Chapt 5 🥀 Stay
Flashback.
“Kamu tahu, Dae?”
“Tidak tahu, tuh.”
“Ck, dengarkan aku dulu.”
“Satu gelas bubble tea untuk mendengarkan gosipmu.”
“Setuju!”
“Jadi?”
“Beberapa blok dari sini, ada klinik aborsi yang telah legal. Mereka mengumumkan itu setelah pemerintah melegalkan aborsi dinegara kita.”
“Uh, kenapa kamu memberitahuku hal seperti ini? Tidak berguna sekali.”
“Bergosip saja, kebijakan baru ini tengah ramai diperbincangkan dalam situs Pann tahu! Terus karena kafeku dekat dengan klinik itu, aku jadi kecipratan pelanggan.”
.
.
Perutku rasanya teraduk, lalu mual itu datang tak lama ketika ingat apa yang Jungyeol katakan beberapa bulan yang lalu. Takut-takut aku melirik wajah Chanyeol. Dia tak akan melakukan itu padaku, 'kan?
Tetapi, bagaimana dengan apa yang dia katakan di rumah tadi! Rasa-rasanya aku akan gila, memilih melompat dari motor yang tengah melaju kencang dan berguling konyol di atas aspal lalu jika sial akan langsung terlindas mobil dan mati dengan konyol saat itu juga lalu langsung masuk neraka.
Motor Chanyeol memasuki sebuah klinik kecil dan berhenti di area parkiran. Kepalaku rasanya mau pecah ketika membayangkan yang akan menimpaku. Karena itu adalah tempat yang pernah Jungyeol katakan.
“Ini tempat apa?” Aku tak lagi dapat menyembunyikan rasa keingintahuanku. Aku ingin Chanyeol jujur!
“Lukamu harus segera diobati,” jawab Chanyeol cepat tanpa mengalihkan perhatiannya pada klinik tersebut.
Chanyeol melepas helmnya ketika dengan tertatih aku turun dari motor itu. Melepas helmku lebih dulu dan mendorong motor itu hingga menimpa tubuh Chanyeol.
“Kim Jongdae!”
Aku menutup kedua telingaku erat ketika teriakan Chanyeol memekakkan telinga hingga membuat siapa pun yang berada di sana menoleh bingung. Itu bagus karena jadi memaksa kakiku yang nyeri untuk terus berlari menjauhinya. Aku tidak tahu apakah dia mengejarku atau tidak. Tapi, aku tahu beberapa orang datang untuk membantunya berdiri.
Mataku nyalang diantara kendaraan yang berlalu-lalang. Tanganku refleks langsung menyetop taksi dan masuk ke dalam tanpa permisi. “Tolong antarkan saya ke alamat ini,” mintaku dengan suara bergetar. Aku memperlihatkan gelang dengan ukiran alamat rumahku.
Supir taksi—laki-laki— yang kira-kira memasuki usia 40 akhir itu mengangguk. Aku menyandarkan punggungku dan bernapas lega ketika taksi itu berjalan menjauhi klinik tersebut.
Aku mengusap wajah kasar, air mataku tumpah banyak sekali hanya dalam beberapa menit. Aku meraba-raba saku untuk mencari ponsel, namun ketika aku menemukan benda itu, ia sudah mati kehabisan daya.
Aku mengembuskan napas kasar. Apa keputusan ini sudah tepat? Aku mempertahankan janin yang kemungkinan besar akan menjadi penghambat dalam hidupku seperti apa yang Chanyeol katakan? Lalu bagaimana dengan orang tuaku? Aku adalah anak bungsu, mereka pasti kecewa, mereka selalu membangga-banggakan ku.
Bagaimana kalau ternyata keputusan yang aku ambil ini salah?
“Maaf, Dik. Kita sudah sampai.”
Aku menggeleng kuat. Tidak! Aku tidak boleh terpengaruh dengan ucapan Chanyeol. Aku sudah memutuskan untuk tidak menjadi pembunuh darah dagingku sendiri. Dia pantas bahagia meskipun itu harus mengorbankan kebahagiaanku sendiri.
“Kita sudah sampai, Dik.”
Aku menoleh pada sosok yang duduk dikursi kemudi. Memberi gesture membungkuk sebelum memberikan beberapa lembar won. “Terima kasih banyak, Pak,” ucapku ketika taksi itu sudah akan berlalu pergi.
Aku berjalan ke rumah dengan lesu. Banyak hal yang terjadi beberapa jam terakhir ini. Dan sekarang aku sudah harus memberi alasan logis pada ayah dan ibu mengapa semalam aku tak pulang, juga mencari waktu yang tepat untuk mengatakan posisiku sekarang yang tengah berbadan dua, dan itu tidak akan mudah mengingat aku yang masih duduk disemester 2.
Aku membuka pintu, sedikit heran ketika pagi hari yang biasanya selalu ramai dengan perdebatan kecil ayah dan ibu, namun kali ini bahkan lampu dan gorden dalam keadaan mati dan tertutup. Aku melepas sepatuku di depan pintu dan menggantinya dengan sandal rumah.
“Appa! Eomma!” teriakku memanggil mereka. Aku berjalan menuju kulkas, mengambil sebotol air dingin dan meneguknya hingga tinggal tersisa setengah. Bernapas lega ketika cairan bening itu dapat meredakan rasa laparku.
Aku kembali mengobrak-abrik isi kulkas; mencari apa pun yang dapat aku makan dengan segera tanpa harus repot memasaknya dulu. “Roti sudah cukup,” ujarku senang ketika mendapati roti gandum dan setoples kecil selai cokelat.
Aku menutup kulkas, membawa roti dan selai itu ke atas meja dan langsung memakannya dalam diam. Setiap kali aku menelan roti itu, energiku yang terisi membuat kerja otakku jauh lebih waras. Aku tersenyum, merasa tersentuh dengan rasa manis yang lidahku cecap.
Meski sempat heran mengapa ayah dan ibu tak kunjung turun, tapi aku cukup lega dengan suasana sunyi ini, setidaknya aku masih memiliki lebih banyak waktu mempersiapkan diri sebelum berkata jujur.
Dengan sadar, aku mengelus perut datar yang jadi tempat tinggal sementaranya ini. “Maaf, ya, Junior,” sesalku.
Ketika mengingat bahwa dia mungkin akan lahir tanpa sosok seorang ayah, tidak apa, kan ada aku yang juga bisa menjadi ayahnya. Meski akan banyak kesulitan yang dia hadapi ketika lahir kelak, tapi aku akan memastikan dia tak kekurangan kasih sayang. Air mata itu kembali mengalir, kali ini lebih sesak dan perih, rasanya aku ingin mengulangi apa yang seharusnya tidak aku lakukan.
“Tidak perlu bersedih, oke?” Aku berbicara optimis pada janin itu; menyemangati diri sendiri. “Sekarang kamu aman ....” Senyum yang terpatri diwajahku itu hanya bertahan sepersekian detik sebelum akhirnya aku melihat sosok itu tengah berdiri menyandar dengan tangan bersedekap, menatap keberadaan ku remeh.
Tepat ketika Chanyeol tersenyum. Aku beranjak dari tempatku dan segera lari naik ke atas kamarku.
Chanyeol mengejar. Aku mempercepat langkah dengan tangan terkepal di depan dada. Detak jantungku seakan menggila, otakku terus menerus mengirim sinyal bahaya.
“Ash!” Kakiku terkilir dan membuatku jatuh terjerembab. Aku dapat merasakan Chanyeol berdiri di depanku. Dengan sedikit keberanian yang berhasil aku kais, aku menatap wajahnya. “Pergi!”
“Tidak akan sebelum makhluk itu mati,” tegasnya. Chanyeol berjongkok dan langsung menyeretku kasar.
“Eomma!” Aku berteriak memanggil Ibuku. “Appa!” Namun, mereka tak kunjung datang. Seakan mereka memang tengah tak ada di rumah ini.
Chanyeol terkekeh, “Mereka menitipkanmu padaku.”
Aku berusaha melepaskan diri, namun cengkeraman tangan Chanyeol justru semakin mengerat. “Lepas, ini sakit!”
Chanyeol mendudukkan ku di tempatku tadi, dia mengambil segelas air dan membuka botol kecil yang ia keluarkan dari dalam saku jaketnya. Dadaku berdebar ketika Chanyeol mengeluarkan 3 bulir obat berwarna hijau dengan bentuk bulat itu. Aku sama sekali tak merasakan kebaikan dalam obat-obatan itu.
Chanyeol mengambil 3 bulir obat itu dalam sekali genggam, memaksaku membuka mulut demi memasukkan obat yang takku tahu apa fungsinya.
“Buka mulut kucingmu, Dae!” bentaknya.
Aku menggeleng kuat, mulutku Chanyeol paksa terbuka dan itu sakit. Aku tidak tahu apa yang akan Chanyeol lakukan ketika ia justru memasukkan obat-obat itu ke dalam mulutnya. Satu cengkeraman tangan Chanyeol pada rahangku terlepas, beralih pada tengkukku. Wajahnya mendekati wajahku, menempelkan bibirnya dan memaksaku menelan apa yang ia masukkan kedalam mulutku melalui mulutnya.
Lidahku berusaha menolak dan mendorong keluar, sedangkan lidah Chanyeol mendorong masuk. Namun, rasa pahit obat itu menyadarkan ku bahwa obat itu sudah mulai mencair dan masuk kedalam tubuhku.
Lagi-lagi air mataku keluar sia-sia.
Chanyeol menjauhkan wajahnya. Mataku berkabut dan kepalaku semakin pusing. Meski samar, aku dapat melihat Chanyeol yang tersenyum dengan rasa penyesalan. Aku tidak tahu apa yang selanjutnya terjadi ketika kabut hitam itu mulai merengkuh kesadaranku dengan seseorang yang memeluk tubuhku.
🥀🥀🥀
“Di mana Paman Kim?”
“Paman Kim dan Bibi Oh tengah pulang kampung, tuh.”
“Lalu di mana Jongdae? Kenapa kamu bisa ada di sini?”
“Ck, kalau tidak ada yang penting sebaiknya kamu pergi dari sini. Dan untuk kehadiranku di sini, itu karena Paman Kim sendiri yang memintaku untuk menjaga Jongdae, paham?”
“Ah, begitu rupanya? Aku ke sini untuk mengembalikan buku yang aku pinjam pada Jongdae hyung. Omong-omong, Jongdae hyung ada di mana? Aku ingin bertemu dengannya.”
“Dia tengah istirahat— Aish, kamu tidak perlu masuk, pergi sana! Hush, hush.”
“Aku sepupunya, aku berhak bertemu dengan Jongda—”
BRAK!
Semuanya masih terlihat gelap ketika telingaku samar-samar mendengar orang berbicara diluar lalu suara pintu yang dibanting dengan kencang, kemudian disusul dengan suara langkah kaki seseorang yang menaiki tangga; menuju ke tempatku.
Aku berusaha membuka mata, namun mataku seakan dilapisi lem, sangat susah untuk terbuka hingga rasanya seperti ketindihan. Seluruh tubuhku juga tak bisa digerakkan seberapa besar pun aku berusaha, tidak ada yang bisaku lakukan selain bernapas.
Seseorang? Entah siapa, membuka pintu di dalam ruangan tempatku saat ini—aroma kasur yang ku tiduri familier— berjalan perlahan ke arahku. Dia mengambil tempat duduk disisi lain ranjang, keningku merasakan sapuan tangan, dia mengelus rambutku, mengecupnya perlahan lalu turun pada pipi sebelah kiriku.
Kehadirannya seperti tak asing meski aku lupa dia siapa. Kecupan itu terjadi sangat lama hingga aku sempat berpikir bibirnya terkena lem dipipiku. Napasnya yang hangat mengenai kulit wajahku membuat kelopak mataku semakin tak ingin terbuka, takut jika aku membuka mata ia akan pergi meninggalkanku, atau kemungkinan-kemungkinan lain yang terlintas dipikiranku dan sialnya hampir sebagian besar kemungkinan itu adalah kemungkinan buruk. Alam bawah sadarku mengatakan bahwa sosok tak asing itu adalah rumah yang nyaman.
Lalu aku menahan napas ketika tekstur basah dan kenyal bibirnya mulai menjauh dari wajahku. Kesal sekaligus merasa tenang begitu pergerakan itu seperti akan meninggalkanku sendiri—
“Ini yang terbaik untuk kita.”
Seluruh tubuhku menegang, sementara jantungku berdetak tak karuan. Telingaku seperti mengenal suara ini, namun aku lupa siapa, otakku diperas, dipaksa mengingat akan sosoknya, namun percuma! Ketika akhirnya aku menyerah untuk mengingatkannya, aku merasakan sebuah jarum menembus kulit lenganku, setelah cairan itu sepenuhnya sudah masuk kedalam tubuhku, sebuah pelukan itu hadir dengan lembut.
🥀🥀🥀
“Kamu mau ke mana?”
Aku mengecilkan volume televisi ketika melihat Chanyeol memakai jaket dan mengambil kunci motornya. Jam pada dinding rumah menunjukkan pukul 7 malam ketika beberapa jam yang lalu aku terbangun dengan tubuh polos, sendirian, dengan sekujur tubuhku yang nyaris mati rasa.
Sekarang aku tengah memakan bubur yang Chanyeol buat di ruang tengah. Dia mengatakan bahwa Ayah dan Ibuku tengah pulang ke Siheung— kampung halamanku—kemarin malam ketika aku menginap dirumahnya. Mereka meneleponku, namun Chanyeol yang mengangkatnya.
Lalu sekarang aku berakhir dititipkan pada orang yang saat ini sangat ingin aku hindari. Jadi nikmat apa lagi yang harus aku syukuri ketika semua kesialan itu tengah mengurungku dan membekukan hatiku bersamanya?
“Aku meninggalkan mereka dalam keadaan kacau,” jawab Chanyeol. Mengingatkanku akan apa yang terjadi ketika dia membawaku ke rumahnya. “Kyungsoo terluka parah hingga harus dirawat di rumah sakit,” infonya.
Sementara dia tak menoleh sedikit pun padaku dan fokus pada ponselnya, aku pun mengalihkannya pandanganku darinya pada apa pun yang bisa aku tatap.
“Aku akan pergi sebentar menjenguknya—”
“Aku ikut!” Aku melompat dari atas sofa, membiarkan piring bubur itu tergeletak begitu saja diatas meja. “Aku memang tidak terlalu dekat dengan Kyungsoo karena sifatnya yang dingin dan tidak mudah menerima orang baru, namun aku juga memiliki kenangan menyenangkan dengannya.”
Itu hanya alasan, aku hanya ingin mengikutinya, siapa tahu saja kan Chanyeol berbohong dan malah akan menemui selingkuhannya?
Chanyeol menghampiriku— aku sempat menahan napas ketika mencium bau parfumnya—membungkukkan badan lalu meraih kepalaku untuk mencium keningku.
“Tidak perlu,” finalnya. Sementara aku ditelan kekecewaan, aku beranjak untuk mengambil piring bubur tadi dan mengaduk-aduknya kesal sebagai ungkapan kegelisahan.
“Aku pergi sebentar, jaga dirimu baik-baik,” pesan Chanyeol diambang pintu, “kau bisa menghubungiku jika ada sesuatu,” katanya untuk yang terakhir kali sebelum benar-benar menghilang dibalik pintu.
Aku mengangguk mengiyakan, tahu meski itu tak akan dilihatnya, entah mengapa lidahku membisu. Kesal, marah, benci, cinta, rindu, manja, khawatir, tekad, takut, dan gelisah menjadi satu.
Secara sadar, aku sendiri pun tak tahu apa yang sebenarnya benar-benar tengah aku butuhkan, rasanya seperti tenggelam dalam rawa labirin, di mana pada tiap dinding labirin terdapat ular berbisa yang kapan saja siap memangsaku hidup-hidup.
Setelah Chanyeol menghilang di balik pintu. Bunyi suara motor terdengar, lalu perlahan-lahan menjauh. Aku menaikkan volume televisi untuk memecah hening. Pikiranku kembali kosong dengan bubur di piringku yang tinggal tersisa setengah. Meletakkan piring itu pada meja di hadapanku, lalu beranjak mencari ponsel.
Seharusnya aku kabur kala seseorang yang menjadi ancaman dalam hidupku tengah pergi, membiarkannya tanpa pengawasan, Chanyeol terlalu ceroboh. Atau dia yang mengganggapku terlalu bodoh hingga untuk kabur saja tak tahu caranya?
“Aku harus menelepon seseorang.” Aku tidak tahu apa itu, tapi hati dan otakku kompak mengatakan bahwa Chanyeol telah memasukkan sesuatu kedalam tubuhku—waktu itu!
Seharusnya aku dapat bangun dan bukannya malah pasrah seperti waktu itu! Bodoh! Bodoh! Bodoh! Karena mungkin saja itu adalah sesuatu yang dapat membahayakan janinku!
Obat-obat itu! Rasa sakit pada lengan kananku! Sejak benda itu masuk, tubuhku terasa lebih lemas, aku paham ada sesuatu yang tidak beres. Meski Chanyeol adalah orang yang sering mengingkarinya janjinya—itu pengalaman selama aku mengenalnya sebagai kekasihnya — tapi dia sebenarnya adalah orang yang akan benar-benar melakukan apa yang sudah dia ucapkan.
“Siapa yang harus aku hubungi?” Aku mengigit bibir bawahku bingung. Ponsel itu kini sudah di tanganku— sejak pagi ternyata dia ada di meja dapur, huh!
Layar aplikasi KaKaoTalk itu hanya menampilkan chat dari kontak Chanyeol, ibu, grup kelas, dan .... “Sehun!”
🥀🥀🥀
Ningtias 05/03/21
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro