Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 6: Power of Fear

Lagu di atas adalah Ost untuk hubungan Naureen & Darren, karena maknanya pas, terutama dari PoV Darren karena penyanyinya laki-laki. Silakan dinikmati setiap kali ada momen Rin & Ren berdua.

Jangan lupa klik tanda bintang untuk support karyaku kali ini, makasih ^_^

*** *** ***

Sorot mata yang biasanya sebeku kutub utara, kini justru memancarkan kehangatan. Wajah yang kian menjingga membuat tatapan pria itu seindah musim gugur, yang sebenarnya belum pernah Naureen rasakan selain melalui drama.

Gadis itu tenggelam, namun ia tak berusaha menyelamatkan diri. Keindahan tak terbantahkan membuat Rin lupa, siapa yang tengah merisak masuk ke alam bawah sadarnya.

Langit kian menggelap, angin yang berhembus terasa mulai menusuk tulang. Tanpa mengalihkan pandang, Darren melepas jas hitam yang ia kenakan dan menyampirkannya di bahu Rin.

Dalam sedetik, kesadaran menerpa Rin tepat ketika Darren merapatkan jasnya di tubuh mungil gadis itu. Tak ada suara yang keluar dari bibir merah mudanya, Rin terlalu terkejut untuk bicara.

"Jangan sampai masuk angin," ujar Darren, lalu bangkit meninggalkan Rin.

Tanpa ia ketahui, gadis itu baru bisa mulai bernapas dengan benar setelah tubuh jangkungnya menghilang dari pandangan.

Rin menarik oksigen sebanyak yang ia bisa. Tangannya meraba dada. Jantungnya bertalu luar biasa. Perutnya pun bergemuruh, seakan ribuan kepakan sayap memenuhi setiap sudut rongganya, alih-alih rasa kenyang.

Tadi itu... apa?

Matahari telah meninggalkan singgasana, membiarkan langit dipenuhi kegelapan tanpa bintang. Gelap dan dingin, seperti itu pula isi pikiran Rin saat ini.

Tangan Rin meraba jas yang atasannya sampirkan di tubuhnya. Aroma Darren menguar tertiup angin, membuat Rin semakin tak bisa memikirkan apa yang sebenarnya baru saja terjadi.

*** *** ***

Seperti hari-hari sebelumnya, Namira menunggu kedatangan pelanggan sambil mengerjakan berbagai hal. Namun sekarang, sudah tak ada lagi yang bisa Ra kerjakan, karena semua telah ia lakukan sejak membuka kafe hari ini.

Entah sejak kapan, Ra mulai ikut menikmati proses terbenamnya matahari, persis seperti yang biasa sahabatnya lakukan selama ini.

Ra menumpu kepalanya dengan kedua tangan di atas meja bar. Ia benar-benar berharap ada seorang pelanggan yang datang, tentu saja selain Chan.

"Saya Chandra. Kamu..?"

"Namira, biasanya dipanggil Ra aja."

"Ra aja? Raja?"

Namira tertawa kecil dengan jokes receh Chandra. "Ra. Bukan raja."

Pria itu tersenyum simpul. "Kalau gitu panggil saya Chan, tanpa Shin. Nanti jadi kartun anak TK, tau kan?

Bibir Namira tersenyum kecil, perkenalan singkat itu selalu saja berhasil membuat mood-nya membaik. Bagaimanapun, Ra bersyukur kafenya mulai memiliki pelanggan tetap yang menyenangkan.

Bunyi krincing dari pintu kafe yang dibuka membuat lamunan Ra buyar, dengan sigap Ra berdiri dan tersenyum untuk menyapa pelanggannya. Namun dalam sedetik, ekspresi ramah itu menghilang saat ia mendapati sosok yang berdiri di depannya sekarang.

"Ekspektasiku berlebihan ternyata." Rama memperhatikan seisi kafe Namira yang kosong pelanggan. Senyum meremehkan tak ia sembunyikan dari bibirnya. "Kupikir kamu lebih baik dariku, ternyata nggak tuh."

"Mau apa Kakak ke sini?" tanya Ra dingin, diam-diam tangannya meraih ponsel di bawah meja bar dan membuka kunci sidik jari.

Tak menggubris pertanyaan adiknya, Rama berjalan ke arah meja paling ujung yang biasa ditempati Chan. "Pantas kafemu ini sepi..."

Secepat mungkin, Ra mengirim pesan ke group chat selagi Rama tak melihat.

"Sikapmu ternyata begini?" Rama membalikkan tubuh. Senyum sarkas masih bertengger di bibirnya.

Rama kembali berjalan ke meja bar, lalu duduk di salah satu kursi persis di depan Ra berdiri. "Ahh, laparnya. Apa makanan yang paling enak di sini?"

Keringat dingin mulai menetes di balik poni Namira. Gadis itu sadar, ia akan segera menghadapi situasi terburuk... sendirian.

*** *** ***

Naureen keluar dari lift dengan tangan menggenggam jas hitam Darren. Ia menghela napas lega, hampir semua karyawan Maha F&B sudah pulang. Hanya tersisa beberapa orang yang terlihat begitu fokus di mejanya.

Langkah Rin memberat ketika semakin dekat dengan ruang kerja timnya. Tapi lagi-lagi, Rin merasa lega saat tahu hanya ada Darren yang tersisa di kubikelnya.

Sejak langkah kaki terdengar, Darren mulai menajamkan pendengarannya. Dia datang, batin Darren mendadak gugup. Ia teringat apa yang baru saja terjadi antara mereka beberapa saat sebelumnya di taman.

Angin berhembus menggerakkan poni rambut Darren. Dingin yang menyentuh wajah, membuat Darren seketika melepas jasnya.

Tak mengindahkan ekspresi gadis di hadapannya yang terkejut, Darren menyampirkan dan merapatkan jasnya di tubuh Rin.

"Jangan sampai masuk angin."

Darren bergegas berdiri dan berjalan meninggalkan Rin menuju pintu masuk gedung. Ia tak menyangka kebisuan gadis itu justru mulai menghancurkan ketenangannya.

Di balik pintu, Darren bersandar. Ia meraba dada, cemas kebisingan jantungnya dapat tembus keluar tubuh.

Sebelum melangkah ke arah lift, Darren menoleh sekilas. "Apa dia akan langsung turun?" gumam Darren mulai panik. "Bahaya, aku nggak bisa menemuinya sekarang."

Alih-alih menggunakan lift, pria itu justru berlari ke arah tangga darurat dan mulai menuruninya dengan cepat. Bagaimanapun caranya, Darren ingin bertemu lagi dengan gadis itu dalam kondisi sudah tenang.

"Ren," panggil Naureen pelan.

Lamunan Darren buyar, ia mendongak dan mendapati Rin berdiri di depannya sambil mengulurkan jas. Tanpa bicara, Darren mengambilnya dari tangan gadis itu.

"Terima kasih, saya duluan."

Darren hanya mengangguk, lalu Rin berbalik menuju mejanya.

Saya? Bukannya tadi kita... Darren memperhatikan Rin yang tidak kunjung mengambil tas dan pergi, gadis itu terlihat mengambil ponsel dari saku celananya dan menjawab telepon.

"Kenapa, Ka?" tanya Rin langsung, salah satu tangannya mulai menutup satu per satu website yang masih terbuka di laptopnya.

Sementara di meja yang berbeda, Darren mengerutkan alis. Siapa Ka?

"Belum, aku baru beres makan. Memangnya kenapa?"

Ekspresi Rin terlihat berubah, ia yang sebelumnya tenang buru-buru duduk di kursi dan membuka salah satu aplikasi di laptopnya.

Suara Lika barusan seakan kembali berputar di kepala Rin.

"Aku baru baca chat di grup, Ra larang kita ke kafe, ada Rama di sana. Kita harus apa, Rin? Aku belum bisa pulang sekarang."

Layar laptop Rin terpecah menjadi dua panel yang menunjukkan visual berbeda. Rin bersyukur ia berhasil diam-diam memasang kamera CCTV tanpa sepengetahuan Namira.

Panel kiri menunjukkan area pintu dan bagian depan kafe, Rama terlihat duduk di bar sambil makan sesuatu.

Sementara panel kanan menampilkan wajah Rama yang tengah mengunyah sambil terus menyunggingkan senyum intimidasi.

Meski tak bisa melihat wajah Ra, Rin sadar kalau tubuh sahabatnya yang berdiri di meja bar itu mulai gemetar.

"Rama brengsek," gumam Rin. Otaknya mulai memikirkan cara tercepat untuk pergi ke kafe Namira.

"Dia keliatan gemetaran."

"Kakak macam apa yang senang mengintimidasi adiknya?" sahut Rin tanpa berpikir. Lalu ia menoleh dan mendapati Darren tengah menatap layar laptopnya dengan serius.

"Kakak? Auranya lebih mirip pem-bully dan korban-" Darren melirik Rin dan terkejut saat mendapati gadis itu menatapnya dengan berbinar.

"Kamu naik motor, kan?"

Meski heran, Darren mengangguk. Pertanyaan tentang bagaimana gadis itu bisa tahu terpaksa Darren tahan.

"Tolong antar aku, ini darurat." Rin menggenggam lengan Darren kuat. "Sepuluh menit sampai, kan?"

"S-sepuluh menit?!" Darren menganga, tapi gadis itu justru terlihat semakin yakin dengan ucapannya.

*** *** ***

Naureen bergerak gelisah di parkir basement, ia menunggu Darren mencari pinjaman helm untuknya.

"Apa aku naik ojol aja, ya?" gumam Rin sambil membuka ponselnya.

Suara seseorang berlari mendekat membuat Rin menoleh. Sesampainya di depan Rin, Darren langsung membuka kunci helm dan memakaikannya ke kepala Rin.

"Maaf lama." Darren terengah, "Lain kali aku bawa dua helm."

Rin terpaku sesaat, ia tak menyangka Darren akan melakukan hal yang di luar dugaan lagi.

Darren bergegas naik motor dan mengulurkan tangannya untuk membantu Rin duduk di jok motor sport-nya yang tinggi.

Tangan Rin meraih jemari Darren, lalu naik. Sedetik kemudian mesin kuda besi itu menyala dan beranjak dari parkir basement menuju jalan raya yang padat kendaraan.

"Pegangan, Rin," kata Darren dari dalam helmnya.

Rin yang semula enggan melingkarkan tangannya di pinggang Darren, kini menguatkan pegangannya dengan penuh penyesalan.

Kepala Rin bersandar pada bahu Darren, matanya memejam dan membuka dalam kurun waktu singkat karena pergerakan motor yang mengingatkan Rin akan arena balap.

Sepuluh menit sampai di jam sibuk itu gila, tapi orang ini malah mengiyakan permintaan gilaku!

*** *** ***

Tidak sampai lima belas menit, motor Darren berhasil berhenti tepat di depan kafe Namira. Meski gemetaran sekujur tubuh, Naureen tetap langsung turun dari motor, melepas helm dan bergegas masuk meninggalkan Darren.

Bunyi krincing dari pintu kafe berpenanda CLOSE yang dibuka membuat Namira seketika menoleh dengan kilat ketakutan yang jelas di matanya.

Melihat sahabatnya terduduk dengan wajah pucat di salah kursi tamu, membuat Rin langsung menghampiri Namira dan memegang bahunya. "Kamu baik-baik aja? Kamu terluka?"

Rin mengamati setiap sudut tubuh mungil sahabatnya.

"Rin..." Namira terkejut hingga tak bisa berkata-kata. Hatinya dipenuhi rasa syukur karena orang yang ia percaya datang, tapi Ra juga takut Rama kembali dan berkonfrontasi dengan Rin.

Pintu kembali terbuka, Namira menoleh dan mendapati pria jangkung bersetelan jas dan berkacamata masuk.

"Dia atasanku, kamu nggak usah cemas."

Ucapan kalem Rin membuat alis Namira seketika mengerut, dia datang ke sini bareng atasannya?

Darren menelusuri tiap sudut kafe Ra tanpa bicara, seakan mencari sesuatu.

"Dia sudah pergi," kata Ra membaca situasi. "Syukurnya, dia pergi sebelum mengacau."

Rin bergeming, baru tersadar bahwa seharusnya ia melakukan hal yang Darren lakukan, memastikan pria brengsek itu tidak ada.

Kaki Rin beranjak menjauhi Ra, ia mengambil cangkir dan mengisinya dengan air hangat. Lalu kembali mendekati sahabatnya lagi.

Ra menerima cangkir dengan senyum kecil dan meminumnya.

"Terjadi sesuatu, kan? Rama nggak mungkin pergi baik-baik." Rin menarik salah satu kursi dan duduk di sebelah Namira.

Gadis itu mengangguk, ia meletakkan cangkir sebelum bersuara. "Seorang pengacara membantuku, dia berhasil bikin Kak Rama pergi setelah mengancamnya."

"Mengancam?" Mata Rin menyipit. "Rama bahkan nggak takut dengan ancamanku," cicit Rin tak suka.

Darren yang berdiri di dekat Rin melirik gadis itu ingin tahu, ancaman seperti apa yang Rin maksud.

"Pengacara itu bilang..."

"Satu saksi saja cukup untuk memenjarakan seseorang."

Rama mengernyit, kilat tak suka nampak jelas di matanya saat pelanggan yang baru saja masuk, langsung menarik Namira untuk berdiri di balik tubuhnya. "Jangan ikut campur-"

"Pergi, atau aku perlu melakukan pekerjaanku sebagai pengacara sekarang?"

"Apa dia punya kartu nama?"

Kompak, Rin dan Ra seketika mendongak. Darren terlihat semakin tinggi saat dilihat dari sudut pandang orang yang duduk.

Namira menggeleng, "Tapi, dia punya buku bersampul emboss Chan, penanya juga. Aku selalu melihatnya memakai dua benda itu setiap ke sini untuk minum beberapa cangkir kopi di sana."

Darren seketika menoleh ke arah meja yang Namira tunjuk. Meja pojok. Ia semakin yakin kalau pengacara yang teman Rin maksud adalah sosok yang Darren kenal.

Di lain sisi, Rin mengeluarkan ponsel dan dengan cepat membuka kolom pencarian online. Lalu menunjukkannya ke Namira. "Penanya seperti ini?"

Mata Namira terbelalak, "Iya ini-harganya setara harga laptop!?"

"Dia bukan pengacara!" Rin berseru. Darren dan Namira seketika terlonjak. "Dia penulis komik nggak terkenal yang menyebalkan!"

Darren menggigit bibir menahan tawa, sedangkan Namira melongo tak paham.

"Nggak ada hal baik yang terjadi kalau berhubungan dengannya, Ra. Kamu harus, hindari, dia." Rin memberi penekanan di empat kata terakhir, sebelum ia menceritakan tragedi mandi cokelat tempo hari.

"J-jadi... orang itu... Chandipa?" tanya Namira linglung.

Rin refleks melirik ke arah Darren, Ra langsung mengerti kode itu.

Namira mendadak bangun. Ekspresi terkejutnya lenyap tergantikan dengan tawaran makan malam.

Rin mengembalikan arah kursi dan mempersilakan Darren duduk di depannya. Gadis itu mulai mencerocos, dari makanan sahabatnya yang enak, kemampuan Darren mengendarai motor yang serupa pembalap, hingga kenyamanan helm yang Rin pakai.

Namun Darren bergeming. Matanya fokus pada raut wajah Rin. Jadi, begini caramu menyembunyikan sesuatu?

Rin kehabisan topik dan menyalakan TV yang sedang menyiarkan berita sela.

Di saat yang sama, Namira mulai menyajikan chicken popcorn, potato wedges dan salad. Tangan gadis itu mulai meletakkan gelas berisi minuman dingin ke depan Darren.

"-telah terjadi aksi bunuh diri di gedung DZ Entertainment, berikut rekaman video amatir yang kami terima dari narasumber."

Seketika gelas yang Namira hendak berikan ke Rin tergelincir di atas meja, menumpahkan semua isinya dan mengucur begitu saja ke celana kerja Rin.

Darren yang semula terkejut justru terpaku dengan sorot mata Rin. Gadis itu menatap nanar layar TV. Dalam video amatir, area gedung DZ Entertainment terlihat melakukan pembatasan yang sangat ketat dengan banyak petugas.

"Seorang trainee wanita melompat dari atap gedung berlantai 9 dan mendarat tepat di atas sebuah mobil yang terparkir. Ketatnya proses pelatihan idol dan aktor di agensi tersebut dikabarkan menjadi pemicu korban nekat melakukan bunuh diri."

Ketakutan memiliki dua kekuatan, bertahan hadapi kenyataan atau... menyudahi segalanya dalam satu tindakan.

BERSAMBUNG
Februari 24, 2024

Hampir 2 ribu kata,
jangan lupa klik ⭐-nya kaka~

Gimana menurut kamu chapter ini?

Rama minta di-hiiiih!!
Untung ada si bukan shinchan.

Darren ternyata, bisa deg-degan juga ya.

Sampai ketemu di chapter selanjutnya.

With love,
Nnisalida

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro