Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PART SEBELAS

***
Apa yang ditangisi Galuh, menjadi hujan yang begitu lebat di hati Roro Sawitri. Janji yang sudah memberinya ketentraman kini sirna bagai embun pagi yang mengering oleh sinar matahari. Roro Sawitri tahu jika Galuh melakukan semua ini karena pemuda itu hanya ingin memberinya sebuah harga diri.

Menyeka air mata yang terus menetes, Roro Sawitri memupus harapannya untuk hidup bahagia bersama Galuh. Kenyataan yang menyakitkan kini hadir di depan mata, gadis itu berusaha menghadapinya seorang diri.

Laju kereta kuda semakin cepat, menembus hutan jati yang begitu lebat lantas menuruni bukit bebatuan yang begitu panjang lagi terjal. Dengan doa yang tersemat di dalam hati, sang gadis hanya menggantungkan nasibnya di tangan Tuhan yang memiliki kuasa di bumi maupun di langit.

Sayup-sayup alunan karawitan menyuguhkan tembang kebo giro dengan merdu. Seperangkat gamelan jawa ditabuh selaras dengan irama yang begitu menenangkan jiwa. Umbul-umbul yang berkibar di langit terlihat begitu perkasa, sebuah bendera tanda kemakmuran tanah Balegiri.

Roro Sawitri menarik napas ketika kereta kuda itu berhenti tepat di depan pendopo Balegiri. Suasana yang riuh membuat jantung gadis itu berdebar kencang. Perlahan Kamini menyibak tirai pintu kereta dan melihat ke arah Roro Sawitri. Wajah wanita itu terlihat masam ketika melihat riasan sang pengantin yang sedikit berubah karena tetesan air mata.

"Gusti ayu, ijinkan hamba membenahi dandanan gusti. Sepertinya air mata telah mengubah riasan ndoro putri," ucap Kamini seraya menjura-kan tangan di depan dada.

Roro Sawitri tak menjawab, ia membiarkan saja ketika Kamini naik ke atas kereta dan membenahi dandanannya yang mungkin sudah hancur karena ia terus saja menangis sepanjang perjalanan. Meskipun terasa sulit, tangan Kamini berusaha semaksimal mungkin merias wajah gustinya agar terlihat kembali segar dan tidak mengecewakan.

Setelah berusaha cukup lama, senyum Kamini terkembang. Wanita muda itu lalu menangkup tangan Roro Sawitri dengan lembut.

"Gusti Ndoro, menikah dengan orang yang tidak kita cintai itu memanglah sakit. Tapi kita pantas menghargai jalan yang telah diberikan oleh Gusti Murbeng Dumadi pada kita. Bersyukur Ndoro putri, semua ini rencana dari yang di atas. Kita hanya perlu menyakini dan menjalani," ucap Kamini pelan membuat langit-langit hati Roro Sawitri bergetar sesaat.

Gadis lesung pipi menatap Kamini dengan tatapan dalam. Meski ia tak mengucapkan sepatah kata, sepertinya Kamini tahu apa yang ia rasakan saat ini. Wejangan dari seorang abdi lagi-lagi menyadarkan dirinya agar tidak lupa akan statusnya di mata Tuhan. Ya, ia hanyalah sakdermo nglampahi.

"Gusti Ndoro, sudah waktunya Anda turun dan melangsungkan pernikahan. Kanjeng Akuwu sudah tidak sabar menanti Anda di kursi pelaminan," ucap Kamini lantas tersenyum dengan tulus.

Wanita muda berkemben cokelat itu lantas turun dari kereta kuda seraya menggenggam tangan Roro Sawitri dengan hati-hati.

Benar saja, Bagus Samudra bahkan sudah menantinya di depan pintu pendopo lengkap dengan pakaian pengantin pria yang ia kenakan. Senyum Bagus Samudra mengembang tatkala melihat langkah Roro Sawitri terlihat di depan mata. Pria itu nyaris tak berkedip melihat kecantikan Roro Sawitri yang terpancar begitu mempesona.

Berbeda dengan tatapan takjub sang akuwu, Roro Laksmi selaku istri tua terus mendengkus dengan kesal. Bahkan ia terus saja menggenggam erat jari-jarinya dengan keras dan penuh amarah. Kenapa? Kenapa gadis semuda ini yang harus menjadi saingannya?

Roro Laksmi berbalik badan, meninggalkan acara pernikahan yang ramai secepat kilat. Wanita itu takut jika kemarahannya justru akan merusak hari bahagia suaminya. Dengan hati yang penuh luka, Roro Laksmi menghindar sementara waktu. Biarlah suaminya kali bahagia, ia akan membuat perhitungan suatu saat nanti. Ya, itu sudah pasti.

****
Iringan gamelan dengan tembang kebo giro mengiringi langkah kedua pengantin untuk saling bertemu. Tatapan keduanya saling menumbuk satu sama lain. Bagus Samudra terlihat berbinar, ia bahkan tidak bisa melihat hal lain kecuali kecantikan Roro Sawitri yang jelas terlihat nyata di depan bola matanya.

Berbeda dengan Bagus yang menatapnya nyaris tak berkedip, sang gadis lebih memendam rasa hancurnya dengan mata sesekali berkaca-kaca. Inikah pria yang ditakdirkan untuk hidup bersamanya? Duh Gusti, sudah benarkah pilihanMu itu? Lihatlah dirinya, bahkan ia menatap calon istrinya penuh dengan nafsu ingin memangsa.

Tubuh Roro Sawitri meremang ketika tangan Bagus Samudra meraih tangannya. Gadis itu menelan ludahnya dengan perasaan getir, sungguh ia sama sekali tak bisa membayangkan jika harus hidup seatap dengan pria yang bahkan menatapnya saja sampai tidak berkedip.

Acara pernikahan berjalan cukup lama, ritual demi ritual harus dilakukan oleh sang pengantin. Mulai dari kacar-kucur, lempar daun sirih, bahkan sampai mencuci kaki pasangan. Semua dilakukan tahap demi tahap.

Mentari siang itu perlahan mulai condong ke barat, iringan karawitan masih berkumandang dengan keras. Pendopo Balegiri kini menjadi papan pahargyan yang mewah dan agung.

Terlihat beberapa hiburan ditampilkan dengan begitu meriah di depan sang pengantin. Bagus Samudra sangat menikmati acara tari-tarian tatkala sebuah tarian gambyong disuguhkan di acara pernikahannya. Sesekali pemuda itu melirik ke samping, Roro Sawitri terlihat tak bahagia. Seolah tak peduli, Bagus terus saja sibuk dengan kebahagiaannya. Ia tak peduli, bagi Bagus Samudra memiliki Roro Sawitri sudah menjadi kebahagiaan tersendiri.

"Jangan lupa Nimas, kita sudah menjadi suami istri sekarang." Bagus Samudra berbisik seraya memperhatikan beberapa penari yang menari dengan genit di hadapannya.

Tersenyum tipis Bagus Samudra melirik sekilas ke arah Roro Sawitri yang terpaku dan memilih untuk tidak berbicara. "Nanti malam aku ingin melihatmu menari di depanku. Siapkan dirimu, Nimas. Aku tidak ingin menerima penolakan malam ini."

****
Roro Laksmi memasuki kamarnya dengan napas memburu. Sayup-sayup suara tembang temanten itu masih hinggap di telinganya. Menyapu bersih seluruh benda di atas meja, Roro Laksmi terlihat kalap.

Memukul-mukul meja, merobek-robek kain sprei yang tertata di ranjang, Roro Laksmi bagaikan orang gila yang baru saja kesurupan.

"Bagaimana bisa aku kalah dengan gadis itu?! Kenapa?" ucap Roro Laksmi seraya memukul meja. Napas wanita itu kembali memburu ketika mengingat bagaimana suaminya menatap Roro Sawitri. Tatapan lembut penuh nafsu Bagus Samudra membakar amarah sang istri tua. Baru lima bulan mereka menikah dan kini Bagus Samudra dengan berani menyatakan pernikahan keduanya di depan umum. Roro Laksmi marah, ia benar-benar merasa dikhianati.

Suara pintu perlahan berderit, Roro Laksmi menoleh ketika mendapati Roro Lastri datang berkunjung ke hadapannya. Gadis belia berwajah ayu itu berjongkok lalu menjura dengan sangat hati-hati.

"Bagaimana?" tanya Roro Laksmi pada Lastri dengan tatapan ingin tahu.

"Ndoro ayu, sepertinya Roro Sawitri tidak sepenuhnya mencintai Kanjeng Akuwu. Sepanjang perjalanan menuju ke Balegiri, Roro Sawitri terus saja menangis," lapor Roro Lastri dengan begitu hati-hati.

Roro Laksmi mengerutkan dahi, merasa ganjil dengan laporan salah satu abdi kesayangannya itu.   Berbalik badan, Roro Laksmi berjalan menuju ke jendela kayu yang berada di kamarnya.

"Tidak mungkin. Jika ia tidak mencintai suamiku mana mungkin dia mau menikahi Bagus-ku?! Hanya orang bodoh saja yang mempercayai laporanmu itu," tegas Roro Laksmi dengan wajah kesal.

"Ndoro ayu, hamba tidak berbohong. Roro Sawitri sebenarnya sudah memiliki kekasih tapi karena Kanjeng Akuwu begitu menyukainya, Kanjeng Akuwu memisahkan keduanya," jelas Roro Lastri dengan tatapan bersungguh-sungguh.

Wanita yang memakai sanggul tinggi itu menatap Roro Lastri penuh selidik. Ia menatap mata Lastri dengan tajam seolah ingin mengungkap sesuatu.

"Jadi menurutmu, suamiku-lah yang mata keranjang?" simpul Roro Laksmi tanpa basa-basi.

"Ndoro ayu, hamba tidak berani menyimpulkan." Roro Lastri kembali menjura, ia sama sekali tidak berani berkata lebih jauh lagi mengenai junjungannya, Bagus Samudra.

Roro Laksmi termenung cukup lama, kedua bola matanya menatap jauh ke sisi taman yang penuh dengan bunga mawar putih kesukaannya. Wanita itu ingat bagaimana usaha Bagus Samudra untuk mendapatkan hatinya. Berbulan-bulan pria itu mengunjunginya di Kadipaten Pasirsemi, membawakan beberapa kesukaannya termasuk bunga mawar putih dan kain sutra berkualitas tinggi.
Namun semua itu perlahan sirna ketika pernikahan mulai menginjak bulan kelima. Ya, Bagus Samudra gila wanita. Pria itu bahkan berani mengancamnya hanya karena ia tidak menyetujui keinginan Bagus untuk menikah lagi.

"Menurutmu, aku harus bagaimana?" tanya Roro Laksmi tiba-tiba. Wajahnya mulai terlihar gusar, pikirannya kacau balau seiring dengan tembang kebo giro yang terus berputar di otaknya. Jujur ia mulai membenci tembang sakral nan romantis itu.

"Ndoro, kenapa Ndoro tidak bertemu saja dengan saudara laki-laki Anda? Bukankah kakangmas Anda selalu menyayangi Anda? Siapa tahu dengan bertemu beliau, Ndoro akan tercerahkan." Lastri memberi ide, ia menatap junjungannya dengan penuh seksama.

"Ya, itu ide Bagus Roro Lastri. Kenapa tidak aku menemui Kangmas Lokapati saja?! Aku bisa meminta bantuan dan saran darinya," ucap Roro Laksmi lalu tersenyum semringah.

Wanita itu berbalik badan, ia menatap Roro Lastri dengan tatapan lembut penuh makna. " Lastri, siapkah aku kereta kuda. Malam ini aku ingin pergi menemui kakakku," perintah Roro Laksmi.

"Tapi Ndoro, bagaimana kalau Kanjeng Akuwu mencari Anda?" tanya Roro Lastri dengan wajah khawatir.

Wanita muda itu tersenyum miring, ia berbalik badan lalu kembali ke jendela. "Tidak mungkin Kangmas Bagus mencariku. Dia terlalu tergila-gila dengan gadis itu, di pikirannya hanya ada Sawitri, Sawitri, dan Sawitri saja. Malam ini aku bisa pergi bebas menemui kakakku di Pasirsemi. Roro Lastri, bantu aku berkemas."

"Baik ndoro putri, saya akan berkemas untuk Anda." Roro Lastri kembali menyembah sebelum ia berlalu pergi dari ruangan kamar Roro Laksmi.

Menghela napas, wanita berkulit putih itu kembali menatap bunga mawar putih dari dalam kamarnya. Bunga itu nampak melambai-lambai Tersenyum tipis, Roro Laksmi bisa membayangkan bagaimana rencana selanjutnya.

"Sawitri, silakan kamu berbahagia dengan Kangmas Bagus malam ini. Malam berikutnya, jangan sebut aku sebagai Roro Laksmi jika tidak berhasil membuatmu menderita berkali-kali lipat. Mari kita lihat, siapa diantara kita yang paling kuat. Sawitri, kelak kau akan mati."

**********///*********
Please, tinggalkan jejak berupa vote ya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro