Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sembilan

Ketika terbangun, hal pertama yang Prama lihat adalah pecahan-pecahan cangkir yang berhamburan di depannya. Ia mengerjap beberapa kali. Mengumpu kepingan pikiran yang halai balai. Denyutan-denyutan di kepala membuat pria itu meringis kecil sambil memberi pijatan pada daerah pelipis dan dahi.

Prama menegakkan badan, memberi sedikit waktu untuk tubuhnya menyesuaikan keadaan sebelum akhirnya benar-benar bangkit dari lantai dan berbaring di ranjang. Dia butuh me-recovery tubuhnya dari hangover.

Pramana bukan Alkoholic, dia hanya minum pada event tertentu saja yang memang mengharuskan dirinya minum. Seperti ketika diundang ke acara tertentu. Itu pun hanya seteguk, dua teguk dan hanya membuatnya nge-fly ringan. Tidak pernah sampai hilang kendali.

Tapi semalam, untuk pertama kali selama dua tahun terakhir ini Pramana menyentuh alkohol dan membiarkan dirinya mabuk total. Penyebabnya masih sama dengan dua tahun lalu; Ratu.

Mata Prama terpejam membiarkan otaknya diperkosa' kilasan kejadian semalam.

...

...

"Kamu..." Prama menjeda. "Apa kabar, Rat?" Dia erusaha menekan perasaannya dengan melempar pertanyaan basa-basi. Namun, saat ini, hal sebenarnya yang sangat ingin dilakukan pria itu hanyalah memeluk Ratu dan menumpahkan seluruh rasa rindunya ke dalam pelukan erat atau bahkan sebuah ciuman mendalam.

Ratu tersenyum. "Baik-baik ajah," jawabnya. "Kamu Pram?" Sepasang mata kenari berpupil coklat terang milik Ratu meniti wajah Prama yang tidak berkedip menatapnya. "Aku tahu kabar pengantin baru emang selalu baik. Kan, Pram?"

Pramana tertawa kecut. Lebih tepatnya menertawai dirinya yang mungkin terlihat begitu konyol saat ini. Jika Pertanyaan ini dilempar orang lain, ia mungkin akan santai menanggapi. Namun, beda lagi rasanya jika terlontar dari mulut wanita yang dicintai. Jelas-jelas Prama merasa terabaikan. Seolah-olah saat ini dirinya tidak begitu penting di mata wanita itu lagi.

Pandangan Prama terpaling menatap lurus ke jalanan. Angin malam menjilat wajah keduanya yang sedang berdiri di balkon lantai dua swalayan PRATU.

Mengabaikan topik yang dipilih Ratu, Prama mendesis pelan, "Aku nikah karena kamu." Ia kembali menatap Ratu. Wanita itu menolak bersitatap dengan satu palingan wajah ke sisi kanan. "Karena syarat bodoh kamu!" tegas lelaki itu lagi. "Statusku sudah jadi suami orang. Kamu puas, Rat?"

Ratu diam, pertanyaan Prama yang bernada pelan namun penuh aroma luka sama sekali tidak mengusik ketenangannya. Perempuan itu lebih memilih menjahit bibirnya dalam bungkam.

Prama bergeser, meniadakan spasi yang menjaraki keduanya, diraihnya tangan Ratu dalam genggaman dinginnya. "Semua yang kamu mau sudah aku penuhi. Sekarang, bisakah kamu biarin aku terus ada di sisi kamu tanpa syarat lagi?" Prama membawa tangan Ratu ke dadanya. Sengaja membuat wanita itu merasakan debaran jantungnya. "Kamu bisa rasain ini, Pris?" tanyanya. "Degup ini... masih milik kamu, sayang. Masih milik kamu!"

Ratu tersenyum geli menangkap kesalahan Prama dalam menyebutkan namanya. Pelan-pelan, ia melepas genggaman tangan pria itu dan kembali membangun jarak dengan mundur beberapa langkah.

"Pramana, kamu salah menafsir maksud aku." Ratu menjilati bibir bawahnya sebelum berujar lagi, "Kamu tahu? Aku minta kamu nikah, itu bukan syarat untuk kamu bisa dekat lagi denganku." Perempuan itu tertawa dan menggeleng. "Aku mau kamu merubah statusmu, supaya kamu berhenti mengejar aku! Supaya ada sosok lain yang menyusup ke hati kamu dan menjadi pusat perhatianmu!" Suara Ratu yang tadinya sempat meninggi, turun dua oktaf dan mulai melembut. "Jadi, tolong pahami Pram. Dan aku mau kita lupain semuanya, yah? Kamu sudah punya orang yang kamu cin--"

Prama menyalib. "Dwi Ratu Inggari kamu bodoh!" serang pria itu, berang. "Kamu pikir setelah aku berkeluarga, aku bisa lupain kamu gitu ajah? Enggak Rat, Enggak!" Laki-laki itu mencengkram besi pembatas hingga buku-buku jarinya memutih.

"Delapan tahun kita sama-sama, bahkan sampai kamu nikah dan punya anak dengan laki-laki lain pun aku tetap nunggu kamu dengan kadar perasaan yang sama bahkan mungkin semakin kuat setiap detiknya. Bahkan setelah kamu sakiti, aku tetap maafin kamu! terima kamu apa adanya! Terima status kamu! Lalu sekarang, apa kamu nggak percaya lagi sama aku?"

"Ini bukan soal kepercayaan!" bentak Ratu. "Saling menerima kekurangan ajah gak cukup, Pramana!" Ratu meremas rambut di sekitar ubun-ubunnya. "Aku tahu, kamu nerima semuanya, nerima statusku yang janda, nerima keadaan fisik aku yang cacat, tapi... apa keluarga kamu bisa?" tanyanya penuh luka.

"Papa kamu, adik kamu, mereka akan sulit nerima keadaan aku! Kamu pikir ajah Pramana, mana ada orang tua yang bisa nerima perempuan janda, berkaki pincang, untuk menjadi mantu mereka kalau masih ada deretan perempuan sempurna lain yang bisa mendampingi anaknya?"

Prama Benci jika Ratu mulai membawa-bawa masalah ini ke dalam perdebatan mereka. Laki-laki itu meruncingkan tatapannya pada Ratu. "Iyah. Bagaimana bisa mereka nerima kamu kalau ketemu dengan mereja saja KAMU GAK PERNAH MAU!" Suara laki-laki itu naik mencakar-cakar udara.

Ratu diam dengan tangan yang masih menutup wajahnya.

"Kamu sendiri yang berkesimpulan sepihak tanpa lebih dulu mencari pembenaran atas pikiran burukmu! Kamu merasa ditolak bahkan sebelum kamu mencoba. Dan kamu nge-judge orang tua juga saudaraku padahal belum pernah ketemu mereka! Kamu kabur dari aku tanpa nyelesain dulu urusan kita dan seenaknya saja ngasih syarat kayak gitu, kamu pikir setelah aku penuhin syarat itu, aku bakalan ngelupain kamu gitu ajah? Nggak Rat! Nggak semudah itu!"

Ah, Ratu mengusap wajahnya. Pramana jelas masih sama seperti Pramana yang dicintainya beberapa tahun lalu. Pramana yang naif dan keras kepala! Yang datang ke pernikahannya dengan sebuah janji bahwa akan menunggunya sampai kapan pun. Yang menyambut status jandanya dengan teriakan keras, pelukan erat, serta ciuman dalam. Yang terus Ratu tolak lamarannya tapi tidak pernah bosan untuk meminta lagi dan lagi. Semuanya memang masih sama, belum berubah.

Ratu mendekat, meletakkan tangan di pundak pria itu lalu mengusapnya perlahan. "Bunuh perasaanmu ke aku dan belajar cintai apa yang kamu miliki sekarang, Pram," bisiknya wanita itu.

"Selama kamu masih hidup, aku gak akan bisa mencintai orang lain!" bantah Prama.

"Bisa Pramana, kamu hanya perlu menghapus perlahan-lahan dan--"

Prama menegaskan sekali lagi, "Aku nggak bisa!"

"Pramanaaaa," suara Ratu memelas.

Pramana memberi tatapan tegas tak terbantahkan. "Jangan paksa aku."

Udara mengisi paru-paru Ratu dalam satu tarikan nafas. Ia menerima ajakan mata Prama untuk beradu. "Kalau gitu," ucap Ratu pelan. wanita itu menempatkan wajahnya tepat di samping wajah Pramana. "Jangan datang ke sini selama kamu belum bisa lupain aku! Dan, sebelum muncul di hadapanku lagi, pastikan perasaanmu ke aku hilang sampe ke akar-akarnya. Ngerti kamu Pramana?"

Ratu meninggalkan Prama yang berteriak memukul-mukul besi pembatas.

...

...

Prama meremas rambutnya keras. Setiap kali ia mencoba menghapus Ratu dari kepalanya, maka rasa sakit atas penolakan wanita yang lebih tua empat tahun darinya itu semakin menikam jantung.

Semuanya masih sama seperti dua tahun lalu. Tidak ada yang berubah bahkan setelah ia menerima syarat Ratu yang memintanya berkeluarga lebih dulu sebelum bisa bertemu kembali dengan wanita itu dan rela menunggu wanita itu yang hilang tanpa  kabar.

Getaran ponsel di saku celananya membuat pria itu terlonjak. Mengabaikan sejenak pikirannya. Prama merogoh saku celana, mengeluarkan benda pipih tersebut.  Begitu tombol hijau tergeser, Pramana disambut suara cerewet yang ia kenali sebagai Bela--resepsionis hotel PRATU.

"Maaf pak ganggu istirahatnya. Begini,  ada tamu yang marah-marah, katanya anaknya sakit, gak bisa pake AC jadi minta disediain kipas angin manual saja."

Alis Prama terangkat. "Loh, Bel? masa harus ke saya? Store Keeper-nya ke mana?" Prama terduduk sambil memegang pelipis yang masih berkedut. Jemarinya bergerak membuka satu persatu kancing kemeja.

"Masalahnya Bu Ingka bilang, kipas angin gak pernah masuk dalam list pembelian bulanan Hotel, apalagi dalam penyetokan elekronik tahunan, Pak. Jadi, kita gak punya cadangan kipas angin manual, hanya ada di bagian pantry. Itu pun sudah rusak beberapa."

"Ya emang, kalau sudah ada AC kenapa harus menyetok kipas angin? Itu hanya akan menambah pengeluaran hotel, Bel. Lagian kalau anaknya sakit yaa tinggal matiin AC kan? Bukannya kipas angin lebih nggak sehat yah?"

"...."

Pramana menggeleng. Efek mabuk membuat hobi mengomelnya meningkat tiba-tiba.

"Uhm ya udah Bel. Tolong kamu hubungi Maintance Supervisor dan lapor soal kerusakan. Juga bilang ke Mbak Ingka, atur ajah gimana enaknya, yah?"

"Oke Pak."

"Oh ya Bel, saya minta tolong bilang ke Pak Krisan, presentase Volume Operasional penjualannya diundur besok. Saya lagi kurang sehat soalnya. Tolong, yah? Bel?"

Telpon ditutup setelah Bela mengiyakan.

Prama melirik jam digital di atas nakas. Jarum pendek itu menunjuk angka 09.35, biasanya jam segini dia sudah setengah perjalanan menuju hotel setelah mengantarkan Prisa.

Prisa...

Ah Prisa!

"Shit!" umpat Prama. Ia bangkit tiba-tiba ketika mengingat istrinya. Mengabaikan kantung kemih yang meminta pelepasan segera dan juga wajahnya yang terasa lengket, lelaki itu berlari jumpalitan menuju pintu.

"Priiiis." Prama meneriaki Prisa dari arah tangga, pandangannya menyapu seisi ruang keluarga. Langkah pria itu terseret ke ruang makan, ketika matanya menangkap Prisa yang sedang berdiri di pantry seberang meja makan, Pramana bergegas menghampiri istrinya.

Tidak peduli dengan Asisten Rumah Tangga yang kemungkinan akan muncul tiba-tiba, atau mungkin juga ayahnya yang bisa memergoki keduanya, Pramana memeluk Prisa dari belakang. Kedua tangan pria itu mengurung tubuh Prisa. menguncinya dalam satu pelukan erat.

"Maaf sayang, maaf aku kasar semalam, aku minta maaf, Pris... Please."

Ciuman-ciuman singkat Prama hujani di sepanjang bahu dan pundak Prisa. Kepalanya mendekat dari samping wajah Prisa dan dahinya menempel di pelipis wanita itu. Lima menit awal, Prama hanya membisikkan puluhan kata maaf. Wajah pria itu terbenam di daerah sekitar pipi belakang dan kuping istrinya.

"Aku nyakitin kamu sayang?" tanyanya seraya membelai pipi Prisa dengan punggung tangan. Tidak puas hanya menatap Prisa dalam visual menyamping, laki-laki itu memegang pundak istrinya dan memaksanya berbalik.

Prisa sempurna menghadap Prama tanpa perlawanan. Laki-laki itu lantas mengangkat dagu Prisa dan meniti wajah istrinya. Oh, mendadak kepala Prama seperti digilas roda truk raksasa ketika mendapati sepasang mata Prisa yang membengkak begitu parahnya. Hatinya mencelos. Didekapnya Prisa dalam sekali hentak.

"Maafin aku Pris, aku salah, aku kasar, kamu boleh lakukan apa pun ke aku, tampar aku, maki aku semaumu, please lakuin sesuatu Pris."

Prama melepas pelukan hanya untuk memandang Prisa, disentuhnya kelopak mata istrinya dengan ibu jari. Ketika wajahnya mendekat dan akan menciumi mata itu, Prisa sontak mencegatnya. Perempuan itu menggenggam kedua tangan prama dan memindahkan dari wajahnya. Dia menjauh.

"Selama aku kecil," Prisa memunggungi Prama dan berjalan pelan menjauh. "Aku udah biasa ngeliat Mamaku ditampar, dicekik, ditendang oleh Papaku kalau laki-laki itu mabuk." Dia berbalik lagi berhadapan dengan Prama. "Dan semalam aku nyaris diperlakukan sama seperti Mamaku."

Bahu Prama turun seketika. Seluruh persendiannya melemah. Rasa bersalah memukul ulu hati pria itu ketika mendengar suara Prisa. Setengah wajah Prama tertutup telapak tangannya dengan mata yang terpejam. Dia menyumpahi dirinya habis-habisan yang bisa lepas kendali dan berbuat kasar ke Prisa.

Padahal, seumur hidupnya, berbicara keras pada perempuan, membentak ataupun berteriak saja tidak pernah dia lakukan bagaimana bisa tadi malam dia melakukannya? Terlebih-lebih pada istrinya sendiri.

"Maaf," desis Prama lemah. Dia tertunduk. tidak berani menatap Prisa.

"Mamaku memang bodoh karena memilih bertahan dengan laki-laki yang bahkan hampir setiap hari memaki padanya. Menyiapkan makanan untuk orang yang semalam membuat lukisan abstrak di wajahnya," Prisa melangkah kecil melewati Prama menuju meja pantry. Diraihnya segelas teh madu yang tadi dibuatnya.

"Dan aku juga sama seperti Mamaku, menjadi bodoh dengan menyiapkan sarapan untuk orang yang semalam nyakitin aku."

Prisa meraih tangan Prama yang masih membatu di tempatnya. Pria itu lantas membuka mata ketika merasakan tangan dingin Prisa menyelimuti punggung tangan. "Buat kamu," kata wanita itu seraya meletakkan cangkir di atas telapak tangan Prama. "Kamu sarapan dulu, sudah aku siapin roti bakar di meja."

"Priiiis," Prama memohon dalam rintihannya, ia menghadang mata Prisa dalam tatapan memelas penuh rasa bersalah. "Sayang, aku benar-benar lepas kendali karena alkohol, aku gak ada niat buat kasarin kamu, aku gak sadar, dan...."

"Aku ngerti," potong Prisa. "Mamaku bilang, kita harus siap menghadapi apa pun keadaan orang yang kita cintai, dalam hal ini, menerima semua perubahan tindakannya baik dalam mode normalnya sampai mode gak beradabnya." Tangan Prisa terlipat di depan dada. "Dan aku rasa aku sepakat dengan Mama," ucapnya. "Karena aku sudah membuat pemakluman untuk tindakan gak berotak kamu tadi malam, itu semua karena aku cinta. Karena aku sayang sama kamu," ujar Prisa paradoks.

Oke Pramana tahu saat ini dirinya sedang dimandikan kalimat-kalimat satire. Dia hafal, sangat-sangat hafal di luar kepala karakter Erika Prisa. Perempuan itu bukan jenis perempuan yang menye-menye, bersimbah air mata dan luluh dalam sekejap hanya karena diberi sebuah pelukan tanpa lebih dulu melawan balik. Tentu saja Prisa akan kembali menyerang dengan caranya yang halus namun memukul.

"Kamu sarapan dulu setelah itu mandi. Yah, sayang?" Prisa menyentuh pipi Prama. "Kamu bau soalnya." Berhenti sebentar hanya untuk mendekatkan wajahnya. "Bau seperti laki-laki gak beradab lainnya, jadi kamu perlu mandi untuk membersihkan diri, atau mungkin juga... membersihkan otak kamu. Yah?"

Setelah dibekali lontaran sindiran frontal, lagi-lagi Pramana ditinggal Prisa. Lelaki itu membatu di tempatnya sambil memandang punggung istrinya yang menghilang di balik pintu penghubung.


***

"Kenapa muka kamu?"

Meletakkan ransel, Eldava menggeser kursi di hadapan Prisa, membanting sebungkus Marlboro di meja bulat yang membatasi keduanya, Spontan Prisa meraih bungkusan rokok tersebut dan mengeluarkannya sebatang. Menit selanjutnya asap tipis keluar dari jepitan bibir wanita itu.

"Berantem sama laki," jawab Prisa sekenanya.

El berdecak. "Kamu ajak aku ketemuan di tengah kerjaan yang lagi hectic gini cuman mau dengerin kamu curhat?" Laki-laki itu menggeleng seraya melirik jam di tangannya.

Satu jam yang lalu, Prisa menghubunginya puluhan kali hanya untuk memintanya ketemuan di warung masakan Padang di depan kantor. Padahal saat itu dirinya sedang sibuk mengurus KPI dari beberapa selesman TMC di kantornya.

Cengiran konyol Prisa membuat El berdiri setengah membungkuk ke meja dan menoyor kepala Prisa keras. Wanita itu mengusap kepalanya.

"Sakiiiit," keluh Prisa, "kepala aku lama-lama bocor. Tadi malam dianiaya suami, sekarang ditoyor teman sendiri."
Senyuman di wajah Eldava hilang. Lelaki itu meniti wajah Prisa. "Apa? dianiaya?" tanyanya. "Kamu dipukul suami kamu?"


Prisa tertawa pendek. "Enggak!" jawabnya. "Dia mabuk dan, yah... jambak rambut aku," jelas wanita itu santai. Dia membuang abu rokok ke dalam piring bekas makan. "Nggak sadar katanya."

Kepala El tergeleng. "Kita mabok ganja ajah masih bisa bedain mana selangkangan cabe-cabean mana selangkangan Ustadzah, masa mabok alkohol doang pake acara gak sadar."

Prisa terbahak-bahak mendengar cibiran El, wanita itu membentuk bola dengan tisu bekas dan melempari wajah Eldava.

"Trus? Kamu apain dia?" El menyelidik. "Papa kamu yang berkontribusi menciptakan kamu ke dunia ini saja kalau mabok captikus dan banting-banting barang di rumah, kamu lempar pakai gelas, masa sama sama suami yang seupil itu kamu takut?"

[Captikus: sejenis minuman keras dari hasil fermentasi buah aren dibeberapa daerah yang di campur alkohol. Dan khusus daerah Manado, captikus ini terbuat dari nira.]

"Aku tampar sih, ama siramin teh ke wajahnya."

"Cuma itu?" El tertawa mengejek. "Erika Prisa yang pernah ikut taekwondo cuman bisa nyiram teh ke wajah orang yang kasarin dia?" Laki-laki itu mencemooh. "Sekalian ajah kamu jambak-jambak manja dan nyakar kayak perempuan menye-menye lain lalu lari-lari di tengah ujan sambil nangis."

Tarikan kuat Prisa membuat batangan rokoknya terbakar lebih panjang, wanita itu menghembus perlahan asap dari hidungnya. "Eldava, dia suami aku. Masa yah aku harus pake teknik kyukpa untuk ngebelah kepalanya."

[Kyukpa : salah satu teknik dalam Taekwondo untuk pemecah benda keras dengan gerakan seperti pukulan, sabetan, dll.]

El berdecih. "Kawison Keut Chireugi sekalian!" lanjut El yang membuat Prisa terbahak-bahak sambil membayangkan.

[Kawison Keut Chireugi ini juga salah satu gerakan dalam taekwondo yaitu gaya tusukan dengan 2 jari ke arah mata lawan]

El melirik jam di pergelangan. "Aku mesti balik kerja nih." Dia berdiri.  merapikan kemeja abu-abu berlogo perusahannya.

Tangan Prisa terbentang ke udara. "Pinjam kunci rumah kamu,"

"Ngapain?"

"Mau tidur. Nggak mau pulang ke rumah, Pramana lagi nggak kerja. Aku malas liat wajahnya."

"Ke apartemen kamu ajah sana!"

"Yeee udah dijual satu bulan lalu!"

Napas panjang El terhembus, ia mengobrak-abrik ranselnya dan menyerahkan kunci dengan gantungan biji pala itu ke Prisa. Ketika hendak beranjak, Prisa memanggilnya lagi hanya untuk memintanya membayar tahihan. El hanya bisa memaki tanpa suara, namun akhirnya lelaki bertindik dua di telinganya itu menurut.

***

Sekitar 50 meter dari swalayan PRATU, Prama memarkir mobil. Lelaki itu duduk tenang di balik kemudi. Pandangannya tidak beralih sedikit pun dari arah pintu swalayan.

Setelah mengambil mobilnya yang dititip Sammy di kelab satu jam lalu, Prama langsung menuju ke sini. Dia tidak melakukan apa pun juga tidak berencana untuk menyapa, hanya diam mengamati setiap pergerakan Ratu di balik meja kasir itu.

Diamatinya wanita berambut sebahu itu. Prama rindu. Pertemuan mereka semalam tak lantas menghapus rindunya. Dia butuh menyentuh Ratu, memeluk wanitanya untuk menransferkan rasa rindu yang menggumpal. Namun, Pramana memilih untuk mengenyahkan sesaat keinginan itu. Bagaimanapun, bertemu Ratu saat ini hanya akan merunyamkan keadaan.

Setelah setengah jam memandang Ratu, pada akhirnya Pramana menghidupkan mobiln dan berlalu.

Selepas kepergian Prama. Ratu menghembuskan napasnya yang terasa berat. Dia bukannya tidak sadar sedang diamati Prama dari jauh, wanita itu bisa melihat mobil Prama yang terparkir lama di sayap jalan. Hanya saja, dia menolak untuk berbagi tatapan apalagi menyapa pria itu. Prmana harus diabaikan agar lelaki itu bisa belajar melepasnya perlahan-lahan.

***

Tiga jam kembali ke rumah tanpa melihat Prisa yang pergi sejak siang tadi, Prama gundah gulana. Pria itu duduk resah di depan Tv dengan konsentrasi berhamburan. Diliriknya Jam digital yang sudah menunjuk pukul 23.13.

Selama menikah, mereka memang tidak pernah punya aturan khusus soal jam malam. Tidak ada larangan yang terlontar antara keduanya jika salah satu di antara mereka pulang larut asalkan sudah memberi kabar lebih dulu.

Pramana bukan tipe laki-laki pengekang, dia tidak pernah memaku kebebasan Prisa, ataupun mengikat Prisa dengan aturan kolot. Prama memercaya istrinya yang memang tidak pernah berbuat hal aneh selama mereka menikah.

Namun, malam ini, untuk pertama kali Prama uring-uringan dengan sikap Prisa. Seharian full wanita itu tidak mengabarinya sama sekali. Chat yang Prama kirim beberapa jam lalu juga tidak di-read.

Pramana beranjak ke kamar, mengambil ponselnya untuk menghubungi Prisa. Pada panggilan yang keenam, akhirnya Prisa mengangkat telponnya.

"Di mana? Kenapa belum pulang? Ini udah jam--"

"Eh Bro, Sorry... ini gue, El."

"El?" Dahi Prama berkerut. Berpikir keras mengingat pemilik suara bass yang menyebut dirinya El ini.

"Iya, temennya Prisa yang waktu itu." Lelaki itu berkata ringan. "Sorry gue yang angkat. Istri lo lagi tidur jadi gak tahu ada telepon masuk."

Mata Prama terpejam. "Tidur?" Tangan Prama mencengkram ponsel. Rahangnya mengetat.

"Iya ni, udah gue bangununin tapi gak mau bangun. Gue usir juga gak mau pulang." El terkekeh di sana. "Lo ke sini ajah Bro. Ke kostan gue waktu itu, jemput dia--"

Prama memutus panggilan ponselnya sepihak. Dia menyambar kunci mobil di atas nakas dan buru-buru menuju garasi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro