Lima
'Maaf' adalah kata pertama yang meluncur dari mulut Prama saat ia pulang ke rumah dan mendapati Prisa sedang melipat baju-bajunya ke dalam koper biru milik wanita itu. Prisa tidak membalas sepatah kata pun, tidak juga sudi berbagi tatapan dengan Prama.
Setelah hampir lima jam menghabiskan waktunya menemani Pak Rayan, termasuk juga membantu menghubungi beberapa teman yang bekerja di agen travel untuk mengatur perjalanan liburan Pak Rayan dan istrinya, Prama bersegera kembali ke rumah. Sedari tadi, lelaki itu memang kehilangan konsentasinya saat mengobrol dengan Pak Rayan. Pikirannya tersedot pada pertengkarannya dengan Prisa beberapa jam lalu.
Bergabung dengan Prisa di lantai, Pramana menggeserkan posisi tepat di samping istrinya. Tangan lelaki itu melingkar ke tubuh prisa. "Maafin aku," lirihnya. Dagu Prama mendarat di pundak Prisa. "Kamu marah?"
"Iya," jawab Prisa, pendek.
Prama tersentak, jarang sekali ada perempuan yang seperti ini--mengakui tanpa basa-basi. Dia pikir Prisa akan seperti perempuan pada umumnya, yang selalu bilang 'tidak apa' disaat memang ada apa-apa. 'Tidak marah' padahal sebenarnya sedang murka.
Lima hari menikah, Prama mulai hafal karakter Prisa yang blak-blakan ini.
"Maaf yah, sayang?"
Prisa terusik kata maaf yang beruntun di lima menit berjalan ini, wanita itu tidak berani memandang Prama, hanya memberikan peringatan tegas dengan berujar, "Nggak sekarang." Prisa melepaskan tancapan jari-jari Prama di lengannya. "Lepasin, jangan dekat-dekat, aku gak suka!" tegas wanita itu.
Bukan Prama namanya jika ia menuruti peringatan Prisa. Pria itu malah menarik kepala Prisa dan mencium wanita itu semaunya.
Tidak ada penolakan.
Tidak ada sambutan.
Tidak ada balasan.
Menarik dirinya, Prama mengamati wajah Prisa. Wanita itu berekspresi datar.
"Udah?" pertanyaan Prisa terdesis pelan namun meneriaki ketegasan yang kental. "Kamu pikir menyampaikan permintaan maaf lewat ciuman itu ide bagus?" Dia mengintimidasi Pramana dengan tatapan dingin. "Kamu bodoh!" hujatnya.
Setidaknya Prama lega karena emosi Prisa sudah bisa terbaca lewat intonasi suara istrinya yang meninggi. Ia memang lebih suka dimaki-maki daripada diladeni dengan ekspresi datar, apalagi dianggap tak kasatmata.
Prama berucap dengan tenang, "Iya, aku bodoh." Laki-laki itu menggenggam tangan Prisa. "Aku bodoh karena buat istriku nunggu, bodoh karena tidak bisa menemaninya, dan bodoh karena berpikir kalau dia akan mengerti dengan kesibukan aku, ternyata--"
"Ternyata kamu salah, dan kamu menyesal trus mau minta maaf? Dan berharap aku akan luluh, semudah itu?" Prisa menyalib, sarkastis.
Tersenyum, Prama berdiri dan meraih sesuatu di dalam saku blazer yang tadi ia kenakan. Kembali dia memosisikan diri di samping Prisa. "Ternyata... " Pria itu melanjutkn, "aku benar, dengan membuatmu menunggu dan merasa terpinggirkan dengan kesibukanku di sini, karena setelah ini, kita akan bersenang-senang pada honeymoon trip kedua kita, tanpa di ganggu oleh kerjaan lagi." Rangan Prama terangkat di depan wajah Prisa, menunjukan dua tiket pesawat. "Raja Ampat menanti," seru lelaki itu, excited.
Prama menunggu respons Prisa dengan mata yang berbinar, namun beberapa menit berlalu wajah Prisa masih datar. "Kenapa?" tanyanya.
Prisa kembali melipat baju-bajunya. "Aku gak ikut," jelas wanita itu dengan suara tenang. "Kantor itu bukan punya nenek moyangku. Aku gak bisa panjangin masa cuti seenak jidat." Prisa berdiri, menyusun kopernya bersebelahan dengan koper Prama yang juga sudah ia rapikan.
Napas Prama berhembus panjang. Ia melirik dua tiket di tangannya dalam pahatan mimik kecewa. "Mungkin, aku bisa minta tolong Papa untuk--"
"Nggak!" Lagi-lagi Prisa memotong. "Aku gak suka di-anak emaskan," paparnya sambil membuka gulungan rambut pendeknya dan meraih handuk di atas ranjang. "Aku gak mau manfaatkan posisi mertuaku sebagai alasan agar aku mempunyai hak malas-malasan lebih lama dibanding pegawai lain. Nepotisme itu namanya." Sampai di ambang pintu kamar mandi, wanita itu berbalik menetapkan pandangan pada Prama yang sudah membatu di lantai. "Tukar tiketnya dengan perjalanan ke Jakarta. Nanti aku tambahin biaya gantinya."
Pintu kamar mandi tertutup keras. Prama berubah gusar. Lelaki itu bergegas mengejar Prisa namun langkahnya terhenti di depan kamar mandi karena pintu itu dikunci istrinya dari dalam.
"Lalu...," Prama melirih, "apa kita cuma habisin waktu honeymoon kita seperti ini, Pris?"
Ini jelas pertanyaan terbodoh Prama. Pria itu menggigit lidah, merutuki kebodohannya. Dahinya tersandar di pintu. Jelas ini semua kesalahannya sendiri. Membawa Prisa ke sini dan membiarkan istrinya terkurung di kamar berhari-hari, menunggunya yang sudah sibuk dari pagi dan baru kembali tengah malam. Mereka bahkan hanya berinteraksi seputar meja makan dan ranjang. Diam-diam, rasa kasihan menyergap hati Prama.
"Maaf, kamu jadi gak bisa nikmatin bulan madu ini gara-gara aku."
Permintaan maaf Prama hanya terjawab oleh suara air dan isakan Prisa yang samar-samar terdengar.
"Kita, re-honeymoon Priss, please! Aku janji akan temenin kamu ke manapun Pris, mau yah? Sekali ini ajah gunain kekuasaan Papa di kantor untuk dapetin ijin libur tambahan."
Tidak ada jawaban.
"Priss..." Suara Prama memohon, "buka pintunya, aku perlu lihat wajah kamu."
Tidak lama setelah itu, pintu terbuka dan Prisa berdiri dengan senyum sedih. Wajah wanita itu sembab. Pramana memeluk Prisa dan menuntunnya ke tempat tidur. Mereka terbaring berhadapan dalam diam dan membiarkan mata mereka saling terikat.
"Kita second honeymoon yah, sayang?" Prama membelai rambut Prisa. Puncak-puncak jarinya menghapus jejak air mata yang bertelaga di pelupuk mata wanita itu.
"Aku gak bisa," tolak Prisa pelan, "waktu aku emang cuma bisa minggu ini, dan kalaupun aku sakit hati karena honeymoon kita gak berjalan sesuai dengan apa yang ada di kepalaku, setidaknya sakit hatiku itu terbayar dengan keberhasilan kamu. Selamat yah, Pram. Waktu yang seharusnya dihabiskan denganku, kamu gunakan untuk hal lain yang jauh lebih bermanfaat, dan kamu berhasil. Aku senang. Semoga pembangunan hotelmu berjalan lancar."
Prisa tersenyum, menepuk pipi Prama dan bangun menuju kamar mandi, melanjutkan mandinya yang sempat tertunda sementara Prama mengusap wajahnya berkali-kali. Dia tahu itu sebuah ungkapan satire dari istrinya. Ada luka yang ia tangkap dari semua ucapan Prisa.
Tidak hanya Prisa, Prama juga ikut kecewa. Kecewa dengan dirinya sendiri... ia mengusap wajahnya hingga memerah. Pikiran lelaki itu terlempar jauh pada sebuah sosok yang masih kuat bertahta di hatinya.
Andai saja sosok itu yang berada di sampingnya saat ini, mungkin semua tidak akan serumit ini. Rasa-rasanya, tidak ada yang bisa bahkan mampu menandingi sosok itu.
Pengertiannya, cara dia memahami kesibukan Prama, dewasanya dia menghadapi sikap Prama yang cuek. Hampir tidak ada protes yang keluar dari mulutnya ketika Prama tidak menghubungi, ataupun tidak mencarinya. Yang dia lakukan hanyalah mengerti dan mengerti. Semua sifat dan pembawaannya itu membuat Prama nyaman dan selalu menjadikannya tempat pulang dan istirahat.
Namun, saat ini yang dihadapi Prama adalah Prisa. Ah, rasanya beda sekali, memang sudah sepantasnya jika sosok itu tidak tergantikan oleh siapa pun, tidak juga dengan Erika Prisa--istrinya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro