitarnya. Namun, bukan itu yang menarik perhatian Janette. Bukan rusa, bukan kereta bercahaya, dan bukan wanita yang begitu cantik duduk di dalam kereta itu. Satu-satunya yang menarik mata Janette adalah Ksatria yang berjalan paling dekat dengan kereta.

Kuda putihnya berbeda dari enam kuda hitam yang berbaris di depannya. Dia mengenakan baju besi yang sama dengan yang lain, tapi wajah itu ... Janette akan mengenalinya di mana pun.

"Tamlin?" bisik Janette sebelum dia meneriakkan namanya dengan lebih keras kali berikutnya. "Tamlin? Tunggu ... berhenti, tolong!"

Janette bahkan tidak memperhatikan seluruh mata yang sekarang terfokus padanya. Dia tidak peduli apa yang mereka lihat saat dia muncul begitu dari pepohonan dan memblokir jalan mereka. Matanya hanya fokus pada sosok yang dia tahu setelah setiap malam mereka menghabiskan waktu bersama.

"Tamlin?" ucap Janette sekali lagi, tapi satu-satunya bukti bahwa pria itu mendengarnya adalah kerutan tidak bahagia yang sekarang terbentuk di dahinya.

"Siapa yang kita miliki di sini?" ucap suara merdu yang mengingatkan Janette pada musik paling indah. Lembut dan menggoda pada telinga yang tidak curiga. Itu menarik perhatian Janette, membuatnya berpaling dari wajah pria yang telah mencuri hatinya.

Janette menatap wanita yang sama sekali bukan wanita. Rambut hitam malam, kulit sepucat salju, dan bibir merah darahnya sama sekali tidak manusiawi. Kecantikannya sama sekali tidak manusiawi. Mahkota bunga yang membingkai rambutnya terselip dengan rapi, dia turun dengan anggun dari keretanya untuk berdiri di dekat kuda putih, tepat di dekat Tamlin.

"Biarkan dia pergi," ucap Tamlin, permohonan pelannya terdengar nyaring di tengah-tengah keheningan Carterhaugh. Wanita itu hanya tersenyum.

Jeanette mengamati pertukaran di antara keduanya. Jantungnya semakin berdebar cepat saat dia memperhatikan fitur wanita itu dengan lebih jelas. Kecantikan yang mustahil, telinga runcing, dan gerakan yang begitu anggun dan halus. Itu bukan manusia. Peri. Ratu Peri? Itukah dia?

"Kenapa aku harus melakukan itu ketika gadis cantik ini datang sendiri kepadaku?" tanya Ratu Peri dengan senyum manis di bibirnya. Tamlin memelototinya tapi apa pun yang ingin dia katakan itu tidak pernah keluar sebagai gantinya dia memohon sekali lagi.

"Kamu memilikiku, tolong biarkan dia pergi," ucap Tamlin, Janette mengerutkan kening pada pernyataan itu.

"Aku ingin Tampil kembali," ucap Janette menyela mereka sementara ketakutan surut, atau setidaknya dia berhasil mendorongnya ke belakang saat ini.

Jika ini adalah Ratu Peri yang sama dengan yang mengutuk Tamlin di tempat pertama maka Janette tidak akan membiarkan dia membawa Tamlin ke mana pun. Di mana pun itu, Janette yakin itu bukan tempat yang bagus.

"Hmmm?" Ratu Peri itu kembali mengarahkan pandangannya kembali pada Janette seolah dia tertarik, "dan kenapa aku ingin melakukan itu?"

Janette menelan dengan gugup sebelum menegakkan bahunya dengan menantang. "Karena ... karena ... aku tidak akan membiarkan kamu membawanya."

"Manis sekali, itu membuatku ingin memainkan gim yang sederhana. Apakah kamu bersedia?"

Tamlin diam-diam menggelengkan kepalanya, tapi Janette mengabaikan isyarat itu dan terus maju. Dia mengangguk dengan tegas, tidak ada jalan kembali sekarang.

"Permainan seperti apa?" ucap Janette meski tahu akan ada tipuan.

"Kutukan yang mengikatnya masih berlaku, belum ada yang memecahkannya. Jika kamu bisa memecahkan itu. Dia milikmu."

"Dan jika aku gagal?" ucap Janette hati-hati.

"Kamu mati."

"Jangan lakukan!" ucap Tamlin detik itu juga, matanya memohon pada Janette. Seolah dia sudah tahu bagaimana ini akan berakhir, seolah mereka pernah melewati ini dan dia telah gagal tapi dia tidak bisa mengingat itu.

Mengalihkan mata dari wajah memohon Tamlin, Janette melihat ke Ratu Peri dan mengangguk persetujuannya. "Aku akan melakukannya."

"Peraturannya sederhana. Jangan pernah melepaskan pelukannya. Mudah?"

Janette menggerakkan giginya dan mengangguk, tahu dia tidak akan mundur. Sementara dia maju untuk datang pada pria yang ia coba selamatkan. Tamlin turun dari kudanya dengan wajah yang dikalahkan.

"Aku tidak ingin melakukan ini," ucap Tamlin lembut, matanya terpejam saat dia berdiri di depan Janette.

"Percaya saja padaku," balas Janette, gadis itu tersenyum saat Tamlin membuka matanya. Matahari masih lama untuk muncul tapi kutukan itu mendidih di bawah kulit Tamlin saat Janette melingkarkan kedua lengannya untuk memeluknya. "Biarkan aku memegangmu," ucap Janette sebelum dia memeluk Tamlin erat-erat.

***

Perubahan itu terjadi begitu cepat. Cakar bulu dan taring. Kulit manusianya robek digantikan oleh sosok monster yang menghantui mimpi buruk. Tamlin menundukkan kepalanya, berharap untuk melihat ekspresi ketakutan Janette tapi dia hanya melihat tekad yang mantap di mata gadis itu.

"Aku tidak akan melepaskan kamu," ucap Janette saat tulang punggungnya retak, membungkuk dan diperpanjang hingga transformasinya berakhir.

"Tapi pagi ini—"

"Aku tidak ingat apa yang terjadi pagi ini, tapi jika aku pernah melepaskan kamu itu bukan karena aku takut. Bukan karena aku khawatir kamu akan menyakitiku. Karena aku tahu kamu tidak akan melakukan itu."

Tamlin memejamkan matanya, merasakan sihir surut dari dalam dirinya. Sihir yang memakannya selama bertahun-tahun. Hingga itu meninggalkan dia apa adanya. Seorang pria dengan gadis yang bertahan di lengannya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro