Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 12: A Word to be Heard

Vote & komentar teman-teman sangat berarti untuk aku. Jadi terima kasih sudah klik vote ⭐ dan komentar di setiap narasi/dialog yang kamu suka.

-------------------------------------------

Akhir pekan di kafe Namira, sebelum Chandra mendapat kabar kecelakaan Darren.

Tiba-tiba salah satu lampu di kafe Namira padam, seakan ikut terkejut dengan pernyataan yang dilontarkan gadis itu beberapa detik lalu.

Berbeda dengan Chandra yang membeku di tempatnya karena syok, Namira justru tampak tenang dan melangkah ke salah satu laci di balik meja bar untuk mengambil bohlam baru.

Chandra akhirnya sadar dari keterkejutan dan melihat Namira mengeluarkan tangga lipat dari area dalam kafe, lalu membawanya ke bawah lampu yang mati.

Tanpa bicara, Chandra menyentuh bahu Namira, kemudian mulai menaiki tangga alih-alih gadis itu yang melakukannya.

Respon Chandra yang seakan tak terpengaruh dengan kata-katanya beberapa detik lalu, membuat Namira tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Di puncak tangga, Chandra melepas bohlam yang padam, lalu mengulurkannya ke arah Namira yang bergeming di bawahnya.

"Lampu barunya, Ra," pinta Chandra membuat Namira mendongak.

"Ya?" sahut Namira tak paham, namun seketika sadar saat melihat lampu di tangan Chandra. "Oh, ini," tambahnya sambil menukar bohlam dengan yang baru.

Lampu seketika menyala, refleks Chandra memejamkan salah satu matanya karena silau.

Melihat respon Chandra, membuat Namira tanpa sadar memegangi tangga dengan satu tangan. Sementara tangan yang lain menarik pelan ujung atasan yang Chandra pakai ketika pria itu menuruni tangga.

"Hati-hati," lirih Namira yang seketika bungkam dan melepas tangannya dari baju Chandra ketika pria itu mendarat. Ada perasaan malu yang menyeruak setelah ia mengucapkannya.

"Ra—"

"Udah malam, sebaiknya kamu pulang." Namira merapikan tangga lipat dan membawanya ke tempat semula. Beberapa saat ia berdiam di area dalam yang tertutup kain pembatas, berharap pria yang tadi membantunya segera pulang.

Ketika bel pintu terdengar. Namira menghela napas lega, lalu bergegas keluar untuk naik ke kamarnya di lantai atas kafe. Namun langkah Namira terhenti saat mendapati Chandra masih berdiri tepat di depan pintu dan menatapnya.

Ternyata, Chandra pura-pura pulang untuk memancing Namira keluar dari persembunyian.

"Aku nggak bisa pulang dengan tanda tanya, Ra."

Namira mengalihkan matanya dari tatapan Chandra yang terasa menuntut.

"Apa maksudnya kamu membunuh mamamu?"

Namira menunduk lama, sampai akhirnya ia melangkah ke meja terdekat dan menurunkan satu kursinya untuk duduk. "Janji satu hal padaku, sebelum kamu mendengar ceritanya."

Gadis itu menatap Chandra yang kini duduk di depannya. "Jangan mengasihaniku. Lebih baik kamu nggak datang ke sini lagi daripada aku melihatmu mengasihaniku."

Chandra diam beberapa saat, sebelum kembali bersuara. "Aku janji."

Namira menunduk lagi. Degup jantung yang tak teratur membuatnya mulai merasa kesulitan bernapas. Keheningan malam kian mencekiknya ketika kenangan masa lalu yang mati-matian ia lupakan, harus kembali terputar di ingatannya.

Chandra tak melepaskan sedetik pun pandangannya dari Namira. Tubuh gadis itu terlihat gemetar pelan, amat pelan hingga nyaris tak terlihat. Pria itu paham, ada sesuatu di masa lalu Namira yang sengaja ia sembunyikan.

Ini salahku, nggak seharusnya aku memaksa Ra cerita, pikir Chandra menyesal. Ia memajukan duduk untuk meraih tangan Namira di bawah meja, sebelum gadis itu akhirnya bersuara.

"Hari itu, ulang tahun kakakku yang kesembilan...."

Chandra mengurungkan niatnya untuk menggenggam jemari Namira, gadis itu terlihat sudah bisa menguasai gemetar tubuhnya.

"Setiap hari ulang tahun, satu permintaan selalu dikabulkan dan di hari itu... kakakku ingin meniup kue ulang tahunnya di tempat kerja Papa. Anehnya, Papa mengizinkan kami datang, bahkan mengundang rekan kerja terdekatnya untuk ikut merayakan ulang tahun kakak."

Namira menghela napas, lalu mengalihkan tatapannya ke arah meja bar. Bayangan kenangan masa lalu seakan tengah terjadi di dalam kafenya.

"Dari pagi, Mama dan aku sibuk di dapur, membuat kue ulang tahun. Sementara kakakku membungkus camilan untuk dibawa pulang rekan kerja Papa dan dibagikan ke anak-anak mereka."

Jeda yang cukup panjang tercipta dan Chandra menyadari Namira tengah menggigit bibir dengan mata mulai berkaca-kaca.

"Kegembiraan kami memudar saat hujan deras tiba-tiba turun. Semua camilan, topi dan kue ulang tahun sudah dipindahkan ke mobil. Kami juga sudah duduk di dalamnya. Tapi Mama ragu untuk pergi karena dia belum lihai mengemudi.

"Aku dan kakak yang duduk di kursi belakang, mendengar Mama menelepon Papa dan bilang kalau kami akan tunggu hujan reda baru berangkat. Tapi... hari semakin malam, hujan nggak kunjung reda dan rekan Papa satu per satu pulang."

Namira akhirnya membalas tatapan Chandra, dengan matanya yang memerah dan basah. Ada genangan air yang siap tumpah dari kedua kelopaknya.

"Kamu tahu apa yang aku lakukan saat itu?"

Chandra menggeleng pelan. Ia tak bernyali untuk sekedar bicara, luka yang begitu hebat terpancar jelas dari iris Namira.

"Aku merengek untuk pergi secepatnya. Itu hari ulang tahun yang kakakku nantikan dan hujan menghancurkan kegembiraannya. Kakakku yang menyiapkan banyak hal dengan riang, jadi pendiam sambil terus memandangi hujan di luar. Ekspresinya hari itu membuatku sedih. Tapi...

"Seandainya aku tahu apa yang akan terjadi. Seandainya aku tahu itu adalah momen terakhir kami. Aku nggak akan membuat Mamaku nekat menyetir demi menenangkan putrinya yang durhaka."

Bendungan yang tertahan di mata Namira pecah, air mengalir di pipinya.

Chandra bangkit dari kursi untuk memeluk Namira, namun gadis itu menatapnya tajam dan menyuruh Chandra kembali duduk. Namira bahkan memperingatkan Chandra akan janji untuk tidak mengasihaninya.

Setelah Namira menghapus air matanya, ia kembali bersuara.

"Itu hadiah terkejam yang kuberikan pada kakakku. Aku membuatnya kehilangan sosok ibu di ulang tahunnya yang kesembilan dan ia membuatku juga kehilangan sosok kakak di usiaku yang baru enam tahun."

Chandra bergeming. Kesedihan dan luka mendalam ia rasakan dalam waktu bersamaan begitu mendengar cerita Namira. Pria itu tak bisa membayangkan sehancur apa Namira saat harus melaluinya pada usia yang masih begitu belia.

Namira melanjutkan ceritanya dengan ekspresi berbeda. Luka dan tangis yang sebelumnya terlihat, berubah menjadi ketenangan yang tak normal. Seakan ia telah mencapai batas akhir dari rasa sakit yang bisa ia rasakan, sehingga Namira menjadi sosok yang tenang untuk luka yang—menurutnya—tidak seberapa.

Sejak mama meninggal karena kecelakaan, kakaknya tak pernah bicara pada Namira kecuali untuk menyalahkan adiknya atas tragedi itu. Bahkan pada ulang tahun Rama yang kesepuluh, ia melempar kue ulang tahun yang papa beli ke arah Namira sebelum lilinnya dinyalakan.

"Seandainya Mama nggak menuruti kamu! Seandainya Mama ikuti kata Papa untuk tunggu hujan reda! Mama pasti masih hidup! Mama pasti masih ada untuk kita! Kamu pembunuh, Ra! Kamu membunuh Mama!"

Papa mencoba menenangkan Rama dengan membawanya ke kamar, membiarkan Namira yang masih berumur tujuh tahun itu gemetar sendirian di tempatnya berdiri dengan pakaian berlumur krim kue yang telah hancur berserakan.

Sejak hari itu, Namira tak lagi memiliki keberanian untuk mencoba mengobrol dengan kakaknya dan selalu diam setiap kakaknya berulah.

Hadiah ulang tahun Rama yang kesepuluh adalah kepindahannya ke pesantren. Papa yang tak mampu menghadapi trauma kedua anaknya sekaligus rasa dukanya sendiri, membuat ia terpaksa mengambil keputusan itu.

Empat tahun berlalu. Namira, Rama dan Papa seakan berjalan pada hidup mereka masing-masing. Hingga Papa memutuskan menikah lagi. Namira yang baru berusia sebelas beranggapan bahwa kehadiran ibu baru akan memperbaiki hubungannya dengan sang kakak yang masih berada di pesantren. Tapi semua tak berjalan seperti yang Namira perkirakan.

Rama yang akhirnya pulang ke rumah setelah sekian lama saat libur semester, terkejut mendapati papanya telah memiliki istri pengganti. Bahkan menggantung foto keluarga baru mereka di ruang tamu. Foto keluarga yang hanya berisi tiga orang: Papa, Istri baru, dan Namira.

"Kenapa kamu nggak mengabariku soal ini? Kenapa bisa Papa menikah dan aku nggak tahu apa-apa?!" Rama yang tumbuh lebih tinggi di usianya keempatbelas semakin mengintimidasi Namira.

Kakak yang telah lama tidak pulang langsung berteriak dan menuding foto yang dicetak oleh ibu tiri tanpa memikirkan perasaan anak-anak sambungnya.

"K-kakak nggak mau bicara denganku. A-aku pikir kakak tahu dari Papa—"

"Argh!" Rama melempar ranselnya ke arah pigura hingga foto besar itu terlepas dari dinding dan pecah begitu mendarat ke lantai.

Salah satu pecahan kaca menggores kaki Namira, namun gadis itu mencoba menahan tangis dari perih yang mulai terasa.

"Kamu tuh bener-bener ya!? Kamu udah bunuh Mama dan sekarang kamu biarin Papa nikah lagi dengan perempuan lain tanpa seizinku!"

Sejak kejadian itu, Rama tidak mau kembali ke pesantren dan mulai hidup seatap dengan Namira, Papa dan ibu tiri mereka. Setiap kesempatan selalu Rama gunakan untuk menekan Namira.

Untungnya di tahun yang sama, Namira mengenal Naureen, si Gadis Kaya pemilik ruang belajar rahasia yang tak kenal takut, dan Angelika, si Penggila Tidur Siang yang pandai meramaikan suasana. Kehadiran keduanya membuat Namira bisa bertahan dari situasi rumah dan keluarganya yang disfungsional.

"Karena hubungan Rin dan kakakku semakin sengit, aku resign dan buka kafe sendiri. Aku nggak mau Rin semakin terseret ke masalah keluargaku—"

Ucapan Namira terhenti ketika tangan Chandra mengusap lembut rambutnya. Saat itu juga, Namira sadar... ia terlalu banyak bicara. Benar-benar terlalu banyak.

"Makasih ya, Ra." Namira tenggelam dalam tanda tanya, tak mengerti maksud ucapan Chandra.

"Terima kasih, kamu berhasil melalui banyak hal berat sendirian, sebelum akhirnya bertemu dengan sahabat yang kamu sayang dan bisa kamu andalkan."

Kelopak mata Namira terbuka lebar. Ia sama sekali tak menyangka respon Chandra akan... sehangat ini.

Chandra menarik pelan lengan kanan Namira, ia membawa jemari gadis itu ke atas meja dan menggenggamnya dengan kedua tangan.

"Terima kasih juga, kamu sudah percaya dan menceritakan ini padaku."

Mata Namira kembali memanas. Namun, tak seperti sebelumnya yang berasal dari luka kenangan lama. Namira merasa... sesuatu yang berbeda.

"Kamu sama sekali nggak perlu dikasihani. Kamu hebat, Ra. Kamu bertahan sejauh ini dan bisa tumbuh seindah ini."

Setetes air mengalir dari salah satu mata Namira. Tanpa bicara, Chandra menghapusnya sambil tersenyum kecil.

Perlahan, kebingungan Namira akan mudahnya ia membuka rahasia kelam pada orang yang belum lama dikenal, tergantikan dengan kelegaan. Respon Chandra yang tak terduga, terasa begitu menenangkan. Dan Namira tersadar... kata-kata itulah yang selama ini ia harapkan.

BERSAMBUNG
Mei 10, 2024

1548 kata,
terima kasih untuk yang sudah baca, komentar dan vote.

Jujur, saat mau nulis chapter ini selalu gak dapat mood-nya karena backgroud story Namira adalah yang paling (spoiler spoiler spoiler).

Jadi, terima kasih sudah bersedia menanti dan aku harap, feel chapter kali ini bisa sampai ke pembaca.

Sampai ketemu chapter berikutnya, teman-teman ^_^

With love,
Nnisalida💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro