Bagian 9
"Udah tidur?" Angga bertanya ketika baru saja membuka pintu kamar Vendra.
"Udah, Mas." Kayra berdiri seraya membenarkan bajunya yang kusut karena menemani Vendra tidur.
Tadi, sewaktu Pak Yasa dan Kayra akan berpamitan pulang, tiba-tiba Vendra menjadi sangat rewel, bahkan balita itu tidak ingin sedikitpun disentuh oleh Bu Ratna maupun Angga dengan tangan yang terus berusaha menggapai jilbab Kayra.
Tidak tega dengan tangisan Vendra yang semakin membuat suara bocah itu serak, Kayra menggendong kembali Vendra yang tengah meronta dalam dekapan Angga.
Melihat Vendra yang terlihat lebih tenang dalam gendongan sang puteri, Pak Yasa menawarkan untuk menunggu sebentar hingga Vendra tertidur karena sudah terlihat sangat mengantuk, namun saat jam sudah menunjukkan jam sembilan malam, tidak ada tanda-tanda Vendra akan tertidur, anak itu seperti berusaha keras menahan kantuk dengan berbagai mainannya.
"Ayah, di mana ya, Mas?" tanya Kayra ketika tidak mendapati keberadaan ayahnya di ruang tamu tempat sebelumnya sang ayah menunggu.
"Om Yasa tadi pulang lebih dulu, beliau bilang kalau Tante kamu yang dari Jogja mendadak dateng dan telpon minta di jemput ke terminal katanya. Kira-kira satu jam yang lalu. Biar saya antar kamu pulang," jelas Angga seraya melihat sekilas pada jam dinding yang telah menunjukkan pukul setengah sebelas malam.
"Tapi," Kayra terlihat ragu.
"Pulang diantar Angga aja, Kay. Tadi Tante udah ijin sama ayah kamu, Pak Yasa juga kasih ijin kok. Ini udah malem, enggak baik pulang sendirian. Apa ... mau nginep sini aja? Tidur sama Lala. Kalian belum sempat ketemu kan tadi?" sahut bu Ratna terlihat keluar dari arah dapur.
"Eh? Kayra pulang aja, Tante. Besok ada jadwal mengajar," tolak Kayra secara halus.
"Yaudah kalo gitu," Bu Ratna pasrah dan beralih pada sang putera, "Ngga, buruan berangkat sebelum tambah kemaleman. Eh, kamu naik apa nganternya? Mobil kamu tadi Mama liat kok nggak ada?"
"Bannya bocor, Ma. Angga tinggal di kantor, jadi antar pakai motor, nggak apa-apa kan Kay?" jawab Angga kemudian beralih pada Kayra.
"Oh, enggak apa-apa, Mas. Maaf merepotkan."
Kayra kemudian mendekat pada Bu Ratna, menyalami serta mencium lembut punggung tanggan ibu dari Angga untuk berpamitan.
***
Angga bergegas pulang setelah mengantar Kayra sampai rumah. Sementara Kayra menyempatkan diri menyapa sang Tante yang tidak biasanya mau datang ke rumah.
"Ra, kuwi mau sopo? (Ra, itu tadi siapa?) Pacarmu ya? Kok malem banget pulangnya? Kamu itu perempuan, enggak pantes keluar malem apalagi sama pria yang bukan mahram. Daripada pacaran mending kayak si Yuni, dua minggu lagi dia nikah," Ningsih yang sempat melihat Angga mengantarkan Kayra mulai bertanya namun berakhir membandingkan Kayra dengan puterinya.
"Bukan, Bulik. Mas Angga..." Jawaban Kayra menggantung ketika suara sang ayah menimpali.
"Ra, lebih baik kamu ganti baju trus tidur, pasti kamu capek kan? Biar Bulikmu juga bisa istirahat," perintah Pak Yasa yang baru saja keluar dari kamarnya.
"Baik, Yah." Kayra hanya menurut, badannya memang lelah, tenaganya tidak akan cukup untuk mendebat sang tante yang memang suka membandingkan dan mengomentari suatu hal tanpa memberi kesempatan menjelaskan terlebih dulu.
"Lebih baik kamu tidur, Ning." Pak Yasa berlalu dari hadapan Ningsih yang kini terlihat begitu kesal. Sejak lama Ningsih tidak terlalu suka pada Kayra, hanya karena Kayra merupakan cucu yang selalu dibanggakan orangtuanya.
***
Selepas membersihkan diri, Kayra mengganti pakaiannya dengan baju tidur kemudian merebahkan diri ke ranjang.
Tring
Notifikasi ponselnya membuat Kayra yang hampir terpejam mengurungkan niatnya, meraih ponsel dan dahinya berkerut ketika mendapati pesan pria yang baru saja mengantarkannya pulang satu jam yang lalu.
A.Handaru
Terima kasih.
Kayra bingung, untuk apa pria itu mengucapkan terima kasih, bahkan saat berkunjung tadi, ia hanya membawakan buah untuk keluarga Angga. Tidak ingin menerka maksud Angga, Kayra putuskan bertanya.
Maaf, Terima kasih untuk apa?
Hingga balasan dari pria itu seketika membuat Kayra sejenak menahan napas.
A.Handaru
Untuk malam ini sudah membuat Vendra merasakan kasih sayang ibu selain dari Omanya.
Vendra? Perlakuan Kayra pada Vendra mengalir begitu saja. Ada rasa sayang yang menelusup masuk ketika berinteraksi dengan putera Angga sejak pertama mereka bertemu, bukan melalui perhatian yang dibuat-buat.
Tidak tahu dengan balasan apa lagi yang ia berikan, Kayra putuskan untuk meletakkan ponsel asal di samping bantal dan berusaha menutup rapat matanya.
Tring
Kayra hanya melirik pesan yang terpampang sekilas pada layar notifikasi.
Selamat malam.
Tanpa sadar Kayra tersenyum, membaca pesan singkat dari Angga. Hanya seperti itu interaksi mereka selama hampir sebulan ini, sesekali berkirim pesan itupun bukan percakapan panjang.
Entah apa namanya hubungan mereka, namun satu yang pasti, Kayra hanya sedang berusaha membuka lembaran baru dalam hidupnya.
***
"Gimana, Mas?"
Sebuah pertanyaan yang langsung menyapa pendengaran Angga begitu panggilan dari sang adik ia terima.
"Apanya?" jawab Angga dengan membenarkan posisi sandarannya pada kepala ranjang.
"Ck, pura-pura enggak ngerti. Gimana itu calon kakak ipar pas ketemu anak-anak? Lancar?" tanya Abra terdengar antusias.
"Biasa aja." Singkat jawaban Angga membuat Abra sedikit jengkel dengan kebiasaan sang kakak.
"Jawaban lain nggak ada? Jadi kapan anak-anak bakal punya ibu baru?" goda Abra dari seberang.
"Enggak ada ibu baru," ucap Angga dengan sedikit penekanan.
"Elah, gitu aja sensi. Bucin banget sih. Jadi gimana, anak-anak udah setuju belum? Apalagi si Vendra tuh yang susah minta ampun kalo ketemu orang baru."
"Lala belum sempat ketemu sama dia, Vendra malah enggak mau ditinggal pulang tadi." Angga menyunggingkan senyum mengingat bagaimana tingkah sang putera begitu menempel pada Kayra. Hal yang belum pernah terjadi pada Vendra ketika bertemu orang asing.
"Mas enggak lagi ngarang cerita kan? Vendra? Ah, nggak percaya aku kalo Vendra bisa gitu. Pasti akal-akalan Mas aja kan biar aku enggak nanya-nanya lagi," selidik Abra.
"Enggak percaya yaudah, besok tanya Mama aja. Aku udah ngantuk. Daripada kamu ngepoin aku gini, mending fokus aja sama cewek yang kamu kejar, keburu diambil orang," ucap Angga seraya merubah posisinya dengan merebahkan diri.
"Awas kamu, Mas. Kalo aku berhasil deketin dia lagi, kita lihat siapa yang bakal diijinin Mama buat nikah duluan."
Tanpa menunggu Abra selesai bicara, Angga memilih mematikan ponselnya sebelum pembicaraan Abra melebar kemana-mana.
Abra, meski sudah dewasa tapi sifat kekanakannya sering muncul jika merasa tersaingi. Meski begitu, Angga tetap selalu menyayangi adiknya. Semoga siapapun jodohnya, Abra bisa bahagia.
***
Di tempatnya, Abra menggerutu pada ponsel yang layarnya telah menggelap sesaat setelah panggilan teleponnya diputus sepihak oleh sang kakak.
"Besok aku harus ketemu sama Kayra. Gimanapun caranya, aku mesti bisa deketin dia lagi. Pasti bisa." Abra tersenyum mengingat ia sudah mempunyai rencana agar pertemuannya dengan Kayra bisa terjadi meski ia harus memanfaatkan keponakannya sendiri.
Abra masih sangat percaya diri jika masih ada namanya di hati Kayra, namun Abra melupakan satu hal.
Jika perasaan cinta itu tidak akan pernah bisa dipaksakan meski skenario yang sebaik mungkin telah disiapkan untuk mendapatkan hati seseorang.
...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro