return
Semua orang menatap saat Janette kembali ke desa. Beberapa dengan wajah kecewa, yang lain dengan wajah pucat seolah mereka baru saja melihat hantu. Itu memberi Janette sedikit kepuasan, biarkan mereka menggeliat dan kesal karena gadis yang seharusnya dimakan oleh Peri itu kembali dan utuh. Bahkan jika gaunnya kusut karena telah dikeringkan dengan sembarangan di depan perapian, dia sehat dan tidak terluka. Dia mengabaikan setiap tatapan, berjalan langsung ke gubuknya dalam urgensi untuk melihat ayahnya. Pastikan dia baik-baik saja. Jadi dia puas saat tidak ada yang mencoba menghentikannya. Bahkan tidak ada yang berani untuk berada cukup dekat, mereka semua membersihkan jalannya. Baru ketika dia mendorong pintunya yang reyot terbuka, dan menyeruak ke dalam gubuk satu ruangan yang dia bagikan dengan ayahnya, dia mulai melepaskan ketegangan di bahunya.
"Ayah ...," ucap Janette, suara meninggalkan bibirnya dengan lemah seperti bisikan dari angin yang samar. Matanya menyisir ruangan dan meringis saat menemukan Ayahnya yang mencoba bangkit dari dipan tempatnya berbaring.
"Janette?" Suara ayahnya terdengar serak seolah dia telah menggunakannya untuk berteriak sekuat tenaga baru-baru ini. Janette buru-buru datang padanya. Membantunya duduk dan memeluknya sebelum ada yang bisa mengatakan sepatah kata pun lagi.
Ayahnya hanya membiarkannya. Meletakkan kedua tangan yang dulu kuat melingkari tubuhnya. Menggosok punggungnya bolak-balik dengan gerakan yang menenangkan. Detik berlalu di antara mereka hingga menjadi menit dan tidak ada dari mereka yang ingin memecahkan ketenangan tentatif yang telah mereka ciptakan. Janette tidak yakin dengan apa yang harus dia katakan pada Ayahnya. Bukan tentang penyanderaan dengan rantai yang terhubung ke pagar Chateau. Bukan tentang pria yang telah menolongnya. Juga bukan tentang rencananya untuk kembali ke sana. Jantungnya berdebar di tulang rusuknya saat dia memikirkan kembali rencana bodoh itu. Namun, dia tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa dia seharusnya berada di sana. Itu seperti tarikan yang tidak dapat ditolak, seperti sihir telah bermain dan memikatnya.
"Apakah kamu baik-baik saja Sayangku?" Ayahnya akhirnya menjadi orang yang memecahkan keheningan di antara mereka.
Janette menganggukkan kepalanya, menekannya lebih erat ke dada Ayahnya untuk menyembunyikan satu air mata yang lolos melewati kelopak mata. Itu adalah pengalaman yang mengerikan, dan sebagian dari dirinya masih merasa terguncang. Dia hanya ingin terselip di dipannya, menarik selimut tua miliknya yang telah pudar melewati kepala, dan meringkuk hingga semua itu menjadi kenangan samar. Namun tetap saja, dia tidak merasa itu adalah hal yang benar untuk dilakukan.
"Aku baik-baik saja."
"Apa yang terjadi?" Ayahnya membelai rambutnya, menyelipkan ikal yang jatuh di matanya ke balik telinga sehingga dia bisa melihat wajahnya dengan lebih baik.
"Itu tidak masalah sekarang," jawab Janette, senyum kecil mengangkat sudut bibirnya.
"Ayo, kamu tidak seharusnya menyembunyikan sesuatu dari pria tua ini."
Janette mendengus, tidak dapat menghentikan seringai memecah ekspresi muramnya. "Tidak cukup tua untuk menjadi pikun sehingga akan membiarkan putrinya kembali ke Carterhaugh."
***
Rencananya terdengar bodoh bahkan di kepalanya sendiri, tapi itu masih tidak menghentikan Janette. Dia berdiri di depan gerbang Chateau, berhenti untuk merenungkan kembali keputusannya di menit terakhir. Matanya langsung tertuju pada jendela di lantai atas, bersumpah dia telah melihat sesuatu di atas sana sebelum dia pergi pagi ini. Sesuatu mengintainya saat dia pergi, dia bisa merasakan tatapan itu seperti sebuah sentuhan dari kehadiran yang tak terlihat. Tidak terlalu mengejutkan setelah dia melihat cukup sihir di malam sebelumnya.
Lalu kenapa dia masih kembali? Apa yang dia lakukan di sini? Itu tidak seperti pria itu membutuhkan bantuannya. Pria itu memiliki sihir, Demi Tuhan. Dia tidak membutuhkan seorang gadis untuk menolongnya.
"Bagaimanapun terlalu gelap untuk berbalik dan menyelinap ke dalam hutan kembali," ucap Janette dan dia mendorong gerbang ke dalam. Dia setengah berlari di jalan setapak untuk pintu utama, bertanya-tanya apakah dia masih akan menemukan pria itu di dalamnya.
Mungkin dia sudah pergi. Mungkin dia membayangkan semua itu semalam. Namun selimut dan sisa bara api yang dia temukan pagi ini menceritakan kisah yang berbeda. Semalam bukanlah mimpi. Itu nyata.
Janette berhenti ketika berada di depan pintu Chateau. Jarinya menyentuh permukaan kayu yang diukir, sudah tua dan setengah lapuk tapi itu masih menunjukkan kemewahan dari masa sebelumnya. Tidak akan mengejutkan dirinya jika tempat ini pernah menjadi bangunan yang mewah, tempat yang memamerkan kekayaannya dan kesombongan pemiliknya. Bagaimanapun juga sekarang tempat ini telah ditinggalkan, kosong dan dipenuhi rumor gelap.
Pintu berayun dengan suara derit memuakkan karena engsel yang sudah lama tidak diminyaki. Untungnya tidak butuh banyak usaha usaha untuk membukanya. Butuh beberapa saat bagi Janette untuk melihat di dalam ruangan dengan pencahayaan yang suram. Sinar matahari terakhir hampir hilang dan seluruh debu yang menumpuk di jendela tidak banyak membiarkan cahaya masuk. Janette mengerjapkan mata beberapa kali, tatapannya tertuju pada perapian tempatnya tertidur semalam. Selimutnya masih ada di sana, tak tersentuh sama sekali.
"Apa yang kamu lakukan?"
Suara kasar itu mengejutkan Janette, menyentak kepalanya ke arah ruangan yang dimandikan kegelapan. Janette hanya bisa melihat siluet samar yang berdiri di anak tangga terakhir. Tidak mengerti dengan detak jantungnya yang tiba-tiba meningkat. Tidak bisa memutuskan apakah itu karena dia ketakutan atau karena dia terlalu bersemangat. Ini seperti awal dari sebuah dongeng, dia hanya tidak yakin bagaimana itu akan berakhir. Mungkin akhir yang tragis.
"Aku merasa harus kembali. Apakah itu sebuah kesalahan?"
"Kenapa?"
Janette mengedikkan bahunya. "Kamu sepertinya membutuhkan beberapa bantuan. Maksudku siapa yang tinggal di tempat seperti ini?" Dia melambaikan tangan ke sekitar ruangan. Semua perabot berdebu dan lapuk, hampir mustahil untuk percaya bahwa itu pernah menjadi sebuah ruangan yang mewah.
"Itu bukan urusanmu, kamu seharusnya memikirkan urusanmu sendiri," ucapnya kasar, membuat Janette meragukan keputusan yang telah dia buat untuk kembali.
Menelan dengan gugup Janette melihat ke balik bahunya, melihat melalui pintu yang masih setengah terbuka. Matahari telah benar-benar tenggelam sekarang, menyisakan kegelapan seperti tinta hitam yang menenggelamkan hutan.
"Apakah itu isyarat bagiku untuk pergi?" ucap Janette, memaksakan humor yang tidak dia rasakan sama sekali. "Jika terserah aku, aku tidak ingin masuk ke hutan saat cahaya hari lenyap. Maksudku apa pun bisa berada di tengah-tengah kegelapan itu."
Pria itu tidak mengatakan apa-apa, dan dengan sosoknya yang masih tersembunyi dalam kegelapan mustahil untuk menangkap ekspresinya.
"Kamu benar-benar ingin aku pergi?" tanya Janette setelah satu menit penuh keheningan di antara mereka. Hingga akhirnya dia melihat pria itu mundur ke anak tangga di atasnya.
"Kamu bisa tinggal," ucap pria itu, dan nada suaranya memberitahu Janette bahwa keengganannya disebabkan oleh sesuatu yang lebih dari sekadar kejengkelan. Ada kegelisahan yang begitu jelas. Bahkan mungkin khawatir. "Peraturannya masih sama."
"Jangan mencarimu setelah fajar?" Janette melihat samar-samar pria itu mengangguk. "Jadi, apakah tidak masalah jika aku mencarimu malam ini?"
Akhirnya kata-kata Janette menghentikan pria itu sepenuhnya, seolah dia sama sekali tidak mengharapkan pertanyaan semacam itu akan datang. "Sebaiknya kamu juga tidak melakukan itu."
***
Tidak ada alasan untuk terus menatap ke dalam hutan, itu sepenuhnya buang-buang waktu. Gadis itu tidak akan kembali. Setiap orang waras yang memiliki setengah akal sehat tidak akan melemparkan dirinya ke dalam masalah yang bisa mereka hindari. Mustahil gadis itu akan kembali setelah dia melihatnya menggunakan sihir. Namun dia tetap menatap dan menatap hingga matahari hampir tergelincir sepenuhnya dari cakrawala. Menunggu dengan harapan yang sakit untuk melihat sekilas rambut merah muncul dari kedalaman hutan.
Dia baru saja akan mundur, untuk menyulap anggur atau sesuatu yang lebih keras dari ketiadaan saat matanya menangkap gerakan di tepi hutan. Dia hampir tidak mempercayai matanya. Hampir yakin kalau apa yang dia lihat adalah sesuatu yang diciptakan oleh sihir untuk menyiksanya. Dia terdiam di depan jendela, mata terpaku pada sesosok gadis yang semakin dekat dengan gerbang Chateau.
"Mungkin dia bukan gadis yang pintar." Dia seharusnya kesal, seharusnya marah karena gadis itu menempatkan dirinya dalam bahaya sekali lagi. Namun dia juga tidak bisa menyingkirkan harapan yang berkedip sekarat di dalam dirinya. Suar yang begitu redup.
Bagaimanapun juga dia tidak bisa tetap tinggal di tempatnya saat gadis itu semakin dekat dengan pintu utama Chateau. Dia perlu melihatnya. Perlu berada cukup dekat. Untuk menyentuh dan mengambil aroma lembut yang feminin. Hanya untuk berada di ruang yang sama, mengambil napas dari udara yang sama. Dia hampir tidak berpikir saat kakinya yang masih cakar bergerak menuruni tangga. Dia tidak terlalu peduli jika dia akan mengacaukan kesempatannya kali ini. Lagi pula dia tidak lagi berpikir ada yang bisa memecahkan kutukannya. Jadi apa masalahnya? Jika gadis itu menjerit ketakutan dan berlari, maka tidak masalah. Namun kematian akan menjadi masalah. Itu menghentikan langkahnya untuk satu detik, sebelum akhirnya daya tarik gadis itu menang dan langkahnya berlanjut.
Dia berdiri di anak tangga terakhir. Menunggu. Bernapas dengan tenang dan menyihir bayangan yang lebih tebal di sekitarnya. Menyisakan siluet tubuhnya yang menjulang untuk dikenali tapi mustahil untuk melihat sosoknya dengan jelas. Dia menatap pintu tanpa berkedip. Menghitung detik dan denyut nadi yang memompa darahnya dengan panik. Suara napasnya terdengar keras di ruangan yang begitu sunyi hingga suara derit pintu memecahkannya.
Dia menatap sosok ramping gadis itu. Profilnya dibingkai oleh sisa cahaya matahari terbenam yang hampir sekarat. Memberinya efek seolah dia baru saja melangkah dari dunia yang sama sekali lain. Dia menatapnya begitu keras, ingin menyimpan seluruh detail dari gadis itu. Dia telah jatuh cinta dengan banyak gadis. Telah menyaksikan mereka mati. Telah merasakan patah hati hingga seharusnya mustahil untuk jatuh cinta sekali lagi. Namun tidak ada keraguan bahwa dia telah jatuh sekali lagi. Mungkin itu adalah efek dari kutukannya tapi dia tidak bisa menyangkal perasaan itu.
Matanya mengikutinya, perhatikan saat dia melangkah masuk ke dalam ruangan dan matanya yang terpaku pada perapian seolah dia sedang mengingat malam sebelumnya. Apa yang dia pikirkan? Apa yang dia inginkan? Dan yang paling membuatnya penasaran, kenapa dia kembali? Semua pikiran itu mengamuk di benaknya dan tiba-tiba dia ingin melihat matanya. Perlu untuk melihatnya.
"Apa yang kamu lakukan?" Dia tidak bermaksud mengejutkan gadis itu, tapi dia melihatnya tersentak, menangkap bagaimana cara cepat kepalanya berputar ke tempatnya berdiri sekarang.
"Aku merasa harus kembali. Apakah itu sebuah kesalahan?"
Dia tidak suka bagaimana suara lembutnya bergetar. Tidak suka fakta bahwa saat ini mungkin dia telah membuatnya takut, tapi dia tidak seharusnya menyambutnya. Dia tidak menginginkan tanggung jawab dari kematian gadis lain.
"Kenapa?"
"Kamu sepertinya membutuhkan beberapa bantuan. Maksudku siapa yang tinggal di tempat seperti ini?"
Matanya mengikuti gerakan tangan gadis itu yang memberi isyarat ke sekeliling ruangan. Dia tidak pernah memperhatikan kesuraman di sini. Tidak pernah peduli karena kenapa dia harus? Ini adalah kutukannya. Semua yang ada di sini adalah pengingat bahwa dia dikutuk. Ini adalah penjaranya, jadi tidak pernah terpikir olehnya untuk merawatnya, untuk membuatnya lebih baik, bahkan jika yang perlu dia lakukan adalah melambaikan tangan.
"Itu bukan urusanmu, kamu seharusnya memikirkan urusanmu sendiri," ucapnya kasar, dia juga tidak ingat gadis lain pernah mengkritik tempatnya tinggal. Mereka tidak pernah menganggapnya normal.
"Apakah itu isyarat bagiku untuk pergi? Jika terserah aku, aku tidak ingin masuk ke hutan saat cahaya hari lenyap. Maksudku apa pun bisa berada di tengah-tengah kegelapan itu."
Dia tidak bisa langsung menjawabnya. Ada bagian dari dirinya yang menginginkan gadis itu meninggalkan dirinya sendirian, tapi bagian lain, bagian bodoh dan naif yang masih tersisa di dalam dirinya, ingin gadis itu tinggal. Bahkan sekarat untuk membuatnya tinggal.
"Kamu benar-benar ingin aku pergi?" ucap gadis itu sekali lagi, kegugupan di dalam suaranya mustahil untuk disalah artikan.
Akhirnya dia hanya bisa mendesah dengan kalah. Kemungkinan besar dia akan menyesali keputusan ini, tapi apa lagi yang bisa dia lakukan? Dia tidak mungkin mengusirnya ke dalam hutan saat tidak ada cahaya yang tersisa. Dia mungkin telah berubah menjadi monster, tapi dia juga pernah menjadi manusia. Dia belum sepenuhnya lupa dan hilang.
"Kamu bisa tinggal," ucapnya dengan suara senetral mungkin, tapi kekhawatirannya telah meninggikan suaranya. Dia tidak ingin menyakiti gadis itu, tapi mungkin hanya itulah yang bisa dia lakukan selama dia tetap terkutuk. Lebih baik untuk menjaga jarak. Beri kesempatan untuk gadis itu lari jika dia cukup pintar. "Peraturannya masih sama."
"Jangan mencarimu setelah fajar?" Jantungnya mempercepat ritme di dadanya saat mata gadis itu menyipit seolah dia mencoba untuk fokus melihat sosoknya. Dia mempersiapkan diri untuk menjawab pertanyaan berikutnya. Pertanyaan sama yang telah ditanyakan setiap gadis. 'Apa yang terjadi setelah fajar?' Hanya untuk dikejutkan sekali lagi saat pertanyaan itu tidak datang.
"Jadi, apakah tidak masalah jika aku mencarimu malam ini?"
Kata-katanya membekukan dirinya, mungkin bahkan menghentikan detak jantung yang sebelumnya berlari dengan panik. Dari begitu banyak hal yang bisa gadis itu tanyakan, dia tidak akan menembak yang ini. Apakah tidak apa-apa? Dia tidak tahu, sejujurnya dia berniat untuk meninggalkannya sendirian seperti malam pertama itu. Namun setelah pertanyaan itu dilepaskan, dia tidak bisa mendorong keinginannya. Dia telah lama terjebak di sini. Telah lama merasa begitu sendirian. Akan menyenangkan untuk memiliki seseorang sebagai teman. Bisakah mereka berteman? Tetap saja, dia mendapati dirinya memperingatkan gadis itu sekali lagi
"Sebaiknya kamu juga tidak melakukan itu," ucapnya, dan dia berbalik untuk menaiki tangga.
_________________________________
Yip yip update, apa yang kalian pikirkan?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro