Sepuluh
***
"Erika Prisaaaaaa."
Eldava mengguncang punggung Prisa yang sedang tengkurap di ranjangnya. Kaki kanan wanita itu terangkat lebar dan disangga di atas guling sementara setengah wajahnya terbenam di bantal. Jangankan bangun, Prisa malah tidak terusik sedikit pun dengan aksi El. Wanita itu mempererat pelukannya pada guling bersarung Captain America itu.
El berdecak tidak suka, ia menarik kuat pundak Prisa sampai wanita itu sempurna terbalik dan bergumam jengkel. "Eldava apaan sih, hgngp----" Prisa meronta-ronta karena hidungnya di jepit El. Ia mencakar lengan El hingga laki-laki itu memekik kesakitan dan menjauh.
Prisa terduduk dan baru saja akan menyerang El dengan bantal, tapi matanya tidak sengaja menangkap sosok Pramana yang berdiri di pintu kamar El. Perempuan itu lantas melompat turun dan berdiri canggung seraya merapikan rambut dan memperbaiki blouse nya yang acak-acakan.
Tertawa-tawa, El meninggalkan keduanya di kamar, sengaja memberikan ruang untuk suami isteri itu bicara. Melihat gelagat Pramana, ia menduga akan ada perang setelah ini. Saat El menunggunya di depan tadi, Pramana bahkan turun dari mobil tanpa mau mematikan mesinnya terlebih dahulu dan baru melakukannya setelah El mengingatkan tentang pencurian yang sering terjadi di komplek ini.
Sampai di ruang makan, El sengaja memanas-manasi Prama dengan berteriak, "Kalo gue jadi lo ya, Pram. Ngadapin istri yang kabur seharian dan gak ngasih kabar, udah gue kuliti jadiin jaket kulit." seru pria itu setengah terkekeh.
Jika tidak sedang ditatap tajam oleh suaminya saat ini, Prisa mungkin akan berlari ke ruang makan dan memberikan satu tendangan berlipat ke batang leher El. Menyebalkan sekali!
Prisa menggaruk pipinya dan tidak mau menatap Prama. Ia seperti seseorang yang baru ketahuan mencuri, gugup dan takut bersamaan. Gugup karena menangkap sinyal wajah Prama yang tidak bersahabat, sekaligus takut karena tertangkap basah sedang tidur di kamar El.
Iyah, tempo hari waktu Prama menjemputnya disini, suaminya itu sudah memberi nasehat padanya untuk menjaga kedekatan dengan El. Prama memang tidak cemburu buta, apalagi meledak-ledak saat menasehati, laki-laki itu hanya menyampaikan dengan lembut namun tidak menghilangkan ketegasan. Waktu itu Prama hanya beralasan bahwa tidak pantas perempuan bersuami datang ke rumah seorang pria lajang walaupun konteksnya hanya berteman karena akan mengundang asumsi buruk dari beberapa pihak. Dan Prisa pun hanya mengiyakan tetapi melempar pertanyaan, 'Kalau ketemu di Café, bisa kan Pram?' Dan dibalas Prama dengan anggukan samar.
Namun saat ini ... ketahuan bertamu apalagi sampai tidur di kamar El ... sepertinya agak keterlaluan.
Prisa mengangkat wajah saat merasakan pergerakan Prama di depan. Suaminya itu sedang melangkah pelan ke arahnya.
"Kenapa chatku nggak dibalas?" tanya Prama pelan. Prisa tidak menangkap nada marah sama sekali walaupun ia bisa mendengar suara Prama yang tercekat.
Prisa menjawab spontan. "Aku nggak bawa Hp." Setelah mengucap alasan palsu, wanita itu lantas melirik ke atas ranjang El, dia berharap ponselnya tersembunyi di suatu tempat yang tidak bisa terlihat oleh Prama.
Diberi jawaban bohong, Prama memijat alis dengan kelopak mata yang berkedip super lambat. Laki-laki itu menarik napas dalam kemudian menatap Prisa. "Lain kali," Prama menarik tangan Prisa. "kalau mau belajar bohong," lelaki itu meletakan ponsel Prisa yang di dapatinya dari Eldava tadi. "Totalitas, yah?"
Bibir Prisa tergigit lagi. Ia mengantongi ponselnya dan merunduk. Diam adalah jalan keluar terbaik menetralkan suasana walaupun tidak menyelesaikan masalah.
Prama berkata tegas. "Ayo pulang!"
Lelaki itu berjalan mendahului Prisa. Ia hanya berpamitan sekedar pada Eldava yang tengah asik dengan setumpuk buku Malcolm Gladwell juga alunan Electronic Dance Music dari headset nya.
El tertawa mencemooh dan melambai santai pada Prisa. Tentu saja laki-laki itu dihadiahi umpatan tak bersuara dari Prisa.
***
Prama masuk ke kamar mendahului Prisa yang sedang berbincang sebentar dengan ayahnya di ruang Tv. Lelaki itu duduk di tepi ranjang dengan sikut yang tertopang di paha. Telapak tangannya menutup wajah. Cukup lama Prama diam sampai suara pintu terbuka mengalihkan konsentrasi laki-laki itu.
Tanpa mau menegur Prama lebih dulu, Prisa berlalu ke kamar mandi tapi langkahnya terhenti ketika mendengar suara Prama.
"Pris kita perlu ngomong."
Berbalik, tangan Prisa terlipat di dada. Ia berujar datar, "Bukannya dari tadi juga kamu udah ngomong?"
Mata Prama terpejam sebentar. "Tolong, aku lagi gak becanda." kata pria itu penuh penekanan.
Oke. Prisa diam. Bisa ia lihat tulang rahang Prama yang mengetat. Lelaki itu bahkan melempari tatapan runcing padanya.
"Kamu jangan kayak anak kecil, Pris." Prama membuka suara setelah cukup lama saling melempar tatap dalam diam. "Berantem dikit, kabur dari rumah. Gak mau angkat telponku, chatku juga gak di balas, itu-----"
"Siapa yang kabur sih, Pramana?" Potong Prisa. "Aku tuh cuma lagi----"
"Tidur di kamar laki-laki lain?" Sambung Prama.
Prisa tertawa sumbang. "Sekarang liat, siapa yang kayak anak kecil? Aku atau kamu?" Tantang wanita itu mencemooh, ia berbalik menuju kamar mandi.
"Erika Prisa, aku belum selesai bicara!" Teriak Prama.
Prisa terperanjat, seumur-umur mereka menikah, Pramana belum pernah sekali pun membentaknya seperti ini. Bibir wanita itu tercebik dan matanya terputar malas. Ia barujar, "Aku tuh mau pipis, Pramanaaa. Udah nahan dari tadi. Kamu mau aku pipis disini?"
Prama membuang napas. "Oke, kamu mandi sekalian." Perintahnya.
***
Prisa menyisir rambut setengah basahnya sembari memperhatikan Pramana lewat pantulan cermin rias. Lelaki itu sudah mengganti kemejanya dengan kaos tipis besar kesukaannya yang sudah robek di beberapa sisi dan suka sekali dipakainya saat tidur. Ia tengah membaca sebuah Skripsi dari seorang Mahasiswa yang menjadikan PRATU Hotel sebagai objek penelitian.
Selepas mandi tadi, wanita itu menunggu, ia berpikir Prama akan mengajaknya bicara namun lelaki itu hanya mendiaminya begitu saja.
Mengabaikan sisa-sisa rasa jengkelnya pada Prama, Prisa memutar posisi menghadapi lelaki itu.
"Kamu cemburu yah?" cecar Prisa. Ia tidak sedang dalam mode marah saat ini. Pertanyaannya ini hanya bentuk rasa geli. Apa yah.... ia gemas sebenarnya melihat Pramana berekspresi seperti ini.
Prama melirik Prisa sebentar dan malah balik bertanya. "Nggak boleh?"
Prisa hampir tertawa. Ia bangkit dan menyeret langkah ke ranjang, duduk di samping pria itu dan menarik Skripsi dari tangan Prama hanya untuk di letakan atas nakas.
"Boleh ajah, sih cuman cemburunya yang masuk akal dan tepat sasaran dong Pramana. Masa yah, cemburu sama El?"
Alis Pramana tertaut. "Loh, emang El bukan laki-laki?" tantang Pria itu. "Sejak kapan cemburu punya aturan?"
Mata Prisa terputar berlebihan. Baru akan bangkit, tapi Prama mencegatnya. Laki-laki itu spontan mengurungnya dalam pelukan kuat dan membenamkan hidungnya di pundak Prisa. Mengendus wangi Prisa dari balik kamisol merah yang dikenakan wanita itu.
"Nah, mulai." Cibir Prisa. Ia menekan kepalanya, menabrak pelan wajah Prama yang mulai naik mendarat di telinganya.
Prama terkekeh. "Kamu udah gak marah, sama aku?" tanyanya namun tidak memberi jeda pada Prisa untuk menjawab. Laki-laki itu mempererat lingkaran tangan di perut Prisa. "Jangan marah-marah lagi yah, Sayang. Gak enak banget di cuekin istri. Seharian ditinggal kabur ke rumah cowok la---- hahaha." Prama tertawa ketika tangan Prisa naik menjambak rambutnya, ia lantas menyerang Prisa dengan ciuman-ciuman kecil di sepanjang rahang wanita itu.
Rasa kesal Prisa terhadap Prama meluap begitu saja. Ia melupakan semua perlakuan Prama kepadanya kemarin malam dan berbalik mengalungkan tangan di leher suaminya. Bagaimanapun ia rindu... hampir satu minggu mereka tidak melakukan ritual-ritual seperti ini, karena keduanya disibukan dengan pekerjaan.
"Kamu wangi banget." Bisik Prama. Ia menghembuskan napas panasnya di telinga Prisa membuat wanita itu bergidik geli dan memejamkan mata.
Jika perempuan lain butuh di sentuh di daerah-daerah vital untuk membangkitkan gairah mereka, maka Prisa cukup sekali dua kali hembusan di bagian telinganya saja, wanita itu akan langsung menejamkan mata dan menurut pasrah. Prama tentu saja hafal semua reaksi Prisa atas sentuhanya. Ia ingat bagian mana yang tidak dan diijinkan Prisa untuk di eksplore. Ia tau kapan harus menyentuh dengan kadar lembut dan kapan harus memulai dengan kadar lebih. Dan itu ... menjadi taktik andalannya untuk menaklukan Prisa.
Saat Prama mulai sibuk mencumbui Prisa dengan ciuman-ciuman sensualnya di leher wanita itu, Prisa berujar dalam napas yang tertahan. "Pramaa, pintunya belum di kunci."
Laki-laki itu sontak menggaruk kepalanya dan menggerutu frustasi. Ia memberikan kode pada Prisa untuk menunggu dan melompat turun dari ranjang hanya untuk berlari membabi buta menuju pintu.
Prisa tertawa kecil dan mengelengkan kepala. Tidak sampai sepuluh detik ia menghitung, Pramana sudah kembali, laki-laki itu melepas kaosnya dan melemparinya acak. Ia mengurung paha Prisa di antara dua pahanya dan naik menindih wanita itu. Ciuman lembutnya lantas bersarang di bibir Prisa kemudian berpindah lagi mengikuti rute andalannya, dagu - rahang - telinga - pipi - bibir, dan ... berakhir di dada.
Prisa melenguh pelan ketika Pramana meningkatkan frekuensi ciuman di dadanya tangan lelaki itu bergerilya melepaskan satu demi satu penghalang apapun di tubuh istrinya. Hingga tubuh wanita itu benar-benar polos dan Prama menyusul lima menit setelahnya.
Kalau soal stimulasi, Pramana jagonya. Dalam 10 menit awal laki-laki itu berhasil membuat Prisa Turn on berat dan meritih-rintih kecil meminta dipercepat ke acara intinya. Namun bukan Prama namanya jika tidak menggoda Prisa. Laki-laki itu sengaja berlama-lama di beberapa titik tertentu, mencumbui dengan durasi lambat dan malas-malasan, hingga Prisa sampai harus menjerit histeris dan menjambak rambutnya berkali-kali karna merasa dipermainkan.
Puas bermain dengan pernak-pernik tubuh Prisa, Pramana akhirnya mengakhiri siksaan bagian pertama itu dan memulai eksekusinya ke bagian inti.
Setelahnya hanya terdengar deru nafas keduanya yang saling berbalas ritmis disertai desahan-desahan kecil Prisa dan suara Pramana yang menyuarakan kalimat-kalimat sayang dan pujian pada istrinya.
***
Dengkuran halus Prisa membuat Pramana terjaga. Ia mengerjap beberapa kali dan tersenyum menatap wajah Prisa yang tertidur kelelahan. Prama suka! Suka melihat pemandangan ini. Suka saat mendapati mata sembab Prisa yang mengindikasikan kepuasan. Wajah letihnya yang secara tidak langsung menyuarakan kehebatan Prama. Aroma seks yang bercampur baur dengan bau tubuh keduanya. Semua itu... Manivestasi keperkasaannya.
Prama bersyukur. Krisis perasaan yang melandanya saat ini tidak lantas membunuh rasa tanggung jawabnya untuk memenuhi kewajiban sebagai seorang suami. Ia masih bisa bersikap normal kepada Prisa di tengah perasaannya yang kacau balau. Masih bisa tersenyum dan membagi sedikit rasanya kepada Prisa walaupun ia belum tau akan dibawa kemana hubungannya dengan Prisa kedepan?
Satu-satunya yang terpikir di otak Prama saat ini hanya bagaimana mengambil kembali hati Ratu dan menempatkan wanita itu ke posisi seharusnya ia berada yaitu ... disamping Prama, di dalam dekapan Prama. Selamanya.
Prama mencium ujung hidung Prisa. Di amatinya wajah Prisa sekali lagi. "Aku belum tau dimana harusnya aku tempatkan kamu di hati ini. Dan juga belum tau apa masih ada ruang untukmu?" Desis Prama pelan sambil merapikan rambut Prisa.
"Aku belum bisa menjanjikan apa-apa untuk kamu. Tapi ... kamu harus tetap ada di sampingku sampai aku menemukan jawabannya. Kalau sudah saatnya, tidak peduli ada ataupun tanpa ada aku di sampingmu... kamu harus jadi wanita kuat." Prama mencium sekilas puncak kepala Prisa sebelum bangkit menuju lemari mengambil jaketnya. Dia membaca sekali lagi pesan dari Sammy setengah jam yang lalu.
Pram, Lo ke rumah Mba Kiki skrg! Mba Ratu nangis2. Berantem hebat sama mantan suaminya yang mabuk dan mau bawa anaknya. Gue gak bisa apa2, Lo tau gue gada hak buat intervensi. Kyknya cuma lo yg bisa menengahi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro