Magic Sting - White_cats
Dia Lique, gadis yang berusaha mengungkapkan kebenaran akan misteri sekolah ini.
–Kinisa Hreta–
• Happy Reading •
Lique akhirnya menyelesaikan sebuah alat yang baru ia ciptakan. Alat tersebut berbentuk seperti bedak lipat yang biasa dibawa oleh kebanyakan remaja atau pun ibu-ibu yang sering menyediakan bedak tersebut di tas pribadi mereka.
Bedak lipat tersebut berwarna biru langit dengan hiasan bulan dan bintang pada penutup. Ada sebuah cermin di dalam bedak tersebut, namun bukan sembarang cermin biasa. Lique memberikan sebuah percikan sedikit pada cerminnya tersebut. Percikan seorang yang jenius.
Dan untuk bagian alas tempat yang seharusnya ditempati oleh sang bedak dan pemolesnya, ia mengganti alih fungsinya untuk menyimpan kabel-kabel kecil yang ia susun. Gadis itu tak sabar ingin menguji alat yang ia ciptakan dan rakit sendiri! Bisa saja alatnya tersebut berhasil dan dikenal banyak orang.
Tetapi, ada maksud dari pembuatan alat tersebut. Lique sengaja membuatnya semenjak ia menginjakkan kakinya di Soul Revolution High School. Ia merasakan aura yang sangat kuat berasal dari sekolahnya itu. Aura-aura yang negatif itu, lah yang membuat gadis itu memutuskan untuk menjalankan rencana yang ia sudah susun selama beberapa bulan belakangan ini.
Rencana yang membawa dirinya kepada kebenaran akan kemisteriusan Soul Revolution High School ini dan kebenaran akan kecurigaannya selama ini kepada beberapa orang yang sifat dan sikapnya yang sangat aneh. Seperti bukannya sifat yang mencerminkan seorang ... manusia pada umumnya.
Lique sudah melakukan beberapa kali eksperimen. Dahulu ia pernah menaruh kecurigaannya pada salah satu ruang yang ada di sekolahnya. Salah satu ruangan yang menurutnya sangat aneh jika ada beberapa orang datang ke sana dan tak pernah kembali. Ia menciptakan alat yang sama, namun alat tersebut langsung hancur bersamaan dengan sebuah sengatan aneh yang tiba-tiba menyerangnya.
Dan Lique yakin jika sengatan tersebut bukan sengatan biasa. Sengatan listrik? Ia sudah memastikan jika tidak ada aliran listrik di tempat yang ia kunjungi. Dan untuk sengatan cinta? Uh, untuk itu ia saja memastikan jika tak ada orang lain yang ada bersamanya. Saat itu kelas masih berlangsung, tepat saat dia sedang membolos pelajaran.
Kejadian lalu itu, lah yang membuat Lique paham ada yang tak beres dengan ruangan tersebut.
• MAGIC STING •
Gadis itu mengacak rambut pirangnya untuk ke sekian kalinya. Sudah hampir dua jam mencari benda yang seharusnya menemaninya untuk menuntaskan misteri di sekolahnya. Sayangnya ia kehilangan benda itu tepat sepuluh menit sebelum rencananya dimulai.
Sebenarnya tak masalah tidak membawa benda itu. Tetapi, ia merasa sangat aneh jika tak mengenakan benda tersebut. Mungkin kali ini Lique memang tidak harus mengenakan benda tersebut.
Namun—Lique menghela nafasnya , ia memikirkan nasibnya juga jika benda itu tidak ia bawa. Ia memilih membatalkan rencananya. Ia mengubahnya menjadi rencana mencari benda berharganya yang tiba-tiba menghilang.
Gadis itu segera mengambil jaketnya melangkah dengan sangat pelan agar tak menimbulkan suara apapun yang bisa mengganggu teman sekamarnya yang tertidur. Lique sangat salut pada teman sekamarnya yang tidak merasa terganggu dengan suara berisik yang selalu ia buat.
"Uh, Lique kau mau ke mana, malam ini?" Suara serak yang terdengar membuat Lique itu terkejut. Dengan cepat Lique membalikkan tubuhnya memandang temannya itu. "Aku ingin keluar sebentar."
"Kamu insomia?"
Lique mengangguk samar, "Mungkin. Aku akan kembali jika sudah mengantuk. Kembali, lah tidur Nisa."
Gadis yang dipanggil Nisa itu mengangguk. "Kau memang selalu begitu. Jangan terlalu larut. Ini sudah tengah malam. Aku tak mau mendengar besok jika kamu mengantuk di jam pelajaran. Ingat itu Lique, aku akan melihatmu sudah di atas tempat tidur jam dua nanti."
Lique mengibaskan tangannya, "Baik. Aku akan kembali jam dua nanti! Good night!" Dan setelah mengatakan itu Lique dengan cepat meraih kenop pintu, keluar dari kamarnya.
Nisa tersenyum tipis. Tiba-tiba saja Nisa merasa kedinginan, segera ia mencari sesuatu yang membuat dirinya kedinginan di malam ini. Tak biasanya jika kamar yang ia dan Lique tempati mempunyai suhu sedingin ini. Matanya yang sedikit peka dengan kegelapan ruangan itu melihat tirai jendela yang melambai-lambai diterpa angin malam. Lagi-lagi jendela kamar tak tertutup.
Ia mendengkus, sedikit kesal dengan tingkah Lique yang ceroboh. Dia ingin sekali menutup jendela itu, sayangnya iblis malas sedang menyihirnya agar tetap setia berbaring di atas tempat tidurnya. Terpaksa ia menggunakan cara lain. Nisa mengangkat tangannya sedangkan mulutnya menggumamkan sebuah kalimat. Tangannya itu terayun seperti membuat pola abstrak. Seketika jendela yang terbuka itu tertutup rapat.
Hal itu, lah yang bisa membuat Nisa dipanggil sebagai seorang penyihir, yang artinya ia bukan, lah manusia biasa.
• MAGIC STING •
"Kau sudah sarapan?" Pertanyaan itu menyambut pendengaran Nisa saat gadis itu duduk di tempatnya. Gadis yang diberi pertanyaan itu mengangguk lesuh. Alasan sebenarnya kenapa Lique sangat lesu hari ini bukan karena pencarian benda miliknya itu gagal. Bahkan hanya menemukan jejak di mana bendanya itu berada. Nihil, benda itu benar-benar hilang.
Nisa mengira jika ada sesuatu yang menganjal di dalam pikiran Lique semalaman. Sesaat ia memperhatikan baik-baik keadaannya. Tidak ada yang salah, Lique hanyalah Lique. Dia tak menemukan apapun yang an—
"Lique, di mana liontinmu?!" pekik Nisa yang dibalas sebuah helaan nafas Lique.
Nisa baru menyadari jika Lique tak mengenakan liontin yang sering terlihat di leher gadis itu. Berbeda dengan hari ini, gadis itu tak mengenakan apapun di lehernya. Ia telah menemukan sesuatu yang membuat gadis itu murung hari ini.
Lique berucap dengan sangat rilih. "Aku mencarinya semalaman. Aku mencarinya ke mana-mana, tapi aku tak menemukannya!" Nisa mengusap punggung gadis yang ada di sampingnya. Ia mengerti mengapa Lique sangat menyayangi liontin itu. Benda itu sangat berharga bagi Lique bahkan mungkin lebih berharga daripada alat-alat yang sering dibuat Lique.
"Kakakku pasti marah jika aku menghilangkan liontin kesayangannya. Liontin itu ...!" Kini mata Lique mulai berair. Dia sangat membutuhkan liontin itu saat ini. Liontin kesayangan kakaknya.
"Li..."
Namun panggilan Nisa terhenti saat kursi yang ditempati Lique mundur karena tubuh gadis itu yang tiba-tiba berdiri. "Aku akan mencarinya."
"Eh, Lique!" Tepat setelah Nisa mengucapkan dua kata itu, Lique berlari saat makanan makan siang mereka berdua sampai di atas meja. Nisa mendadak kesal dengan sikap Lique yang seenaknya pergi meninggalkannya. Bisa saja dia mengajak dirinya mencari liontin itu mungkin saja mereka bisa langsung menemukannya—jika menggunakan sihir.
"Nisa." Mendengar namanya terpanggil, gadis berambut hitam itu lantas menoleh ke belakangnya. Sosok gadis yang mengenakan seragam yang sama dengannya melambaikan tangannya ramah. Nisa tersenyum dan melihat gadis itu duduk di sampingnya.
"Ada apa Kak Dania?"
"Bisa bantu aku?"
Nisa mengangguk, "Bisa. Apa yang bisa aku lakukan?"
"Ini." Dania mengulurkan sebuah benda yang membuat mata Nisa membulat sempurna, "Aku menemukan ini di gudang. Aku tidak tahu ini milik siapa, sudah aku tanyakan kepada Panji, tetapi dia malah tidur. Bisa kau cari tahu pemiliknya?" tanya Dania kepada Nisa yang masih menatap benda yang ada di tangan Dania dengan tatapan tak percaya.
"Ba-bagaimana bisa benda itu ada di gudang?"
Dania mengangkat bahunya, tangannya yang memegang benda tersebut ia letakkan di tangan Nisa yang sedikit bergetar. Dia sedikit terkejut melihat hal itu, mungkin karena Nisa mendengar benda yang ia temukan di gudang sekolah.
"Aku tahu siapa pemilik benda ini," ucap rilih Nisa sambil melirik makan siang yang ada di depannya.
Raut wajah Dania yang mendengar itu berubah menjadi bahagia. Ia melirik singkat ke arah benda yang ada di tangan Nisa. Mulutnya hendak menanyakan siapa pemilik benda itu, namun kemudian ia menutup mulutnya mendengar penuturan selanjutnya dari mulut Nisa.
"Dia Lique, gadis yang berusaha mengungkapkan kebenaran akan misteri sekolah ini."
"Lique? Sepertinya aku pernah melihat anak itu."
"Di mana?"
"Aku melihatnya mencoba memasukki portal."
• MAGIC STING •
"Auch."
Lique memegang pergelangan tangannya saat ia merasakan sesuatu yang menyengatnya. Itu seperti sengatan yang pernah ia rasakan saat menyeledikki ruangan beberapa minggu yang lalu. Ia mengedarkan pandangannya untuk mencari sesuatu yang mungkin membuat dirinya seperti tersengat sesuatu. Nihil, ia tak menemukan apapun selain pemadangan dari atas rooftop.
"Aneh," ringisnya sambil mengusap-usap pergelangan tangan yang mulai membiru. Jika dia berada di atas kursi taman dan tak ada sesuatu yang membuatnya tersengat, lalu apa? Kening Lique mengerut saat merasakan sebuah getaran dari saku seragamnya. Tangannya beralih mengambil benda yang bergetar itu dari saku seragamnya. Alat itu, benda yang ia buat seminggu yang lalu untuk memecahkan misteri sekolah.
Bedak lipat miliknya bercahaya di bagian bulan dan bintangnya. Cahaya itu seperti ingin menunjukkan sesuatu yang besar. Matanya tiba-tiba saja membulat saat bedak lipat itu melayang di udara. Tak lama kemudian bedak lipat itu terbuka. Cermin pada bedak itu memantulkan cahaya matahari dan membuat sesuatu yang aneh pada pandangan Lique. Gadis itu mencoba untuk mengambil kembali, kemudian yang ia dapat hanya, lah udara kosong.
Entah bagaimana caranya, cahaya matahari yang dipantulkan cermin tersebut langsung memecah belah menjadi beberapa sinar seperti sinar laser. Sinar itu membuat suatu pola yang membuat Lique kembali berusaha menggapai benda itu. Namun seakan mengetahui niatnya tersebut, bedak itu melayang lebih tinggi dari yang sebelumnya.
Lique mencoba untuk melompat dari atas kursi taman. Tetapi tiba-tiba tubuhnya ikut melayang yang membuat mulutnya memekik ketakutan. Mulutnya meneriakki kata tolong agar ada yang membantunya untuk turun dari udara saat ini. Matanya menatap alat itu dengan tatapan sayu. Ia berusaha memikirkan apa yang ia lakukan hingga alat yang ia ciptakan itu bisa berubah menjadi senjata yang memakan tuannya!
"Lique!"
Kepala Lique menoleh ke asal suara. Ia melihat gadis berambut hitam berdiri di depan pintu dengan nafas yang tersenggal. Tangan kanan Nisa diletakkan ke dadanya yang tiba-tiba saja terasa sesak melihat teman sekamarnya melayang bersama benda aneh yang ia yakini adalah salah satu alat yang dibuat oleh Lique.
"Apa yang kau lakukan?!" tanyanya sambil berlari mendekati Lique yang maih berusaha menggapai bedak lipatnya. Lique hanya membalasnya dengan jawaban yang membuat langkah Nisa terhenti. "Aku tak tahu?! Benda ini sperti mempunyai sihir!"
Sihir? Sihir apa?
Nisa menggelengkan kepalanya dan memilih untuk membantu Lique. Tanpa diketahui Lique, Nisa merapalkan sebuah mantra yang membuat awan bergerak menutupi matahari. Beruntungnya saat ini langit sedang ditemani oleh beberapa awan tebal.
Cahaya matahari yang sebelumnya memantulkan cahayanya ke arah cermin memudar dan menghilang. Dan tepat setelah itu tubuh Lique menghantam lantai rooftop yang keras, ringisan keluar dari mulut gadis itu hingga membuat sebuah airmata turun dari pelupuk matanya.
Nisa yang melihat itu mendekat ke arah Lique. Gadis itu membantu Lique, tangannya memegang punggung Lique yang seikit panas akibat hantaman itu. Sebuah cahaya putih mengelilingi tangannya, dia mulai menggunakan sihirnya agar punggung Lique tidak mengalami cedera yang parah.
"Lique, Lique!" Nisa mulai memanggil nama gadis itu berulang kali agar kesadarannya tetap ada. Tangannya yang lain kini menepuk pipi Lique perlahan. "Lique sadar, lah. Jangan bercanda seperti ini!"
Mata Lique yang tadinya terpejam kini kembali menampakkan manik mata kelabunya. Ia menatap manik kelam milik Nisa yang memandangnya penuh kekhawatiran. "Kau tidak apa-apa?"
Lique menggangguk. Namun setelahnya dia langsung mendorong keras tubuh Nisa menjauh dari tubuhnya. Mata Nisa terbelalak ketika melihat sesuatu menghantam tempat di mana sebelumnya Lique berbaring. Lantai rooftop seketika menghitam seperti gosong setelah dibakar oleh api yang panas.
Nisa baru menyadari satu hal dan melupakan satu fakta.
"Nisa, kau baik-baik saja?!" tanya seorang gadis yang berjalan ke arahnya sambil menutup sebagian wajahnya. Dia Lique, seragam putih yang ia kenakan kini sedikit koyak akibat sesuatu yang menghantam mereka tadi. Nisa mengangguk dan bangkit dari posisinya. Gadis itu mendekat ke Lique dan memperhatikan keadaan temannya itu.
"Jangan mengkhawatirkanku, Nis. Lebih baik kita mengurus benda itu dulu." Nisa mengerti arah pembicaraan ini. Lique ingin benda yang—masih—melayang di udara segera diambil. Tentunya alasannya tak lebih untuk memperhatikan keselamatan orang lain.
Nisa kini melihat sesuatu yang lain dari diri Lique yang membuat Nisa sedikit tersentak. Tak lama, senyuman manis muncul di wajah Nisa. Ia begitu bangga mempunyai teman yang sudah dia anggap sebagai sahabatnya sendiri. Lique itu berbeda dengan semua orang.
PYAR!
Lamunan Nisa beserta bayangan mengenai Lique langsung buyar saat sebuah salah satu sinar yang dipancarkan oleh bedak lipat itu mengenai pot bunga hingga beberapa bagian. Lique dan Nisa menatap horor bedak lipat milik Lique yang mampu memecahkan pot keramik kesayangan salah satu guru. Keduanya tak bisa membayangkan bagaimana raut wajah guru itu setelah tahu pot kesayangannya berubah sudah menjadi pecahan.
"Aku mengutuk benda itu!" kata Lique kesal dengan alat yang ia buat sendiri. Gadis itu menatap ke Nisa yang kini sedang bingung mengurusi bagaimana cara menghentikan alat itu.
Sedangkan di lain sisi, Nisa bingung bagaimana cara untuk menghentikan alat itu. Meskipun sudah ada beberapa cara, namun semuanya mengharuskan Nisa menggunakan kekuatannya. Gadis itu masih waras jika ingin mengungkapkan jati dirinya yang asli.
Sekarang yang ada di sampingnya adalah gadis yang sangat ingin tahu tentang misteri sekolah mereka. Ia hanya tak menginginkan kalau Lique menyebarkan keberadaan mahluk yang bukan manusia di sekolah. Hal itu bisa membuat sekolah gempar!
BRAK!
NAMUN NISA TAK PUNYA PILIHAN LAIN!!!
Gadis itu mempunyai resiko akan apa yang terjadi selanjutnya. Jika dia melakukan rencana dengan melibatkan keterungkapannya tentang jati dirinya itu bisa mungkin bisa membuat Lique membencinya. Atau resiko yang kedua jika dia dan Lique tak melakukan apapun, sekolah akan terancam dengan alat itu bahkan jika alat itu merusak portal bisa saja nanti dia tak bisa datang ke Souland lagi.
"Nisa!"
Nisa bimbang! Ia dilema! Ia seperti ingin menjawab pertanyaan dari seorang lelaki yang baru saja menembak dirinya sebagai pacar! Pilihannya ada dua saat ini. Ya atau tidak.
"Aku tak tahu apa yang kau pikirkan saat ini, Nisa. Tapi sepertinya kita tak bisa berlama-lama."
Nisa tahu harus melakukan apa! Wajahnya kini ia tolehkan ke Lique, sedangkan gadis yang ditatap, balas menatap wajahnya. "Aku tak tahu ini akan berhasil atau tidak, tapi Lique—" Lique tersentak kaget saat kedua bahunya dipegang oleh Nisa. "Aku mohon, setelah kejadian ini kau tak akan membenciku, ya."
Lique bingung harus menjawab apa, hanya saja yang mungkin lakukan saat ini adalah menganggukkan kepalanya. Dia akan berusaha tidak membenci gadis yang ada di hadapannya saat ini. "Aku akan berusaha."
Nisa tersenyum tipis. "Aku mempunyai rencana, tugasmu hanya satu. Cari air atau benda cair secepatnya, mengerti?" Lique mengerti dan segera mencari benda yang diminta temannya itu. Setelah memastikan Lique meninggalkan rooftop, gadis itu mengambil sebuah cermin kecil dari sakunya. Ada gunanya juga cermin itu selain untuk melihat pantulan wajah indahnya.
Nisa menggumamkan sebuah mantra yang sedikit rumit pada cermin miliknya. Setelahnya ia berjalan perlahan ke arah sinar-sinar laser dari bedak lipat milik Lique. Satu persatu cahaya laser itu mendekat ke cermin Nisa seperti besi yang tertarik ke Magnet. Mulut Nisa masih setia menggumamkan sederet mantra.
"Nisa!" Nisa menoleh ke belakang saat melihat Lique yang membawa sebuah botol air yang sedikit keruh di tangannya.
Tanpa berhenti menggumamkan kata-kata, Nisa mengambil air yang ada di sebuah botol besar. Ia tersenyum lebar dan berbalik kembali mendekat ke cermin miliknya. Nisa menarik nafasnya perlahan, ia mulai mengeluarkan serbuk biru dari tangannya. Ia berdoa semoga Lique masih mempercayainya dan tidak akan membencinya.
Serbuk biru itu masuk ke dalam botol dan mulai bercahaya, sedangkan di belakangnya Lique masih tak percaya apa yang ia lihat saat ini. Nisa seorang pesulap yang bisa melakukan apa saja, bukan? Dia tentunya bukan seorang penyihir atau apalah yang membuat semua argumen masuk ke dalam kepala Lique saat ini, kan?!
Nisa menuangkan air itu ke atas cermin. Seketika semua laser yang tertahan di sana menghilang dan bedak lipat milik Lique jatuh hingga sedikit rusak karena terbanting. Nisa yang melihat keadaan sudah membaik lalu menghela nafas lega. Akhirnya mulutnya tak memerlukan waktu untuk merapalkan mantra.
Kini dia membalikkan tubuhnya menghadap ke Lique yang masihh terdiam tak percaya dengan apa yang ia lihat. Tubuh Nisa tiba-tiba membeku di tempatnya, ia khawatir jika Lique tak menerimanya sebgai seorang penyihir atau bukan manusia biasa. Nisa menundukkan kepalanya memandang botol air yang masih tersisa di sana.
Namun tak lama, Gadis berambut hitam itu terkejut dengan sebuah pelukan hangat yang menyambarnya. Nisa tersenyum saat merasakan kahangatan yang mendalam dari pelukan Lique, ia bersyukur jika dia tidak membencinya. "Kau tidak marah?"
Lique menggeleng, "Untuk apa aku marah padamu? Kau tak mengatakan jika kau adalah orang-orang yang bukan manusia."
"Terimakasih sudah mempercayaiku, Lique."
"Sama-sama."
Nisa kini lega mendengar suara Lique yang melembut, namun sepertinya jika Lique mendapatkan kembali liontinnya mungkin dirinya akan lebih senang. "Aku punya hadiah untukmu."
Kini Lique melepas pelukannya. Gadis itu meletakkan botol air di lantai dan mengambil sesuatu dari sakunya. Melihat benda yang diambil oleh Nisa membuat Lique berteriak senang. Ia mendapatkan liontinnya yang hilang itu!
"Tapi tunggu, di mana kau menemukannya?"
"Seseorang menemukannya di gudang dan yang menjadi pertanyaannya. Kau ngapain di sana?"
Lique tersentak dan memasang wajah—sok polosnya kepada Nisa. "A-aku nggak ngapa-ngapain!" mendnegar jawaban itu Nisa memasang kembali liontin itu di leher Lique, permata yang ada di liontin bersinar seakan ia baru saja menemukan pemilik yang seharusnya memakai liontin tersebut.
Nisa hanya tersenyum, ia kini tak perlu mengetahui alasan dibalik perginya Lique ke gudang. Gadis itu hanyalah Lique yang mempunyai keingin tahuannya yang sangat besar. Ia hanya bisa berdoa kepada tuhan agar keingin tahuannya tidak membuat masalah dua dimensi yang berbeda.
Ya, semoga saja.
Lique, jangan membuat yang membahayakan semua orang, ya.
Dari teman sekamar, sekaligus sahabatmu.
Kinisa Hreta.
[end]
***
Thank You.
Salam,
SR Agent.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro