Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Enam Belas

Senja hari itu memahat langit yang menguning dengan ledakan cipratan keemasan. Sundress yang dipakai Prisa ditampar angin beraroma laut. Perempuan itu memeluk tubuh, seraya memejam damai menikmati suara debur ombak yang bernyanyi menyemangati hatinya.


Prisa menikmati sorenya kali ini di tepi pantai, dengan angin yang menjilat habis kulitnya. Benar-benar menikmati, tidak ada ada kepura-puraan yang sengaja dia ciptakan, tidak ada gestur palsu, tidak ada senyum paksa. Semuanya dibiarkan menguap senatural mungkin. Pahatan senyumnya adalah manivestasi kejujuran dirinya saat ini. Tidak dibuat-buat apalagi sengaja dihadirkan untuk mendukung akting.

Rasanya sudah lama sekali Prisa membiarkan sisi melankolis menguasai dirinya, menyulap dia menjadi perempuan terluka, menggenaskan, yang hanya bisa duduk di dalam kamar gelap dan sibuk menghasihani diri. Cengeng! Hiperbolis! Dia bahkan lupa mencemilkan sepotong kebahagiaan untuk dirinya sendiri dan malah memforsir hati dan otak untuk merayakan luka. Poor Prisa !
Tidak terhitung berapa banyak duri yang mengaliri kerongkongan, Prisa mengenyangkan diri dengan derita. Terlalu mendrama... dan menghamba.

Dua kali gelengan kepala tergerak ritmis dengan tawa miris Prisa saat wanita itu mengingat apa yang dilakukannya beberapa bulan belakangan ini. Organ-organ dalamnya sontak menutup telinga mendengar makian frontal yang  terkoar lantang di dalam sana. Bodoh sungguh bodoh.

Erika Prisa tidak pernah selemah itu. Tidak pernah.
Erika Prisa tidak pernah menangisi laki-laki yang sama lebih dari dua kali, tidak pernah.
Erika Prisa tidak pernah membiarkan sisi protagonisnya menang banyak dari sisi antagonisnya. Tidak pernah.
Erika Prisa tidak pernah sebelumnya membiarkan keadaan menumpulkan kelogisannya.
Jika ada yang harus dia turuti, ia selalu memilih mendengarkan kata hati yang paling jahat.

Tetapi sialnya, semua prinsipnya luntur menghadapi laki-laki sialan  yang bahkan cuma bisa memberinya secuil kenikmatan, dan menambahkan digit digit angka dalam tabungannya.

Pramana terlalu beruntung. Sudah didedikasikan banyak air mata. Sudah diberikan kesempatan untuk melihat Prisa dalam mode rapuh. Dia bahkan tidak pernah mendapatkan sebuah tendangan keras di selangkangan. Oh, beruntungnya dia.

Jadi istri ternyata menyeramkan juga, pikir Prisa. Segala macam pertimbangan akan memagari tindakan-tindakan frontal yang seharusnya dia dedikasikan untuk Prama.

Prisa merasa dirinya saat ini bak titisan ibu peri. Berkelakuan manis nan menggemaskan di depan Prama. Dia menduga, akan masuk surga untuk semua kebaikannya ini.

Maka senja itu Prisa menjadi penonton maha karya Tuhan sembari menertawakan dirinya. Lucu sekali bukan?

"Sejak kapan suara ombak jadi seperti lawakan?"

Satu kecupan singkat di pundaknya mengundang lirikan Prisa. Tersenyum tulus, wanita itu memberi elusan sayang di pipi Pramana. "Sejak kamu nggak lucu lagi untuk ditertawakan," jawabnya. Bibir prisa parkir supersekian detik di atas bibir Prama sebelum wanita itu menjatuhkan bokong di lantai terbaik buatan Tuhan, pasir putih pantai.

Pramana berkedip lambat. Belasan detik ia mematung, bukan karna ciuman itu, melainkan sibuk mengunyah kata yang dilempar Prisa di otak. Senyum getir terbit kemudian. Mengabaikan sejenak pikiran yang halai balai, ia bergabung dengan Prisa. Membiarkan pasir pantai bergelung dengan jari-jari kaki mereka.

Malam hampir bertamu, para pengunjung pantai satu per satu mulai bergerak menjauh dari bibir pantai. Namun Prisa dan Prama memilih untuk menikmati senja mereka, menunggu matahari terbenam.

"Kadang-kadang aku ngerasa waktu itu..., aneh. Yah, Pram?" Prisa  membuka suara. Pandangannya lurus menyimak alur ombak di bibir pantai yang mengempas ke pasir dengan keras meninggalkan busa-busa mungil yang memutih.

Pramana menoleh tidak mengerti. Memperhatikan Prisa dalam visual menyamping. Cahaya jingga yang menerpa wajah natural tanpa make-up wanita itu mengundang senyum kecil Prama.

"Kenapa aneh?" Tanya Prama. Pria itu merapikan rambut pendek Prisa yang tertiup angin.

Prisa tersenyum. "Waktu itu hal paling aneh, sekaligus sialan. Ada saat dimana dia berhenti lama, menetap di tempat dan minta banget dirotan supaya mau bergerak."

Tertawa, Pramana menyentil pelan  bibir Prisa yang mengerucut lucu.

Mengabaikan aksi suaminya, Prisa bertanya. "Iya nggak sih? Kamu ngerasain kan?" Prisa bertanya tanpa memandang Prama. Dia memeluk kaki dan meletakan dagunya di atas lutut sembari memperhatikan Kepiting-kepiting yang merangkak lambat meninggalkan jejak kecil di bibir pantai.

Prama mengangguk. Ada jeda yang hening menggulung mereka--jenis keheningan yang menciptakan nyaman di antara dirinya dan Prisa. Prama bersedia menukar apapun untuk mengulang lagi suasana ini. 

Prisa menambahkan, "Waktu akan lambat saat kita lagi sedih. Lagi kesepian, juga lagi..."

"Merindu," potong Prama. Wajah laki-laki itu terpaling ke kiri. Membuang pandangannya jauh ke depan.

Prisa tersenyum, menyepakati. "Exactly," lirihnya. "Kamu tentu tau bagian itu dengan jelas karna mungkin..." Prisa mengaliri kerongkongannya yang tercekat, "karna mungkin sering mengalaminya." Ada senyum kecut yang tercetak saat Prisa mengakhiri kalimatnya.

Tidak ada bantahan apapun dari Prama. Ia sedang dalam mode stabil, malas berkelit dan tidak mau termakan pancingan Prisa yang nantinya berujung pada pembahasan hal-hal yang melukai hati wanita itu. Sudah cukup, Pramana rasa episode menyakiti dan tersakiti seharusnya sudah mereka lewati beberapa minggu lalu dan tamat sampai di situ. Dia tidak membuat sekuel berepisode ribuan, lagi.

Tidak peduli seaneh apapun hubungan mereka sekarang, Pramana jelas ingin menikmatinya daripada harus menabuh genderang perang, yang pada akhirnya kembali merusakan hubungan yang sudah mulai membaik akhir-akhir ini. Demi Tuhan tidak enak rasanya tidur sendiri saat kau punya istri yang  bisa kau peluk sepanjang malam.

"Trus," Prisa melanjutkan. "Waktu juga bisa bergerat cepat saat kita lagi bahagia, juga... saat kita sedang menunggu untuk mengambil satu keputusan penting."

Pramana tidak bodoh untuk membaca maksud dari kalimat ini.  Betul memang kadang-kadang dia tidak peka, tapi Prama cukup perasa untuk menerjamahkan nada ancaman dalam kalimat wanita itu.
Aroma kata-kata Prisa  mengisyaratkan sesuatu. Benar  memang kalimatnya ambigu,  namun maksud yang tersirat tetap bisa terbaca. Memikirkannya saja membuat sesuatu terasa menyepak-nyepak perut Prama.

"Justru itu aku kesel, Prisa berseru gemas. Aksinya itu mendapat perhatian sepenuhnya Prama. "Udah tiga hari kita di sini, besok udah harus pulang. Hwaaa rasanya nggak pengen pulang, ingin ada di sini, main pantai setiap hari."

Tiga hari ini Prama dan Prisa memang menghabiskan waktu mereka di Lombok. Liburan kali ini  tittle-nya 'second honeymoon' yang sudah bergeser sedikit dari rencana awal di Malang. Prama tidak mau bulan madu kedua ini diinterupsi oleh renteran pekerjaan, terutama masalah sengketa lahan pembangunan cabang hotel Pratu di Malang yang masih diperdebatkan di pengadilan.

Prama merangkul Prisa. Membuat wanita itu meringkukan tubuh di dalam pelukannya. "Ya udah gak usah pulang kalau gitu."  Cetus Prama, ringan. Laki-laki itu kemudian memekik kesakitan karna Prisa menepuk pahanya keras.

"Ga usah pulang kepalamu!" Prisa, tertawa-tawa. "Kamu pikir itu kantormu? Ya, kamu sih enak, mau libur sesuka hati pun nggak ada yang protes. Hotel juga punya karyawan yang hebat dan sadar akan tanggung jawab sendiri jadi bisa ditinggal berhari-hari. Lah aku? Cuma kacung."

"Kalo gitu berhenti kerja, kita hidup di sini. Kasih aku satu atau dua anak yang lucu, supaya kalau kamu sibuk main pantai, mereka bisa temenin aku beresin perkakas, bantu aku buat perahu dan mengecek jaring-jaring ikan untuk memancing."

Prisa sempurna tertawa. Usil, perempuan itu merampas pasir lalu melempari ke perut Prama yang tertutup kaos tipis. Bibir laki-laki itu tercebik kesal, ia sontak menjambak rambut Prisa. Tidak keras namun cukup tegas untuk membawa wajah wanita itu ke depan wajahnya. Ada tawa yang terbit ketika keduanya saling usil mencipratkan pasir dengan ujung jari kaki masing-masing. Ada jemari yang saling tertaut dan disusul dahi yang bersandar. Nafas-nafas hangat bertukar, bibir yang berkompetisi melukis  senyuman.

"Balas semua sakit hatimu ke aku," lirih Prama. "Apapun caramu, aku terima. Tapi... aku harap, pergi dariku adalah cara yang tidak pernah terlitas di otak kamu." Ujung hidung keduanya menyatu. "Tetap di sampingku, Pris. Mari menjadi tua bersama dan belajar untuk saling menerima."

Air laut di bagian tertentu, tampak berkilau dalam siraman matahari yang sudah hampir tenggelam seluruhnya. Seluet keduanya tercetak indah di bentangan pasir.

Telapak Prisa menempel di kedua pipi Prama. Dia bertanya lirih, "Tapi kamu janji yah, akan jadi kakek tua yang nggak bawel, dan tetap asik seperti papa Robert. Kalo kamu jadi pasangan keren, aku mau ada di sisi kamu sampai kita tua."

"Aku hanya akan bawel kalau kamu jadi nenek nggak keren yang menolak pakai lingerie lengkap dengan stoking jala di usia kamu yang ke-60."

Prisa sebisa mungkin menahan tawanya. Dia menarik kepala menjauh hanya untuk menyoroti Prama dengan mata menyipit, kepalanya miring, menilai. "Meskipun paha aku sudah kayak kertas ulangan anak SD yang dapat nilai nol, dibejek-bejek trus dibuang ke pojok kelas? Keriput, kasar, Juga sedikit dingin dan terabaikan?"

Tawa Prama menyaingi suara ombak di senja yang tak lagi muda itu. Laki-laki itu menjawab dengan bahu naik turun akibat tawanya, "Nggak apa-apa. Gesekan kulit keriput sensasinya lebih oke. Konon, bisa menggali birahi kakek-kakek yang mati suri. Aku nggak sabar nunggu kulit kamu keriputan."

Erika Prisa terbahak-bahak membayangkan seperti apa Pramana 30-40 tahun ke depan. Walaupun samar, ia bisa melihat rekaman itu di pikirannya. Pramana yang duduk di kursi taman, bermain dengan anak dan cucu-cucunya, dengan seorang wanita tua yang duduk di samping dan tertawa bersama dengannya saat melihat salah satu dari cucu mereka yang bertubuh gempal berlari dengan napas tersengal dan terjatuh. Prisa mencocokan gestur dirinya dan wanita tua di dalam pikirannya dan ia tidak menemukan satu pun kecocokan. Ia berkesimpulan bahwa wanita itu... jelas bukan dirinya.

Tawa Prisa perlahan menyurut, bahkan pikirannya pun menolak untuk menyatukan dia dan Pramana di masa depan.

Prisa menoleh ketika merasakan tubuhnya disergap. "Omong-omong," Prama berbisik, "kita ke sini untuk bulan madu, tapi kok kita belum ngerasain madunya. Besok udah mau pulang, malam ini... apa udah boleh..." Suara Prama berhembus hangat bersama napas yang membelai kuping Prisa. Wanita itu tersenyum. Terlebih saat bibir kenyal Prama bermain-main di tengkuknya.

Prama mengulang, "Kita boleh..."

"Kan aku bilang masih datang bulan." Ujar Prisa setengah tertawa.
Napas kasar Prama terhembus boros dari hidung dan mulutnya bersamaan. Dia menggaruk kepalanya frustrasi. "Kamu total banget ngerjain aku, bisa-bisanya ajak honeymoon saat lagi datang bulan." Protes lelaki itu dengan suara tercekat.

Menepuk bahu Prama, Prisa berujar, "Sabar, yah, Mblo?  Tangannya masih sehat dan berfungsi kan?" Ledeknya.

Prama mengangkat tangan yang sengaja ia lemaskan hingga terayun-ayun lemas di depan wajah Prisa. "Mblo, tangan aku nih, kasihan, udah kayak cucur lembeknya, ga bisa digerakan apalagi digunain untuk menggenggam dan menggerakan maju mundur. Kalau pinjem tangan kamu ajah gimana, Mblo?"

Putaran mata Prisa mengakhiri aksi Prama. Laki-laki itu tergelak. Lalu menarik kerah baju Prisa dalam gerakan cepat menuangkan segenggam pasir ke dalamnya.

"Pramanaaa bodoooooh!" Teriak Prisa merasakan pasir-pasir halus menempel di kulit dada bahkan sebagiannya lagi masuk ke dalam
bra-nya. Belum sempat membalas,  Prama sudah berlari dan melambai usil padanya dari jauh. Walaupun kesal, namun Prisa akhirnya tertawa melihat aksi suaminya.

3. Bulan madu kedua. Check. ✔

***

Sore itu begitu taxi membawanya berhenti di depan gerbang, Prisa berlari terburu-buru memasuki rumah. Dengan langkah lebar, wanita itu menaiki dua anak tangga sekaligus. Ayunan kakinya membawa ia sampai ke kamar ayah mertuanya.

Selama di Lombok, Prisa dan Prama sepakat untuk tidak menghidupkan ponsel mereka dan menyimpannya di kopor masing-masing sampai mereka kembali ke Jakarta. Begitu sampai di bandara, Prisa langsung menghidupkan ponselnya dan mendapati puluhan pesan dan chat, sebagian dari teman kantornya, Eldava dan yang membuatnya terkejut adalah pesan dari Mbak Ratih--asisten rumah tangga--mengabari tentang Robert yang sakit dua hari ini. Tanpa menunggu lagi, Prisa langsung meminta Prama mengurus barang-bawaan mereka sementara gadis itu langsung mencari taksi.

"Pap," pangil Prisa. Wanita itu masuk tanpa permisi dan mendapatkan Robert sedang duduk bersandar di tempat tidur. Wajahnya memucat, tapi senyum tidak hilang dari wajah tuanya. Pria itu bahkan sedang menonton Tv dengan tawa yang berderai.

"Ehhh, Rika, sudah pulang kau? Bagaimana liburan kalian? Pramana oke nggak di sana? Kudoakan semoga kau telat haid yah."

Sedikit banyak, rasa khawatir Prisa menguap. Padahal sepanjang perjalanannya tadi, Prisa hampir menangis di dalam taxi karna berpikir bahwa dia dan Pramana keterlaluan. Senang-senang di Lombok dan membiarkan ayah mertuanya terbaring sakit sendirian. Iyah, bagi Prisa yang seumur hidup tidak pernah mempunyai hubungan baik dengan ayah kandungnya sendiri, Robert  adalah sosok ayah yang sempurna di matanya. Kharismatik, bijaksana juga lucu dan penyayang. Tak heran jika dirinya lebih perhatian pada ayah mertuanya itu daripada ayah kandungnya yang sampai saat ini masih mengirimi rentetan sms makian jika meminta uang kepadanya.

Mendekat, Prisa mengukur suhu tubuh Robert dengan punggung tangan yang menempel di dahi pria itu. "Badannya gimana Pap? Udah enakan?" Tangan Prisa berpindah di leher pria itu. "Mbak Ratih ngasih makan apa tadi? Papa mau sesuatu? aku bikinin yah?"

Robert menyetok oksigen banyak-banyak ke parunya. Ia mendelik dengan tampang setengah malas. "Kau ini kalau sudah pulang, perutku makin buncit. Tiap hari kau recokin makanan, satu jam sekali kau menelfonku menyuruh minum vitamin, susu, jangan ngerokok, jangan minum kopi, jangan ini jangan itu, huhhh." Dumel pria berkumis itu, sebal. Mau tidak mau Prisa tertawa. Dia lalu duduk di samping Robert dan memeluk pria tambun beraroma minyak angin itu.

"Prisa hanya ingin Papa tetap sehat. Papa bilang mau main sama cucu-cucu Papa. Berarti harus tetap sehat, kuat, biar bisa gendong cucu, main kuda-kudaan dengan mereka, lari-larian pun masih bisa."

"Yayayaya," dagu penuh lemak Robert tergerak naik turun. "Makanya, kau dan Pramana tetap usaha. Hajar terus kalau punya waktu, biar cucuku cepat tumbuh,"

"Tumbuh?" Prisa mengulang dengan nada jenaka. "Kacang tanah, kali, Pap?" Kelakar Prisa. Robert tertawa-tawa dibuatnya.

"Ya sudah, kalo gitu aku bikin bubur ayam, lemon madu kesukaan Papa, dan... apa yah, Pap? Oh iyaaah aneka sayur rebuuuus."

Mata Robert terputar. "Masiiiih saja kau perlakukan aku seperti kambing jompo, makan sayuuur ajah terus. Kemarin kau pergi tuh, aku suruh si Ratih masak makanan gurih tapi dia tak mau ikut perintahku katanya kau mengasah pisau dan mengancam dia. Dosa apa aku ini di masa lalu, kenapa dapat mantu macam kau ini."

Bukannya tersinggung, Prisa malah tertawa-tawa menanggapi. Terdengar instrumen ulang tahun dari Tv yang menyuguhkan perayaan birthday party dari seorang anak artis yang membuat Prisa tersentak mengingat sesuatu.

"Paaap, Pramana ulang tahun loh, besok. Aku hampir lupa bilang ke Papa."

Robert mengangguk. "Sudah tau," jawab pria itu tak acuh. Tangannya menggapai-gapai ke atas nakas, mengambil permen kacang di dalam stoples.

Menjauhkan stoples dari jangkauan Robert Prisa bertanya, "Papa mau ngasih hadiah apa ke Prama?"

Robert menjawab gelisah karna stoples berisi permen kacang kesukaannya, Prisa sembunyikan di belakang punggung wanita itu, "Nggak, udah lama aku tak pernah ngasih dia hadiah. Duit dia sudah banyak, dia bisa beli sendiri, kemarikan dulu itu stopless aku, kau ini! Semuanya tak boleh aku makan?" Protes lelaki itu dengan urat-urat leher yang tercetak sebesar selang air.

Telunjuk Prisa teracung ke udara. "No no no!" Larangnya. "Kalo mau ngemil, nanti Pris bikinin kacang rebus."

"Hadoooooh rebus lagi rebus lagiiii."

Pramana yang sejak beberapa menit lalu melihat interaksi keduanya, tersenyum di balik pintu. Dia mengurung niat untuk masuk.
Namun alis pria itu meninggi ketika mendengar Prisa meminta ijin pada Robert untuk mengangkat telpon. Beberapa detik setelahnya terdengar tawa Prisa mengudara.

"Iyah Kak, Sammy?" Prisa melambai pada Prama yang pura2 baru akan masuk ke kamar papanya. Pria itu bertanya siapa dan Prisa jawab 'Kak Sammy' dengan gerakan mulut tanpa suara.

Prisa masuk ke kamar mereka, langkahnya terayun sampai ke balkon kamar. Pramana mengikutinya, memeluk pinggang Prisa dan meletakan dagu di bahu wanita itu.

"Iyah, papa katanya cuma pusing ajah, kok Kak Sammy. Hah? Enggak... aku sama Prama baru ajah balik. Iyah. Ooh... oleh-oleh? Hahhaaha oleh-olehnya cerita tentang keseruan ajah yah, Kak Sam? Cerita kan lebih berbekas. Hehehe."

Pramana menunggu dengan sabar. Mendengar keakraban Prisa dan Sammy di telepon, rasa penasarannya digaruk. Ia ingat,  beberapa hari lalu saat dirinya dan Prisa melakoni peran sebagai pasangan kencan, bukan sekali dua kali dia mendapati Prisa tengah  membalas chat Sammy dengan cekikikan atau juga tawa yang terurai.

Okay, Prama tau, Sammy adalah temannya. Teman yang bukan baru dikenalnya setahun dua tahun. Umur pertemanan mereka sudah belasan tahun. Dia tau dengan benar pria seperti apa Sammy. Sebajingan apa laki-laki itu. Tapi 'menikung' tidak termasuk dalam daftar tabiat buruk Sammy. Prama juga tau dia berlebihan jika harus mempermasalahkan hal seperti ini. Hanya saja melihat kedekatan Prisa dan Sammy, tetap saja Pramana tidak suka.

Rasanya baru kemarin kedua orang ini bertukar canggung waktu Prama mengenalkan mereka. Atau saat beberapa kali makan bertiga, mereka tidak pernah terlibat obrolan seakrab ini. Prama bertanya-tanya sudah sejauh mana kedekatan mereka? Karna Pramana tau, hanya orang-orang tertentu yang bisa membuat istrinya tertawa lepas. Dan... Sammy baru saja melakukannya.

Memberi kode pada Prisa, Pramana meminta wanita itu untuk mematikan hubungan telepon lewat isyarat. Alih-alih dituruti, Prisa malah melebarkan mata dengan bibir bawah yang tergigit, memberi penolakan lewat gestur. Dan pada akhirnya Pramana memilih diam dan mendengarkan obrolan dengan hati setengah dongkol.

"Kalian kok deket sih?" Cecar Prama begitu keduanya kembali masuk ke kamar.

Prisa meletakan ponsel di nakas. Gadis itu berbalik dengan satu alis terangkat, bingung.

"Loh, bukannya kamu yang minta aku biasakan diri dengan Kak Sammy?"

"Iyah sih, cuma nggak tau kenapa, aku nggak nyaman ajah liat kedekatan kalian, Pris. Kamu bahkan lebih sering chat dengan dia daripada dengan aku." Prama duduk di tepi ranjang dengan wajah berlipat, kesal.

Prisa tertawa. Dan Pramana malah berang.

"Pris aku marah. Bukan lagi ngelawak."

"Ya abisnya kamu," mengkerdilkan jarak antara mereka, Prisa maju sampai perutnya menubruk dahi Prama. Laki-laki itu mendongak menatapnya. "Kamu lucu kalo lagi cemburu." Prisa terkikik ketika melihat Prama mendumel tanpa suara.

"Prama," panggil Prisa. Tak digubris. Prama bahkan berbaring di tempat tidur.

"Pramana."

Masih tak ada jawaban.

Tangan Prisa terlipat di dada. "Okay. Nggak apa-apa kalo nggak mau noleh. Padahal tadinya aku mau tawarin hadiah ulang tahun tapi..." Prisa menggantung ucapan sengaja memancing Prama namun pria itu masih bergeming dalam kepura-puraannya.

"Tapi kamu nggak mau, yaudah kalo gitu." Prisa pura-pura berbalik tapi langkahnya terhenti karna Pramana buru-buru bangun dan menarik pinggangnya.

"Aku mau. Mau hadiah." Prama berkata cepat.

Prisa tertawa. Dan berbalik. Dia bertanya, "Mau hadiah apa?"

"Kamu." Jawab pria itu nyaris tanpa berpikir. "Mau kamu banget," ulangnya memberi penekanan di setiap kata-kata. "Mau makan kamu," tambahnya lagi-lagi.

Tersenyum, Prisa berbalik menyisir rambut prama dengan jari-jarinya. Bisa dirasakan lingkaran tangan Prama di pinggangnya mengerat. "Cuman itu ajah?"

Pramana mengangguk. "Cuman itu ajah. Tapi stripping sampai pagi buat bayar hutang piutang kamu selama beberapa bulan ini."

Tawa Prisa terurai. "Hadiah yang agak nyeremin yah."

Prama mendongak mengamati wajah istrinya, pikirannya terkoneksi ke beberapa bulan lalu waktu pertama kali ia mengenal Prisa. Gadis itu ceria seperti bunga matahari mekar. Ucapannya memang selalu tajam dan mengiris jika ia sedang dalam mood yang kurang bagus, namun semua itu hanya hiburan di mata Prama. Beberapa kali, Prama bahkan dengan sengaja menyulut emosi Prisa hanya untuk melihat gadis itu marah-marah dan mengomel--sesuatu yang dianggap Prama sebagai lawakan.

Namun beberapa bulan ini, Prama dicemilkan rasa lain dari marahnya Erika Prisa. Hampir tidak ada omelan panjang, berganti dengan bibir yang terjahit dan wajah yang disarung gurat luka. Pramana benci menjadi pemicu perubahan istrinya, untuk itu... ingin sekali ia menghapus luka di wajah Prisa dan rela melakukan apapun untuk mengawetkan senyum wanita itu, mengembalikan keadaan mereka seperti sediakala. Terlepas dari siapa sosok yang masih meraja di hatinya, Pramana akui dia membutuhkan Prisa. Tidak peduli bagaimana tawarnya perasaan dia ke Prisa, Pramana sadar bahwa ia tak ingin wanita itu pergi darinya.

"Kalau gitu," Prama meraih kancing baju Prisa. Baru akan membukanya, Prisa menampar keras punggung tangannya.

"Katanya udah boleh," protes Prama dengan wajah memerah.

Mata Prisa melebar. "Ini masih sore, Prama! Aku juga mau masak untuk Papa. Kamu main dulu sana, ke mana kek gitu, hadiahnya baru akan aku kasih jam 12 nanti."

Setengah tak rela, namun Prama akhirnya mengangguk. "Pakai lingerie merah bata yang waktu itu kamu pakai di malam pertama kita, yaah?" Cetus Prama dengan tampang memohon.

"Okay."

"Bener?" Tanya Prama, antusias. "Bener kita boleh..."

Prisa langsung menganguk dalam senyum.

"Yess!" Pekik Prama antusias. Laki-laki itu berdiri dan memberi satu kecupan di pelipis Prisa. "Ulang tahun membawa berkah."

Prisa hanya tertawa-tawa melihat laki-laki itu menari-nari acak di depannya. Ya Tuhan, apa dirinya keterlaluan membuat Pramana menunggu selama ini? Pikir Prisa.  Prama jadi seperti anak SD yang baru mendapatkan hadiah oleh orang tuanya karna berhasil mendapatkan juara.

Tapi pramana tiba-tiba terdiam, mengingat sesuatu. "Oh, ya... katanya kamu lagi datang bulan?"

Tertawa, Prisa mundur perlahan. "Aku cuma boongin kamu ajah." Akunya sebelum berbalik dan berlari kecil meninggalkan Prama di kamar.

"Erikaaaaa kamu, aaahhh." Pramana menjambak rambutnya sendiri. Gara-gara kebohongan Prisa, wacana menghabiskan malam-malam erotis bersama wanita itu di Lombok gagal total berganti dengan tidur yang kasual karna hanya saling berpelukan biasa. Geram, Prama berteriak, "Kalo gitu aku akan balas dendam malam ini!" Ancamnya.

***

Pantry rumah Sammy dipenuhi bau kopi. Pria itu meletakan dua cangkir kopi instant ke meja kecil. Selang enam detik, salah satu cangkir berpindah ke tangan Prama. Sementara Sammy, kembali ke sofa dan tenggelam bersama Tipping Point-nya Malcolm Gladwell yang sedang dibacanya.

"Ada urusan apa lo sama Prisa? Ada bisnis yang kalian garap bersama? Kenapa..." Pramana meniup uap-uap putih yang mengepul dari kopinya. Lalu menyecapnya sekali. "Kenapa kedekatan kalian nggak wajar di mata gue?"

Tidak ada jawaban, Pramana berdiri, mondar mandir di depan Sammy yang bahkan tak meliriknya sama sekali. "Tolong jangan melewati batas. Dan tolong jaga jarak. Gue gak nyaman kalo lo terlalu dekat dengan Prisa."

Jeda.

Ada sepasang mata yang kini menatap datar ke Prama.

"Okay gue tau gue berlebihan, tapi kalau lo udah nikah, dan istri lo dekat dengan teman baik lo, saling berbalas chat sambil cekikikan di depan mata lo, lo akan ngerasain apa yang gue rasa. Ini beda, Sam. Nggak sama kayak waktu SMA, lo jalan sama Aniva di belakang gue. Atau saat lo beberapa kali telponan sama Ratu sampai subuh tanpa sepengetahuan gue, atau bahkan pernah nyium gebetan gue waktu kuliah, Gue nggak pernah peduliin itu, tapi ini lain, Sam. Prisa istri gue! Dan gue... nggak suka kalo lo membangun kedekatan yang berlebihan dengan dia!"

"Lo cemburu?" Tanya Sammy akhirnya.

"Nggak!" Jawab Prama nyaris tanpa berpikir. Langkah gelisahnya yang sedari tadi menyapu setengah ruang makan rumah Sammy terhenti. "Ini bukan soal cemburu.  Sama skali bukan," Tegasnya, berkilah. Padahal dia sendiri tidak bisa mendefenisikan makna dari  bentuk protesnya kali ini. Tidak cemburu? Err... Pramana meragukan hipotesanya sendiri.

Buku di tangan Sammy sempurna  tertutup. Laki-laki bertato itu akhirnya memuntahkan seluruh perhatian kepada Prama, lebih tepatnya tergelitik dengan komentar Prama yang mengandung bahan-bahan untuk dikulik menjadi santapan perdebatan.

"Nggak cemburu." Sammy mengulang dengan nada bicara meremehkan tidak lupa membubuhi tawa bermuatan ejekan di akhir kalimatnya.

Melihat tingkah Sammy, Pramana  naik pitam karna merasa tengah di olok-olok.

"Gue nggak cemburu!" Tegasnya sekali lagi. Gue hanya bersikap seperti seseorang yang melarang orang lain menyentuh barang favoritnya. Sama kayak lo, sekalipun lo percaya gue, lo tau gue ga akan pernah nyuri barang lo, tapi lo gak pernah ngebolehin gue bawa CVO lo. Persis seperti itu cara gue kali ini, tolong lo pahami."

Tawa Sammy menumbuk atmosfer  ketegangan yang beberapa menit ini menyarung keduanya.

"Beda, Pram!" Enam langkah Sammy membawanya ke meja makan. Pria itu menyambar kopi dan meneguknya sementara Pramana menunggu dengan bahu naik turun.

"Gue nggak ngebolehin lo bawa Harley gue, karna gue tau, lo biasanya cuma bawa motor matic jadi percuma! Bukan karna gue takut harley gue nabrak, atau rusak di tangan lo, gue mah peduli iblis karna gue tau lo sanggup ganti." Komentar Sammy setelah menghabiskan setengah cangkir kopi dalam dua tegukan.

"Itu beda konteksnya. Jangan lo samain dengan cara lo kali ini. Lo tuh cemburu dan bersikap memproteksi Prisa dari gue. Lo nggak nyaman gue deket dengan dia, bukan karna lo takut gue mo rebut dia dari lo, tapi karna setengah dari hati lo menyuarakan ketidakrelaan! Itu apa namannya kalau bukan cemburu? Kenapa susah skali lo mengakui?"

"Nggak, nggak, salah!" Bantah Prama cepat. "Ini bukan soal cemburu, Sam. Ini hanya tentang cara lo yang nggak benar dan keterlaluan! Kalau lo interaksi dengan istri orang, ada aturan yang harus lo patuhin, lo jadiin rel dalam bersikap, gak boleh terlalu melewati batas!" Suara Prama meninggi.

"Lo nasehatin gue soal aturan?" Sammy tertawa. "Lo ngelawak, Bro?"

Memutilasi jarak, Sammy melangkah lebar ke depan Prama. "Tau apa lo tentang aturan?" Tanyanya. "Sudah sejauh mana   pehamanan lo tentang sikap dan batasan?"

Pramana diam.

"Kalau gue yang cuman chat dengan istri orang lo bilang melewati batas. Apa kabar lo, suami orang yang peluk-pelukan dan menginap di rumah perempuan lain?"

Tamparan. Prama baru saja ditampar. Sekian menit ia mengunyah rentetan kalimat Sammy dalam kebisuannya.

Memanfaatkan waktu diamnya Prama, Sammy melanjutkan, "Lo tau? Gue sebenarnya ingin ngasih lo piala untuk prestasi lo. Baru sebulan lo menjauh dari Ratu dan hidup tenang dengan Prisa, lo udah bisa cemburu liat kedekatan gue dengan istri lo, dan itu kemajuan pesat. Tapi..." Sammy menggeleng. "Gue batal, karna lo berkelit dan nggak mau mengakui soal perasaan lo. Dan lo tau itu artinya apa?"

Ting tong.

Ting tong.

Suara bel menginterupsi Sammy. Meskipun begitu ia belum mau memutus adu pandang sengitnya dengan Prama. Laki-laki itu melanjutkan pelan, "Itu artinya... lo nggak benar-benar mau buka diri, nggak mau ijinkan Prisa masuk ke hati lo, dan nggak rela kalau orang lain menggantikan sosok Ratu di hati lo... sekarang, siapa yang keterlaluan? Lo atau gue?"

Sepeninggal Sammy yang berjalan ke ruang tamu membuka pintu, Pramana memijat pelipis yang berkedut. Segala macam pertanyaan berlarian menerobos ke otaknya soal darimana Sammy tau tentang dirinya dan Ratu? Soal pelukan malam itu dan soal dirinya yang menginap di rumah Ratu? Apakah mungkin Prisa yang memberitahukannya? Tapi... apa hubungan mereka sedekat itu? Bagaimana bisa Prisa membagi hal seinternal itu kepada orang lain? Namun ada satu tanya yang menambah kadar keresahan hati Prama yaitu tentang ucapan Sammy barusan. Apakah benar dirinya memang tidak ingin Prisa masuk ke dalam hatinya dan menggantikan Ratu?

Pun semisalnya dia belum ikhlas menerima Prisa, lalu... apa kabar usahanya dalam sebulan ini? Kenapa susah sekali menggantikan sosok Ratu yang terlanjur mengakar di hatinya? Apa hanya karna dia yang belum terlalu sungguh-sungguh melakukannya?

Wajah Prama diusap kasar hingga perih di beberapa sisi. Dia megumpat di dalam hati merasakan betapa brengseknya dia kali ini.

Berniat akan pulang, Kaki Prama terhenti tepat di pintu penghubung ketika mendengar suara-suara dari ruang tamu. Tanpa melihatnya pun dia tau, itu suara Kiki--kakaknya Sammy. Pramana menunda niatnya dan kembali ke pantry, bertemu dengan Kiki sama saja menggali memorinya dengan Ratu.

Baru dua langkah, Prama berbalik lagi ketika mendengar Kiki menyebut-nyebut nama Sultan. Ia menajamkan pendengaran. Tidak sampai lima menit, laki-laki itu melangkah setengah berlari ke ruang tamu.

"Mbak Kiki, Sultan kenapa? Kecelakaan apa? Siapa yang kecelakaan?

Sammy, Kiki, dan Ivan--suaminya-- menatap Prama yang muncul tiba-tiba dari pintu penghubung.

"Sultan kenapa Mbak Kiki?" Ulang Prama dengan jantung berdegup kacau.

Sammy menggeleng samar ke arah Kiki. Laki-laki itu merebut Dava dari dalam gendongan Kiki.

"Kalian pergi ajah, biar Dava titip di gue dulu. Udara rumah sakit nggak bagus untuk dia."

Kiki mengangguk. Dan membiarkan Sammy mengambil alih balita berusia 14 bulan itu. "Kalau dia bangun, bikinin susu untuk dia yah, Sam? Tapi airnya yang panas ajah trus biarin dia hangat sendiri. Dava suka kembung kalo airnya dicampur-campur." Kiki menyerahkan tas besar berisi perlengkapan Dava.

Pramana mendekat. "Mbak Kiki," panggilnya tidak puas. "Aku dengar tadi---"

"Sultan kecelakaan sama papanya, Pram." Kiki menceritakan bagaimana Ratu menghubunginya satu jam lalu dengan tangisan histeris. Menginfokan soal  tabrakan mobil yang dikendarai Sultan dan papanya yang mengakibatkan anaknya itu kritis sementara mantan suaminya tewas di tempat kejadian.

Tangan Pramana bergetar. Tempurung lutut pria itu rasanya bertransformasi menjadi jelly.

"Aku harus temenin Ratu." Ujar Kiki menarik tangan Ivan. Dia tau Ratu sangat terpukul dan membutuhkan dirinya saat ini, wanita itu tidak memiliki keluarga di Jakarta. Hanya Kiki yang dia punya saat ini.

"Titip Dava dulu, yah Sam? Aku temenim Mbakmu ke rumah sakit." Cetus Ivan. Sammy mengangguk sebagai jawaban. Dilihatnya suami istri itu menghilang dibalik pintu.

Pramana sudah bergerak mengikuti namun suara Sammy sigap menahannya.

"Jangan!' Kata Sammy mengingatkan. "Jangan ke sana. Lo ga punya kontribusi apa-apa di sana. Jangan persulit keadaan lo sendiri."

Cukup lama berpikir Prama akhirnya mengangguk pelan.

***

Senyum Prisa mengembang ketika Pramana masuk ke kamar. Wajah pria itu tertunduk muram. Dia bersandar di pintu dengan mata terpejam.

Menyingkap selimut, Prisa turun menuju meja rias. Pramana lantas membuka mata waspada. Dia pikir istrinya sudah tertidur karna lampu kamar yang tidak dinyalakan.

Prisa menyalakan satu demi satu lilin di atas kue ulang tahun dan membawanya dengan langkah pelan mendekati Prama. Laki-laki itu masih diam, menatap Prisa dengan mata berlapis kristal air.

"Selamat ulang tahun, Pramana." Ujar Prisa sembari berjinjit memberikan kecupan ringan di pipi Prama. Ada senyum yang terpahat kecil di bibir Prama. Dia mengelus rambut di sekitar ubun-ubun Prisa.

"Terima kasih," ucapnya sembari merangkul bahu Prisa. Tanpa aba-aba, dia meniup semua lilin itu sampai padam seluruhnya. Serentak semua lilin mati, kamar kembali gelap diiringi teriakan stress Prisa.

"Pramanaaa iiiiihh aku belum nyuruuuuh." Protes Prisa, kesal. Ia menyerahkan kue itu ke tangan Prama. Dengan hentakan-kentakan keras wanita itu berjalan mendekati dinding tempat saklar lampu. Dia menampar keras saklar itu dan detik selanjutnya ruangan kamar jadi terang benderang.

Wajah Prisa berganti dalam sekejap ketika menangkap sinyal wajah Prama yang sedih. Gurat keresahan itu terpahat dengan sangat jelas di sana. Senyum itu ... terlalu dipaksakan. Pramana bahkan berkaca-kaca saat menatapnya. Prisa tau, ini bukan bentuk rasa haru pria itu atas semua yang diberikannya malam ini. Bukan.

Lain Prisa lain Prama. Pria itu hampir menangis saat mendapati Prisa dalam balutan gaun tidur yang transparan memperlihatkan tubuhnya yang disarung lingerie merah bata. Persis seperti permintaannya tadi siang. Prisa menurutinya. Wajah wanita itu bahkan dibiarkan polos... seperti kesukaan Prama. Prisa bahkan mengganti sprei dengan sprei yang mereka gunakan di awal-awal pernikahan mereka...

Mata Prama terpejam, dengan punggung yang bersandar pasrah di pintu. Melihat itu, Erika Prisa berbalik, tidak mau menatap Prama dalam mode seperti ini.

Meletakan kue di meja, Prama mendekati istrinya dan memeluk erat wanita itu dari belakang. Dia meletakan dagunya di bahu Prisa. Seolah-olah meletakan seluruh harapannya di sana. "Sultan--"

"Aku tau." Potong Prisa cepat.

Lingkaran tangan Prama di peluk Prisa melonggar. Laki-laki itu melemah.

Prisa bukan tidak tau alasan apa dibalik perubahan sikap Prama. Dia bahkan sudah mendengar semuanya lebih dulu dari Sammy karna satu jam lalu pria itu menelfonnya hanya untuk memastikan, Pramana pulang ke rumah atau tidak. Mendengar nada suara Sammy yang tidak biasa, Prisa tau lelaki itu menyimpan sesuatu dan setelah di desak, Sammy akhirnya memberitahukan semua padannya, tidak lupa menguatkan dia bahwa Pramana  tidak mungkin melanggar janjinya dengan menemui Ratu.

"Kita..." Prama membasahi kerongkongan. "Kita ke sana, yah sayang? Kamu temenin aku pergi. Aku hanya akan ke sana dengan kamu."

Melepas lilitan tangan Prama di perutnya, Prisa menjauh. Meraih ponselnya di nakas yang bergetar-getar menandakan belasan chat yang masuk.

Sammy Drakel : Pris

Sammy Drakel : Aku ga tau info ini penting untuk kamu atau nggak.

Sammy Drakel : Mbak kiki baru WA aku.

Sammy Drakel : Sultan... meninggal, Pris.

Sammy Drakel : Pramana ga perlu tau.

Sammy Drakel : Maaf kalo info ini ganggu kamu.

Prisa berbalik menatap Prama yang juga tengah menatapnya penuh harap. Ada sesuatu yang menyayat hatinya mengetahui fakta bahwa Pramana tengah membuat permohonan lewat tatapan. Meminta restunya untuk pergi. Walaupun menolak untuk sakit hati dengan alasan yang sama, tapi kenyataan bahwa Prama masih begitu peduli pada Ratu dan Sultan  lagi-lagi menampar Prisa dengan luka yang sama.

"Pris..." lirih Prama.

"Sultan meninggal." Prisa menginfokan dengan nada datar. Berusaha untuk tidak membubuhi nada peduli di dalam suaranya. Bisa ia lihat tubuh Prama bergetar, selang satu menit kemudian, dia terduduk perlahan di lantai. Mengeluarkan air mata dalam diam.

Erika Prisa menyantap semua pemandangan itu dengan hati terpecah belah namun tidak ada air mata yang keluar. Tidak ada gurat sedih yang terpahat. Tidak ada...

"Priis."

"Jangan pergi!"kata Prisa, bertitah.  "Tidak ada yang boleh ke luar dari kamar ini tanpa seijinku."

Bahu Prama naik turun menahan isakan.

"Prisa, kita--"

"Nggak akan!" Potong Prisa lagi-lagi. "Aku nggak akan ke sana! Nggak akan mungkin ke sana! Begitu juga dengan kamu!"

Prama mengangkat wajah. Untuk beberapa menit lamanya pria itu memejam sembari berpikir. Dia tau apa yang dilakukannya kali ini tidak termaafkan. Pelan, dia berujar lirih, "Maaf," katanya. "Maaf.... maaf."

Prisa hanya menatap datar semua pergerakan Prama yang berdiri, dan dengan langkah tertatih-tatih ke luar dari kamar itu dan... menghilang di balik pintu.

Prama tidak menuruti Prisa...

Prama pergi...

Prama melanggar janjinya...

Tersenyum, Prisa meraih buku agenda yang tersimpan di laci buffet. Dia mencoret point ke empat.

4. Dedikasi terakhir : kado ulang tahun spesial untuk Pramana. gagal. ❌






_____________________

Terima kasih Within temptation untuk what Have You Done-nya yang ngasih dopping ke saya nyelesain part tercadas ini. coba dengar lagu itu, kawin banget sama part ini. Oh ya...

Hujatannya untuk Prama  manaaaaaaaaahhh? 😛😛😛

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro