Chapter 13: A Clear Sign
Vote & komentar teman-teman sangat berarti untuk aku.
Terima kasih sudah klik vote ⭐ dan komentar di setiap narasi/dialog yang kamu suka.
"Kamu baik-baik aja?" Pertanyaan tiba-tiba Lika membuat Chandra yang berdiri tak jauh darinya menoleh. Keduanya menunggu di luar kamar VIP, memberikan privasi untuk Darren dan Naureen.
Lika yang duduk di sofa bench merasa tak nyaman saat mendapati pria itu bersandar ke dinding dengan ekspresi kosong.
"Namira... nggak apa-apa?" tanya Chandra ragu.
Dahi Lika berkerut. "Kalian juga kayak mereka?" Kepalanya meneleng ke arah pintu yang berada tiga meter di depan.
"Maksudmu?"
Lika memijat keningnya. "Aku heran gimana Ra bisa ngobrol sama kamu. Dari tadi kita lempar pertanyaan terus."
Chandra enggan menanggapi sindiran Lika. Isi pikirannya semakin tak karuan sejak kedua gadis itu muncul di pintu kamar rawat. Padahal Darren memperingati Chandra dan Malik untuk merahasiakan kondisinya pada siapa pun.
Teringat adegan kekerasan yang Rin lakukan pada Darren, membuat Lika sadar bahwa responnya terlalu tidak bersahabat. Terlebih ia mendapat bantuan dari Malik—yang menekankan agar tak membuat pria itu menyesal—dengan membocorkan di mana Darren di rawat.
"Selama kakaknya nggak datang kayak waktu Rin dan Darren ribut, harusnya Ra baik-baik aja." Lika menatap Chandra penasaran. "Atau... terjadi sesuatu di antara kalian?"
"Sesuatu apa?"
"Sesuatu yang membuatmu nggak bisa tanya keadaan Ra, padahal kamu punya nomornya."
Chandra melotot dengan pipi bersemu. Kulitnya yang cerah membuat laki-laki itu tak bisa menyembunyikan gestur salah tingkahnya.
"Kamu sendiri... apa yang kamu kasih ke Malik sampai dia bocorkan rumah sakit Darren?"
Seketika Lika mengambil ponsel dari saku celana dan pura-pura terkejut. "Wah, jam segini aku masih dihubungi bos. Orang ini bener-bener gila kerja."
"Di antara kami bertiga, Malik yang paling antipati sama perempuan, sampai disangka homo karena selalu bareng Darren ke mana-mana."
Tak kuasa menahan keingintahuan, Lika menoleh ke arah Chandra. Kali ini, ganti pria itu yang mengeluarkan ponsel dari saku dan pura-pura mencari makanan di aplikasi online.
Tahu kalau Chandra membalas perbuatannya, Lika mencebik. Namun kemudian, ia termenung. Ucapan Chandra ada benarnya, Malik memang terkesan tak tersentuh—terutama pada mereka yang menunjukkan ketertarikan secara agresif—tapi mengapa Malik bersikap berbeda pada Lika?
*** *** ***
Naureen meremas kedua tangannya di atas paha. Sejak Lika setengah menyeret Chandra keluar dari kamar rawat Darren, Rin duduk di sebelah ranjang tanpa berani melihat sosok yang berbaring di atasnya.
Sementara Darren justru sebaliknya. Hampir sepuluh menit ia menatap Rin, menunggu gadis itu buka suara. Akhirnya Darren sadar bahwa sampai pulang pun, mungkin Rin tidak akan berani menatap apalagi mengobrol dengannya, mengingat tindakan yang Rin lakukan sebelum mereka berpisah tempo hari.
"Lukanya nggak parah. Aku cuma perlu hati-hati sampai arm sling-nya dilepas dan lebih hati-hati waktu bawa motor."
Darren tersenyum ketika akhirnya Rin mendongak dan membalas tatapannya.
"Maaf, aku... nampar." Rentetan kata yang Rin siapkan sebagai bentuk penyesalan, seketika buyar saat melihat pria yang telah disakitinya tersenyum seakan tak pernah terjadi apa-apa di antara mereka.
Rin kembali menunduk, menghindari tatapan yang membuatnya hilang fokus. Rin mengingat hal yang ingin disampaikan sejak Lika mengajaknya menjenguk Darren. "A-aku merasa... kamu kecelakaan karena aku. Soalnya... aku tahu kamu jago naik motor."
Suara Rin yang semakin memelan membuat Darren termangu. Rupanya, pria berbaju pasien itu lebih suka mendapati Rin berani daripada tidak percaya diri.
"Rin, lihat aku." Suara yang terdengar lembut membuat gadis itu menurut. Darren menunjukkan pipi kiri yang tempo hari ditampar Rin. Mulus, tak terlihat goresan atau lebam. "Nggak ada bekas—"
Entah dorongan dari mana, Rin ingin meyakinkan diri bahwa tamparannya tidak mencederai Darren sama sekali. Ia mencondongkan wajah ke pipi Darren hingga pria itu tercekat.
"Syukurlah, aku nggak serius waktu menamparmu." Kelegaan membuat bibir Rin melengkung kecil. Ia sama sekali tak menyadari kalau pria ber-arm sling itu tengah menatapnya gugup.
"Rin," bisik Darren membuat tatapan mereka bertemu. Untuk beberapa detik, tubuh keduanya membeku dengan wajah yang begitu dekat.
"Kalau aku serius menamparmu, kamu mungkin akan membenciku seperti Rama." Dan memecatku tentu saja, imbuh Rin dalam hati sembari mengembalikan posisi duduk seperti sebelumnya.
"Tapi, aku tetap minta maaf. Aku terbawa emosi—"
"Aku juga minta maaf," sela Darren, Rin menatapnya bingung. "Aku nggak tahu masa lalu kamu dengan kakaknya Namira, tapi aku kasar ke kamu. Maaf ya, Rin."
Rin mengangguk senang, "Kalau gitu, kita baikan?"
Darren tertawa pelan. "Kapan kita bertengkar memangnya?"
"Tapi kamu pergi gitu aja waktu aku... abis nampar," jawab Rin ragu.
"Kamu maunya aku tetap di sana?" Darren iseng bertanya dan ekspresi Rin yang kebingungan terlihat menggemaskan di matanya.
"Setelah dipikir lagi, memang sebaiknya kamu pergi, sih. Aku nggak tahu harus apa kalau kamu tetap di depanku."
Tangan kiri Darren yang baik-baik saja terulur ke puncak kepala Rin dan mengusap rambutnya. "Aku tahu kamu pandai jaga diri sendiri, tapi kamu tetap harus hati-hati. Kakaknya Namira nggak bisa dikerjai dua kali dengan pistol merica."
Rin mengelak tangan Darren pelan sambil merengut. Ia masih tak habis pikir kenapa orang kantor masih membicarakan pistol mainannya padahal sudah berbulan-bulan berlalu. Untuk mengalihkan perbincangan, Rin menanyakan kondisi bahu Darren dan respon keluarganya saat tahu.
"Aku anak tunggal, orang tuaku mengelola usaha di Korea. Makanya Malik dan Chandra yang ada di luar yang gantian ke sini."
"Kudengar kamu dan Pak Malik akrab dari sekolah." Apa hubunganmu dengan Chandra? "Pasti seru punya sahabat dan kerja di tempat yang sama."
Rin berusaha memancing informasi. Sejak di kafe Namira, saat Chandra melambaikan tangan ke arah Darren dan Malik yang tiba-tiba datang, sebenarnya Rin sudah gelisah. Namun kemunculan Rama mengalihkan fokus Rin. Sekarang, kecemasan itu semakin menjadi saat mendapati Chandra menemani Darren dirawat. Rin takut jika skandal Soul Hunter sampai ke telinga Darren, atasannya.
"Iya, Malik memang bisa diandalkan." Darren tersenyum simpul. Ia bersyukur pria itu melanggar janji pada orang yang tepat. Tak Darren sangka, kehadiran Rin membuat suasana hatinya membaik. "Nggak seperti sepupuku yang ada di luar."
"Sepupu?!" Rin mengerjap, ia berusaha untuk tidak terlalu terkejut.
"Iya. Malik temanku dari SMP, kalau Chandra anak adiknya Papaku, berarti sepupu, kan?"
Rin mengangguk dengan senyum paksa. Mereka sepupu. Jangan-jangan... Darren udah tahu soal Soul Hunter.
Darren yang tak sedetik pun mengalihkan tatapannya dari Rin menangkap raut cemas yang berusaha gadis itu tutupi.
Pintu kamar terbuka, seorang wanita berseragam perawat masuk dengan nampan di tangannya. "Alhamdulillah, pacar Mas Darren udah datang."
Rin melongo, sedangkan Darren tersenyum lebar sambil menarik meja dari kaki ranjang ke hadapannya. "Saya bukan—"
Perawat tadi memindahkan isi nampannya ke depan Darren. "Jadi perawat bangsal nggak akan rebutan lagi deh buat antar makanan ke kamar ini."
Darren melihat makan malamnya, "Bu, kok makanan India, ya?"
"Lho, kan sesuai pesanan, Mas. Sarapan Amerika, lunch Asia, malam India," sahut perawat yang sudah paruh baya itu.
Rin menggigit bibir, ia kehilangan momen untuk meluruskan statusnya pada perawat yang nampak akrab dengan Darren.
"Pasti Chandra, deh," gumam Darren yang masih bisa didengar Rin dan perawat itu. "Ya udah, makasih ya, Bu."
Perawat tadi mengangguk, lalu melirik Rin dengan senyum menggoda. "Disuapin aja sama pacarnya, Mas. Pasti jadi suka sama makanannya, deh."
"Bukan—"
"Iya, Bu. Makasih sarannya," sela Darren membuat Rin bungkam.
Perawat itu keluar setelah mengangguk pamit pada keduanya. Tak terganggu dengan kesalahpahaman, Darren mulai membuka plastik bening yang membungkus piring dan mangkuk setiap makanannya dengan tangan kiri.
"Aku lebih suka makanan Asia, tapi Chandra malah pesan ini."
Rin membuka sendok dan garpu dari gulungan tisu, "Kamu nggak suka yang mana? Suruh aja Chandra yang makan."
Darren menatap Rin tak percaya, kemudian tertawa puas. "Ide bagus." Tangannya terulur ke arah sendok, namun Rin justru menyendok kuah sup. Darren bengong saat melihat sendok itu kini berada tepat di depan mulutnya.
"Kenapa? Bukannya nggak nyaman kalau kamu makan pakai tangan kiri?"
Alih-alih langsung membuka mulut, Darren menatap Rin lama.
"Kamu nggak suka supnya?" Rin baru akan menuang isi sendoknya kembali ke mangkuk, namun dengan cepat Darren melahap kuah sup. "Gimana? Suka?"
Darren nampak berpikir lama sebelum menelannya. "Enak, sih...." katanya menggantung.
"Kalau pakai sih, berarti ada tapi?" Kesabaran Rin yang biasa setipis tisu terciprat air dibelah dua, entah mengapa menjadi lebih tahan lama.
"Aku mau semua. Tadi siang aku nggak banyak makan karena nggak nafsu." Darren tersenyum puas.
"Seenak itu ya supnya sampai bikin nafsu makan? Menu kamar VIP memang beda," sarkas Rin. Jika bukan karena rasa bersalah pernah menampar dan rasa berterima kasih pernah dibantu beberapa kali, ia mungkin takkan sebaik hati ini.
Ponsel di nakas bergetar, Darren mengambilnya dan membaca pesan sambil setia menerima suapan dari Rin. "Hng! Kok manis?" protes Darren.
"Makanya makan jangan sambil main hape. Emang balita? Jadi nggak tahu kan aku nyuapin apa."
"Chandra pamit pulang, katanya capek." Darren menaruh asal ponselnya ke atas nakas dan fokus dengan setiap makanan yang masuk ke mulut.
"Lho? Terus kamu sama siapa malam ini?" tanya Rin tulus.
"Sendiri. Aku kan bukan balita." Darren tersenyum tak berdosa. "Pudingnya enak deh. Kamu makan aja kalau mau. Aku mulai kenyang."
Rin menghela napas, jika bukan karena arm sling yang Darren kenakan. Entah bagian tubuh mana yang sudah gadis itu toyor untuk memperingatinya agar jangan banyak bertingkah. Karena tanpa Rin sadari, senyuman Darren mulai membuat degup jantungnya berdebar terlalu kencang.
*** *** ***
Di luar kamar rawat, Chandra mengintip dari jendela pintu. Kedekatan Naureen dan Darren membuatnya mengirim pesan singkat sebelum melangkah menjauh. "Dia udah nggak butuh orang lain."
"Kenapa kalian bersikap begitu ke teman-temanku?" tanya Lika menghentikan langkah Chandra. "Kamu peduli sama Namira, Darren protektif ke Rin."
Chandra membalikkan tubuh, menatap datar Lika yang sudah ikut berdiri. "Memang... masih belum terlihat jelas?"
Dahi Lika mengernyit, ia hendak mendekati Chandra untuk meminta penjelasan. Namun kata-kata selanjutnya dari pria itu membuat Lika bergeming.
"Besok akan kami beri tanda yang lebih jelas."
"Tanda yang lebih jelas?" respon Lika refleks.
Chandra pergi meninggalkan Lika yang akhirnya berjalan ke arah pintu untuk mengintip situasi di dalam.
Rin menyuapi Darren diiringi obrolan seru, bahkan tak jarang keduanya saling melempar senyum lebar dan menertawakan sesuatu yang tidak Lika ketahui.
Akhirnya, Lika paham. Kedua sahabatnya sedang digilai oleh seseorang dan besar kemungkinan... kisah romansa itu berkembang lebih cepat dari yang Lika perkirakan.
BERSAMBUNG
Mei 15, 2024
1608 kata,
terima kasih komentar dan vote.
Obat galau ternyata disuapin gebetan! Kalau kalian gimana?
Sampai ketemu chapter berikutnya, teman-teman ^_^
With love,
Nnisalida💕
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro