Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 10: Unspoken Remorse

Vote & komentar teman-teman sangat berarti untuk aku. Jadi terima kasih sudah klik vote ⭐ dan komentar di setiap narasi/dialog yang kamu suka.

*** *** ***

Bagi Malik, mendapat tatapan ingin menerkam dari kaum hawa setiap kali ia berdiri di sebelah Darren adalah hal biasa. Itu sebabnya Malik terkejut saat mendapati Lika menatapnya, seakan penampakan yang tak pernah ingin ia lihat seumur hidup.

Gerakan tiba-tiba Rin yang keluar kafe, membuat Malik urung melangkah ke arah meja bar dan menyapa Lika.

Darren menepuk bahu Malik, “Pesan duluan,” katanya singkat lalu berlari menyusul Rin dengan ekspresi yang jarang Malik lihat.

Meski cukup penasaran, Malik akhirnya melangkah ke meja kasir untuk memesan. Namun Lika dan seorang gadis lain yang sebelumnya ada di balik meja bar, justru tak mengacuhkan Malik dan menyusul Darren keluar kafe dengan raut cemas yang kentara.

Keheranan Malik memuncak saat mendapati satu sahabatnya yang sudah duduk anteng di meja pojok, ikut keluar kafe dengan tergesa.

“Orang-orang ini kenapa, sih?” Malik bersedekap menahan kesal, namun sorot mata ingin tahu dari pelanggan kafe membuat ia tak tahan. Meski enggan, Malik akhirnya ikut keluar kafe untuk menyelamatkan diri dari situasi tak aman baginya itu.

*** *** ***

Di luar, alis Malik merengut saat mendapati Lika, Chan dan seorang gadis lainnya mengintip dari balik pohon persis di depan pintu kafe seperti sedang memata-matai.

“Kalian ngapain?” Malik bertanya santai pada Chan yang nampak serius.

“Kapan terakhir kali kita lihat wajah Ren semarah itu?” Pertanyaan balik Chandra membuat Malik ikut memperhatikan objek mata-mata.

Posisi yang cukup jauh membuat keempatnya tak bisa mendengar percakapan Naureen dan Darren. Tapi ekspresi menahan marah terlihat sangat jelas dari sorot mata Naureen dan wajah Darren yang memerah.

“Saat kamu—”

Tangan Rin yang melayang ke wajah Darren membuat ucapan Malik terhenti. Malik tercengang, begitu pula Chandra, Lika dan Namira.

Kepergian Darren membuat Malik dan Chandra saling tatap beberapa detik, bingung harus apa. Menyusul Darren atau menunggu respon kedua gadis di dekat mereka ini?

“Rin gemetaran?” tanya Lika, memastikan penglihatannya tak salah. Seseorang yang sekuat tembok pertahanan setiap kali berurusan dengan Rama, kini runtuh karena seorang Darren?

Lika menatap Namira, menunggu responnya. Ia tak berani bertindak lebih dulu dari sahabatnya jika itu menyangkut Rama. Tapi Namira yang bergeming membuat Lika kembali memperhatikan Rin.

Lika terperanjat saat melihat sungai kecil itu turun dari mata Rin yang sebelumnya terlihat setajam belati. Kaki Lika bergerak untuk menghampiri Rin, tapi urung karena Namira menahan lengannya.

“Jangan, dia akan berhenti menangis kalau ada kita.”

Beberapa saat berlalu, Rin terlihat menengadah dan menghapus air matanya untuk bersiap kembali ke kafe. Panik, Namira dan Lika langsung berbalik dan terkejut mendapati Chan serta Malik berdiri di belakang mereka.

Meski begitu, Namira mendorong tubuh Chandra dan Lika menarik tangan Malik untuk masuk kafe.

“Anggap kalian nggak lihat apa-apa,” kata Lika sambil menepuk bahu Malik, lalu menyuruhnya ikut duduk bersama Chandra dengan gerakan kepala.

Malik melongo melihat Lika yang menyentuhnya tanpa consent dan memerintah.

Namira dan Lika kembali ke posisi mereka di balik meja bar, sedangkan Chandra melangkah ke meja dengan perintilan kerjanya yang—baru sadar—ia tinggalkan begitu saja tadi.

Malik masih berdiri tak jauh dari meja bar saat Rin kembali. Gadis itu bahkan tak mengindahkan kehadiran Malik dan langsung pamit pulang pada dua sahabatnya dengan alibi tak enak badan.

“Kamu mau pulang sendiri?” Nada cemas terdengar kuat dari pertanyaan Namira

“Mau kutemani?” Lika menambahkan.

“Kalian lupa aku pernah ke rumah sakit naik taksi saat kena DBD? Jangan cemas, aku duluan ya.” Rin menenteng tas yang ia taruh di kolong meja bar dan melewati Malik yang menatapnya dalam diam.

Pikiran yang masih kalut membuat Rin tidak berenergi untuk menyapa Malik—yang hanya ia kenal dari cerita Lika dan kopinangnya.

Malik yang awalnya ingin memesan minuman, teringat  ekspresi Darren saat Rin menamparnya. Malik melirik ke arah meja Chandra. Pria itu sibuk dengan tablet tanpa terlihat khawatir.

“Dasar nggak manusiawi,” gerutu Malik pelan. Keinginannya untuk mengopi hilang seketika. Ia memilih untuk keluar kafe tanpa memesan apa-apa.

Melihat atasannya pergi begitu saja, membuat Lika pamit pada Namira dan menyusulnya keluar.

“Pak Malik.” Panggilan Lika membuat langkah Malik berhenti. “Parkir di gedung bank yang di ujung jalan bukan? Kalau iya, bareng aja.”

Malik mengangguk pelan, kemudian lanjut melangkah. Tak ada percakapan membuat Malik sadar kalau gadis di sebelahnya ini sesekali berlari kecil untuk menyamai langkah kakinya.

Perlahan, Malik mulai mengurangi lebar dan kecepatan langkahnya, menyelaraskan langkah Lika yang lebih kecil dan pelan.

Perjalanan yang melambat membuat Lika tersenyum tipis. Terlepas dari gila kerjanya dengan menjabat dua posisi di waktu yang sama, Malik adalah orang yang peka… dan hangat.

“Dua sahabat yang kamu ceritakan ke saya itu, mereka?”

“Mm-hmm…” gumam Lika seadanya.

“Sahabat yang hidupnya lebih berat dan membuatmu malu untuk mengeluh—”

“Pak!” potong Lika sambil berdiri tiba-tiba di depan Malik untuk menghentikan langkahnya.

“Tolong rahasiakan. Jangan sampai ada satu orang pun yang tahu saya pernah cerita begitu.” Lika menangkup kedua tangannya, memohon dengan penekanan. Sederhananya, memaksa Malik bungkam.

Malik memperhatikan gadis itu dengan tatapan datar dari balik lensa.

“Sebagai uang tutup mulut, saya belikan kopi Alhamdulillah gimana? Sekalian buat jawaban kopinang dengan Bismillah.”

Malik tak bisa menahan senyumnya mendengar guyon garing Lika, namun ia mengangguk juga.

*** *** ***

Namira merapikan meja yang ditinggalkan pelanggan, namun di tengah kesibukan, ia berhenti dan berdiri di samping Chandra yang menatapnya bingung.

“Kenapa, Ra?” tanya Chan melihat gadis itu tak kunjung bersuara.

“Aku rasa… aku perlu minta maaf.”

Chandra menegakkan tubuh yang sebelumnya bersandar. “Untuk?”

“Rin bertengkar dengan temanmu sampai… menamparnya.”

“Kenapa kamu minta maaf padaku? Kita cuma kebetulan lihat kejadiannya, Ra.”

Namira menunduk dan tak merespon Chandra. Ia bingung bagaimana menjelaskannya, kalau Rin sering lepas kendali jika berurusan dengan Rama.

Tak kunjung mendapat jawaban, membuat Chandra menarik jemari Ra dan menggenggamnya lembut. “Aku tahu ada sesuatu, aku akan tunggu sampai kamu siap cerita, Ra.”

Sentuhan intim itu membuat Namira memperhatikan sekitar dengan gelisah. Beberapa pelanggan perempuan menatapnya dengan risih, beberapa yang lain nampak iri.

“N-nanti, kalau semuanya sudah pulang…” sahut Ra pelan. Hal yang paling tidak diinginkan Ra adalah kehilangan pelanggan karena public display of affections yang Chandra lakukan.

Promise?” Chandra melepas genggaman tangannya dan mengulurkan kelingking. “Pinky promise dulu.”

Namira tersenyum tipis, entah kapan terakhir kali ia melakukan janji anak-anak itu. Namun Namira tetap menautkan jarinya ke kelingking Chandra sebentar sebelum melanjutkan pekerjaannya yang tertunda.

*** *** ***

Entah sudah berapa kereta Rin abaikan, gadis itu masih terpaku di kursi peron stasiun dengan tatapan kosong.

“Maaf ya, lama.” Ucapan seseorang di dekat Rin membuatnya mendongak. Tangan pria yang terulur mengusap kepala gadis yang menunggunya membuat pikiran Rin memutar ingatan itu.

*

Darren berlari mendekat, setibanya di depan Rin ia membuka kunci helm dan memakaikannya ke kepala Rin.

“Maaf lama.” Darren terengah, “Lain kali aku bawa dua helm.”

*

“Di luar hujan, aku nggak bawa payung, pakai jaketku nggak apa-apa, ya?”

Si Pria melepas jaket dan menaruhnya di kepala si Gadis yang tertawa. Kepergian mereka dari dekat Rin justru membuat memori itu muncul.

*

Darren melepas jaket yang ia kenakan dan melebarkannya di depan wajah Rin, berusaha untuk melindungi wajah gadis itu dari tempias hujan yang telah membasahi lensa kacamatanya.

*

“Kenapa dia menyiksaku dengan kebaikannya, sih?” Rin menunduk frustrasi, berusaha mengusir semua rekaman perhatian Darren dari kepalanya.

*

“Touch her, you’ll die.” Darren berdiri di depan Rin dan menutupi gadis itu dari pandangan bengis Rama yang seakan bisa membunuh siapa saja.

“Kamu nggak terluka, kan?”

“Orang gila tadi, justru akan makin senang mengganggu Namira karena tahu kamu ada di pihaknya!"

*

Rin menghela napas panjang dan mengusap wajahnya. Ia sadar sudah keterlaluan. Bagaimanapun yang Darren ucapkan adalah kebenaran, itu sebabnya Rin naik pitam karena baru menyadari kebodohannya.

“Aku harus minta maaf.” Rin mengeluarkan ponsel dan mencari kontak Darren dari whatsapp grup tim kantornya. Namun, jemari Rin terhenti.

“Minta maaf cuma lewat chat setelah menamparnya itu… nggak etis. Kalau gitu, besok aja.”

Kereta selanjutnya telah memasuki peron, Rin naik ke dalam rangkaian sambil berpikir, permintaan maaf seperti apa yang pantas untuk membayar kekerasan yang telah ia lakukan pada atasannya.

*** *** ***

Rin datang hampir pukul sembilan, dengan kata lain ia terlambat masuk kerja setelah ajukan cuti sakit dua hari. Ia kira dengan begitu, Darren akan memanggilnya untuk menegur seperti saat karyawan lain terlambat datang ketika ada meeting pagi.

Namun rencana Rin gagal. Ia tak melihat ada penampakan atau bahkan tas kerja Darren di mejanya seperti biasa.

“Kak, Darren belum datang?” tanya Rin pada Bayu yang baru saja kembali dari pantry dengan secangkir kopi.

“Nggak masuk dia, katanya sih kecelakaan kemarin.”

“Hah?! Kecelakaan gimana?” Karyawati yang duduk di seberang Rin heboh, begitu juga dengan rekannya yang lain.

Meja Bayu tiba-tiba dikerubungi semua gadis yang ingin tahu kabar lebih lanjut, kecuali Rin yang terdiam di mejanya.

Girls, di mana-mana orang opname itu sebaiknya nggak dijenguk biar cepat sembuh. Kalaupun gue tahu rumah sakitnya, gue nggak bakal izinin kalian ganggu waktu istirahatnya. Bisa makin sakit Darren nanti,” ucapan Bayu yang bukan tertuju untuk Rin justru membuat hati gadis itu terpilin nyeri.

Perlahan, tangan kanan Rin yang menampar Darren kembali gemetar. Rasa bersalah yang kian menumpuk sejak semalam mulai menenggelamkan Rin.

Penyesalan tak terucap perlahan berubah menjadi kecemasan… dan keinginan untuk memastikan keadaan pria yang tanpa Rin sadari, mulai memenuhi hari-harinya.

BERSAMBUNG
March 30, 2024

1473 kata, terima kasih untuk yang sudah baca, komentar dan vote.

Gimana sejauh ini?

Agaknya, Lika mulai sat-set mepetin Malik.
Ra juga mulai terbiasa dengan perhatiannya Chan.
Tinggal Rin nih, hayolooh Rin, main nampar aja sih, kan mending dipeluk (uhuk!!)

Pekan lalu nggak publish karena puasa & harus kerja keluar kota. Mohon pengertiannya dan sampai bertemu di chapter selanjutnya!

With love,
Nnisalida💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro