Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 5: A Gaze as Beautiful as Dusk

Aktris pemeran karakter Cindy di web drama yang sedang naik daun membuka segel True Drink dengan wajah memerah. Air yang terbendung di kedua matanya siap mengalir kapan saja, namun kemarahan juga terlihat membara di saat yang sama.

Cindy menenggak True Drink hampir setengah botol, lalu melemparnya ke dinding dan memuncratkan sisa isinya keluar. “Aaargh!” Cindy menjerit, di saat yang sama, air mata itu mengalir dengan begitu menyayat hati.

Tayangan di layar proyektor berganti dengan laman komentar di salah satu akun. Dibanding memuji kemampuan akting aktris baru DZ Entertainment, tak sedikit yang mempertanyakan mengapa Cindy, si gadis pick me, bisa terpilih sebagai karakter yang minum produk kesehatan Maha F&B yang baru rilis.

Darren menghela napas dengan kencang, hingga semua peserta rapat mengalihkan tatapan dari laman komentar ke wajah Supervisor mereka di ujung seberang layar.

Kepala Darren menunduk, satu tangan melepas kacamata, sementara tangan lainnya memijat pangkal hidung. “Siapa yang bertanggung jawab untuk ini?” tanya Darren dingin.

Wajah tanpa kacamata itu mendongak dan menatap semua peserta rapat. Meski kemarahan terlihat jelas dari sorot mata Darren yang tajam, namun semua wanita—kecuali Rin—di ruangan justru terpesona dengan pria beralis beralis tebal itu.

“Saya, Ren,” sahut Bayu tenang, meski ia duduk paling dekat dengan Darren.

Darren melirik ke arah Bayu, tatapannya menajam. “Kenapa kamu tidak melaporkan product placement ini?”

Product Placement ini sudah disepakati jauh sebelum kamu bergabung, terlebih…” Bayu balas menatap Darren dengan sorot yang belum pernah dilihat oleh semua rekannya.

“Kerja sama dengan web drama yang diproduksi langsung oleh DZ Entertainment bukan hal mudah, apalagi sekarang mereka jarang melakukannya.”

Darren melirik Rin yang duduk di sebelah Bayu sekilas, sebelum kembali  bersuara. “Saya minta semua dilaporkan tanpa terkecuali.” Darren menekan suaranya di dua kata terakhir.

Suasana ruangan terasa semakin dingin, Bayu dan Darren tak kunjung menghentikan adu tatap mereka yang kian sengit.

“Maaf menyela.” Rin mengangkat tangan dan berhasil membuat fokus semua orang berpindah padanya, termasuk Bayu dan Darren.

“Apa sebenarnya yang membuat Darren terlihat kesal? Web drama ini jadi trending topic di semua social media sejak episode perdana. Itu berarti, True Drink berhasil memanfaatkan popularitas web drama untuk beriklan dalam sekali product placement, apa yang salah?”

Tanpa disadari, semua orang di ruangan itu mengangguk pelan kecuali Darren yang menatap dingin Rin.

Awareness True Drink meningkat dalam semalam. Terlebih di episode yang tayang tadi malam, Cindy mulai mendapat balasan dari karakter utama—”

“Apa awareness yang bertentangan dengan persona brand itu awareness yang bagus!?”

Semua saling melirik rekan di sebelahnya, kecuali Rin dan Darren yang masih bertatapan.

“Apa True Drink punya persona yang sama dengan Cindy? Apa kalian…” Darren menatap semua anggota timnya, sebelum kembali memperhatikan Rin. “Ingin membuat target market berpikir, True Drink cocok diminum karakter yang dibenci banyak perempuan?”

Telak. Rin kehilangan kata-kata, Darren ada benarnya. True Drink dan karakter Cindy sangat bertolakbelakang. Suplemen minuman untuk target market perempuan, justru diminum oleh karakter yang paling dijauhi perempuan.

Tapi, cara ini selalu berhasil membuat semua orang tertarik, batin Rin bingung.

Bayu melirik juniornya yang kehabisan kata karena ditekan Darren. “Bad awareness still an awareness, sebelumnya cara ini selalu berhas—”

“Apa gunanya dikenal banyak orang tapi melahirkan kebingungan di benak konsumen?” Kini Darren mengalihkan tatapan tajamnya ke Bayu.

“Kalian punya waktu untuk memperbaiki apa yang sudah terbangun di pikiran satu per satu calon pembeli kita? Mengubah mindset yang sudah terbentuk pada suatu brand lebih sulit daripada membangun perusahaan baru, kalian paham?!” Suara Darren terdengar meninggi. Ia menarik napas panjang, sebelum memakai kembali kacamatanya.

“Saya mengerti, pimpinan kalian sebelumnya pasti berpikir cara ini efektif untuk jangka pendek, tapi…” jawab Darren dengan suara kembali normal. “Saya nggak ingin cara ini dipakai lagi. Kalian seperti sedang merakit bom yang akan meledak di kemudian hari.”

Rapat diakhiri setelah Darren meminta semua dokumen dilaporkan padanya tanpa terkecuali. Setelahnya, tim marketing dari brand hingga creative social media bekerja sampai tak berani memikirkan tentang makan siang.

Di kubikelnya, Rin mengambil karet gelang di laci meja, lalu membentuk messy bun di rambut panjangnya.

Wajah Lika bersemu persis setelah Rin selesai cerita. “Kurasa, dia naksir kamu.”

Bibir Rin seketika menyeringai miring ketika potongan obrolannya dengan Lika pagi ini muncul di ingatan. “Bahkan pelangi bulan muncul tiap hari masih lebih masuk akal… daripada dia menaksirku.”

Rin melirik ke arah kubikel Darren. Pria itu semakin tenggelam dengan semua e-mail dokumen yang baru ia terima.

“Menyebalkan,” bisik Rin nyaris tak bersuara. Tepat di saat Rin bangkit untuk ke toilet, Darren menatap gadis itu.

Rambut Rin yang dicepol berantakan membuat Darren termenung. Penyesalan mulai memenuhi benaknya, ketika teringat bahwa ia telah tanpa sadar melampiaskan amarah pada Rin di depan semua orang.

*** *** ***

Jam dinding menunjukkan pukul lima lewat, ketika dua orang office boy mengantarkan plastik berisi lunch box pesanan Darren.

Sebagai permintaan maaf, Darren memesan makan siang dari restoran Korea ternama berisi kimbab, bulgogi, choco pudding dan lychee tea dingin. Darren bahkan mengizinkan timnya langsung makan di meja masing-masing, walau ada peraturan dilarang makan berat di ruang kerja.

Ketika semua rekannya terlihat menikmati makan siang yang terlambat, Rin justru keluar ruangan dan berjalan menuju lift. Di dalam kotak besi yang kosong karena nyaris sebagian besar karyawan Maha F&B mengantri lift turun untuk pulang, Rin menekan lantai 15.

Sesampainya di lantai tujuan, Rin berjalan menuju pintu keluar gedung. Tempat favorit Rin untuk menikmati senja di kala semua pekerja berlomba memenuhi kereta pulang.

Setelah mendorong pintu, hijaunya rumput yang sengaja ditanam untuk menjernihkan pikiran sekaligus tempat merokok beberapa karyawan Maha F&B menyambut kedatangan Rin. Ia melangkah pelan menuju bench favoritnya yang menghadap barat.

Namun sosok wanita dengan dress bermotif tak asing tengah memunggungi Rin, membuat langkah Rin melambat.

Kepulan asap tipis yang muncul dari depan wajah sosok itu, menguatkan keyakinan Rin kalau karyawati itu sedang merokok.

Ada banyak karyawan yang nggak kukenal di perusahaan ini, nggak mungkinkan dia—

Seakan ingin menjawab pikiran Rin, sosok itu membalikkan tubuh dan langsung terkejut saat mendapati Rin berdiri tak jauh darinya dengan ekspresi tak percaya.

—Lika?!

“Rin?!” Sisa asap menguar dari mulut Lika yang terbuka. Begitu pula rokok yang masih terselip di antara telunjuk dan jari tengah Lika.

Rin menghampiri Lika dengan tatapan terfokus pada benda kecil berasap di jemari sahabatnya.

“I-ini rokok pertama, aku dikasih,” gagap Lika tanpa sadar. Ia merasa seperti ditangkap basah ibunya.

Rin menatap Lika tepat di matanya, “Aku dan Namira kurang perhatian ke kamu, ya?” tanya Rin dengan suara dalam.

“Eh?” Lika membeku dan bingung di saat yang sama. Pertanyaan yang tak pernah terbayang di benak Lika terdengar begitu jelas.

Namun raut cemas yang semakin kentara di wajah Rin membuat Lika seketika sadar. Itu adalah ekspresi yang selalu Rin tunjukkan setiap kali Namira kedatangan kakaknya.

“Aku… malu,” jawab Lika pelan, nyaris berbisik. “Di antara kita bertiga cuma aku….”

Beberapa jam sebelumnya, di kafe dekat kantor.

Rin menggeleng kepala menyerah. “Jadi, kamu ajak aku ketemu hanya karena ini?”

Lika mengulum bibir. Ada beragam macam keluhan yang telah bergumul di kepala Lika sejak semalam, ketika ibunya menyambut kepulangan Lika untuk menyampaikan keinginan putra mahkota keluarga.

“Rin—” Ucapan Lika terputus oleh notifikasi pesan bertubi-tubi. Ponsel yang menghadap ke atas membuat Lika bisa langsung tahu siapa pengirimnya.

Lika membuka pesan itu dan membacanya tanpa bersuara.

Angelo’s Mom
Udh sampe kantor kak? (7.40)
Gimana yg semalam? Motornya bisa kan? (7.40)
Adikmu kasian loh, cuma dia yg gak punya (7.41)

‘Cuma adikku yang nggak punya dan itu membuat ibu kasihan? Lalu aku?’ Lika membatin sedih, ‘Apa ibu nggak kasihan padaku?’

Angelo’s Mom
Cash lbh murah, cuma 40jutaan kata ayah (7.41)
Klo cicil bs 60-70juta kak, sayang kan? (7.41)

‘Cuma 40 juta? Tapi itu semua uang tabunganku, Bu. Itu semua keringat yang susah payah kutabung tanpa membeli apa pun yang kumau.’

Mata Lika terasa semakin memanas. Ia tak sanggup lagi membaca pesan yang mungkin akan terus dikirim ibunya, karena Lika menghindari perbincangan itu tadi malam di rumah.

Ponsel Rin mendadak berdering, Lika sekuat tenaga mengendalikan ekspresinya sebelum menatap Rin, lalu mengangguk.

“Ya, Eric?” Lika terpaku. Ia ingat Rin juga memiliki adik laki-laki sebaya dengan Ello, adiknya.

“Kenapa kamu merengek padaku? Kamu sudah cukup dewasa buat bicarakan itu berdua dengan papa.”

‘Eric minta sesuatu juga dari Rin?’ Lika tersenyum miris tipis, ‘Apa sekarang kami bisa menghadapi situasi yang sama di waktu yang sama?’

“Lantas kamu berpikir papa akan mendengarku?” Suara Rin terdengar semakin dingin.

Lika bergeming. Semua keluhan yang siap ia curahkan pada Rin menguap tak bersisa. Ekspresi Rin yang nampak datar membuat Lika seakan meneguk fakta. Sahabatnya… telah terbiasa tumbuh dewasa dengan luka. Penderitaan Lika saat ini bukanlah apa-apa.

“Dengar, Eric. Kalau kamu ingin jadi dokter untuk menyembuhkan orang lain, maka kamu akan jadi dokter dengan melukai keluargamu sendiri. Pikirkan itu sebelum meneleponku lagi.”

Rin menutup telepon dan menghabiskan minumannya dalam beberapa tegukan. Gesture lain selain messy bun yang Lika hapal di luar kepala. Perasaan Rin memburuk dan ia coba menghilangkannya dengan rasa manis.

Gadis itu mengelap bibirnya dengan tisu, sebelum menatap Lika. “Tadi kamu mau ngomong apa sebelum dapat chat?”

‘Masalahmu nggak ada apa-apanya. Pendam saja,’ pikir Lika sebelum menggeleng pelan sambil membereskan sisa makanannya. “Ke kantor, yuk.” 

Rin mengangguk lalu berdiri. Keduanya berjalan menuju pintu kafe bersama.

‘Jangan tambah beban pikiran Rin. Jangan membuatnya mencemaskanmu juga, Lika. Kamu akan baik-baik aja. Semua akan baik-baik aja.’

“Aku penasaran,” Lika menatap Rin dengan senyum menggoda. “Siang ini kamu dapat makanan gratis lagi nggak, ya?” 

Rin balas menatap Lika dengan sebal, “Enak aja, aku bayar, ya!”

Lika tertawa kecil. Tawa untuk menutupi lukanya sendiri.

Lika bimbang. Ia tak tahu harus berdalih untuk melindungi perasaan Rin atau… menceritakan yang sebenarnya.

Rin meraih jemari Lika dan menggenggamnya lembut, “Cerita aja, Ka.”

Lika kalah. Bibirnya yang terkatup rapat, mulai terbuka, “Di antara kita bertiga, cuma aku yang masih tinggal dengan orang tua. Ayahku… patriarki.” Suara Lika semakin memelan.

Meski begitu, Rin tetap menanti sahabatnya dengan sabar.

“Dan karena itu adikku jadi manja. Tapi…”

Perasaan bersalah berbondong-bondong memenuhi Lika. Namun sorot mata Rin yang masih terus menunggu kelanjutan ucapannya membuat kata itu akhirnya meluncur keluar.

“Hidupku masih lebih baik daripada Rama yang membuat Namira selalu gelisah. Atau keluargamu yang—”

Rin seketika merebut rokok dari jemari Lika dan menghisapnya.

Lika melotot melihat sahabatnya itu terbatuk kencang dengan asap yang keluar dari bibir dan hidungnya.

Tangan Rin yang terulur mengembalikan rokok, membuat Like refleks mengambilnya tanpa bicara.

“Lika, uhuk uhuk!” Rin masih berusaha membiasakan diri setelah menghisap nikotin untuk pertama kalinya. “Kalau kamu mau pergi jalan-jalan, setidaknya ajak aku. Di antara kita bertiga, aku yang paling jago baca maps.”

Lika termenung dengan pesan tersirat Rin untuknya.

“Jadi kalau kita udah jalan terlalu jauh, aku janji akan bawa kita kembali.

Genggaman Rin di tangan Lika menguat. Sensasi hangat yang nyaman memenuhi perasaan gadis itu hingga ia membuang rokok dan langsung menginjaknya.

“Akkkkh! Stresss!! Malik gila!!!” seru Lika lantang keluar pembatas gedung.

Rin terperanjat dengan perubahan Lika, namun ia memilih diam saja.

“Aku tahu mantan manajer pernah korupsi, tapi gak semua orang bisa korupsi—akkh!! Dasar maniak tampan menyebalkan!”

Refleks, Rin tertawa. “Lakukan satu-satu, kamu mau memuji atau memaki?” Tiba-tiba, Rin penasaran bagaimana respon Malik mendengar bawahannya mengatainya dengan lantang.

Lika menoleh ke Rin. Ekspresi sendunya berubah drastis. “Ini karena beauty privilege, dia terlalu tampan untuk dimaki gitu aja!”

Rin memiringkan kepalanya, heran. “Kukira kamu merokok karena keluargamu?”

Lika menggeleng kuat—terlalu kuat malah. Ia mengacak rambutnya yang tergerai dan bergerak tertiup angin. “Kamu tau keluargaku. Masalahnya itu lagi, itu lagi. Beda urusan kalau masalah kantor. Aku pusing! Siapa yang berbuat dosa, siapa yang kelimpungan!”

Rin menatap Lika intens, seakan sedang melucuti untuk mengkonfirmasi kebenaran ucapan sahabatnya.

Melihat Rin merespon cerita singkatnya dengan langsung merokok, Lika tak berani membayangkan tindakan Rin jika tahu yang sebenarnya. Rekam jejak Rin untuk melindungi Namira, membuat Lika merasa… membelikan Ello motor bukan hal yang tidak mungkin. Membayangkannya saja, membuat Lika bergidik ngeri.

Lika mengalihkan matanya dari wajah ke salah satu tangan Rin yang membawa lunch box. “Kamu baru mau makan?”

Rin mengangguk, ia membuka kotak itu dan melihat isinya. Tapi mendadak, perutnya terasa seperti dicubit dan dipelintir hingga Rin meringis.

“Kamu nggak apa-apa? Kenapa baru makan jam segini? Tadi pagi kamu cuma makan sandwich.” Lika mengambil alih lunch box dari Rin dan menuntun gadis itu duduk di bench.

“Nggak ada yang bernyali buat makan, Darren—” Ucapan Rin terpotong getar ponsel Lika.

Gadis itu menghela napas panjang saat melihat layar ponsel, sebelum akhirnya pamit untuk menjawab panggilan. Lika pergi meninggalkan Rin yang termangu sendiri, sampai ia teringat tujuannya datang ke taman itu.

Rin memangku lunch box untuk mulai makan kimbab, tapi lambung yang terasa semakin dipelintir membuat Rin mengurungkannya.

Tangan Rin menekan perutnya, berusaha mengurangi nyeri. Hingga tiba-tiba sebotol obat maag cair muncul di depan di depan mata Rin.

Mengira Lika, Rin menerima obat itu dan mendongak, “Makasih, Ka. Kamu—” Rin membeku tepat ketika melihat sosok di depannya.

Darren menunduk menatap Rin, dengan satu tangannya memegang botol air mineral. “Nggak diminum?”

“Eh?!” Rin mengalihkan tatapannya dari Darren ke botol kecil di genggamannya. Darimana dia tahu aku minum obat merek ini?

Tak mendapat respon, membuat Darren mengambil kembali obat dari tangan Rin, membuka segelnya, lalu mengulurkannya lagi ke gadis itu.

Melihat Rin tak kunjung mengambilnya, membuat Darren duduk di sebelah Rin, menaruh botol obat di salah satu tangan Rin dan terus memperhatikan gadis itu.

Tak kuasa dengan tatapan Darren, membuat Rin mengalihkan wajahnya, lalu meminum obatnya hingga tandas.

“Terima kasih,” ujar Rin nyaris berbisik. Ingin segera pergi dari situasi aneh itu, membuat Rin langsung membuka lunch box-nya. Tapi lagi-lagi, Darren menyentuh tangan Rin.

“Tunggu sebentar, biar obatnya bekerja dulu.”

Rin segera menarik tangannya dari sentuhan Darren, lalu menggeser duduknya pelan menjauhi pria itu.

Nggak benar ini, nggak benar! Kenapa dia ke sini? Kenapa dia peduli? Kenapa dia bisa tahu merek obat yang biasa kuminum? Kenapa?!

Semburat jingga nampak semakin nyata. Warnanya begitu kontras dengan langit yang kian menggelap. Indahnya pemandangan seketika menghilangkan semua kegusaran Rin.

“Maaf.”

Pandangan Darren yang sebelumnya mengikuti arah tatapan Rin, kini beralih ke gadis itu. “Untuk?”

“True Drink—”

“Saya juga minta maaf,” sela Darren langsung.

Seketika Rin menoleh dan mendapati Darren tengah menatapnya tulus.

“Saya yang salah, tapi malah membuat semuanya melewatkan makan, sampai kamu sakit. Saya minta maaf.”

Sesuatu yang asing merambat memenuhi perasaan Rin. Tak ada satu pun kata yang muncul di benaknya saat ini untuk merespon atasannya itu.

“Nggak ada pekerjaan yang lebih penting dari kesehatan.”

“Tapi butuh pekerjaan untuk tetap menjaga kesehatan,” sahut Rin refleks. Ia sendiri tak menyangka bisa menjawab secepat itu.

Darren terdiam seketika, sebelum akhirnya tersenyum lebar, hingga deretan gigi atasnya terlihat.

Tanpa Rin sadari, gadis itu pun ikut tertawa kecil melihat respon pria yang biasanya terlihat dingin dalam setelan jasnya itu.

Rin membuka lunch box-nya dan menawarkan Darren untuk ikut makan bersama. Namun ia menolak, kemudian bunyi nyaring terdengar dari perut pria itu.

“Ren?” Rin berusaha keras menahan tawa melihat wajah Darren yang syok.

“Bukan aku, sumpah—”

“Jadi aku?” Rin menatap Darren tak suka.

Darren kalah. Tangannya perlahan membuka plastik sumpit dari dalam kotak makan, lalu mengulurkannya ke Rin. “Kamu makan duluan.”

Rin tersenyum penuh kemenangan sambil menyuap sepotong kimbab, lalu memberikan sumpitnya ke Darren. Pria itu menerima sumpit dengan bibir melengkung kecil.

Mereka makan dari sumpit yang sama, hingga tanpa disadari, matahari kian bergerak cepat untuk meninggalkan cahaya terakhirnya di bumi hari ini.

Semburat jingga yang kemerahan memendar, seakan pamit pada sepasang manusia yang duduk berdua menikmati suasana.

Rin yang selalu terpana pada prosesi sakral terbenamnya sang surya, perlahan menoleh ke pria di sebelahnya. Tatapan Rin terkunci di satu titik, netra pria yang wajahnya kian menjingga dan tengah menatapnya tanpa berpaling.

Embusan angin sore menggerakkan poni rambut Darren. Namun tak menggoyahkan tatapannya sedetik pun dari wajah gadis yang kian merona, memantulkan cahaya jingga.

Darren dan Rin… tak bersuara. Seakan mengizinkan diri masing-masing terjebak dalam pesona yang diciptakan Sang Pencipta.

Selama ini tak pernah ada pemandangan yang lebih indah dari matahari terbenam, tapi tatapannya sebuah pengecualian.

BERSAMBUNG
Februari 17, 2024

2500 lebih kata, fyuhhh, panjang juga.

Jangan lupa klik ⭐ & komentar ya,
aku tunggu (^_^)

Gimana sejauh ini dengan Darren? Aman?
Atau mulai berserakan?

Lika mulai keliatan ya problemnya,
tapi kalau kamu di posisi Lika, bakal gimana?
Adiknya minta motor kayak minta es potong. Enteng beneeeer.

Sampai ketemu pekan depan, sehat & bahagia selalu.

With love,
Nnisalida


N.B:
Dress yang dipake Lika, kurang lebih seperti ini.


Pakaian Rin, tim earth tone minimalis, mana suaranya?


Darren & his gaze...


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro