Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 7: Someone to Lean On

Sepertinya aku tak bisa update hari Sabtu karena ada jaga stand, jadi aku update sekarang aja.

Vote & komentar teman-teman sangat berarti untuk aku. Jadi, terima kasih buat yang bersedia klik ⭐ (vote) dan komentar di setiap narasi/dialog yang menarik 💕

*** *** ***

Berita sela usai, layar TV berganti dengan iklan minuman kesehatan pesaing True Drink, dibintangi member idol grup DZ Entertainment yang sedang naik daun.

Cerianya lagu yang terdengar dan ekspresi bahagia setiap member seakan mengolok-olok Rin. Perasaan bersalah yang Rin rasakan semakin menjadi.

Melihat Rin sama sekali tak mempedulikan celananya yang basah, membuat Darren mengeluarkan sapu tangan dari dalam jas yang ia kenakan, lalu mengulurkannya ke arah gadis yang wajahnya kian memucat. "Pakai ini---"

"Aku ke toilet dulu," sela Rin tak menggubris uluran tangan Darren, lalu berjalan ke arah belakang.

Tatapan Darren mengikuti langkah Rin, sebelum ia melirik ke arah sahabat gadis itu. Berbeda dengan Rin yang berusaha keras menahan diri, Namira sama sekali tidak menutupi raut cemasnya.

"Kamu pasti bertanya-tanya." Namira berkata tanpa mengalihkan pandangannya dari arah toilet. "Kenapa Rin bertingkah aneh saat dengar berita."

Namira menoleh dan mendapati Darren tengah menatapnya datar, berbeda ketika ada Rin bersama mereka.

*** *** ***

Naureen menatap pantulan dirinya dari cermin di dalam toilet. Wajahnya yang pucat terlihat kacau dengan mata yang memerah dan sedikit basah.

Berita sela tadi bukan berita bunuh diri pertama yang Rin dengar, mengingat kasusnya terus meningkat dari hari ke hari dengan latar belakang yang beragam. Tapi, mengetahui gedung kantor papanya menjadi tempat kejadian nahas itu berlangsung, ternyata bukan sesuatu yang bisa Rin hadapi dengan mudah.

"Papa berikan saham lagi untuk Rin tahun ini?" Mama berhenti memotong daging steak di piring dan menatap suaminya tak percaya.

"Jumlahnya masih jauh daripada total saham Eric, bagaimanapun dia anak laki-laki dan yang akan menjadi penerus." Papa menjawab dengan santai, lalu meminum sangria cocktail-nya.

Eric yang masih berusia 8 tahun melirik kakaknya. Rin terlihat tak peduli dengan hadiah pemberian papa dan sibuk menikmati rosemary chicken di hari ulang tahunnya yang ke-19.

"Ke depannya, segala sesuatu yang terjadi di perusahaan, adalah tanggung jawab Eric dan Rin. Perusahaan fokus di industri musik dan acting, nggak mungkin Eric handle semua sendirian."

Mama bergeming---entah karena setuju atau tak punya argumen untuk menolak---lalu kembali menyantap steaknya dengan elegan. Sementara papa lanjut bicara mengenai kerja sama antara sutradara Korea Selatan dan DZ Entertainment untuk drama pertama mereka dengan semua aktris dan aktor trainee yang ada.

Makan malam ulang tahun yang lebih mirip dengan diskusi bisnis membuat Rin muak. Ia berharap bisa segera menyelesaikan ini dan merayakan pesta ulang tahun yang sebenarnya dengan Namira dan Lika.

Naureen membasuh wajahnya dengan air mengalir di wastafel beberapa kali, sebelum ia kembali menatap cermin.

Ingatan makan malam hari itu bertumpang tindih dengan memori saat Rin memutuskan keluar dari rumah. Kemalangan orang lain menjadi pemicu ledakan untuk semua emosi yang telah bertahun-tahun Rin pendam seorang diri.

"Bukan salahmu, Rin. Kali ini... Kamu nggak buat kesalahan apa pun. Jadi berhentilah---" Air mata meluncur bebas dari salah satu matanya. Seketika, Rin menyalakan air lebih kencang. Ia berusaha menangis tanpa suara.

*** *** ***

"Tolong antar Rin pulang, tapi jangan tanya apa pun di jalan." Namira menarik kursi di depan Darren, lalu duduk. Ekspresi cemasnya perlahan berubah. Sesuatu yang tak bisa Darren baca muncul di netra gadis itu.

"Kamu dengar bunyi air, kan?"

Darren melirik sekilas ke arah pintu toilet, sebelum kembali menatap Namira.

"Rin menangis, seperti biasa."

"Maksudnya?" Darren menegakkan tubuhnya, terkejut.

"Rin selalu menangis sendirian, dia nggak mau orang lain melihatnya nampak menyedihkan. Itu sebabnya, pertanyaan hanya akan membuat Rin lebih berpura-pura, kalau dia baik-baik aja."

Darren mengerutkan alis, "Berita tadi nggak menyebut nama korban---"

"Ada satu dan lain hal yang nggak bisa saya jelaskan, tapi anggaplah... Rin seorang empath. Dia selalu merasakan emosi dari kemalangan orang lain."

Darren bergeming, respon Rin saat tahu Namira mungkin dalam bahaya membuat alasan empath terdengar masuk akal.

"Kenapa Rin tidak menginap denganmu? Bukannya para gadis akan merasa lebih baik setelah curhat?"

Namira menggeleng sambil bersedekap. "Curhat itu mentransfer emosi negatif. Kami sama-sama di fase yang nggak bisa melakukannya sekarang. Jadi lebih baik, Rin bersamamu. Saya... bisa mempercayai Rin padamu, kan?"

Darren termenung menatap Namira. Sesuatu yang Darren harapkan, terasa menjadi semakin besar berkat pertanyaan sahabat Rin.

*** *** ***

Lika berjalan mondar mandir di pantry dengan satu tangan menggenggam ponsel. Sambungan telepon yang tidak kunjung terjawab membuat gadis yang baru selesai rapat akhir bulan itu semakin gelisah.

"Kenapa lama banget jawabnya, sih?" seru Lika begitu telepon diangkat. "Kamu baik-baik aja, Ra?"

"Hm, aku nggak apa-apa. Rin juga baru pergi sama atasannya."

"Atasan? Siapa? Duh, bukan itu yang penting. Rama, dia ngapain ke sana? Ngamuk lagi kayak sapi gila?"

"Dia minta makan, habis itu pergi. Nggak lama Rin datang naik motor sama cowok tinggi berkacamata."

Lika tercengang. "Dar---tunggu, dia kayak apa? Siapa tahu timnya Rin ada yang tiba-tiba pakai kacamata selain orang itu dan aku nggak tahu."

"Hm, dia pakai setelan jas dan mukanya datar."

"Astaga, bener Darren!" Lika yang tanpa sadar menyerukan nama pria dengan banyak penggemar langsung menatap situasi sekitar.

"Dia antar Rin ke kafemu?" tanya Lika dengan suara nyaris berbisik.

"Hm, sekarang lagi antar Rin pulang---bentar, kamu belum lihat berita, ya?"

"Aku baru selesai rapat dan langsung telepon kamu, mana sempat cari berita terbaru. Memangnya kenapa?" Lika duduk di salah satu kursi pantry yang menghadap ke jendela. Langit yang gelap mulai meneteskan rintik hujan.

"Seseorang bunuh diri di gedung DZ Entertainment. Rin keliatan syok banget waktu beritanya tayang di TV. Dia juga sempat nangis diam-diam di toilet."

Kilat putih dan guntur yang terdengar di luar gedung, tidak lebih mengejutkan dari kabar yang Namira sampaikan. Lika terdiam.

"Aku berhasil kasih alasan ke Darren kalau Rin itu empatinya tinggi, makanya sedih karena berita bunuh diri. Tapi kelihatannya, Darren orang yang peka. Aku khawatir Darren tahu sesuatu karena antar Rin pulang."

Dua sahabatnya menghadapi situasi yang sulit di saat bersamaan, sementara Lika justru terjebak dengan atasannya yang gila kerja. Lika merasa gelar sahabat tidak layak untuknya, mengingat betapa pedulinya Rin dan Ra pada Lika selama ini.

"Aku lagi nggak bisa hadapi Rin yang lagi kacau, tapi aku juga nggak mau biarin Rin sendirian. Makanya aku minta Darren mengantarnya pulang. Sekarang, aku malah mencemaskan keputusanku. Aku bodoh banget, ya?"

Namira yang cenderung pendiam jadi banyak bicara, bahkan persis setelah kakak kandungnya menyambangi gadis itu, seperti sebuah anomali.

Anomali yang menyesakkan hati.

"Nggak. Kamu nggak bodoh." Suara Lika bergetar, "Laki-laki itu, aku percaya dia bisa menjaga Rin. Mungkin... malah lebih baik daripada kita berdua."

Mata Lika memanas dan mulai basah. Bendungan itu siap pecah.

"Selama ini, dia selalu melindungi kamu dan peduli padaku. Sampai kita lupa... dia juga punya luka."

Lika langsung menghapus jejak sungai yang mengalir dari sudut matanya. Namun yang terjadi, aliran itu justru jatuh semakin deras.

Lelah kerja dan kekhawatiran yang mengeroyok tubuh serta pikiran, membuat Lika tak kuasa menahan diri. Ia putuskan sambungan telepon lalu menunduk.

Lika mencoba menahan isak dengan menutup wajahnya menggunakan kedua tangan yang bertumpu pada meja.

Langkah Malik yang tiba-tiba datang untuk membuat minuman, seketika terhenti di pintu masuk ruang pantry.

Bahu yang gemetar dan suara isakan yang ditahan gadis itu membuat Malik bimbang beberapa saat. Sebelum akhirnya ia melangkah mundur tanpa suara, lalu sengaja menghentakan kakinya memasuki pantry.

Lika seketika menegakkan duduk dan mengusap matanya. Ketika gadis itu menoleh, Malik tengah mengambil cangkir dari rak kabinet lalu menatapnya.

"Mau kopi?" Malik tak memedulikan bekas tangis Lika yang nampak jelas.

"Kopi?" Lika membeo. Ia terlalu terkejut untuk menerima tawaran dari atasan gila kerjanya itu. Dia sama sekali nggak tanya kenapa aku menangis?

"Kopinang kau dengan bismillah," sahut Malik dengan wajah santai.

Lika seketika tertawa, lalu menutup mulut sambil membuang wajah dari Malik yang jadi terlihat lebih manusiawi dengan jokes bapak-bapaknya.

"Cringe, ya? I think so, tapi saya nggak ada ide lain buat bikin kamu ketawa, selain jokes yang saya dengar waktu makan siang." Malik mulai membuka dua kopi saset di cangkir berbeda dan menuang air panas.

Perlahan, Lika menoleh ke arah pria yang terlihat seksi dengan dasi yang sudah tidak karuan itu. Jadi, dia lihat? Tapi nggak bertanya apa-apa dan langsung melawak?

Malik mendekat ke arah Lika lalu mengulurkan salah satu cangkir. "Saya jadi merasa bersalah karena kamu nangis selesai tim kita rapat. Saya terlalu kejam, ya?"

Lika mengambil cangkir sambil mengangguk pelan, "Lebih kejam kalau nggak ada bonus lemburnya."

Malik duduk di sebelah Lika dengan senyum kecil. "Mumpung kerjaan kita sudah selesai, saya nggak keberatan kalau kamu mau cerita. Anggap aja sebagai permintaan maaf saya karena menginterupsi waktu metime-mu."

Dia nggak menyebutku cengeng karena menangis, batin Lika menghangat, meski ia belum menyesap kopi buatan atasannya.

Entah mengapa, Lika berani menceritakan apa yang sedang ia rasakan. Kecemasannya pada Namira karena tidak bisa membantu di saat genting. Rasa bersalahnya pada Rin yang selalu bisa diandalkan padahal ia sendiri butuh sandaran. Dan... perasaan Lika yang mengatakan bahwa beban dan lukanya tidak sebanding dengan apa yang dialami Rin dan Ra.

"Kamu tahu kenapa kamu berpikir masalah sahabatmu lebih berat dari masalahmu sendiri?" tanya Malik sambil menatap Lika yang menggeleng pelan. "Itu karena kamu nggak menyayangi dirimu, sebesar kasih sayangmu ke orang lain."

Lika terpaku, sementara Malik masih memperhatikannya tanpa berpaling.

"Saya paham kamu udah bersahabat lama dengan mereka, tapi bukan berarti kamu selalu menomorsatukan orang lain lebih dari diri kamu sendiri. Lika, di dunia ini, orang yang seharusnya paling peduli dan sayang sama kamu. Itu diri kamu sendiri, bukan orang lain."

Malik menyesap kopinya sambil menatap hujan yang turun semakin deras.

"Bukannya itu... egois? Aku tahu apa yang sudah sahabatku alami, jadi aku pikir mereka lebih menderita---"

"Selama kamu tersakiti dengan masalahmu," potong Malik, ia kembali menatap Lika. "Itu berarti kamu juga menderita. Sayangi dirimu dulu, sebelum kamu sebegitu sayangnya ke orang lain."

Lika terdiam, perlahan ia ikut menikmati kopi yang terasa lebih manis dari biasanya. Padahal Lika tahu persis, kopi yang Malik buat adalah produk Maha F&B yang dibuat tanpa pemanis.

Bibir Lika masih menempel ke cangkir, namun matanya melirik Malik yang tengah memperbaiki dasinya.

Ternyata... dia punya sisi yang manis juga.

*** *** ***

Setelah semua yang terjadi, Namira memutuskan untuk tutup lebih cepat. Ia tidak merapikan kafe seperti biasa dan langsung mengunci pintu.

Namun, langkah lari seseorang yang mendekat, membuat Ra bersikap waspada dengan memegang stun gun pemberian Rin dan Lika dengan kuat.

"Ra!"

Namira seketika berbalik dengan tangan menggenggam stun gun di udara, "Chan..?!" tanya Namira heran.

Laki-laki ber-outer kemeja dongker itu nampak terengah-engah. "Kamu udah mau tutup? Kenapa? Cowok tadi datang lagi?"

Chandra menghilangkan jarak yang tersisa, hingga Namira bisa melihat bulir keringat di dahi laki-laki itu. "Kenapa kamu bawa stun gun?"

Namira langsung menyembunyikan senjata itu ke balik punggungnya. "Buat jaga-jaga aja."

"Bener juga, sih. Daerah sini lumayan sepi. Parkir mobil juga agak jauh." Chandra memperhatikan lingkungan sekitar.

"Makanya harga sewa di sini lebih murah daripada yang lain."

"Makanya kafemu lebih sepi daripada yang lain," sanggah Chandra dengan wajah serius. "Kalau terlalu sepi, kejadian tadi bisa terulang lagi. Kamu benar nggak apa-apa?"

Namira mengangguk. "Terima kasih buat yang tadi, tapi kenapa kamu balik lagi? Memangnya urusanmu sudah selesai?"

Chandra mengangguk dengan kuat, "Sudah. Aku nggak tenang. Takut kamu diganggu orang itu lagi."

Namira tertawa kecil. "Bisa berhenti mengikutiku nggak?"

Chandra memasukkan kedua tangan ke saku celana. "Aku senang lihat kamu ketawa. Kamu keliatan muram, nggak kayak biasanya. Oh!" Buru-buru ia mengeluarkan ponsel dan mengulurkannya ke Namira.

"Kita tukar nomor saja. Kalau sewaktu-waktu orang itu datang, hubungi aku. Ini kafe favoritku karena masih sepi, aku harus melindungi kafe ini dari perisak."

Namira mengambil ponsel Chandra dan mulai mengetikkan nomornya, sampai sesuatu mengganggu pikiran Ra. "Kamu... nggak tanya dia itu siapa?"

"Apa kamu berharap aku bertanya?"

Keterkejutan terlihat di wajah seputih pualam gadis itu. Namun, Namira menggeleng pelan dengan senyum masam.

"Ya sudah, aku nggak akan tanya. Tapi kamu tetap harus hubungi aku kalau dia mengacau lagi. Kecuali kamu punya karyawan laki-laki."

Namira menyelesaikan ketikan nomornya di ponsel Chandra, lalu mengembalikannya pada pria itu. Sedetik kemudian, ponsel Namira berdering.

Setelah sekian lama, akhirnya ada nomor baru yang bertambah di daftar kontak Namira. Seseorang yang juga mencemaskannya setiap kali harus berurusan dengan Rama, seperti Rin dan Lika.

*** *** ***

Hujan yang semakin deras membuat Darren terpaksa memberhentikan motornya di depan sebuah halte kecil yang sepi. Tak seperti sebelumnya, Rin tidak langsung berlari ke halte setelah turun dari motor, melainkan menunggu Darren.

Rintikan air yang bergerak miring dari depan membuat Darren dan Rin tetap terguyur walau telah berteduh. Angin yang berhembus membuat tempias hujan semakin membasahi wajah dan tubuh mereka.

Rin mencoba mengurangi guyuran ke wajahnya dengan telapak tangan, meski tidak banyak membantu.

Darren memperhatikan Rin diam-diam, lalu melepas jaket yang ia pakai dan melebarkannya di depan wajah Rin.

Rin menoleh perlahan ke arah pria yang kacamatanya telah basah, hingga tak lagi terlihat iris gelapnya yang bisa mengintimidasi.

"Kenapa kamu bersikap begini padaku?"

Alis Darren mengerut, bingung.

"Menolongku di lift, membelikanku makanan, memberiku obat, mengantarku. Kenapa kamu sebaik ini?"

Tatapan yang lebih dingin dari biasanya. Intonasi yang tak bersahabat. Darren menyadari semuanya. Namun Darren juga sadar, jawaban jujur untuk pertanyaan Rin saat ini hanya akan memperburuk emosi Rin yang sedang tidak stabil.

Kebisuan membuat pikiran Rin semakin berkecamuk.

Sedekat apa pun hubungan persahabatan, kami tetap memberi batasan agar tidak lagi terluka karena satu sama lain. Tapi pria ini... seenaknya dia masuk ke dalam batas milikku. Dan membuatku ingin bersandar padanya.

BERSAMBUNG
Februari 29, 2024

Alhamdulillah 2153 kata,

Gimana chapter ini?
Coba tulis kesan & pesan kalian di line ini. Jangan lupa juga klik ⭐ ya.

Aku paling suka dengan interaksi Lika & Malik.
Pria gila kerja, ternyata punya sisi dewasa yang manis juga, kan?
Jadi pengen lepasin dasi sama kemejanya nggak? (uhukkk!!!🔞)

Darren dan semua act of service-nya... kalau nggak kuat, silakan komentar di line ini.

Chan dan semua tingkah konyolnya... kalau mulai oleng, silakan komentar di line ini.

Sampai jumpa di chapter berikutnya, insyaAllah pekan depan.

With love,
Nnisalida 💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro