Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 3: Starlight in the Night Sky

Seketika, Rin menutup laptop Namira dengan cepat. Bunyinya yang keras membuat Namira terperangah tak terima.

“Rin!” protes Namira sambil mengusap laptopnya bagai bayi kesayangan. “Cicilannya belum lunas ini.”

Rin menaruh garpunya di piring dan menatap Namira serius. “Udah kubilang, kamu nggak cocok kerja di industri hiburan. Cari kerjaan yang lebih tenang, misalnya—”

“Kamu lupa apa yang terjadi terakhir kali aku bekerja?” Penekanan suara Namira di kata terakhir, membuat tatapan lembutnya terasa berbeda.

Beberapa bulan lalu. Naureen, Namira, dan Lika makan siang bersama di restoran dalam mal dekat kantor. TV tiba-tiba menyalakan music video grup rookie dari DZ Entertainment.

Lika berhenti menyuap dan menyaksikannya dengan terpukau. “Aku masih nggak mengerti sampai sekarang.”

Namira ikut menonton video, penasaran dengan apa yang tidak dipahami sahabatnya.

“Ada pesawat yang bisa auto pilot, tapi kenapa kamu malah naik balon udara?” Lika menatap Rin yang masih sibuk mengunyah.

Lika mendekatkan tubuhnya ke arah meja, dan berbisik. “Rin, kerja di perusahaanmu itu impian banyak orang. Tiap hari ketemu artis gratis!”

Namira menoleh ke Rin yang duduk di sebelahnya tanpa bicara. Lalu, gadis ber-half ponytail itu menendang kaki Lika dan menggeleng pelan. 

Lika yang duduk di depan Rin menatap Namira, sebelum akhirnya kembali fokus pada subyek di depannya yang tiba-tiba menata rambutnya hingga membentuk messy bun.

Lika dan Namira menelan ludah. Bersahabat sejak SMP membuat keduanya hapal dengan bahasa tubuh itu. Rin hanya akan mencepol rambutnya ketika dua hal, saat berlatih taekwondo dan ingin mendinginkan kepalanya dari amarah.

“Sorry. Kerjaanku lagi numpuk banget, aku cuma mikir kalau tempat kerja banyak artis ganteng, lumayan buat ngurangin stres.”

Rin mengaduk jusnya, “Aku paham. Itu privilese kerja di artist management. Tapi Ka…” Rin menyedot minumannya sebelum lanjut bicara dengan tatapan dingin. “Itu bukan perusahaanku. Kamu tahu itu.”

Lika mengangguk, lalu menaruh sepotong ayam goreng madu ke mangkuk Rin sebagai permintaan damai.

“Kalau kamu mau pindah ke DZ, silakan. Tapi kita harus jarang ketemu, aku nggak mau terseret conflict of interest.” Rin menyuap ayam pemberian Lika dengan senyum kecil.

Sebagai anak keuangan, Lika paham betul betapa bahayanya conflict of interest. Apalagi Lika pernah harus lembur karena hal itu di tempat kerja lamanya.

Menjelang waktu istirahat selesai, ketiganya berjalan kembali ke kantor. Bekerja di departemen yang berbeda, membuat makan siang menjadi jadwal wajib mereka untuk bertukar segala informasi terkini.

Di lobi gedung yang cukup ramai, tiga orang satpam tengah berusaha menghalau seorang pria bertopi untuk menjauhi akses masuk ke area depan lift.

“Maaf, Pak. Hanya pemilik kartu akses yang bisa masuk. Sebaiknya Bapak telepon saja adik Bapak untuk turun—”

“Dia nggak bisa dihubungi! Saya khawatir!”

Suara berat yang familiar membuat langkah Namira terhenti. Tatapannya tertuju pada pria yang masih terus memaksa masuk meski menjadi pusat perhatian banyak orang.

“Ra? Kamu kenapa?” tanya Lika bingung.

Rin mengikuti arah tatapan Namira dan karyawan lainnya. Ketika Rin kembali memperhatikan Namira, yang ia dapati justru sirat kecemasan yang semakin jelas di netra sahabatnya.

“Saya cuma mau ke atas sebentar dan ketemu Namira Shabrina, pengembang produk Maha F&B!”

“Gedung ini bukan hanya ditempati Maha F&B dan itu sudah jadi aturan untuk tidak membiarkan sembarang orang naik, Pak. Mohon pengertiannya.” Salah satu satpam terlihat mulai kehilangan kesabaran, namun tetap sopan.

“Kalau begitu panggil adik saya turun, sekarang!” Suaranya menggelegar, membuat semua orang yang hendak menempelkan kartu akses terperanjat.

“Rama..?” bisik Lika yang baru sadar, ia menatap ngeri ke Namira. “Dia ngapain ke sini kayak sapi gila?”

Rin melepas lanyard yang tergantung di leher dan memasukkannya ke saku celana. “Jangan kasih kesempatan dia curi akses kita.”

Tepat setelah Lika dan Namira melepas ID Card masing-masing, Rama menyadari sosok Namira dan membebaskan diri dari dua satpam yang hendak menyeretnya keluar. Dengan mata berselimut emosi, Rama menghampiri Namira.

Lika langsung menyampirkan tangannya di lengan kiri Namira, sedangkan Rin berdiri di depan Namira seakan benteng pertahanan.

Sorot amarah di mata Rama yang bertatapan langsung dengan tatapan siap tempur Rin, perlahan meredup.

“Saya ada perlu dengan Namira, adik saya.” Rama menekan dua kata terakhir. Rahangnya nampak mengeras ketika Rin merespon dengan senyum sarkas.

“Adik…” Rin memasukkan kedua tangannya ke saku celana, mencegah dirinya membogem mentah musuh tidak langsungnya itu. “Kakak butuh uang karena kalah judi online? Atau—”

“Sejak kapan kamu jadi adikku?” sela Rama tak suka.

“Sejak aku menggantikan peranmu sebagai kakaknya,” jawab Rin percaya diri.

“Kita bicara di luar,” kata Namira tiba-tiba dan langsung berjalan keluar gedung.

Rama yang hendak mengikuti adiknya, terperanjat.

Tanpa takut, Rin menarik kerah jaket jeans pria yang lebih tinggi darinya. “Aku nggak suka pakai kekerasan atau kekuasaan untuk membereskan sesuatu.”

Rama menyentak tangan Rin keras, “Naureen—”

“Davis.” Rin menekankan nama belakangnya. Tangannya kini mencekal lengan Rama dengan tatapan mengintimidasi. “Aku bisa melakukannya keduanya kalau aku mau. Jadi, jangan memancingku.”

Lika menelan ludah. Dua orang di depannya seperti sedang adu melotot, namun siapa pun yang melihat akan langsung menyadari kuatnya kebencian satu sama lain.

Sekali lagi, Rama melepas dengan kasar tangan Rin dan bergegas menyusul Namira.

Rin dan Lika mengikuti pria itu keluar gedung dengan waspada. Bukan hal yang mustahil ia melakukan keributan yang lebih parah, mengingat Namira sudah berdiri di depannya tanpa perlindungan.

Dari jauh, Rin dan Lika memperhatikan dengan seksama perdebatan Namira dan kakak satu-satunya itu.

“Walau adikku menyebalkan, aku bersyukur lahir sebagai kakak. Jadi dia nggak bisa semena-mena kayak Rama.”

Rin tidak merespon Lika dan tetap fokus pada gestur Rama yang semakin agresif.

“Apa nggak sebaiknya kita panggil keamanan?” Lika mulai panik.

“Jangan, makin ramai Rama makin senang.”

Lika mulai berkeringat dingin. “Dia itu kenapa, sih? Kayak orang kerasukan?”

“Terakhir kali Ra cerita, bisnis ternak ayamnya bermasalah, kalah judi online dan tagihan pinjaman online-nya membengkak. Mungkin itu yang bikin dia kerasukan.”

Lika terperangah tak habis pikir. “Semua cobaan hidup malah dicobain, orang gila.”

Rin meraba sesuatu di pahanya. “Cuma orang gila yang bisa menghadapi orang gila.”

Meski bingung dengan ucapan sahabatnya, Lika mengikuti langkah Rin mendekati Rama dan Namira.

“Delapan juta doang nggak mungkin kamu nggak punya! Buka m-banking-mu sekarang—” Lengan Rama yang terulur ke tubuh Namira untuk mencari ponsel, Rin pegang dengan satu tangan dan tangan lainnya menarik kerah jaket pria yang lengah itu.

Dengan satu gerakan, Rin menjungkir balik dan membanting tubuh Rama ke paving block.

“Argh!” erang Rama dengan mata memejam.

Namira dan Lika sontak terkejut. Tak pernah keduanya sangka kalau pria itu bisa dirubuhkan Rin yang bertubuh paling pendek dari mereka.

Tak butuh waktu lama, Rama hendak bangkit. Namun Rin menyingkap paneled skirt-nya lalu menodongkan benda berwarna hitam yang tadi tersembunyi di pahanya ke wajah Rama.

“P-pistol..?!” Amarah Rama dalam sekejap tergantikan dengan gemetar takut.

Lika menganga, sekarang ia paham maksud dari perkataan Rin beberapa detik sebelumnya. Lika bersyukur orang kaya dan gila seperti Rin ada di pihaknya.

“Kubilang jangan memancingku.” Telunjuk Rin siap menarik pelatuk.

Namira menahan kepalanya dengan siku bertumpu di meja. Ia masih tidak bisa biasa saja setiap kali mengingat kejadian hari itu. “Karena pistol berisi cairan merica itu, kamu dapat SP1—”

“Tapi kamu malah resign.” Rin merengut. “Aku sudah belain kamu dan Lika supaya cuma aku yang dapat teguran resmi, tapi kamu malah berhenti kerja.”

Namira menatap nanar Rin, “Waktu SMA kamu nendang selangkangan, saat kuliah kamu stun gun dia sampai pingsan dan dikira gelandangan. Kalau aku tetap kerja di tempat yang sama denganmu, bisa-bisa kamu punya catatan kriminal.”

Rin terpaku. Ia baru sadar kalau caranya melindungi Namira dari Rama bisa menjadi senjata makan tuan.

“Dia nggak akan berhenti, Rin. Di mana pun aku kerja, aku tetap nggak akan tenang. Aku juga nggak mau kamu terseret ke masalah keluargaku, lebih dari apa yang sudah kamu lakukan selama ini.”

Hening, keduanya mulai hanyut dengan isi pikiran masing-masing.

Rin mengambil garpu dan mulai memainkan sisa makanannya. “Keluarga memang organisasi yang aneh.”

Alis Namira mengerut, bingung dengan perubahan topik yang mendadak.

“Punya keluarga nggak menjamin bahagia. Tapi banyak orang bersikeras bangun keluarga. Perawan dikejar usia menikah. Pasangan sah ikut program demi anak—”

“Nggak semua keluarga disfungsional, Rin.”

Suasana kamar atap Namira dengan cepat menjadi begitu sesak.

“Nggak semua anak merasa lebih baik saat terpisah dari keluarganya. Itu sebabnya kan, kita dekat sampai sekarang?”

Fakta lama yang pahitnya tetap sama setiap kali Namira mengungkitnya.

Rin bangkit dari kursi, merapikan gelas dan piring makannya ke wastafel, lalu memakai lagi kemeja setengah keringnya. 

“Kamu benar, kita dekat karena punya luka yang serupa. Dan karena itu… aku berusaha semampuku untuk nggak membiarkanmu lebih terluka lagi, terutama karena orang yang sama.”

Namira hendak merespon, tapi tak ada satu pun kata yang bisa ia lontarkan.

Rin berterima kasih untuk makanan yang Namira siapkan, lalu pamit dan keluar dari kamar atap Namira.

Dalam hening, Namira menyesal telah mengungkit cerita lama, yang tanpa sengaja justru menyakiti Rin yang memang terlihat kacau sejak datang. 

*** *** ***

Di jalan menuju stasiun, Naureen menatap langit malam. Awan kelabu terlihat bergumul di hitamnya kegelapan. Menelan sisa penghiburan yang Rin dambakan, gemerlap cahaya bintang.

“Chan benar-benar pembawa sial. Aku jadi kesal tanpa alasan ke Rin, terus sekarang sama sekali nggak ada bintang.” Rin menghela napas, lalu menguncir asal rambutnya.

Kaki yang terus melangkah sesuai keseharian, membuat Rin berjalan dengan isi pikiran yang melayang ke masa silam. Begitu banyak perandaian penuh sesal di kepala Rin saat ini.

Seandainya Rin ikut auto pilot di perusahaan yang dibangun orang tuanya.

Seandainya Rin tidak bersinggungan dengan Chandra di karya debutnya.

Seandainya tidak ada Rama di hidup Namira.

Rin seketika menggeleng kuat untuk mengembalikan fokus. Kenapa justru aku yang lebih benci Rama daripada Ra? Hidupku kacau karena Chandra, bukan Rama!

Rin kembali menghela napas, ia mulai masuk ke area peron dan menunggu kereta. Sudah hampir pukul sepuluh, lalu lalang di peron jauh lebih lengang. Namun hal itu membuat kondisi Rin lebih menarik perhatian dengan kemeja bernoda dan setengah basah.

Sadar kalau beberapa orang mencuri pandang ke arahnya dengan tatapan kasihan, Rin menggerai rambut panjangnya untuk menutupi wajah dengan menunduk.

Angin yang berhembus menyapu lembut helaian rambut Rin. Perlahan, kecemasan dan penyesalan yang menggunung di pikiran terkikis. Tergantikan dengan kesejukan dan rasa nyaman yang tak bisa dijelaskan.

Akan semakin sempurna kalau ada bintang malam ini.

Naureen mendongak, kekecewaan menyergapnya ketika langit masih tetap gelap. Awan kelabu setia menghiasi, seakan kegelapan tak cukup mengerikan.

Rin memperhatikan situasi stasiun, hingga matanya terhenti pada pria mencolok di peron depan. Ia kini berserobok pandang dengan pria tinggi itu.

“Darren..?” bisik Rin tepat sebelum kereta di peron seberang datang dan berhenti untuk menaikturunkan penumpang. “Dia naik kereta juga?”

Selang satu menit, kereta kembali berangkat. Rin tertegun saat mendapati Darren masih bergeming di tempatnya. Pria itu melewatkan keretanya.

Suara pengumuman peron, bisingnya obrolan, dan lalu lalang pengguna stasiun terasa melambat. Fokus Rin sepenuhnya jatuh pada satu titik, sosok Darren dan… tatapannya yang tidak Rin mengerti.

Namun di saat yang sama, Rin merasakan sesuatu. Perasaan yang sama ketika Rin menatap langit malam dipenuhi gemerlap bintang.

BERSAMBUNG
Februari 3, 2024



💕Long time no see,
Semoga masih ada yang menanti.

Terima kasih buat dukungan, like ⭐ & komentarnya.

Sampai jumpa di part selanjutnya, Teman-teman👋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro