PART DUA
***
Mendapati kata-kata itu dari bibir ayahnya, dunia Roro Sawitri seakan tengah dijungkirbalikkan. Bagaimana bisa pria yang ia anggap sangat berwibawa, penuh kasih sayang, mendadak memutuskan hal mengerikan tersebut dalam hidup Roro Sawitri.
"Rama ... " desis Roro Sawitri tak percaya sembari menutup mulutnya rapat-rapat.
Pria paruh baya menarik napas, ia menatap putrinya dengan seksama. Ki Janu Baran merasa sedih namun jabatan yang sudah ia pertahankan nyaris 10 tahun saat ini tengah dipertaruhkan. Harus bagaimana lagi? Jika ia disuruh memilih maka ia siap mengorbankan apapun asal tidak dengan jabatannya itu.
"Sawitri, mengertilah Rama, Nduk. Bagus Samudra bukanlah orang yang mudah ditentang. Jika Rama-mu ini tidak menurutinya maka nyawa Rama-mu ini adalah taruhannya. Sayangi Rama, kasihani Rama, Nduk Cah Ayu." Ki Janu Baran berkata dengan memelas, wajahnya yang semula terlihat garang kini perlahan menunjukkan sisi lemahnya.
Roro Sawitri terpaku di tempat, tubuhnya semakin bergetar. Air mata perlahan meluncur dari pelupuk matanya yang jernih. Duh Gusti, cobaan apa ini? Terhuyung mundur, Roro Sawitri mencengkeram dadanya yang sesak sembari menangis sesenggukan.
"Rama, saya mencintai Kangmas Galuh, saya tidak bisa menerima pria lain dalam hidup saya," rintih Roro Sawitri pelan, bersamaan dengan derasnya air mata yang meleleh dari ujung mata.
"Rama tahu, Nduk. Tapi reputasi Rama sebagai demang sedang dipertaruhkan. Bagus Samudra sebentar lagi akan diangkat menjadi akuwu muda, jika ia sudah berkuasa, bukan hanya Rama-mu yang bangga tapi kamu juga bakal hidup enak. Nduk, orang tua hanya ingin kamu hidup mulia, coba bayangkan jika kamu hidup dengan Mpu Galuh, kamu mungkin butuh bertahun-tahun hanya untuk memakai kalung emas di lehermu. Nduk, pikirkan ucapan Rama-mu sebelum semuanya telanjur."
"Tapi Rama, saya menyukai Kangmas Galuh." Lagi-lagi Roro Sawitri bergumam resah, ia menggelengkan kepala merasa tak berdaya.
"Sawitri dengarkan Rama-mu sekali lagi. Tresno iku iso jalaran saka kulina. Kalau kamu selalu berdekatan dengan Bagus Samudra, Rama yakin kamu akan jatuh cinta padanya dan melupakan Galuh. Sudah, biar besok Rama datang ke rumah Galuh dan membatalkan peningsetan kalian." Ki Janu Baran akhirnya memutuskan hal itu secara sepihak, pria paruh baya tersebut merasa frustrasi pada Roro Sawitri.
"Tapi Rama ..., jangan batalkan peningsetan itu. Saya sangat mencintai Kangmas Galuh, Rama. Saya mohon," rintih Roro Sawitri terdengar sedih, gadis ayu itu lantas bersimpuh di kaki ayahnya, memeluk erat memohon dengan sangat.
"Sawitri, kamu sudah dewasa! Jangan persulit Rama! Kamu harus nurut Rama, apapun yang Rama katakan. Sudah, pergi ke kamarmu!" perintah Ki Janu Baran dengan nada meninggi.
"Tidak, Rama. Saya tidak akan pergi sebelum Rama mengabulkan permintaan saya," ucap Roro Sawitri menggelengkan kepala, tubuhnya yang ringkih masih memeluk kaki sang ayah mengharapkan belas kasihan.
"Masuk kamar kata Rama! Mbok Kasih ...," teriak Ki Janu Baran pada salah satu abdi setia yang sudah merawat Roro Sawitri sedari kecil.
"Rama ... Saya tidak mau. Rama jangan pisahkan saya dengan Kangmas Galuh. Rama ...." rengek Roro Sawitri semakin erat dalam memeluk kaki Ki Janu Baran.
Mbok Kasih yang dipanggil segera datang. Wanita tua dengan rambut berwarna putih itu membungkukkan badan lalu bersimpuh di hadapan Ki Janu Baran.
"Iya, Ndoro Kakung," suara Mbok Kasih penuh welas. Wanita itu tertunduk, sesekali melirik ke arah Roro Sawitri yang terlihat begitu kasihan.
"Bawa Roro Sawitri ke kamar, Mbok!" perintah Ki Janu Baran keras, pria tua itu menarik kakinya dari pelukan Roro Sawitri dengan paksa hingga mengakibatkan sang putri nyaris tersungkur mencium lantai.
"Baik Ndoro," patuh Mbok Kasih seraya menjura. Wanita tua dengan kemben warna hitam lantas memegang bahu Roro Sawitri, berharap ndoro putrinya segera bangun dan menuruti perintah sang ayah.
"Monggo Ndoro putri ke kamar," ucap Mbok Kasih dengan lemah lembut. Wanita itu mengajak Roro Sawitri bangun dari simpuhnya.
Meski dengan lelehan air mata, Roro Sawitri berdiri dan menuruti kata-kata abdinya. Tangisannya belum juga usai, gadis manis itu memilih pergi dari hadapan sang ayah tercinta. Sedikit banyak, Roro Sawitri berharap ayahnya membatalkan niatnya dan tetap merestui keinginannya untuk hidup bersama dengan Galuh Sucitra.
Beberapa detik setelah sang putri pergi, Ki Janu Baran menghela napas sambil menggelengkan kepala. "Maafkan Rama, Nduk. Rama terpaksa."
***
Kediaman Mpu Galuh Sucitra terlihat ramai. Beberapa pandai besi tengah menimpa besi dengan amat serius, beberapa pesanan keris telah diterima oleh Mpu Kapi, ayah dari Galuh Sucitra.
Rumah pria berparas elok itu terlihat sederhana, rumah joglo dengan halaman yang teramat luas dengan beberapa pohon jati tumbuh subur di sana. Di sisi kanan dan kiri rumah tumbuh beberapa jenis bunga kesukaan Nyi Kapi, ibunda Galuh.
Pagi beranjak siang, ketika manusia mulai sibuk dengan aktivitasnya, Ki Janu Baran telah sampai di rumah asri milik Galuh Sucitra. Kedatangannya hanya ditemani beberapa punggawa kademangan. Wajahnya yang begitu serius membuat tanda tanya besar di benak Mpu Kapi.
"Ndoro Demang, monggo masuk. Maaf rumah saya belum dibersihkan," ucap Mpu Kapi ketika melihat Ki Janu Baran turun dari kuda warna cokelat miliknya.
Ki Janu Baran tak menjawab, ia lantas masuk ke dalam rumah seorang diri. Sebuah kursi terbuat dari kayu jati perlahan ia duduki dengan perasaan kebat-kebit.
"Kok njanur gunung, Ndoro Demang tumben datang ke rumah saya. Kalau boleh tahu ada kepentingan apa, Ndoro?" tanya Mpu Kapi dengan sopan. Pria tua dengan rambut yang sudah memutih itu bersikap sederhana dan hangat pada calon besannya.
"Ehm, begini Mpu Kapi, saya ada kepentingan dengan Galuh Sucitra. Dimanakah dia?" tanya Ki Janu Baran dengan tatapan serius.
Mpu Kapi tersenyum tipis, "Oh, anak itu tengah memandai besi di belakang rumah, Ndoro. Akhir-akhir ini ada pesanan keris yang menumpuk."
Ki Janu Baran manggut-manggut, ia melirik sejenak ke arah dalam rumah ketika Nyi Kapi datang membawa beberapa suguhan dan juga minuman.
Percakapan mereka terhenti sejenak ketika Nyi Kapi menata suguhan berupa singkong rebus dan klepon berbalut parutan kelapa di atas meja. Tak lupa juga sepoci teh melati lengkap dengan cangkir antik terbuat dari tanah liat.
"Nyi, aku minta tolong panggilkan Galuh kemari, ya." Mpu Kapi berkata pelan pada istrinya setelah wanita itu selesai menata makanan dan minuman.
"Baik, Ki. Monggo Ndoro Demang dicicipi makanannya," ujar Nyi Kapi tak kalah ramah. Wanita tua yang umurnya sebaya dengan Mpu Kapi terlihat sehat dan masih lincah. Tanpa bantuan tongkat, Nyi Kapi masih bisa mengurusi dapur seorang diri.
Wanita itu segera beranjak pergi ke dalam rumah, bergegas memanggil putranya Galuh Sucitra.
Tak lama kemudian orang yang dinanti-nanti datang. Pria berkulit putih datang menghampiri Ki Janu Baran dan juga ayahnya. Membungkukkan badan dan menjura ke arah Ki Demang, Galuh Sucitra duduk di lantai dengan posisi bersila.
"Ndoro Demang memanggil saya?" tanya Galuh Sucitra dengan hati-hati, pria itu bersikap segan dan sangat sopan.
"Iya, Nak. Kedatanganku kemari memang ada perlu penting denganmu. Tidak hanya denganmu tapi juga dengan Mpu Kapi," ucap Ki Janu Baran memulai tujuannya dengan sedikit berbasa-basi.
Ki Janu Baran menatap kedua anak bapak itu bergantian, ada perasaan tegang yang kini menyelimuti hatinya. Bisakah pria yang diayomi sebagai demang itu mengatakan tujuannya?
"Jadi begini, Nak Galuh, Mpu Kapi, tujuan kedatanganku kemari adalah ...," Ki Janu Baran menjeda ucapannya sejenak. "Aku ingin mengembalikan peningsetan antara Galuh dengan Roro Sawitri. Karena kemarin Roro Sawitri dilamar oleh Nak Mas Bagus Samudra, anak Akuwu Ki Sula."
Tak ada suara di ruangan itu. Semuanya senyap, tak ada yang berbicara baik Mpu Kapi maupun Galuh Sucitra. Keadaan menegang, terlebih wajah Galuh terlihat begitu terpukul.
"Jadi, kedatanganku kemari pertama-tama aku meminta maaf pada kalian karena telah membatalkan pertunangan dan juga pernikahan kalian. Putriku Roro Sawitri telah mendapatkan jodoh yang pas untuknya. Nak Galuh, aku mohon dengan sangat, aku mohon kelapangan hatimu untuk melepas dan mengikhlaskan Roro Sawitri untuk menikah dengan Bagus Samudra," jelas Ki Janu Baran perlahan dengan hati tak kalah kebat-kebit.
Galuh Sucitra masih terdiam, ia bahkan kehilangan kata-kata untuk sesaat. Tertunduk lesu, pria tampan itu merasa tak mampu untuk mengungkapkan rasa kecewa yang kini menghuni relung hatinya.
"Ndoro Demang, saya dengan Roro Sawitri saling mencintai. Memang keadaan saya seperti ini, saya tidak memiliki harta lebih, rumah saya pun jauh dari kata megah tapi saya masih memiliki tulang yang kuat. Ndoro Demang, saya berjanji jika dapat hidup dengan Roro Sawitri, saya akan berjuang jiwa dan raga untuk membahagiakan putri Ndoro," ucap Galuh Sucitra pelan. Ia tertunduk, berusaha menyembunyikan air mata yang kini menggenang di pelupuk matanya.
"Aku tahu Nak Galuh, tapi kehidupan Roro Sawitri juga harus dipertimbangkan matang-matang. Anakku terbiasa hidup berkecukupan, aku takut ia akan mengeluh jika menderita sedikit saja. Maaf jika aku membuatmu kecewa, maaf juga jika aku dulu mengiyakan saja lamaranmu tanpa pikir panjang. Nak Galuh, biarkan Roro Sawitri bahagia dengan hidupnya. Jika kau benar-benar mencintainya, aku rasa kau bisa ikhlas melepasnya. Karena aku telah membatalkan peningsetan kalian maka aku bersedia membayar denda. Besok pagi aku akan mengirim orang untuk membayar denda pada kalian," ucap Ki Janu Baran panjang lebar.
Galuh Sucitra terdiam, wajahnya terlihat pasrah dan tak berdaya. Apalah dia, dia hanya anak miskin yang kesehariannya cuma menimpa besi, membuat berbagai perkakas hanya untuk menyambung hidup. Tak salah jika Ki Janu Baran lebih condong pada Bagus Samudra.
"Mpu Kapi, Nak Galuh, aku ucapkan banyak minta maaf. Semoga kalian punya hati yang lapang untuk menerima keputusan ini," imbuh Ki Janu Baran dengan mimik wajah dibuat menyesal.
"Jika itu sudah menjadi keputusan Ki Demang, saya selaku orang tua tidak bisa berbuat banyak. Semua saya serahkan pada Galuh bagaimana ia menyikapinya," tutur Mpu Kapi mencairkan suasana yang begitu canggung.
Ki Janu Baran manggut-manggut, ia melirik sejenak ke arah Galuh Sucitra. Meskipun tidak tega, Ki Janu harus melakukan itu demi jabatan yang selama ini ia pertahankan.
Menghela napas, Ki Janu Baran lalu beranjak bangun dari kursi jati yang ia duduki. Karena niatnya sudah tercapai, pria berkumis lebat segera pamit pulang ke kademangannya.
"Karena aku sudah menyampaikan pesanku padamu maka ijinkan aku pulang ke kademangan, masih banyak tugas yang harus diurusi. Mpu Kapi, Nak Galuh, aku mohon pamit dulu."
Ki Janu Baran segera berbalik badan, keluar dari rumah joglo milik Galuh Sucitra dengan terburu-buru. Ketika kuda warna cokelat itu pergi dari kediaman Galuh, Mpu Kapi menatap putranya yang belum juga berdiri dari lantai dengan tatapan sedih lagi iba.
Pria yang pantas dipanggil kakek itu berjongkok di samping Galuh Sucitra, mengusap punggungnya dengan tabah.
"Ngger, anakku Galuh, sabar ya Ngger," hibur Mpu Kapi pelan. Suara sang ayah yang serak karena turut menahan kekecewaan membuat pertahanan Galuh Sucitra hancur. Pria itu tanpa rasa malu lantas menangis di hadapan sang ayah.
"Bapa, apa salahku? Kenapa hal seperti ini terjadi? Aku begitu mencintai Roro Sawitri, aku sudah memperjuangkannya jauh-jauh hari tapi kenapa ..., kenapa hanya tinggal beberapa hari saja pernikahanku harus dibatalkan? Bapa, aku tidak kuat menerima semua ini."
Tangisan Galuh Sucitra bagaikan kidung panjang tak berujung, sedih yang begitu dalam dan meresap tiada berbekas. Tak ada yang bisa Mpu Kapi lakukan kecuali terus mengusap punggung anak muda itu, menabahkan agar sang anak mendapatkan rasa lapang.
"Bapa, kenapa kita ditakdirkan hidup miskin? Kenapa Bapa? Jika kita kaya apa mungkin pernikahan ini tetap berjalan seperti semula? Bapa, jawab aku! Kasih pencerahan putramu ini, Bapa."
***************************************
Sebelumnya terima kasih buat kalian yang dukung cerita ini berupa follow, vote, terlebih koment.
Maaf jika diantara kalian ada yang tidak paham dengan istilah-istilah jawa di atas.
Aku akan berusaha menjelaskan istilah tersebut buat kalian.
Akuwu ; Camat.
Demang ; Lurah.
Peningsetan ; Pertunangan.
Tresno iku jalaran saka kulina ; pepatah jawa yang artinya cinta ada karena sering bersama( kurang lebihnya begitu.)
Njanur gunung ; peribahasa jawa (Janur gunung= aren (Kadingaren = tumben)).
Wiyaga ; tukang menabuh gamelan di dalam sebuah karawitan.
Sampur ; selendang untuk menari.
Tari gambyong ; Tarian rakyat yang sering dipertontonkan pada saat ada acara tertentu.
Gendhing pangkur ; salah satu lagu macapat, lagu jawa yang berisi petuah.
Mpu ; Sebutan untuk si pandai besi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro