Meraki
Hallo ....
Dilarang naksir CeYe a.k.a Chan!
Kelas 10 C tidak menerima murid baru.
Cerita ini berpotensi membuat Anda tertawa.
Berikan komentar kepada duo author yang haus notif.
:-:-:-:
"Lakukan sesuatu dengan cinta, kreativitas, dan sepenuh jiwa"
—Meraki.
:-:-:-:
Awal semester genap disapa oleh pagi yang cerah. Papan tulis tanpa noda dan meja-meja dilap sampai mengilap. Tiga gadis duduk di dalam kelas 10 C—dua saling bersisian, dan satu lainnya di belakang. Dari ketiga gadis itu, Raina duduk mendengarkan sembari mengingat kembali catatan rahasia dalam benaknya.
Pada liburan kemarin, Laura Donovan berlibur ke Inggris. Gadis itu bertubuh ramping dan tinggi, dengan mata berwarna biru cerah, serta rambut pirang yang indah. Laura menunjukkan video yang akan di-posting di akun youtube bernama Laurauwuu. Dalam rekaman itu memperlihatkan Westminster Palace, tempat jam Big Ben disoroti lampu warna-warni.
"Sumpah! Keren banget kembang api di Westminster tepat malam pergantian tahun," kata Laura sembari menunjukkan rekaman video.
"Kalian nggak akan nemu gema lonceng menggantikan suara terompet tahun baru kalau bukan di Jepang," kata Miyabi tak mau kalah memamerkan foto-foto kunjungannya ke kuil Meiji Jingu di Shibuya minggu lalu.
Miyabi Yu, dari namanya saja sudah jelas gadis itu keturunan Jepang. Hanya saja, matanya tidak sipit. Wajah bulat imut itu turunan dari ibunya, Rizuki Septiani, aktris terkenal tanah air. Kedua mata itu menatap Raina penasaran, menunggu ia mengatakan pengalaman liburannya.
Bibir Raina tersenyum lebar. "Perjalanan yang paling menyenangkan. MBC Gayo Daejeon menjadi festival paling megah sebagai penutupan tahun."
Miyabi dan Laura sangat ingin menonton konser di Korea, tetapi keluarga mereka pergi ke negara lain.
"Bikin iri aja," kata Laura bersungguh-sungguh. "Kamu dapat foto Sehun yang bagus?" tanyanya penuh harap.
Raina tampak mengingat-ingat, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk dagu. "Iya dong."
"Aku mau lihat semua foto itu," ujar Laura dan Miyabi bersamaan.
"Eh, itu ...."
"Good morning!" Mrs. Lucy memasuki kelas. Raina merasa lega, sementara para murid lain bergegas duduk ke tempat masing-masing.
Laura menoleh cepat kepada Raina. "Kamu harus kirim foto-foto itu ke aku," bisiknya, lalu menghadap ke depan lagi.
"Tentu," balas Raina. Tentu saja tidak ada foto, tambahnya dalam hati.
***
Sekolah mereka termasuk sekolah mewah. Artinya, kebanyakan anak-anak orang kaya saja yang bersekolah di sini. Semua murid tinggal di asrama, bisa memilih kamar pribadi atau bersama. Mereka juga diperbolehkan melengkapi kamar dengan selera sendiri, walau tetap harus mengikuti aturan.
Di sekolah ini, Raina merasa tidak mengenal siapa pun. Sama seperti dalam semester yang lalu, ia tidak bisa menyapa setiap murid yang dijumpai, juga teman-teman sekelasnya yang sudah membuat grup kecil sebelum ia sempat berkenalan. Hanya Miyabi dan Laura yang menyapanya. Sekarang, mereka disebut tiga serangkai dan tergolong 'grup' yang dikagumi.
Pada jam makan siang, Raina berjalan ke kantin menyusul Miyabi dan Laura yang sudah menempati meja di bagian tengah. Meja yang menjadi pusat perhatian. Raina duduk setelah membeli sebungkus sandwich dan susu kotak di tangan.
Laura sedang berkutat dengan macbook-nya, sibuk mengedit video yang direkam beberapa hari lalu. Film amatir antimainstrem, kali ini kisah cinta beda usia. Tokoh utamanya, Ningsih, ibu kantin dengan Merdeka Raya, cowok yang mendeklarasikan dirinya sebagai cowok terimut seantero sekolah.
"Aku punya sebotol besar selai prem di kulkas," kata Miyabi. "Aku minta mamiku beli kulkas untuk di kamar. Kalian boleh ke kamarku hari minggu nanti. Kita sarapan roti panggang selai prem bareng-bareng."
Jemari Laura berhenti menari di atas keyboard dan berkata dengan nada tak mau kalah, "Aku mau naruh kulkas dua pintu di kamar."
"Ah ... kulkas di rumahku bukan cuma dua pintu, tapi ada jendelanya juga," sahut Chan yang tiba-tiba bergabung ke meja mereka. Chan duduk di sebelah Raina dan menaruh nampan makanannya.
Chan Yohannes yang akrab dipanggil CeYe adalah teman sekelas mereka. Cowok itu pada dasarnya gemar mengganggu dan usil, seperti anak monyet yang berisik dan senang melompat. Namun, begitu banyak orang yang menyukai sikap ramah dan santainya.
"Hai, CeYe," sapa Laura. "Gimana? Kamu mau 'kan jadi pemeran utama di filmku nanti?"
Chan tidak jadi memasukkan sesendok penuh nasi goreng ke dalam mulutnya. "Aku mau kalau perannya jadi polisi."
"Ish, nggak akan ada polisi-polisian," kata Laura kesal.
"Kenapa kamu ngotot mau jadi polisi?" tanya Raina penasaran.
Chan menoleh kepada Raina, gadis manis berambut hitam sebahu. "Karena gak mungkin jadi polwan," ucapnya santai sembari melahap nasi gorengnya.
"Aku kasih jam tangan dari London deh," rayu Laura sembari menaikturunkan alisnya.
Alis Chan terangkat, tampak tertarik. "Dapat oleh-oleh, nih?"
"Asal mau jadi pemeran utama. Jam tangannya canggih dan keluaran terbaru," timpal Miyabi untuk membantu sahabatnya.
"Ah, jam tangan itu pasti kalah canggih sama cincin punyaku," balas Chan.
Chan merogoh sakunya dan mengeluarkan cincin plastik yang biasa ada dalam chiki berhadiah, memamerkannya seolah cincin berlian yang sontak membuat ketiga gadis itu mengernyitkan dahi. Sebelum ada yang protes, ia langsung menjelaskan, "Nih ya, kalau cincin ini dipakai di jempol," Chan memasukkan cincin ke jarinya, "terus kita tunjuk angkutan umum, sopirnya pasti langsung berhenti. Canggih, 'kan?"
Beberapa murid yang sedari tadi mencuri pandang ada yang menahan rasa geli dan cekikikan. Wajah Miyabi dan Laura memerah. Dalam hatinya, Raina tidak mau mengenal Chan secara pribadi.
"Itu nggak lucu, CeYe," kata Miyabi. "Oh, ya, aku mau lihat foto-foto konser itu," pinta Miyabi kepada Raina. Memilih mengabaikan tawa Chan yang terdengar menyebalkan.
Raina hampir tersedak minumannya karena tidak menyangka acara konser itu akan dibahas sekarang. Untungnya segerombol kakak kelas memanggil Chan dari meja lain, memintanya bergabung. Setelah membereskan piringnya, Chan pamit dan pergi bersama teman-temannya. Raina mengikutinya dengan pandangan.
"Hp-ku ada di loker karena baterainya habis. Nanti aku kirim foto-fotonya," kata Raina, lalu buru-buru menambahkan, "Oh, ya, aku ada janji sama Miss Laudia di ruang musik."
Raina berdiri dan tersenyum meminta maaf. "Aku duluan. Bye!"
Miyabi dan Laura membalas lambaian Raina.
Setelah makan siang, Miyabi dan Laura pergi ke toilet. "Aku nggak ngerti kenapa banyak orang senang pakai lip balm merek murahan," kata Miyabi menyindir langsung murid lain yang sedang mengoles pelembap bibir di depan cermin.
"Kalau bibirku diolesi lip balm murahan, pasti akan pecah-pecah," tambah Miyabi kepada Laura. "Argh ... ngeri banget."
Murid yang berada toilet langsung keluar. Laura menjulingkan mata dan memeletkan lidah kepada murid yang melirik sinis. "Orang iri itu tanda tak mampu."
Suara tawa Miyabi membuat Raina mengurungkan niat keluar dari bilik toilet. Jantungnya berdebar saat tahu teman-temannya kemari. Ia merapatkan telinga ke pintu toilet untuk menguping.
"Laura, aku curiga Raina bohong. Wajahnya mendadak pucat saat kita minta fotonya."
Suara Miyabi terdengar begitu menohok bagi Raina.
"Nanti kita cek aja foto-foto yang di-post fans. Kalau kita nemu foto yang mirip, udah pasti dia bohong," balas Laura ringan.
Bel tanda berakhirnya jam istirahat berbunyi. Langkah-langkah kaki terdengar menjauhi toilet, menyisakan Raina sendiri.
Raina tertegun. Matanya menatap pintu kamar mandi seolah bercermin, menampakkan wajahnya yang penuh keringat dan pucat. Lututnya gemetar, nyaris tak kuat untuk berdiri lagi rasanya. Kamu dengar itu, Raina Ayunindya? Miyabi dan Laura sudah curiga dengan kebohonganmu. Astaga!
***
Tidak ada yang baik-baik saja dengan perasaan Raina sampai pelajaran berakhir. Namun, sepulang sekolah Raina harus pergi ke perpustakaan untuk meminjam buku.
Perpustakaan Soul Revolution High School dipenuhi rak-rak tinggi dengan buku-buku yang ditata rapi. Raina membawa beberapa buku untuk diperiksa, kemudian duduk di sudut dekat jendela.
Raina menatap sekeliling. Penjaga perpustakaan sedang sibuk mengatur ulang buku dan murid lain fokus pada buku masing-masing. Raina membuka beberapa halaman dan menyelipkan ponselnya di tengah buku. Ia sibuk mencari foto konser yang tidak akan disadari oleh teman-temannya kalau itu dari internet.
Raina menggigiti kecil-kecil kuku ibu jarinya, matanya tetap fokus mencari gambar yang sesuai. Tiba-tiba tangan seseorang terjulur mengetuk pelan mejanya. Raina terlonjak kaget, segera menoleh dan mendapati Chan berdiri di belakangnya.
"Ngagetin, tahu!" kata Raina terengah dan cepat-cepat menyembunyikan ponselnya.
"Peraturan memang dibuat untuk dilanggar." Chan menarik kursi di sebelah Raina. "Aku nggak akan bilang ke Mrs. Irmina kalau kamu bawa Hp," katanya dengan nada bersekongkol.
Raina menggeser posisi duduknya. Ia merasa tidak nyaman sekaligus gugup karena diajak bicara oleh cowok populer.
"Lagi sibuk nyari apa?"
"Bukan urusanmu," jawab Raina ketus.
"Kalian mungkin nggak sadar kalau kalian kelihatan 'angkuh dan tukang pamer,' seperti yang sering dibisikkan teman sekelas."
"Aku suka Miyabi dan Laura. Kami berangkat sekolah bareng, pergi belanja bareng, mengobrol banyak hal bareng juga," tutur Raina tersinggung.
"Memangnya yang dinamakan teman itu, apa-apa harus bareng?"
Seharusnya Raina marah karena Chan mengomentari hubungan pertemanannya, tetapi ia menahannya. "Menurutmu, apa artinya pertemanan?"
Chan menatap langsung ke mata sepekat langit malam Raina dan memilih kata dengan hati-hati. "Berteman itu hubungan timbal balik yang tidak saling memaksakan diri. Teman saling terbuka dan menjadi diri sendiri, bukan orang lain."
Raut keras Raina melunak. Ia tercenung. "Kurasa, aku ngerti maksudmu."
"Menurutku, kamu itu baik dan ramah. Beda sama Laura yang mudah gaul, tapi pilih-pilih. Apalagi Miyabi yang keras kepala. Teman-teman sekelas pasti senang kalau mereka minta tolong diajari beberapa soal yang susah."
Tidak ada yang pernah meminta itu padaku, keluh Raina dalam hati. Nilai akademiknya memang bagus karena ia rajin belajar.
"Teman baik juga bisa menjadi tempat berbagi rahasia," tambah Chan. "Dan kita akan menjadi teman baik, 'kan?"
Raina memiringkan kepala. "Oke, lalu apa rahasiamu?"
Chan tampak berpikir sejenak, matanya melirik kanan-kiri berlagak ingin memberitahu sebuah rahasia. "Aku ini anak dari Chandra Rahardian, pengusaha batu bara di Sumatera Selatan," bisik Chan.
Spontan Raina tertawa. Berusaha menahan gelak agar tidak menarik perhatian. "Kalau gitu, papaku adalah presiden!"
Giliran Chan terkekeh. Obrolan mereka berlanjut, Chan menceritakan banyak hobinya. Raina heran mendengarnya, tetapi senyum kecil terbit dari bibirnya, berbeda dengan matahari yang tersaput awan mendung. Mereka saling menatap, Raina bisa melihat jelas iris cokelat mata Chan sewarna karamel yang baru saja matang.
Setelah itu Raina memalingkan perhatian kembali ke buku-bukunya, memilah yang akan dipinjam, dan menumpuknya di tangan. "Aku suka nulis, diary atau cerpen. Meski udah jarang," katanya tiba-tiba. "Miyabi dan Laura nggak tahu itu."
Chan menyeringai senang. Bibir Raina tersenyum lebar sebagai balasan, menampilkan lesung pipitnya. Selesai meminjam buku, mereka ke loker untuk mangambil tas. Ternyata di luar sudah hujan. Raina menengadah melihat langit yang kini menumpahkan hasil penguapan dari bumi."CeYe, masuk ke dalam lagi aja, yuk! Tunggu hujan reda."
Chan mengeleng cepat dan mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah payung lipat kuning. "Nih, pakai!"
Raina menatap beberapa saat payung itu. "Kamu gimana?"
"Tenang." Chan meraih tangan Raina, dan memberikan payung itu. "Kalau aku, cukup begini aja," katanya seraya melepas jas seragam sekolah, lalu menyampirkan di atas kepala.
"Eh, jangan!"
Chan tersenyum menenangkan. "Sesama teman itu harus saling peduli. Apalagi aku ini cowok! Nggak mungkin biarin cewek kehujanan." Chan tertawa saat Raina terlihat masih enggan. "Lagian itu payung tiba-tiba ada di lokerku."
"Bye, Raina!" seru Chan dan berlari menembus hujan. Raina menatap punggung Chan dan menggeleng heran.
***
Raina kembali ke kamar setelah selesai mengerjakan tugas kelompok di kamar Miyabi. Ia berganti pakaian, lalu menyusup ke balik selimutnya yang hangat.
Lewat tengah malam, kedua netra Raina seakan menolak terpejam, hatinya begitu resah. Akhirnya ia menyingkap selimut dan berjalan ke meja belajar, lalu mengempaskan pantatnya di kursi.
Matanya menatap jajaran buku dan menarik sebuah buku hard cover hitam-putih. Diary sedari SMP yang menjadi tempat curahan hatinya. Raina membuka buku dan berhenti di halaman kosong. Ia menggigit bibir bawahnya, diambilnya pulpen dari dalam laci, dan perlahan mulai menulis keresahan hatinya.
Baru setelah itu, Raina yang merasa sedikit lega mampu melewati pekatnya malam dengan tenang..
"RAINA!!" Seruan dan gedoran pintu sontak membuat Raina terlonjak. Ia bergegas membuka pintu. Miyabi dan Laura menatapnya terkejut. "Raina, lima belas menit lagi masuk!" kata Laura panik.
Raina ngacir mencari handuk. "Sorry, tunggu bentar, ya!"
"Huh, dasar! Tumben dia telat." Laura duduk di atas kasur, sedangkan Miyabi memilih di kursi. Tatapan Miyabi tak sengaja melihat diary yang terbuka di meja.
Beberapa menit berlalu, Raina sudah siap dengan seragam lengkap. "Aku sudah siap. Yuk, berangkat," ajak Raina.
Atmosfer telah berganti. Ia sebenarnya ingin bertanya perihal apa yang salah. Namun, urung melakukannya.
"HOH ... DASAR PENIPU." Suara Laura yang biasanya manis-manis manja kini terdengar mengandung kepahitan.
Raina terkejut melihat kedua temannya melipat tangan di bawah dada. Wajah mereka tampak masam, bagai jeruk belum matang.
"Ada apa?" tanya Raina kaku.
Miyabi memperlihatkan diary Riana. Napas Raina tersekat ketika bukunya dilempar dan membentur lemari.
"Ternyata kamu pura-pura selama ini. Kamu berteman dengan kami hanya untuk jadi populer. Kamu menipu kami!" cecar Miyabi.
"Itu ... tidak seperti yang kalian pikir--"
"Kamu bilang kami sombong? Dan kamu pura-pura jadi teman kami biar ketularan populer?" sela Laura cepat.
"Untuk apa kamu ngaku anak orang kaya dan sering jalan-jalan keluar negeri? Hah, pantas gak pernah ada bukti." Miyabi tersenyum penuh penghinaan.
Miyabi dan Laura tidak menunggu penjelasan Raina. Mereka langsung keluar kamar.
***
Raina berusaha mencoba meminta maaf setiap ada kesempatan, tetapi Miyabi dan Laura selalu menanggapi sinis. Bahkan menganggapnya tak ada.
Bel istirahat baru saja berbunyi. Setelah mengucapkan salam kepada guru mereka, kelas mulai ramai. Namun, sebelum ada yang murid yang melewati pintu, Miyabi membuat pengumuman, "Teman-teman, tahu nggak, kalau Raina tukang bohong?"
"Miyabi," panggil Raina. "Dengar dulu--"
"Kami nggak butuh pembohong kayak kamu, Raina. Lebih baik cari korban lain yang bisa menaikkan reputasimu," timpal Laura.
"Bukan ... aku berteman dengan kalian ... bukan untuk jadi populer," kata Raina terbata.
"Lalu apa?" Laura terlihat begitu kesal.
Raina tidak bisa berkata, rasanya ada yang menyendat tenggorokannya. Ia menunduk dalam. Wajahnya kehilangan rona, keringat dingin mulai bermunculan, tangannya gemetar, bahkan kakinya mengancam luluh.
"Ada apa ini?" tanya ketua kelas.
Tanpa beban, Miyabi membeberkan semua yang dibacanya dari buku harian Raina. Teman sekelas mereka hanya tercengang, bingung harus merespons apa.
Raina terisak. Kenapa Miyabi dan Laura begitu kejam? Bukankah mereka teman? Segala yang pernah mereka lalui bersama seolah tiada artinya.
Raina mengepalkan tangannya dan memberanikan diri untuk berkata, "Kalian salah. Aku ... hanya takut sendirian," ucap Raina susah payah, nyaris berupa bisikan.
"Aku gak pernah pura-pura menjadi teman kalian!" Teriakan Raina membuat kelas seketika hening.
"Sejak awal ... aku takut menghabiskan hari-hariku di sekolah ini tanpa teman. Aku salah karena berbohong. Itu kulakukan agar aku bisa diterima kalian!" Raina mengelap air matanya dengan punggung tangan. "Aku bukan berasal dari keluarga kaya. Aku hanya anak notaris dan gak pernah ke luar negeri," tutur Raina mulai terisak keras.
Setelah menumpahkan keluh kesah, Raina roboh. Pertahanannya hancur, ia berlutut di lantai seraya menangis.
Seperti program komputer yang lambat berproses, penghuni kelas 10 C tercenung. Hingga sebuah suara tepukan tangan mengambil alih perhatian. Chan yang bertepuk tangan lambat-lambat, bagai koordinator membuat satu per satu teman sekelas melakukan hal serupa. Mereka tersenyum, seperti mengapresiasi sebuah pertunjukan drama musikal.
Ketua kelas mereka memulai dengan berkata, "Sebenarnya ... kurang lebih, awalnya aku juga merasa seperti Raina."
"Iya, aku juga. Aku takut tidak ada yang mau berteman denganku," timpal yang lain.
Seketika kelas menjadi riuh, berubah menjadi ajang saling mengakui seperti halnya yang barusan Raina lakukan.
Raina tertegun sesaat, masih dalam proses mencerna situasi yang baru saja terjadi. Ia menatap kepada Chan yang tersenyum lembut sembari mengulurkan tangan. Raina menghapus air matanya, lalu menerima uluran tangan Chan yang membantunya berdiri.
Raina kini paham arti senyum Chan barusan. Hatinya menghangat, ia merasakan rasa diterima. Di sinilah seharusnya ia berada. Bersikap jujur dan terbuka lebih baik dibanding harus berpura-pura demi mendapat perhatian.
Sudah beberapa hari sejak kejadian di kelas waktu itu. Kini Miyabi dan Laura menjadi dua sekawan di kelas, dan masih tetap pamer. Tak ada yang berubah dari mereka, sementara Raina memiliki banyak teman baru.
Saat di kelas, teman-temannya kadang mengajak berdiskusi tentang pelajaran yang tidak dimengerti. Saat di kantin, banyak yang memberi tempat duduk untuknya. Perlahan, dunia barunya telah terbentuk. Ia tak lagi tersenyum atau tertawa yang dipaksakan. Kini ia merasa bebas. Menjadi diri sendiri.
***
Siang ini awan kelabu menutupi langit, menghalangi sang surya menyinari permukaan bumi. Raina dan Chan berjanji sepulang sekolah akan pergi ke toko buku. Buru-buru Raina menyusul Chan yang sudah menunggu di teras depan sekolah.
Raina melintasi lobi, mendapati Miyabi dan Laura tengah berbincang dengan suara keras. Raina yakin, semua orang yang berada di sana dapat mendengar jelas percakapan mereka.
"Tahu nggak, semalam di Instagram, Chanyeol balas komenku di posting-an terbarunya." ucap Laura bangga.
"Hanya itu? Bulan depan ulang tahun perusahaan otousan, dan mau undang Kim Taehyung yang punya kontrak iklan. Kamu boleh ikut kalau mau, aku kasi undangan VVIP deh," kata Miyabi tak mau kalah.
Luara mengerucutkan bibir, sedangkan Miyabi tersenyum puas.
"Kamu tahu nggak, pulau Liberty tempat patung Liberty berdiri?" tanya Laura berkacak pinggang.
Sebelah alis Miyabi terangkat.
"Itu nenek moyangku yang bangun sampai bisa jadi pulau," jawab Laura bersikap menantang.
"Hmm, kamu tahu nggak, ada banyak jenis pohon Sakura di Jepang?" Miyabi menangkap umpan tantangan.
"Terus?"
"Itu nenek moyangku yang tanam semuanya." Miyabi melipat tangan di depan dada.
Raina yang sedari tadi mengamati mereka ikut menimpali, "Segitu aja kalian sombong setengah mati. Kalian tahu Lubang Buaya di Pondok Gede?
Laura dan Miyabi menatap Raina.
"Itu aku yang gali," lanjut Raina dengan gaya khas Chan yang suka nyelutuk.
Wajah kedua gadis itu merah padam, bagai granat siap meledak. Sudut bibir Raina tertarik ke atas, lalu berbalik dan melanjutkan langkah.
Saat melewati pintu untuk mencari Chan, sebuah karet gelang melanting melewati sisi bahunya. Raina menoleh dan melihat Chan berdiri miring bersandar ke tembok dengan satu kaki sedikit ditekuk.
"Lama banget. Dari mana?" tanya Chan sembari memasukkan sisa karet gelang ke kantongnya
Raina memicingkan mata. "Ambil payung. Kelihatannnya mau hujan."
"Memang sudah turun. Rintik-rintik."
Raina tertawa sebentar, lalu mengeluarkan payung lipat kuning dari tasnya. Dengan satu gerakan, payung itu terkembang.
"Yuk!" Raina berjalan lebih dulu, mencuri start dari Chan.
"Hei, tunggu!" Chan bergerak refleks, merebut payung dari Raina dan memayungi dirinya. Raina memukul bahu Chan yang kemudian mereka berjalan di bawah payung bersama.
[end]
:-:-:-:
Sekian, terima voment.
Apa emotikonmu untuk cerita ini?
Salam
SR Agent.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro