Countdown #2
Countdown #2
00 : 00 : 04 : 19 : 15 : 29
Kaisar
Nggak tahu sejak kapan. Mungkin semingguan yang lalu. Atau mungkin sebulan. Nggak, kayaknya, sih, nggak sampai sebulan. Tapi rasanya sudah bertahun-tahun Kanya melancarkan perang dingin dan menjaga jarak di antara kami.
Padahal, nggak ada masalah di antara kami. Setidaknya, begitu menurut gue. Kanya dan gue memang nggak ketemu setiap hari, tapi hubungan kami cukup sehat, kok. Maklum, dia disibukkan dengan posisi barunya sebagai ketua klub paduan suara, sementara gue sibuk merekam dan mengedit video untuk kegiatan klub sinematografi. Bukan hal yang aneh kalau kami nggak selalu berbicara.
Tapi, gue jelas-jelas tahu kalau Kanya ngehindarin gue. Pesan-pesannya datang lebih lama dari biasanya, juga lebih pendek. Kanya mulai sering menolak kalau gue ajak nge-date. Waktu gue berhasil ajak dia nge-date juga, Kanya jadi lebih sering main HP dan nggak memperhatikan gue.
Berulang kali gue mencoba memikirkan apa kesalahan gue, sampai sering ngegangguin teman-teman gue. Harusnya sih, nggak ada. Gue inget tanggal-tanggal penting, inget makanan dan snack kesukaan Kanya, dan nggak bertingkah memalukan di depan teman-temannya. Biar dipikirin sampai kepala gue vertigo, tetap saja gue nggak menemukan jawabannya.
Ya ampun, pusing gue. Gimana sih, caranya baikan sama pacar?
Sedari tadi, kaki gue sudah gatal ingin segera cabut dari kelas, tapi Pak Bambang belum menutup kelas. Bel sudah bunyi beberapa waktu yang lalu. Mungkin belum satu menit. Nggak, harusnya lebih, tapi mungkin baru dua menit. Argh, kenapa kelas masih belum juga kelar, sih?
"Udah mau cabut, Kai?" tanya Aksa sambil memiringkan badannya sedikit.
Gue mengangguk. "Mau ketemu Kanya. Kebetulan hari ini gue sama dia sama-sama nggak ada kesibukan, jadi gue pengin ajak dia nge-date. Siapa tau mood-nya baikan."
"Kalian berantem nggak kelar-kelar, deh." Aksa menggelengkan kepala. "Gara-gara countdown lo, kali."
Gue mendengus. Countdown sialan gue memang sudah hampir mendekati angka 0. Gue dan Kanya sama-sama tahu itu waktu gue ngedeketin dia. Kanya menerima fakta kalau gue bakal ketemu my so-called soulmate di kelas 11, dan dia baru bakal ketemu her so-called soulmate di usia 22 tahun. Kami sepakat buat nggak mikirin countdown ini, kok. Masa dia betulan ngambek karena gue udah hampir ketemu jodoh?
Lagian, kenapa gue harus percaya countdown ini? Secantik apa sih, orang yang katanya jodoh gue ini, sampai bisa bikin gue berpaling dari Kanya? Nggak ada orang yang lebih cantik, lebih gue sayang, dan lebih gue ingini daripada Kanya.
"Oh, tentu, gue bakal langsung berpaling pada Yang Mulia, the Queen of My Heart and the Love of My Life, alias jodoh gue, saat gue bertemu dia." Gue menggelengkan kepala. "Permaisuri gue itu Kanya. Nggak ada yang lain."
Aksa cuma ketawa mendengar balasan gue. "Yah, good luck. Semoga kalian segera baikan."
Untungnya Pak Bambang nggak berlama-lama mengurung kami di sini. Gue langsung cabut dari kelas dan berlari secepatnya ke kelas Kanya. Untungnya lagi, kelas Kanya nggak jauh dari kelas gue. Keberuntungan ketiga, kelas Kanya juga barusan bubar. Waktu gue sampai, Kanya juga barusan keluar juga dari kelas.
"Kanya!" panggil gue.
Kanya terus jalan, padahal temannya yang ada di sebelahnya menoleh ke arah gue. Lihat, gue bilang apa! Kanya pasti sengaja nggak noleh ke arah gue. Gue masih nggak ngerti kenapa dia menghindari gue seperti itu. Memang apa sih, kesalahan gue?
"Kanya!"
Gue mencoba berlari melewati orang-orang yang barusan keluar kelas. Gila, perjuangan gue untuk menemui Kanya berat banget, dan dia masih pura-pura nggak mendengar gue. Setelah menabrak beberapa orang dan mendorong yang lainnya, gue akhirnya berhasil sampai juga. Gue langsung menarik tangan Kanya—dengan lembut, tentu saja.
"Hai, Kan," gue menyapa Kanya.
Kanya, akhirnya, menoleh juga. "Hai, Kai."
"Kamu nggak denger aku, emang? Aku udah panggil dari tadi, lho." Gue lalu menyapa teman-teman Kanya. "Hai Tik, La."
Kanya punya dua teman baik, Tika dan Nila. Sejauh yang gue tahu, gue bisa berteman baik dengan mereka berdua. Mereka juga baik sama gue. Harusnya, kalau pacar lo deket dan berteman baik sama temen-temen lo, nggak ada masalah, kan? Nah. Gue sudah melakukan semua yang benar di kamus dunia pacaran, tapi Kanya tetap saja marah sama gue. Gue masih nggak ngerti apa masalah yang gue lakukan.
"Pura-pura nggak denger, tuh, si Kanya." Tika berceletuk. "La, temenin gue ke toilet yuk. Dadah, guys!"
Untunglah mereka sadar. Kayaknya Tika dan Nila juga tahu kalau hubungan gue dan Kanya nggak baik-baik aja. Ah, mereka memang teman baik. Gue menggenggam tangan Kanya semakin erat dan menggandengnya ke arah tempat parkir.
"Aku mau pulang, Kai," kata Kanya. "Kamu mau bawa aku ke mana?"
"Nge-date dulu yuk, mau nggak? Kita udah lama nggak nge-date, kan?" Gue mengelus punggung tangan Kanya. "Makan pasta, yuk. Kamu kan, suka spaghetti carbonara,."
Kanya nggak membalas. Dia menarik gue menjauhi kerumunan. Dia baru berhenti saat kami ada di lorong yang mengarah ke laboratorium. Di hari Jumat begini, area ini sepi. Perasaan gue memburuk. Dari yang gue pelajari dari hubungan orang lain dan dari sifat Kanya, kalau dia ingin berbicara berdua begini, yang bakal dia ucapkan adalah hal-hal buruk.
Gue berusaha untuk nggak memikirkan itu. "Nggak mau pasta? Mungkin es krim?"
Kanya mendesah. "Kai, aku nggak mau pasta dan nggak mau es krim. Aku mau—"
"Kamu mau apa?" Gue langsung memotong ucapannya, takut mendengar apa yang bakal dia katakan. "Aku beliin apa pun yang kamu mau. Cokelat? Susu? Roti? Oh, kamu suka macaron, kan? Mau aku beliin itu?"
"Kaisar."
Gue terdiam. Kanya jarang banget panggil gue dengan nama gue. Selalu Kai, nggak pernah Kaisar. Terlalu fancy, katanya, nggak cocok buat gue yang lebih mirip idol Korea ketimbang anggota kerajaan. Kalau dia sampai panggil gue Kaisar dan bukan Kai, pasti karena dia sedang serius.
Gue menatap mata Kanya lekat. Matanya menunjukkan kesedihan. Perasaan buruk gue menguat. Tapi, dari yang gue lihat, gue rasa dia masih sayang sama gue. Gue cuma nggak tahu apakah gue beneran melihatnya, atau ternyata cuma halu.
"Kanya, please don't."
Kanya mengangguk pelan. "Kai, aku mau putus."
Tiga kata yang paling gue takutin akhirnya keluar juga dari mulut Kanya. Gue menggeleng. Kanya mengangguk. Gue menggeleng lebih keras. Kanya masih mengangguk.
"Nggak, Kan. Jangan." Gue meremas lengan Kanya. "Kenapa? Apa salahku? Kasih tahu aku, biar aku bisa perbaiki kesalahan itu."
Kanya melepas tangan kiri gue dan menunjuk pada angka di sana. Empat hari, 18 jam, 56 menit, dan beberapa detik. Dengan angka-angka putih itu, Kanya menampar gue bolak-balik dan mengingatkan gue pada fakta kalau dia bukanlah jodoh gue.
"Kamu tetap Permaisuri aku, Kanya," gue berkata lirih. "Aku nggak peduli siapa cewek itu. Aku nggak mau dia. Dia bukan permaisuri yang aku pilih, tapi kamu."
"Countdown ini akurat, Kai. Sepupu aku, nikah sama orang yang bukan jodohnya dan berakhir nggak bahagia. Kamu tahu apa yang bikin hidupnya tenang? Saat dia menikah sama jodohnya." Kanya mengangkat tangannya sendiri. Angka di sana berbeda dengan angka di tangan gue. "Aku bukan jodoh kamu, Kai. Kamu boleh memaksa, tapi kita tetap nggak akan berjodoh. Buat apa hubungan kita diperpanjang?"
"Nggak, Kan. Aku nggak mau putus."
"Tapi aku nggak mau melanjutkan kita."
Kanya mendorong gue dan berjalan menjauh. Gue nggak bisa mengejarnya. Dia jelas-jelas nggak mau berurusan sama gue hari ini. Gue nggak mau memaksanya.
"Aku bakal tetap pilih kamu, Kan!" gue berseru, berharap Kanya tetap mendengarnya. "Aku nggak akan pilih dia! Cuma kamu!"
Kanya menghilang dari pandangan gue.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro