Soulmate #1
Soulmate #1
00 : 00 : 00 : 00 : 04 : 37
0 hours
Gita
Panah Cupid-nya salah sasaran, nih! Aku kan, naksir Kak Aksa. Kenapa jodohku malah Kaisar, temannya yang menyebalkan itu?
Oke, aku sebenarnya tidak yakin benar bagaimana sifat Kak Kai. Yang aku tahu, kepribadian Kak Kai berbeda sekali dari Kak Aksa. Jika Kak Aksa tenang dan berwibawa, Kak Kai tidak acuh dan selengean. Dia terlihat tidak peduli dengan banyak hal, tapi kudengar dia lumayan asyik jika sudah kenal. Sejujurnya, Kak Kai tidak bisa dibilang sangat buruk dibandingkan sahabatnya. Tapi, aku kan, maunya Kak Aksa.
Dengan kesal, aku menyambut uluran tangan Kak Kai. Dia menarikku hingga berdiri. Untuk sesaat, dia tidak melepaskan tanganku, sibuk memperhatikan angka yang tertera di sana. Kurasa dia mulai menyadari kalau aku adalah jodohnya. Masa dia tidak tahu kalau hari ini dia akan bertemu jodoh?
Ya sudah, lah. Selama Kak Aksa tidak tahu kalau aku berjodoh dengan sahabatnya, akan lebih mudah bagiku untuk berbohong dan tetap mendekatinya. Mungkin aku bisa berpura-pura jodohku sudah mati atau apa. Ya, begitu saja!
"Oh, jadi lo orangnya," kata Kak Kai kemudian. Dia memperhatikanku dari puncak kepala hingga ujung kaki.
Aku menarik tanganku, risi dipegang terus-terusan. "Sepertinya begitu," balasku ketus.
Kak Kai tertawa. "Good. Kayaknya lo juga nggak mau berjodoh sama gue. Gimana kalau kita nggak usah bertemu lagi setelah ini? Gue udah punya pacar."
Satu masalah—yang mungkin justru jadi berkat bagiku dan rencanaku untuk mendekati Kak Aksa—yang menghalangi kami berjodoh adalah kenyataan bahwa Kak Kai sudah punya pacar. Kak Kanya, pacarnya, adalah ketua Klub Paduan Suara yang aku ikuti. Sejauh yang aku tahu, mereka sudah berpacaran lama. Dan mereka sangat serasi. Jika sistem soulmate ini tepat sasaran, seharusnya mereka berdua yang berjodoh.
"Kai, ayo."
Aku dikejutkan dengan suara Kak Aksa yang mendekati kami. Cepat-cepat aku merapikan rambut dan rokku, lalu berbalik. Dilihat dari dekat begini, Kak Aksa semakin glowing saja. Senyumnya yang lembut kini ditujukan padaku. Sebelum aku meleleh jadi kubangan, aku membalas senyum Kak Aksa grogi. Semoga saja senyumku tidak terlihat aneh. Aku harus memberikan kesan pertama yang baik.
"Maaf ya, Kai emang matanya sering nggak dipakai," kata Kak Aksa. "Lo nggak apa-apa, kan?"
Ya ampun, sepertinya aku sudah jadi kubangan. Aku nggak salah dengar, kan? Kak Aksa barusan bicara denganku, kan? Jantungku berdebar begitu kencang, sampai aku takut seluruh tubuhku ikut bergetar.
Aku buru-buru memulihkan diri dari shock. Sambil merapikan rambutku—lagi—aku membalasnya, "Eh, nggak apa-apa kok, Kak."
"Yuk, Sa, keburu ramai," kata Kak Kai, menepuk pundak Kak Aksa.
Kak Aksa sudah akan pergi, tapi dia berhenti untuk menatapku dan Kak Kai bergantian. "Eh, kalian berjodoh, ya? Countdown kalian sudah sama-sama hitam."
Sial. Rencanaku buyar sudah. Aku segera menyembunyikan tanganku ke belakang seakan-akan Kak Aksa akan lupa jika tanganku tidak terlihat. Tidak ada gunanya, Git. Kak Aksa sudah tahu.
Diam-diam aku melirik ke pergelangan tangan Kak Aksa yang masih terlihat putih. Sepertinya dia baru akan bertemu jodohnya dalam satu tahun lebih beberapa bulan. Aku betul-betul ingin meminta agar countdown di tanganku di-reset saja. Tolong, aku mau berjodoh dengan Kak Aksa! Aku tidak bisa move on dan berbalik menyukai Kak Kai untuk menghormati Kak Kanya, dan aku juga tidak mau melakukannya.
"Ah, iya, gue baru inget kalau lo ketemu jodoh lo hari ini, Kai." Kak Aksa menepuk bahu Kak Kai, lalu menoleh lagi padaku. "Hai, gue Aksa, temennya Kai."
"Gita," balasku, menyambut uluran tangan Kak Aksa. Tangannya lembut dan terasa hangat. "Salam kenal, Kak."
"Berhubung kalian udah ketemu, mau makan bareng, kah? Gue bisa jauh-jauh, kok."
"Nggak!" seruku, yang hampir bertepatan dengan seruan serupa dari Kak Kai. Aku meliriknya. Dia tidak mau menatapku. "Ehm, nggak enak gangguin Kak Aksa dan Kak Kai. Gue makan sama temen aja. Duluan, Kak."
Sebelum Kak Aksa dan Kak Kai bisa membalas, aku berbalik dan menghampiri Kirana, yang menunggu tidak jauh dari kami bertiga. Asyik sekali dia, bisa menonton drama gratis ini. Kirana menatapku dengan penuh pertanyaan, tapi aku tidak memedulikannya dan menariknya ke Kantin Belakang.
"Git, ceritain, dong. Jodoh lo jadinya siapa?"
Aku mengabaikan Kirana sepanjang perjalanan ke kantin. Kukira, hari ini akan jadi hari yang sempurna. Kenapa sekarang justru jadi begini?
[]
Aku termenung di kelas tanpa berminat memperhatikan teman-temanku di Klub Paduan Suara. Aku masih meratapi nasibku pagi ini, saat menghadapi kenyataan bahwa ternyata jodohku bukanlah orang yang kuharapkan. Namun, aku tidak bisa mengubah kenyataan. Countdown di tanganku kini sudah berubah hitam, bersamaan dengan countdown di tangan Kak Kai.
Ya ampun. Kenapa rasanya sesedih ini?
Yah, memang sih, bisa dibilang, ini semua kesalahanku. Sejak awal, aku memupuk harapan palsu. Tidak ada cara untuk benar-benar mengetahui siapa jodoh kita. Satu-satunya yang bisa kita lakukan hanyalah mengeliminasi orang-orang yang bukan jodoh kita hingga sudah tiba waktunya kita berinteraksi dengan jodoh kita. Mengharapkan seseorang menjadi jodoh kita adalah jalan cepat menuju patah hati.
Aku betul-betul tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Haruskah aku move on saja, berhubung Kak Aksa sudah jelas-jelas bukan jodohku? Langkah logisnya sih begitu, dan seharusnya, aku mulai mencoba untuk menyukai Kak Kai. Tapi, keberadaan Kak Kanya dan perintah Kak Kai untuk tidak pernah bertemu lagi membuatku jadi ragu-ragu untuk melangkah.
Aku menelungkupkan kepala di atas meja. Aku tidak mau move on, tapi bertahan juga bukan solusi yang tepat untuk hatiku. Ya ampun. Aku harus apa?
"Gita? Lo kenapa?"
Aku mendongak, mendapati Kak Kanya berdiri di hadapanku dengan raut khawatir. Aku hanya tersenyum dan menggeleng. Bagaimana bisa aku bilang padanya kalau aku berjodoh dengan pacarnya? Bisa-bisa Kak Kanya langsung menendangku dari klub.
"Lo sakit?" tanya Kak Kanya seraya duduk di sebelahku. "Kalau memang sakit, pulang aja, Git. Jangan paksain diri buat latihan."
Lihat, Kak Kanya memang orang yang sangat perhatian bahkan kepadaku, anggota Klub Paduan Suara yang tidak terlalu aktif. Tidak mungkin, kan, aku menikung pacarnya? Aku tidak akan pernah mau menikung siapa pun, bahkan jika orang yang kurebut adalah jodohku sendiri.
"Nggak sakit, kok, Kak. Lagi... hmm, galau aja."
"Galau kenapa? Lagi patah hati, ya, jangan-jangan?" Kak Kanya tersenyum. Matanya melirik ke arah tangan kiriku, yang untungnya sempat kusembunyikan. "Soal jodoh?"
Aku mengangguk—yang langsung kusesali saat itu juga. Sial, aku harus bilang apa? Kan tidak mungkin aku bilang pada Kak Kanya kalau orang yang kuharapkan jadi jodohku ternyata bukan jodohku, melainkan pacarnya? Aduh, pikirkan sesuatu, Gita!
"Dia... nggak suka sama gue," kataku akhirnya. "Dia bilang dia nggak mau ketemu gue lagi."
Secara teknis, aku tidak berbohong. Kak Kai memang tidak suka padaku, dan dia memang bilang tidak ingin bertemu denganku lagi. Namun, aku tahu jelas, caraku menjelaskannya akan membuat Kak Kanya mengira aku terlibat cinta sepihak dengan jodohku. Hal itu umum terjadi walau akhirnya pasti bahagia.
"Ooh." Kak Kanya mengangguk. "Gue belum ketemu jodoh gue, tapi percayalah, lo harus memperjuangkan cinta lo. Apa pun yang terjadi. Jodoh lo layak diperjuangkan."
Aku terdiam. Aku tahu Kak Kanya menyuruhku memperjuangkan jodohku—yang adalah Kak Kai—tapi bolehkah aku memperjuangkan Kak Aksa? Boleh, kan? Aku ingin memperjuangkan Kak Aksa. Tidak akan ada yang marah, kok. Toh, jodohku saja tidak mau bertemu denganku lagi.
"Kita latihan aja, yuk," ajak Kak Kanya. "Kesibukan akan bikin lo lupa sama kesedihan lo."
Aku mengangguk. Walaubegitu, aku jadi tidak fokus lagi, karena aku sekarang jadi memikirkancara-cara untuk memperjuangkan cinta Kak Aksa. Doakan aku bisa melakukannya,ya!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro