Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CECEP - Halimakrw

CECEP
Oleh Halimakrw

Bukan tentang hasilnya, tapi tentang usahanya
Selamat datang para pembaca, tanpamu aku bukan apa-apa



"CECEP. Calisto Egy Cinta Enyo Pyralis. Harapan jadi nyata. Harus!" –Enyo Pyralis

Pyra tersenyum lebar melihat tulisan tangannya. Tulisan yang ia buat dua minggu setelah pertemuan pertamanya dengan Calisto –yang biasa akrab disapa Cikal, laki-laki paling misterius yang pernah Pyra temui. Pasalnya kemampuan membaca identitas seseorang yang diturunkan ayahnya, yang bahkan bisa membaca identitas asli Mr. Fredy, tidak berguna pada Cikal. Untuk mendapatkan nama cowok itu saja, Pyra harus menggunakan cara manual dengan bertanya pada setiap orang yang pernah dilihatnya bersama Cikal.

Awalnya, Pyra mengira akan mudah, tapi ternyata tidak satu pun orang yang ia temui mengetahui nama Cikal. Pyra mendengkus keras saat tahu kalau selama dua minggu mereka jadi siswa baru, Cikal hanya dikenal dengan sebutan Si Tampan yang Jenius, Si Tampan Calon Pengganti Ketua Osis Tahun Depan, Si Pendiam Tampan yang Menghanyutkan, dan masih banyak lagi sebutan untuk Cikal yang ke semua-muanya baik dan selalu ada kata tampan.

"Hey! Memangnya kalian punya hak apa sampai bisa memuji dan mengagumi dia?" Teriak Pyra saat itu pada segerombolan cewek yang girang membicarakan Cikal. Si Tampan yang beginilah, Si Tampan yang begitulah, dan Pyra sungguh muak mendengarnya, karena baginya hanya dia-lah yang berhak memuji dan mengagumi cowok itu.

Selepas memarahi cewek-cewek ganjen itu Pyra segera meluncur mendatangi ruang kepala sekolah, ruangan Mr. Fredy. Karena dirasanya hanya orang tua itu yang bisa ditanyainya tanpa merasa kesal. Ia bersyukur bisa membaca identitas asli Mr. Freddy yang disembunyikan dengan sekali lihat, sehingga bisa membuatnya bersikap santai seperti pertemuan-pertemuan mereka ketika Pyra masih kecil.

Di luar dugaan saat mendatangi ruangan Mr. Fredy, Cikal ada di sana tampak serius membicarakan sesuatu. Alih-alih bisa berhadapan dengan Cikal lebih lama, Mr. Fredy malah mengusir  Cikal dengan halus. Padahal Pyra yakin sekali kalau yang mereka bahas belum selesai.

"Cikal? Namanya Cikal, Om? Nama panjangnya Cikal Ramadhan?" tanya Pyra pada Mr. Fredy begitu Cikal menghilang di balik pintu.

Mr. Fredy menggeleng pelan melihat tingkah Pyra yang tidak pernah berubah. Suka bertindak dan memanggil seseorang sesukanya. Seperti yang baru saja dilakukan gadis itu. Masuk ke ruangannya tanpa izin, juga memanggil dirinya seenaknya. "Kamu bisa cari tahu sendiri." Mr. Fredy kembali duduk di mejanya dan berkutat dengan buku tebal di hadapannya.

"Tidak usah sok sibuk," Pyra berkata sembari menutup paksa buku itu.

Mr. Fredy menatap Pyra dengan sebelah alis terangkat. "Untung sayang," celetuknya membuat Pyra melebarkan senyum.

"Jadi namanya?"

"Kemampuanmu?"

Pyra tersenyum kecut. "Tidak mempan."

Pyra yakin sekali kalau Mr. Fredy baru saja mengulum senyum sebelum akhirnya kembali datar. "Kenapa kamu ingin sekali tahu namanya?"

"Aduh, pake ditanya lagi." Pyra mendengkus keras. "Kemampuan baca pikiran, Om, sudah hilang?"

Mr. Fredy tertawa. "Namanya Calisto Egy."

"Adonan roti kali, kalis," Pyra mencibir menatap Mr. Fredy tak percaya. "Lalu Cikal?"

"Nama panggilannya."

"Kenapa ... bisa?" Mr. Fredy hanya mengangkat bahu sebagai jawaban. Sesaat Pyra terlihat sedang berpikir sebelum akhirnya berteriak girang. "Aaaah Cikal, Cintaku Calisto."

"Norak."

Pyra menjulurkan lidahnya tanda tak peduli sebelum keluar dengan suasana hati riang. Akhirnya dia tahu nama pujaan hatinya. Setelah itu, Pyra pikir mendekati Cikal akan lebih mudah, tapi ternyata tidak ada perubahan. Cikal masih sama cueknya seperti sebelum gadis itu mengetahui namanya. Berbagai cara dilakukan agar Cikal memandang ke arahnya, banyak modus untuk bisa sekedar mengobrol dengan Cikal, tapi tidak ada yang berhasil.

"Selamat pagi, Cikal!" Pyra menghampiri Cikal yang saat itu sedang mengobrol dengan Prasta, cowok yang paling Pyra tidak suka karena sekertaris OSIS itu doyan sekali dekat-dekat pujaan hatinya. Dikiranya Cikal bakal suka sama dia apa? Kesal Pyra dalam hati.

Begitu Pyra sampai di hadapan mereka, Cikal mengangguk sekilas pada Prasta lalu pergi tanpa menoleh sedikit pun pada Pyra yang jelas-jelas telah menyenggol lengan Cikal minta dilirik. Pyra mencebik tak keruan. Baginya lebih baik dibentak ketimbang diabaikan seperti hantu yang tak kasat mata. Karena diabaikan itu sangatlah memalukan baginya. Dan hal ini bukanlah yang pertama kalinya.

Kesal, kakinya ditendang-tendangkan asal, sedikit banyak berharap kalau cowok ganjen yang suka-suka dekat-dekat Cikal itu kena lalu kesakitan. Namun, Pyra salah prediksi, ia tidak sadar kalau Prasta juga sudah pergi. Alhasil kakinya malah menyepak tiang yang tadi ada di belakang Prasta.

Pyra hendak mengeluh sakit ketika ekor matanya menangkap sesosok yang tengah mengulum senyum tak jauh darinya. Aditya sialan, cari masalah manusia culun itu. Pyra mendesis menghampiri cowok itu.

"Bahagia sekali kamu pagi ini ya?" Pyra bersedekap, matanya menatap tak suka pada Aditya.

Aditya menghela napas pelan. "Kali ini apa lagi salahku?"

Pyra melotot. "Heh Tyas, kamu ternyata rindu mengelilingi sekolah ini dengan wajah penuh make up ya?" katanya dengan sambil mendorong-dorong bahu Aditya. Pyra baru berhenti ketika mendengar kata maaf dari mulut cowok itu. Pyra mundur sementara Aditya memperbaiki kacamatanya yang melorot. "Makanya punya hidung tuh yang mancung, biar kacamatanya nggak turun-turun," ejeknya dengan suara tinggi, tidak peduli belasan pasang mata yang menatap ke arahnya. "Apa liat-liat? Dasar gembel," bentaknya sebelum pergi ke kelasnya sendiri. Sial, kapan harinya akan menyenangkan? Selalu saja ada yang bikin emosi.

Sudah tidak ada yang heran melihat sikap Pyra yang seperti itu. Hinaan dan makian dari bibirnya sudah seperti gas karbon dioksida yang wajib dikeluarkan setiap waktu. Dirinya yang tidak menyukai siapa pun, ditambah dengan sifat batin yang mudah tersinggung dan mudah marah, mengakibatkan Pyra tidak punya teman seorang pun. Teman kamarnya dulu saja sampai menghadap kepala sekolah berkali-kali agar diizinkan pindah kamar saking tidak kuatnya mendengar umpatan-umpatan Pyra setiap malamnya.

Jadi, tak ada yang tahu kalau seorang Pyra menjadikan perpustakaan sebagai satu-satunya tempatnya bersembunyi, selain petugas perpustakaan. Hari itu seperti biasa Pyra mengunjungi perpustakaan ketika jam pelajaran yang tak ia suka dimulai. Tapi jangan berpikir kalau Pyra mengunjungi perpustakaan hanya untuk tidur, karena gadis yang sebelah taringnya menonjol itu sangat suka membaca buku sejarah dan novel-novel bertema peperangan.

Ketika asik memilih buku, mata merahnya tak sengaja menangkap satu buku bersampul aneh. Pyra tertarik untuk membacanya karena merasa buku itu berasal dari kerajaan Iceland sebab gaya bahasanya yang unik, khas orang sana. Dan siapa sangka kala itu menjadi kali pertamanya membaca novel yang mengisahkan sesuatu yang menggelikan baginya. Novel percintaan tentang perjuangan dan pengorbanan untuk orang yang dicintai.

"Dasar gadis bodoh, tidak tahu menghargai diri sendiri," omel Pyra yang tidak habis pikir dengan tokoh utama wanita yang mau saja memberikan yang dia punya untuk laki-laki yang tidak pernah mencintainya. Menyesal telah membaca separuh buku itu, Pyra menutup keras lalu membantingnya di atas meja. Dan buku itu jatuh dengan posisi terbuka. Pyra hendak menutupnya lagi saat sebuah kalimat aneh menarik perhatiannya.

Karena penasaran, Pyra jadi membaca lagi buku itu. Namun, hanya bagian yang menjelaskan kalimat itu. Dan ending-nya kalimat aneh itu adalah sebuah mantra cinta yang diucapkan si tokoh utama wanita untuk mendapatkan laki-laki pujaannya. Sejenak Pyra berpikir bagaimana jika mantra itu ia ucap dan tujukan pada Cikal, apa yang akan terjadi?

"Ah, tidak mungkin." Pyra menutup buku itu, tapi kelingkingnya masih menyelip di antara lembaran kertas yang terdapat kalimat mantranya. "Tapi dicoba saja tidak apa-apa, kan?" katanya membuka lagi buku itu.

Pyra pun memosisikan diri, duduk bersila di atas kursi dengan tangan dipangkuan. Mata merahnya tertutup rapat. Otaknya sibuk mencari bayangan Cikal yang sempurna. Ketika bibirnya hendak merapalkan mantra, matanya kembali terbuka. Ia baru ingat kalau Cikal harus melihat dirinya sebagai perempuan pertama seusai ia merapalkan mantra untuk laki-laki itu. Merepotkan memang dan Pyra tidak suka, tapi mungkin saja dengan ini ada harapan untuk bisa lebih dekat dengan Cikal.

Sedikit terburu, Pyra keluar dari perpustakaan tak lupa membawa buku itu serta. Kakinya bergerak cepat dan yakin mendatangi ruang OSIS. Dari kejauhan ia melihat laki-laki itu baru saja keluar dari ruangannya. Beruntung sepanjang lorong itu sepi sehingga dengan cepat Pyra menjalankan aksinya. Biarlah dikatakan gila, ia tak peduli.

"Péste páno mou, tóra gia pánta," rapal Pyra beberapa kali penuh penghayatan dengan wajah tampan Cikal menari-nari di kepalanya. Usai itu ia membuka mata, dan serentak berdiri ketika melihat ada seorang cewek yang sedang berjalan menuju persimpangan yang sama dengan Cikal. Lantas ia berlari sekuat tenaga menghampiri Cikal lebih dulu, membuang bukunya dan melupakan hal penting lainnya.

"Hei," Pyra menyapa dengan napas terengah. Sementara Cikal berkedip dua kali karena terkejut dengan kedatangan Pyra yang tiba-tiba dan nyaris menubruknya, Pyra menyungingkan senyum lebar, berharap manis yang malah terlihat aneh.

"Oh, Pyra, kebetulan sekali ketemu kamu."

Yes, berhasil. Pyra berteriak girang dalam hati, senyumnya semakin lebar. Saat itu kali pertama Cikal berbicara padanya sejak  setahun lebih ada di sekolah yang sama. Jadi, Pyra yakin sekali kalau matra itu berhasil.

"Kenapa?" Pyra tak sadar jika suaranya terdengar serak karena gugup.

"Ada yang mau aku bicarakan, penting. Tentang ...."

"Apa?" desak Pyra tidak sabar karena merasa Cikal berucap sangat lama.

Cikal terdiam sejenak, seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu yang akan dia bicarakan. Matanya bolak-balik menatap mata Pyra dan ke arah lain. Dan Pyra sangat gemas melihatnya.

"Apa kamu mau jadi ...."

"Iya, aku mau!" potong Pyra terlampau cepat. Tanpa berpikir dua kali. Tanpa membiarkan Cikal menyelesaikan kalimatnya dulu. "Iya, aku mau banget jadi pacar kamu," katanya cengar-cengir.

Cikal mengerjap-ngerjap, mungkin tidak menyangka dengan ucapan Pyra barusan. Dan Pyra yang tidak pernah melihat Cikal berekspresi seperti itu menjadi sangat gemas. Pyra pun dengan sadar mencubit pipi kiri Cikal, sembari berkata, "Manisnya pacarku." Lalu tersenyum malu sebelum berpamitan pergi. Dia juga kembali menegaskan pasal status mereka yang pacaran.

Pyra membekap mulutnya sendiri karena tak bisa menahan tawa. Ternyata mengenang saat-saat mendekati Cikal kala itu menyenangkan baginya meski ada saja yang membuat kesal. Tapi tak apa Cikal sudah jadi pacarnya dan sampai sekarang hubungan mereka masih berjalan mulus. Ya, walaupun sikap Cikal masih suka acuh tak acuh, tapi setidaknya masih lebih baik ketimbang sebelum mereka pacaran.

Pyra meringis ketika hatinya mengatakan lebih baik, nyatanya semua sama saja, yang membedakan hanya saat muak dengan tingkahnya, laki-laki itu akan mengatakan langsung, tidak seperti dulu yang akan pergi begitu saja tanpa merespon Pyra sedikit pun.

"Semua kamu larang. Kamu tidak punya kegiatan lain kah selain membuntut dibelakangku? Tidak punya teman sehingga tidak ada yang bisa kamu recoki selain aku?" Pyra terdiam seketika mendengar kalimat panjang pertama yang Cikal ucapkan untuknya. Pelan dan tidak membentak tapi rasanya begitu menusuk.

Kepala Pyra menunduk tak sanggup menerima tatapan tajam Cikal. Tatapan itu entah mengapa kali ini seperti pedang tajam yang siap menyayat tiap bagian tubuhnya. Sudut kiri bibir Pyra berkedut. Tidak punya kegiatan lain? Ya. Tidak punya teman lain? Ya. Dia mana punya teman. Ia tidak suka berteman. Cikal adalah satu-satunya orang yang sangat menyita perhatiannya, dan Pyra ingin hal itu berlaku sebaliknya. Itulah mengapa ia begitu gencar mengekori Cikal, dia ingin perhatian laki-laki itu lebih banyak tertuju padanya. Tapi sepertinya hal itu tidak mungkin, bahkan setelah ia memantari Cikal, sikap cowok itu tak jauh berbeda dari sebelumnya.

Pyra mengangkat kepalanya dan mendapati Cikal masih setia berdiri di hadapannya, masih menatap tajam meski tak setajam sebelumnya. Matanya mengedar ke sekelilingnya, ternyata ia telah menjadi bahan tontonan banyak orang. Matanya menangkap sosok Dania yang tengah tersenyum ke arahnya, senyum yang kata orang-orang begitu manis dan damai, tapi tidak bagi Pyra. Senyum itu dilemparkan pasti hanya untuk mengejeknya, kalau tidak, ada alasan apa lagi sehingga putri keenam Raja Britya itu tersenyum padanya?

Pyra tersadar ketika Cikal sudah menjauh darinya, cepat dia melangkah, berusaha mengejar Cikal. Biarlah cowok itu memarahinya, mempermalukannya sekalipun Pyra tak peduli. Pyra tidak tahu mengapa dirinya tidak bisa marah dan malah dengan bodohnya masih ingin terus berada di sisi cowok misterius itu.

"Hah," Pyra mendesah keras sebelum menutup buku hariannya. Mengingat kenangannya dengan Cikal memang tidak ada habisnya. Tidak ada habisnya menguras tenaga. Pyra bangkit berdiri lalu bersiap keluar perpustakaan. Entah mengapa hari ini ingin rasanya Pyra bertemu kedua orang tuanya. Untuk itu ia meneruskan langkahnya mendatangi gudang.

Sesampainya di depan Gudang, Pyra mengurungkan niat untuk masuk ketika sayup-sayup terdengar ada yang tengah berbincang di dalam sana.

"Kamu sudah benar-benar terkena mantranya." Uhg itu suara Panji, si satpam yang menyebalkan. Tapi kenapa bahas mantra? Ah, Pyra tidak suka ini, mencuri dengar pembicaraan orang lain bukanlah gayanya, tapi dia malas sekali untuk pergi, jadi salahkan saja pendengarannya yang terlampau tajam sampai bisa mendengar suara dari ruang kedap suara sekalipun.

"Aku tidak sebodoh itu, Panji." Eh, ini suara Cikal. Apa yang mereka bicarakan? Pyra sama sekali tidak menduga kalau Panji dan Cikal akan sedekat ini, dan prediksi Pyra, hanya ada dua cowok itu di dalam sana.

"Jadi selama ini kamu hanya berpura-pura terkena mantra gadis bertemperamen itu? Aku memang sudah menduganya sejak lama kalau kamu tidak akan terkena mantranya, tapi aku tidak pernah sempat bertanya. Lalu apa alasanmu berpura-pura, Kal? "

"Ya jelas saja agar gadis bodoh itu tidak mengganggu atau menghina orang lain. Aku lelah menerima laporan tentangnya yang lagi-lagi suka mengacau. Untuk itu aku memanfaatkan situasi saat dia memantraiku dan memantrainya balik  saat pikirannya sedang tidak fokus."

"Ck, gadis bodoh." Terdengar juga suara tawa Panji.

Pyra melangkah lunglai meninggalkan tempat berpijaknya. Niatan untuk menemui orang tuanya tidak ada lagi. Kini ia tak tahu harus kemana. Rasanya hatinya remuk redam. Pyra tak masalah jika Panji, Dania, atau yang lainnya mengatakan ia gadis bodoh atau julukan buruk lainnya. Tapi kenapa Cikal juga harus mengatakannya gadis bodoh? Ia tahu, ia bodoh, karenanya ia ada di kelas F, tapi ia tak pernah ingin mendengar kata-kata itu dari Cikal.

Sakit sekali, apalagi memikirkan Cikal dan lainnya menertawakan kebodohannya selama ini. Kenapa ia tidak menyadari kalau Cikal hanya berpura-pura? Pyra tertawa, ia memang bodoh, bahkan lebih buruk dari bodoh. Bukannya tak menyadari, tapi menolak menyadari karena menginginkan yang lebih.

Pyra tidak sadar kalau kakinya melangkah ke kantin. Tempat favorit keduanya setelah perpustakaan. Di sana dia melihat Aditya yang asik menikmati siomay sendirian.

Menyadari kedatangan Pyra, Aditya refleks mendorong piringnya ke arah Pyra sebelum berdiri.

"Tidak ada yang suruh kamu pergi. Duduk!" Aditya menghentikan gerakannya sejenak, hendak kembali duduk tapi ragu, takutnya dia yang salah dengar. "Aku bilang duduk, Tyas!" Dengan ragu Aditya kembali duduk. "Lanjutkan makanmu!" Pyra kembali bersuara dengan pelan, tidak menggebu seperti biasanya, membuat Aditya terheran-heran.

"Adit, kamu punya teman? Aku tidak pernah melihat kamu bersama orang lain." Aditya menoleh cepat, bukan karena pertanyaan Pyra, tapi karena panggilan Pyra untuknya. "Kenapa? Lebih suka dipanggil Tyas?" Dengan semangat Aditya mengangguk.

"Wah, soflens kamu keren ya?" Aditya langsung menutup mulutnya saat Pyra menatapnya aneh. "Maaf, aku terlalu antusias melihat warna soflensmu yang memudar, dan itu keren menurutku."

Pyra menyentuh matanya. "Memudar ya? Aku baru tahu kalau bisa memudar," katanya pelan sambil menutup mata. Teringat pesan Ayahnya ketika ia kecil dulu.

"Tapi itu nggak apa-apa, kan? Takutnya ...."

"Tidak apa-apa, Dit."

"Tyas."

"Oke, Tyas, jadi bagaimana dengan pertanyaanku tadi, kamu punya teman?"

"Jelas aku punya."

Jawaban semangat Aditya membuat Pyra menghela napas pelan. Aditya yang culun saja dan selalu terlihat sendiri, ternyata juga punya teman. Jadi, apa di dunia ini hanya dia saja yang tak punya teman?

"Aku punya teman, satu, dia lebih tinggi dariku, meskipun dia mudah marah, tapi dia satu-satunya yang mau buang-buang waktu menyapaku. Dia suka pakai soflens merah dan bando tanduk merah, dia juga cantik. Hanya saja beberapa bulan terakhir dia jarang menyapaku."

Mendengar ucapan Aditya, Pyra langsung menatap laki-laki itu. "Kamu menganggapku teman? Kenapa? Padahal aku sering ...."

"Seperti yang aku bilang tadi, meski dibarengi dengan ejekan, cuma kamu yang mau buang-buang waktu menyapaku." Aditya tersenyum. "Terima kasih."

"Maaf," kata Pyra pelan membuat Aditya meringis. "Kesalahanku memang terlalu banyak untuk dimaafkan ya."

Aditya tiba-tiba berdiri.

"Kamu mau ke mana?" tanya Pyra heran. Tapi Aditya tidak menjawab dan malah menatap ke belakang Pyra. Pyra mengikuti arah pandangan Aditya dan mendapati ada Cikal di sana.

"Duduk! Aku tidak pernah menyuruh kamu pergi." Aditya tidak mengindahkan ucapan Pyra dan tetap berniat untuk pergi. "Tyas!" bentak Pyra.

Tatapan tajam Pyra memang menakutkan tapi ditatap tajam oleh Cikal lebih mengerikan bagi Aditya, untuk itu dia lebih memilih pergi.

Selepas kepergian Aditya, Cikal menduduki kursi yang tadinya dipakai oleh cowok culun itu.

"Kita putus saja!" Pyra serentak berdiri tapi Cikal menahannya. Menatap Pyra dengan sebelah alis terangkat. "Aku bilang, kita putus saja. Maaf sudah mengganggu kamu selama ini. Ke depannya aku janji akan berusaha untuk tidak membuatmu lelah lagi." Pyra berusaha melepaskan tangan Cikal tapi genggaman cowok itu semakin menguat. Pertanda melarang Pyra untuk pergi dan dipertegas dengan tatapannya yang tajam.

Tanpa melepaskan tangan Pyra, Cikal meneriaki petugas kantin untuk memberinya satu minuman dingin.

"Kenapa tidak mendengarkan sampai selesai?" Pyra tidak menjawab karena tidak mengerti dengan pertanyaan Cikal. "Pembicaraanku dengan Panji tadi. Kenapa tidak didengarkan sampai selesai?"

Pyra menghela napas. Harusnya ia paham maksud pertanyaan Cikal tadi, sehingga laki-laki itu tak perlu mengulanginya. Dan tidak usah bingung kenapa Cikal bisa tahu dirinya menguping, karena kalau laki-laki itu saja bisa memantrainya, jadi tidak menutup kemungkinan Cikal juga bisa mengetahui ada yang menguping pembicaraannya.

"Kamu bukan manusia?" tanya Pyra teramat pelan, nyaris tak terdengar suaranya.

Bukannya menjawab, Cikal malah menoleh ke arah pintu kantin. Di sana ada seorang guru piket yang celingak-celinguk seperti mencari sesuatu. Bel masuk memang sudah berbunyi tapi Pyra mengabaikan. Dan anehnya guru itu seperti tidak melihat dirinya dan Cikal, padahal dilihat dari pojok manapun sosok mereka jelas terlihat.

Ketika melihat Cikal, saat itu juga dia tahu kalau cowok misterius di sampingnya memang bukan manusia biasa. "Terima kasih untuk waktunya selama ini. Dan ... maaf." Pyra berusaha berdiri tapi kembali di cekal Cikal.

Cikal merangkum wajah Pyra dengan kedua tangannya. "Aku memang bukan manusia. Aku Cikal." Cikal menutup matanya lalu menggeleng singkat. "Aku Putra Mahkota Kerajaan Souland, Calisto Egi Crithone ," jelasnya pelan. Cikal membuka matanya lagi dan menatap Pyra dalam. "Aku menerimamu bukan karena terpaksa. Aku mencintaimu dengan segenap jiwa. Maka cintailah aku sampai maut merenggut paksa."

Pyra langsung menutup matanya begitu kalimat yang Cikal ucapkan dalam hati itu berakhir. Pyra tahu, dengan kalimat sederhananya Cikal hendak memantrainya lagi lewat mata. Karena itu Pyra segara menutup matanya sebelum Cikal meniupnya.

"Tolong jangan buat aku semakin terlihat bodoh." Pyra menurunkan tangan Cikal dari wajahnya, lalu beranjak pergi tanpa membuka mata.

"Aku serius, Pyra!"

Tanpa menghentikan langkah, Pyra menjawab, "Jika kamu memang serius, aku tunggu di Istana Kerajaan Coalland." Ia tersenyum kecil ketika mendengar desah kecewa Cikal. Air matanya mengalir perlahan, memaksa otak untuk tak menuruti hati bukanlah perkara mudah baginya.

Ayah, mohon izinkan Putrimu ini untuk kembali di sisimu lagi. Selamat tinggal, SRHS. Selamat tinggal, Tyas. Selamat tinggal, Cikal.



CECEP:
C = Cinta tak harus memiliki
E = Entah sekarang atau nanti, perpisahan itu hal yang pasti
C = Caci maki jangan kau junjung tinggi
E = Emosi jangan kau kasih hati
P = Pastikan melangkah kedepan tanpa sesal dalam hati


The Casts:



Terima kasih atas waktunya, salam sayang dari aku ya ♥♥

Salam,
SR Agent.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro