Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 11: Secret Door Finally Open

Vote & komentar teman-teman sangat berarti untuk aku. Jadi terima kasih sudah klik vote ⭐ dan komentar di setiap narasi/dialog yang kamu suka.

***

Malik yang terlambat masuk kantor membuat desas desus kecelakaan Darren di akhir pekan kemarin semakin santer. Karyawati tim finance sampai berunding sembari sarapan sebelum atasannya yang terkenal gila kerja itu datang.

"Aku pernah lihat di parkiran, Darren pakai rompi motor sebelum dilapis jaket," kata senior perempuan yang terkenal sebagai informan di grup chat khusus karyawati Maha F&B.

"Darren juga pakai sarung tangan yang kelihatannya nggak murahan. Helm full face-nya pernah kutanya ke sepupu yang hobi motor, harganya empat bulan gajiku!" lanjutnya menggebu, entah karena harga helm yang mencengangkan atau karena visual Darren saat mengenakan semua perlengkapan itu yang terekam di ingatannya.

"Jadi kesimpulannya?" tanya karyawati finance yang paling muda, mewakili semua perempuan yang berkumpul di depan kubikel sang informan.

"Kemungkinan... dan semoga, Darren nggak terluka parah. Safety kit-nya nggak main-main gitu, kok." Semua yang berkumpul mengamini.

Focus Group Discussion—a.k.a gosippagi seketika bubar ketika Malik datang dengan wajah yang nampak setenang biasanya dan langsung memasuki ruangan kerja. Tapi belum satu menit, pria itu kembali keluar.

"Maaf saya terlambat datang," kata Malik sambil melirik arloji di pergelangan kirinya. "Sepuluh menit."

Mata Malik menelusuri bawahannya satu per satu, seakan sedang mengabsensi kehadiran timnya. Untuk beberapa detik, tatapan Malik terpaku pada Lika yang memperhatikannya dengan pandangan tak biasa.

"Tapi keliatannya, kalian udah tahu kenapa saya telat hari ini."

Para karyawati saling tatap melempar kode, berharap salah satu dari mereka ada yang cukup berani untuk menanyakan keadaan Darren. Namun Lika tak terdistraksi, ia masih menatap Malik tanpa henti.

"Semalam saya menemani Darren dari UGD, operasi dan masuk ranap—"

"Operasi?! Separah itu?" celetukan informan membuat semua karyawan berekspresi serupa. Seakan baru saja mendapat kabar mereka di-PHK serempak.

Begitu pula Lika, ia mengambil ponsel di atas meja lalu menggenggamnya kuat. Ia ragu untuk menyampaikan kabar itu ke sahabatnya di divisi sebelah.

Karyawati senior tak lagi menahan diri untuk menanyakan lebih detail mengenai kondisi Darren, bahkan salah satu dari mereka ada yang bertanya di rumah sakit mana Darren dirawat.

"Kalau soal itu, saya nggak bisa beritahu. Ada baiknya Darren nggak dijenguk sama sekali karena dia harus bed rest," jawab Malik tenang, tak sedikit pun terpengaruh dengan raut memohon bawahannya. Namun mata Malik menangkap gestur Lika.

Meski dari kejauhan, Malik sadar bahwa Lika yang tengah menggenggam ponselnya nampak ragu untuk menghubungi seseorang. Gadis itu pun beberapa kali menggigit bibir dengan raut bimbang.

"Lika, bawa berkas yang saya minta Jumat lalu ke ruangan saya, sekarang." Ucapan Malik yang mendadak terdengar tegas di kata terakhir membuat semuanya menatap Lika cemas.

Tapi gadis yang ditatap itu hanya mengambil salah satu map dari kubikelnya dan bergegas masuk ke ruangan Malik.

Setelah memberikan map yang diminta, Lika hanya berdiri sambil menautkan dua jemari dan memainkannya.

"Kamu nggak mau duduk?" tanya Malik tanpa mengalihkan matanya dari kertas yang tengah dibaca.

"Oh? Hm.., ya, makasih, Pak," respon Lika seadanya karena terkejut. Matanya memperhatikan setiap detail ekspresi Malik yang masih mempelajari berkas pemberiannya.

Ini momen yang tepat buat memohon, kan? Walau tadi Malik bilang sebaiknya Darren nggak dijenguk, tapi siapa tahu aku bisa lakukan sesuatu? Nawarin diri buat nemenin dia lembur, ngaruh nggak, ya?

Malik mendongak dan membalas tatapan Lika. "Kamu mau tahu di mana Darren dirawat?"

"Iya," refleks Lika, namun satu detik kemudian... "EH?!" Lika melotot ke arah Malik yang tidak terkejut dengan responnya. "T-tapi tadi di luar—mau, Pak, mau! Di mana dirawatnya?"

Perubahan respon Lika yang drastis dan terjadi dalam waktu singkat membuat sudut bibir Malik berkedut, pria itu bersyukur dalam hati karena bisa menahan senyumnya kali ini.

Mimik wajah Lika kembali berubah, ia mengalihkan tatapannya dari Malik dan mulai bermonolog pelan. "Gimana kasih tau Rin-nya? Dia kan nggak tahu kalau aku lihat dia nampar Darren. Ah, pikir nanti aja."

Lika kembali menatap Malik. "Saya mesti apa buat balas informasi ini, Pak? Lembur nggak dibayar? Atau... kerja di akhir pekan?"

"Kamu mau melakukan itu demi tahu di mana Darren dirawat?" tanya Malik mengkonfirmasi. Siapa tahu gadis itu berubah pikiran. Namun, Lika justru mengangguk dengan keyakinan yang terpancar di matanya.

"Kamu rela lembur nggak dibayar demi sahabatmu? Kenapa kamu ngutamain orang lain lebih dari diri sendiri? Apa karena kalian bersahabat, makanya begitu? Persahabatan perempuan sulit dipahami."

Lika melongo dengan rentetan ucapan Malik. Ini kali pertama Lika mendengar atasannya mengoceh, bahkan diakhiri dengan kritikan. Padahal saat mengopi bersama dua kali, Malik masih terdengar seperti orang bijak.

"Mungkin karena... kami tahu rasanya terluka, jadi kami nggak mau menambah luka satu sama lain dengan saling membantu?" jawab Lika terdengar ragu. Matanya menghindari tatapan Malik, namun bibirnya melengkungkan senyum tipis.

"Kalau ternyata pengorbanan kecil bisa meringankan sedikit beban sahabat, kami akan lakukan. Setidaknya, itu cara kami untuk bertahan sampai hari ini." Lika kembali menatap Malik.

Pria itu terdiam. Jawaban tak terduga, sorot mata yang tak biasa dan senyum yang baru pertama kali gadis itu tunjukan, membuat sesuatu yang asing berdesir di dalam tubuh Malik. Sesuatu yang telah begitu lama tidak Malik rasakan.

*** *** ***

Chandra duduk bersandar di sofa yang terletak persis di depan jendela dan menghadap ke ranjang rawat Darren. Sejak tiba di kamar rawat VIP Darren lima belas menit lalu, pria itu hanya diam, tenggelam dalam lamunannya seakan ia baru saja dicampakkan.

Darren mengambil salah satu bantal yang ia gunakan dan melemparnya ke arah Chan yang tidak sigap. "Pulang sana! Ekspresimu bikin pening! "

Chan mendesis sebal, namun mengambil bantal yang tadi menimpuk wajahnya dan terjatuh di lantai, lalu mengembalikannya ke posisi semula di ranjang Darren.

"Dasar payah! Bisa-bisanya kecelakaan sampai bikin cedera lamanya perlu dioperasi ulang, kamu bawa motor kayak orang amatir aja!"

Darren tak merespon Chandra, mengingat alasannya kecelakaan memang cukup absurd.

"Jujur aja, Ren. Abis ditampar Naureen, kamu nggak fokus bawa motornya, kan? Makanya kamu nggak bisa kendalikan motor waktu mau menghindari mobil."

Darren melirik tajam ke arah Chandra yang sudah kembali duduk di sofa.

"Kalian bicarain apa, sih? Sampai dia berani nampar atasannya—tunggu, Rin emang senekat itu orangnya. Aku jadi penasaran sekuat apa bekingannya."

"Berisik, aku mau tidur." Darren memalingkan wajahnya dari Chandra dan mulai memejamkan mata. Ia berusaha mati-matian mengusir sosok gadis itu dari pikirannya. Tapi orang yang menemaninya malam ini justru terus mengungkit nama itu dengan mudahnya.

Chandra menghela napas melihat respon Darren. Cedera bahu yang nyaris sembuh kembali terluka, ditambah dengan hubungannya dan Rin yang nampak tak baik-baik aja.

Kepala Chandra merebah di atas sandaran sofa, matanya menatap langit-langit kamar dan ingatannya kembali ke akhir pekan lalu, sebelum ia mendengar kabar kecelakaan Darren.

*

Hampir jam delapan malam dan kafe Namira telah kosong pelanggan, kecuali Chandra yang sedang mengangkat kursi ke atas meja untuk memudahkan Namira membersihkan lantai kafenya.

"Aku bisa sendiri kok, Chan. Kamu pulang aja," ujar Namira tak enak hati, saat melihat Chandra mengambil lap untuk membersihkan salah satu meja, sebelum mengangkat kursinya.

"Kamu nggak bisa usir aku, Ra," jawab Chan penuh arti saat melirik Namira dengan tangan yang sibuk mengelap meja.

Senyum masam terbit di wajah Namira, ia lupa akan janjinya. Namira menyandarkan sapunya ke salah satu meja dan menghampiri Chandra.

Chan yang sadar akan kehadiran Namira di sebelahnya berhenti bekerja. "Kenapa, Ra?"

"Kalau... aku bilang... aku belum siap cerita, kamu... marah nggak?"

Tiba-tiba, Chan menunduk dan mengetukkan keningnya ke kening Namira. "Kenapa aku mesti marah? Aku kan udah bilang bakal tunggu sampai kamu siap cerita."

Tubuh Namira seakan membeku, namun ia masih mampu mendongak untuk menatap Chan. Tidak ada kepura-puraan di mata pria itu membuat sesuatu yang menggelitik memenuhi perut Namira dengan begitu cepat.

"Tapi, bukan berarti aku langsung pulang. Aku mau bantu kamu bersihin kafe dulu, hitung-hitung olahraga."

Chandra meninggalkan Namira yang diam di tempat karena salah tingkah dan mulai mengambil alih semua pekerjaan. Hingga Namira kebingungan untuk menghentikan pria yang seperti kerasukan hantu kebersihan itu.

"Chan, udah! Biarin aja. Aku bisa cuci sendiri semuanya. Lagipula ada cara khusus biar nggak ada aroma kopi yang tersisa."

"Oh, iya? Caranya gimana?" tanya Chandra yang betulan penasaran pada celetukan asal Namira.

"Itu... rahasia! Udah, kamu pulang aja." Namira yang tidak tahu harus menjawab apa hanya fokus mendorong tubuh Chandra agar keluar dari area dalam kafenya.

"Kenapa semuanya serba rahasia, sih, Ra?"

Namira yang tiba-tiba berhenti mendorong punggung Chandra membuat pria itu membalikkan tubuhnya.

"A-aku nggak maksud, maksudku bukan itu, Ra." Ekspresi Namira yang terasa begitu gelap bagi Chandra membuat pria itu panik. "Aku beneran nggak apa-apa kalau kamu belum bisa cerita—"

"Aku membunuh mamaku." Namira menatap dingin Chandra yang seketika menegang. "Kamu masih mau mendengar ceritanya?"

*

Pintu kamar rawat Darren yang mendadak diketuk membuat lamunan Chandra terhenti. Chandra menegakkan duduk, bersiap untuk berdiri dan membuka pintu. Namun orang yang mengetuk sudah lebih dulu membukanya.

Kelopak mata Chandra melebar begitu melihat sosok yang berdiri beberapa meter di depannya.

Lika tersenyum sopan ke arah Chandra, sedangkan mata Rin terfokus pada orang yang terbaring di ranjang dengan arm sling-nya.

"Rin?" bisik Darren yang sampai ke pendengaran Chandra.

Pintu yang sekian lama tertutup, mulai terbuka, tanpa paksa dan tak terduga.

BERSAMBUNG
April 20, 2024

1427 kata,
terima kasih untuk yang sudah baca, komentar dan vote.


Lama gak update, gimana ceritanya sejauh ini?


Namira bunuh mamanya?! Serius?!

Lika benar-benar sahabat yang suportif untuk percintaan temannya ya. Lembur gak dibayar pun, hajaaar!

Sampai ketemu chapter berikutnya, teman-teman ^_^

With love,
Nnisalida💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro