Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

SC - 3

Kucoba lagi ingat tetangmu.
Di mana kita bertemu... untuk apa kita tertawa. Tetapi, sia-sia. Kini kamu di depanku dan menjelma menjadi orang asing.

Selamat membaca!
Jangan lupa vote dan commentnya ya... 😘😘

——————
Aku tidak menginginkanmu
Aku tidak mau bersamamu
Saat kamu menatapku penuh cinta
Hatiku tidak merasakan apa pun
Bahkan aku tidak mau meminta maaf untuk itu

Semua ini...
Tidak akan berhasil sayang
Matamu selalu tertuju padaku
Tapi aku tidak

————

Kata demi kata yang dinyanyikan tetangga itu merasuk ke dasar hatiku yang terdalam, dan nama Lemuel terselip mengganti kata kamu. Hingga  akhirnya petikan berhenti dan terdengar erangan keras—diikuti suara benda menghantam lantai. Lalu hening....

Apa yang terjadi? Ah, itu bukan urusanku. Aku tidak tahu siapa dia, baru pertama kali ini aku mendengar ada kehidupan di kamar sebelah—aku pikir tidak ada yang tinggal di sana—biasanya terlalu hening.

Aku masuk ke kamar berniat untuk tidur, tapi setelah merebahkan diri sekitar sepuluh menit, aku bangun dari ranjang dan kembali keluar ke balkon.

Aku mengulurkan leher, berharap bisa melihat sekilas. Gila! Aku bisa jatuh kalau terus memaksakan diri. Jadi aku berinisiatif mengambil kaca duduk, mengulurkan tangan melalui jeruji besi, dan mengarahkannya ke balkon sebelah. Tidak terlihat jelas selain pria berbadan besar dan kemungkinan tinggi,  duduk bersandara bertudung sweater hitam dan celana training panjang hitam.

"Hei! Are you okay?!" Aku yakin telah berteriak cukup keras, tapi si tetangga itu tetap diam. "Hei!" Ah! Kaca ini tidak banyak membantu, aku tidak bisa mengetahui apa yang terjadi. Jangan-jangan dia mencoba bunuh diri. Tadi lagunya bermakna kesedihan, dan kalau nggak salah dengar tadi dia sempat mengerang. "Hei! Apa saya harus telepon ambulance? Polisi? Atau pengaman apartemen?"

Dia melambaikan satu tangan dengan susah payah, lalu kembali terkulai di sampingnya dalam hitungan detik. Dia tidak menengok atau mencari sumber suaraku dari mana seolah kesulitan untuk bergerak meskipun sedikit.

Dia kesakitan, butuh pertolongan. Pasti. Namun, tadi suaranya terdengar baik—ya, walaupun sedikit serak—bisa aja itu memang khasnya. Aku menggeleng kecil sambil menarik mundur tanganku. Sebaiknya aku segera melapor petugas keamanan apartemen daripada menduga-duga tidak jelas. Aku masuk ke kamar, memakai jaket, lalu bergegas meninggalkan unit apartemenku. Namun, langkahku tertahan di depan apatemen sebelahku—tempat tetanggaku itu.

"Pasti dikunci, Tev," kataku pada diriku sendiri. Meskipun akal sehatku melarang usaha membuka pintu—bahwa yang aku lakukan sia-sia, tapi aku ingin memastikan separah apa kondisinya di dalam sana. Apa harus langsung menelpon ambulance, atau sempat melalui petugas keamanan. Kalau terjadi sesuatu yang gawat, meninggal, misalnya. Aku sendiri yang rugi selaku tetangga.

Tidak perlu usaha berlebih supaya pintu terbuka karena tidak dikunci. Ternyata ada juga orang yang punya kebiasaan tidak menguci pintu sepertiku. Begitu aku masuk suasana apartemen remang-remang, sedikit penerangan dari pintu kamar mandi yang terbuka dan lampu tidur di samping ranjang—ukuran studio seperti apartemenku—dengan keadaan lebih kosong. Balkon terbuka lebar. Aku melihat pria itu bersandar ditemani gitar dengan satu tangan melingakari perutnya sendiri.

"Hei! Ehm. Saya tahu ini nggak sopan, tapi... tadi saya... kamu kayaknya sakit." Aku tergagap sendiri begitu sampai di balkon.

Aku masih belum bisa melihat wajahnya, terhalang oleh tudung dan posisi kepalanya yang menunduk.

"Bukan masalah. Nanti juga hilang." Dia bicara dengan gigi terkatup. Dia terdengar menahan sakit.

"Saya panggil ambulance, oke?"

"Nggak usah... udah nggak usah... pedulikan gue." Dia kedengaran letih. Bukan, dia lebih dari sekadar letih. Lemah. Bagaimana mungkin aku tidak peduli kalau keadaan seperti ini?

"Oh... nggak bisa! Gimana kalau kamu kenapa-kenapa? Meninggal. Terus nanti kamu jadi hantu, gentayangan, kan saya yang rugi. Mengganggu ketenangan saya nanti."

Aku beringsut mendekat, dan dia mengangkat wajah sedikit. Badannya gemetaran, peluh menghiasi kening, wajahnya tampak pucat.

Aku langsung ternganga. "Astaga, coba lihat keadaanmu!"

Pria itu tampak mengumpulkan sisa-sisa kekuatan. "Kalau... lo—memang takut gue meninggal, tolong, ambilin obat di meja itu... itu obat penghilang sakit." Dia menunjuk meja hitam panjang depan ranjang.

"Kamu butuh lebih dari sekadar obat penghilang sakit." Aku menegakkan posisi badanku. "Kamu butuh makanan, dokter yang bagus—mungkin tidur cukup ampuh."

Pria itu tidak menyahut. Sorot matanya mengingatkanku sebuah perasaan yang menjengkelkan setelah usahaku pergi dari dunia ini, kesal karena diselamatkan. Aku berjalan menuju meja yang dia tunjuk, mengambil botol obat kecil dan sebotol air mineral—lalu kembali mendekatinya.

"Sini, saya bantu kamu." Aku mengulurkan tangan dengan satu butir obat dan air mineral, sementara satu tangan lain bersiap membantu badannya duduk lebih tegak.

Namun pria itu malah meringkuk ke dinding, lalu merampas obat dan botol air mineral begitu saja. "Gue cuman butuh ini—" Dia terlihat jelas melawan kesakitan yang bergelayut di badannya yang kurus itu. "—Lo udah nggak dibutuhin di sini. Kembali saja sana ke unit lo."

Biasanya, aku akan pergi. Khusus kali ini, aku tinggal. Tidak ada alasan utama. Aku hanya tahu dia butuh pertolongan. Di sini tidak ada orang lain yang bisa menolongnya, kalau aku pergi—lagi, dan lagi—aku menggunakan alasan klasik untuk membenarkan keputusanku, kalau terjadi sesuatu yang buruk terhadapnya—kenyamananku akan terganggu.

"Oh, nggak semudah itu. Kamu butuh lebih dari sekadar obat, kamu butuh dokter... kalau kamu nggak mau saya panggil ambulance, saya bisa mengantar ke rumah sakit—"

"Nggak!" Tolaknya tegas.

Apa dia benci rumah sakit? Atau... kalau dia tidak mau ke rumah sakit, aku harus membawa rumah sakit ke sini.

"Fine! Saya bantu kamu ke ranjang, setidaknya lebih nyaman daripada di sini."

Dia diam sejenak, kemudian meminum obat yang sedaritadi hanya digenggamnya. Setelah menunggu beberapa menit dia berusaha untuk berdiri, dan aku segera memosisikan diri siap membantunya. Ukuran badannya yang lebih kurus dari Lemuel, tidak menyusahakanku untuk membopongnya ke ranjang. Tulang pipinya menonjol, tidak seimbang dengan bahu yang lebar dan tangan besar. Entah kenapa wajahnya yang tirus, meskipun pucat—memberi kesan pemberontak dan menguatkan kesan sulit didekati. Terbukti dari cara dia menapatku dengan kewaspadaan binatang liar yang tersudut karena cedera.

Kami berhasil mencapai ranjang. Aku segera menyelemutinya sampai sebatas leher.

"Diam di sana," perintahku sambil terus membungkus badannya rapat-rapat. "Saya akan kembali sebentar lagi."

Mungkin karena ketegasaan suaraku, mata pria itu jadi terbuka lebar. "Lo mau balik ke unit? Kalau iya—nggak perlu ke sini lagi."

Mata cokelat itu. Sorot kesakitan, tetapi tidak ingin diselamatkan nampak jelas di sana. Bukan hanya itu, dia kelelahan. Dia... sepertiku. Haruskah aku abaikan saja pria ini? Sedari awal dia tidak mau ditolong, aku tahu rasanya menyebalkan saat ingin sekarat tapi ada orang susah payah membuat kembali hidup. Dia pasti kesal padaku. Namun... aku masih tidak bisa mengabaikannya.

"Iya," sahutku akhirnya. "Saya kembali ke unit untuk mengambil makanan, kebetulan tadi saya masak sop dan ayam goreng—masih ada, bisa buat kamu."

Dia mengamatiku malas-malasan. Dia mau membantah lagi, aku tahu... jadi aku meninggalkan dia buru-buru.

Begitu aku kembali ke apartemen, aku terdiam di depan pintu. Kenapa aku mengambil risiko aneh seperti ini? Siapa pria itu? Aku tidak mengenalnya, tapi  kenapa hatiku berkata dia tidak asing. Kenapa aku terdorong untuk peduli padanya? Aku belum pernah peduli pada orang asing seperti ini, orang yang kukenal saja kadang kuabaikan.

Siapa kamu?
Kenapa denganku?

Terima kasih sudah membaca!
Follow ig
Flaradeviana

Untuk update naskah2/quote aku.

Love, Fla

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro