Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

- PIDATO REI NOBORU -

"Selamat pagi dan selamat datang! Saya, sebagai kepala sekolah, memulai acara kelulusan ini dengan perasaan penuh sukacita. Setelah perjuangan keras kalian selama tiga tahun ini--dan hari-hari terakhir mendekati ujian--, kini saatnya telah datang.

"Usaha kalian, seluruh kerja keras kalian, apa yang kalian perjuangkan selama ini telah dibayar. Minggu ketiga bulan Maret telah datang, kalian bisa melihat musim semi telah membuat awal baru di luar sana, dan hari ini telah datang bagi kalian. Hari ini datang untuk berpesta dengan kalian, bersuka cita merayakan perjuangan kalian yang telah terbayarkan. Demi musim semi yang telah datang itu, serta usaha-usaha kalian, mari kita bertepuk tangan."

Ruang itupun riuh dengan gema tepuk tangan dan sesekali siulan serta teriakan "wuoo" ikut tumpang tindih menyoraki diri mereka sendiri, dan Pak Kepala Sekolah yang tidak akan mereka temui setelah ini.

"Selamat untuk kalian! Selamat untuk kita semua! Gerbang baru telah dibuka, bagi saya yang melihatnya dari atas podium ini, inilah kesempatan kalian untuk melangkah--"

Sebenarnya siswi berambut pendek itu sudah bisa menduga bahwa Pak Kepala Sekolah, sekali menerima tepuk tangan riuh, pidatonya akan berubah menjadi pidato yang semakin bersemangat dan berapi-api. Ia mendesah dan memejamkan mata, tapi kemudian tersenyum lagi saat ia kembali melihat panggung dan podium.

Karena ia percaya, bahwa sesuatu akan indah pada waktunya.

Ini belum waktunya, ia hanya akan menunggu. Tangannya merogoh ponsel yang ada di saku jas, mengetikkan beberapa huruf dan mengirimkannya ke seseorang. Setelah pesan itu berhasil terkirim, ia melihat jam di layar ponselnya, dan menghitung. Satu bidak telah berjalan.

"Selanjutnya, sebagai perwakilan murid tahun ketiga, sebagai murid terpintar dengan nilai tertinggi! Rei Noboru dipersilakan maju untuk menyampaikan pidatonya!"

Aula itu kembali riuh dengan suara tepuk tangan seiring Rei--siswi berambut pendek yang terus tersenyum--beranjak dari kursinya menuju podium. Siswi itu tahu, tepuk tangan yang dipenuhi sukacita yang asli mungkin hanya datang dari para guru,kecuali satu. Sisa tepuk tangan lainnya sulit dideskripsikan, tapi Rei bisa mengambil simpulan kasar: sebagian besarnya hanyalah tepuk tangan palsu. Rei juga bisa mengambil beberapa sub-simpulan dari simpulan tadi.

Beberapa tepuk tangan hanyalah topeng untuk menyembunyikan ejekan, beberapa sisanya penuh kedengkian, beberapa sisanya mengulang gosip yang sama dan terdengar sebagai dengung lebah pekerja, beberapa lagi hanyalah untuk menyembunyikan pertanyaan "kok dia tidak dikeluarkan sekalian, ya?"

Klap-klap!

Tepuk tangan terakhir dari Rei untuk mengawali pertunjukannya.

Lebah-lebah penuh antusias itu berhenti berdengung, seluruh aula sepi seiring Rei membuka mulutnya dan suaranya digemakan melalui mikrofon.

"Terimakasih atas kesempatan yang diberikan untuk saya--Rei Noboru--sebagai perwakilan tahun ketiga yang akan menyampaikan pidato.

"Saya akan berbicara jujur, bahwa, meski saya pintar, tetapi saya tidak pintar dalam berpidato. Alih-alih begitu, saya akan menceritakan kesan dan pesan yang saya dapatkan selama bersekolah di sini, semoga memotivasi."

Tepuk tangan, aula kembali riuh.

"Tambahan, saya persilakan para guru untuk meminum minuman mereka. Karena saya tidak akan memulai bercerita tanpa para guru meminumnya, cerita kali ini sangat panjang, percayalah pada saya. Saya hanya tidak mau tenggorokan para guru kering."

Meski ragu, para guru di sisi kanan dan kiri ruangan meminum minuman kotak mereka. Termasuk si pembawa acara.

"Minggu ketiga bulan Maret," ujar Rei, "Adalah hal yang ada di luar ekspektasi saya. Saya--mungkin--pintar, karena selalu berada dalam lima besar saat SMP, tetapi saya adalah tipe orang yang akan mengkhawatirkan dan memusingkan segala sesuatunya, entahlah ini hal baik atau buruk.

"Memasuki SMA ini, dengan modal peringkat stabil di lima besar dan rincian nilai yang cenderung naik. Saya tetap khawatir, bagaimana persaingan Saya di SMA nanti? SMP Saya memiliki murid-murid dengan jiwa kompetitif yang tinggi.

"Jujur saja, itu menakutkan bagi Saya. Hingga akhirnya pengumuman itu datang, Saya diterima sebagai murid SMA ini. Saya tak sabar, sekaligus takut, khawatir, pada murid-murid yang akan Saya temui. Namun, terima kasih, karena jiwa kompetitif murid yang besar," Rei menarik napas, "disertai pula dengan rasa suportif yang tinggi."

"Saya hanya bisa bersyukur, mengatakan terimakasih karena kita sama-sama mendukung padahal di saat yang bersamaan kita bersaing. Banyak kenangan yang akan mengisi dinding memorabilia di otak Saya, yang masih tidak menyangka bahwa nilai Saya akan terus naik hingga terpilih sebagai perwakilan murid tahun ketiga. Terima kasih, saya ucapkan banyak-banyak terima kasih."

Tepuk tangan, lalu debum, tubuh-tubuh terjatuh bagai rintik hujan menabrak tanah. Terserak di atas lantai kayu aula dengan iringan teriakan panik dan suara denging mikrofon yang masih menyala--merobek pagi yang hangat di minggu ketiga bulan Maret.

Banyak enigma menggantung di antara para murid, apa yang terjadi? Bisakah seseorang menelepon polisi? Ambulans? Kenapa para guru dan pembawa acaranya pingsan?

"Ochitsuite*," ujar Rei setelah mengangkat mikrofon pembawa acara, "Kembali ke tempat duduk kalian, membuka aula saat ini adalah hal yang mustahil."

"Apa maksudmu?" bentak salah satu perwakilan tahun kedua.

"Hmm, aku akan menjawab jika kau membawakan kursiku kemari, kumohon," pinta Rei sambil memasang tampang sedih dan penuh pengharapan.

Junior itu menurut, meski ia memicingkan matanya curiga.

"Oh, sama tasku sekalian, dong."

Kembali beberapa langkah, siswa itu lalu mengangkat kursi lipat beserta tas milik Rei ke panggung aula. Ia memosisikannya tepat di samping podium.

"A-ri-ga-tou," ujar Rei sambil meletakkan pantatnya dan menyilangkan kaki.

Junior itu kembali, tetapi kerumunan murid masih menutupi pintu aula.

"Bukankah aku bilang, kembali ke tempat duduk kalian? Atau kalian masih ingin mencoba membuka pintunya? Baiklah, coba saja."

Salah satu murid mencoba menarik dan mendorong pintu dua daun itu, tetapi nihil. Pintunya terkunci.

"Tidak berguna, 'kan? Sudah ada seseorang dari luar aula yang mengunci pintunya untuk menuntaskan upacara hari ini."

Suara kasak-kusuk penuh kecemasan kembali menyesaki aula.

"Kembalilah ke tempat duduk, kumohon," ujar Rei, tetapi kerumunan tetap tak ingin kembali ke tempat duduk.

Rei mendesah, ia mengeluarkan sesuatu dari kantung jasnya. Siswi itu beranjak, menuju ke salah satu siswi terdekat, dan menjambak rambutnya. Teriakan melengking membuat kerumunan diam sambil memandang ngeri. Rei meletakkan sebilah pisau lipat di depan siswi yang sedang ketakutan itu.

"Hitungan kelima, kembali ke tempat duduk kalian atau nyawa siswi ini akan melayang! Lalu kalian akan hidup sebagai pembunuh!" Ujar Rei dengan volume keras. "Satu ...."

Kerumunan segera ribut berlarian ke sana ke mari menuju kursi mereka masing, beruntungnya Rei hanya perlu menghitung sampai tiga untuk mendudukkan para kerumunan. Siswi itu kembali memasang senyumnya, melepaskan jambakan dan todongan pisaunya, lalu mendudukkan siswi yang ia ancam itu dengan lembut dan penuh senyuman.

"Maaf, ya," ujarnya.

Rei segera melenggang ke kursinya di panggung aula.

"Omong-omong, kalian bisa coba telepon polisi, tapi aku cukup jago soal melempar pisau ini. Pisau-pisau ini maksudku, karena aku masih punya lima di dalam tas. Namun, aku tidak cukup jago berlari sprint untuk mengambil pisau-pisau yang menancap di tubuh kalian, jadi sebagai gantinya, kita bisa saling menghancurkan dengan kursi-kursi lipat itu. Bagaimana? Apakah gagasan itu terdengar bagus?" tanya Rei dengan mempertahankan senyumnya.

Kerumunan hening.

"Nah, mari kita lanjutkan acara ini." Rei Noboru bertepuk tangan sendirian di depan aula, dengan aura khawatir yang menyelimuti. "Suatu hari, seorang pendeta membangun sebuah bilik kecil di dalam gerejanya.

"Lalu, datang seorang jemaat, ia bertanya, untuk apa ruangan sekecil itu. Pendeta itu hanya menjawab bahwa itu adalah ruang pertobatan, dan menjelaskan fungsinya pada jemaat itu. Bahwa, mengakui dosa adalah awal dari sebuah pertobatan, awal baru yang lebih baik, dan semoga Tuhan memberkati."

Seluruh aula hening, tak mengerti apa yang berusaha disampaikan Rei.

"Jadi, mari kita akui ...," Rei mengambil sepotong kertas dari saku roknya, "dosa-dosa kita."

*

Glosarium:

1. Ochitsuite (kudasai): Harap tenang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro