Tiga
"Katring oke. Undangannya masih kurang 180 buah. Gedung fix. Baju tinggal sekali fitting."
Prisa menandai list yang ia tulis di sebuah kertas buram. Di sampingnya, Prama tengah serius menontot Tv yang malam itu menayangkan siaran ulang Piala Eropa yang belum sempat ditonton Prama kemarin.
"Souvenir-nya mau kita tambahin, nggak, Pram?" tanya Prisa mengalihkan matanya pada Prama.
"Hmmm."
Dijawab dengan gumaman, bibir Prisa tercebik. Ia meraih remote di meja dan mematikan Tv dengan biadab. Sekarang giliran bibir Prama yang tercebik. Laki-laki itu mendelik kesal pada Prisa.
"Kalo diajak ngomong tuh jangan dicuekiiin," protes wanita itu, berisik.
Prama bernapas kasar kemudian menggeleng pelan. Ia bangkit dan menjauh dari Prisa. Seharian ini, fonoreseptor telinganya bekerja ekstra mengirim implus ke otaknya menerjemahkan bentakan, teriakan, dan juga umpatan Prisa. Ia berharap ada satu bagian telinganya yang berfungsi mengubah bentakan menjadi desahan, semua itu mungkin akan lebih mudah terserap ke telinga dan dicerna otaknya.
Jika saja dari awal Prama tahu bahwa stres pranikah yang menyerang wanita bisa menyulap mereka menjadi anjing beranak yang galak, dia tentu akan memilih dipingit berbulan-bulan dan akan menyerahkan semuanya pada Wedding Organizer.
Pramana juga mungkin mempersempit intensitas pertemuannya dengan Prisa dan hanya akan mau bertemu saat malam pertama saja. Bukan apa-apa, hanya saja, Prama tidak punya keahlian khusus untuk meredam amukan 'anjing beranak'.
"Pramaaaanaaa." Teriakan Prisa menggelegar di seluruh apartemen wanita itu.
"Apa sih, sayang? Jangan teriak-teriak deh."
Prisa menyusul, menghadiahi Prama cubitan-cubitan kecil di perut pria itu. Ia gemas direspona datar seharian ini. Bukannya geli, Prama malah bergeming di posisinya sambil tertawa-tawa melihat keganasan Prisa.
Merasa tidak ditanggapi, Prisa lelah sendiri dan akhirnya berhenti. Dengan anggun, wanita itu mengibaskan rambut pendeknya. Ia meredam emosinya lalu menghembuskan kekesalannya lewat napas panjang.
"Jadi capek sendiri kan," Prama mencibir, lelaki itu meneguk jus kalengan yang diambilnya dari lemari pendingin Prisa. Ia merangkul bahu Prisa dan membimbing wanita itu kembali ke sofa depan Tv.
"Calon pengantin gak boleh marah-marah," ujarnya menasihati sambil terus mengusap bahu calon istrinya.
Bibir Prisa mengerucut. "Yaa, abisnya kamu sih, cuekin aku," rajuk gadis itu. "Kamu itu serius nikah gak, sih? Kita tuh ga pakai jasa WO, loh. Kita yang ngurusin semuanya. Jadi sikap santai yang kamu perlihatkan tadi itu hukumnya haram, Pramanaaaaa," omel gadis itu, cerewet.
Prama mendorong tubuh Prisa, menyuruh agar wanita itu bergeser ke tepian sofa, ia lalu tidur di paha Prisa, meraih tangan gadis itu dan memerintahkan untuk bermain di rambutnya. Diamatinya wajah Prisa dalam visuali terbalik. Sinyal wajah gadis itu jelas memancarkan rasa lelah, belum lagi bulatan kehitaman yang tampak membingkai matanya.
"Tuh, kan..." Tangan Prama terangkat mengusap pipi Prisa. "Kalau tahu kamu bakalan secapek dan serewel ini ngurusin nikah, mending pake WO ajah. Kamu sih sok kuat. Ujung-ujungnya aku juga kan yang jadi sasaran," lanjut pria itu dengan nada setengah mencibir.
Tamparan kecil mendarat di wajah Prama saat tangannya mencubit keras hidung Prisa. Ujung hidung gadis itu bahkan memerah. Prama tertawa pendek lalu memutar posisinya sampai wajahnya sempurna terbenam di perut Prisa. Berulang kali dia menekan-nekan wajahnya ke sana.
Tidak kuat menahan geli, Prisa berteriak frustrasi, "Praamaaaaaaaa!" Tangannnya menumbuk-numbuk punggung Prama dengan kekuatan penuh. Yang dipukul hanya tertawa-tawa lalu bangkit dan kembali bersandar di sandaran sofa.
"Gitu ajah ambekan." Prama terkekeh dan mencolek dagu Prisa. "Besok kita ke tempat souvenir deh, setelah makan siang. Oke?"
Prisa menyetujui dengan anggukan. Gadia itu lalu kembali meniti list yang ditulisnya lagi. Wajahnya terlihat serius mengamati huruf per kata dalam list tersebut, takut ada yang kurang ataupun lupa ditulis.
"Baju udah di DP," Prisa bergumam. "Gedung juga sudah, uuhm...."
"Ada yang belum di-DP, sayang," imbuh Prama.
Mengangkat wajah, Prisa menatap Prama dengan ekspresi bertanya. Matanya kemudian menerawang, mengingat-ingat lagi apa yang dimaksud Prama. Namun, ia gagal mengingat karena merasa sudah melakukan semuanya kemarin tanpa ada yang terlewatkan.
Susah mengingat, Prisa bertanya heran, "Apanya yang belum di-DP yah, Pram?"
Prama tersenyum kecil. "Kamu," jawabnya. Tanpa memberikan Prisa jeda untuk merespons, lelaki itu menggendong Prisa masuk ke dalam kamar apartemen. Dengan ciuman-ciuman menuntut, tangannya bergerak cepat membuka kancing kemeja Prisa.
"Pram," desis Prisa di sela-sela ciuman mereka.
"Hmm," jawab Prama tanpa menghentikan ciumannya. Diletakannya gadis itu ke ranjang dengan tangan yang terus bergerak.
"Aku masih perawan."
Prama tersenyum di atas bibir Prisa. "Bukan masalah," sahutnya. "Di-DP sekarang biar pas malam pertama mainnya udah bisa variatif."
"Pram," panggil Prisa lagi-lagi.
"Humm."
"Aku... hmm...," Prisa mencari-cari celah untuk bicara karena Prama tidak memberinya kesempatan untuknya beralih.
"Aku... lagi datang bulan!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro