Chapt 20 🥀 Jet Lag
Lelah. Tubuhnya terasa begitu berat, seperti habis maraton berkilo-kilo meter tanpa istirahat dan minum. Dia jadi ingat, dulu waktu awal SMP pada tanggal 15 Agustus, dia pernah ikut lari maraton sejauh 15 kilo meter untuk memperingati hari kemerdekaan Korea. Saat-saat yang penuh kenangan walau malamnya dia harus menghadapi kakinya yang muncul ruam kebiru-biruan akibat terlalu memaksakan diri.
Entah bagaimana, tanpa sadar air matanya menetes dan membasahi daun telinganya. Sambil berbaring di kasur rumah sakit menatap langit-langit plafon, dia mulai membuka matanya perlahan, silau cahaya lampu adalah yang pertama menyambut kesadarannya.
Lalu Kim Jongdae kembali ditarik pada realita kehidupannya, memalingkannya pada kebahagian serta kesedihan masa lalunya, dia pun kini kembali menghadapi kenyataan. Kenyataan pahit yang ingin sekali dia lupakan.
Dikamar inapnya yang luas, tak ada siapa pun selain Jongdae yang baru sadar dengan ditemani beberapa ekor nyamuk yang terbang ke sana ke mari sambil berdengung ngiiing. Dia menatap jam analog bundar kehijauan yang dipasang tepat di depan ranjangnya, satu setengah meter dari tempatnya kini terbaring.
“Jam delapan malam.”
Jongdae mulai merasakan rasa sakit disekujur tubuhnya, sangat sulit dan sakit ketika digerakkan, apalagi ketika dia mencoba untuk duduk, rasanya seperti ada ratusan jarum yang menusuk-nusuk lengannya. Itu bukan ungkapan semata yang digunakan untuk menggambarkan perasaannya, tapi Jongdae benar-benar merasakan tubuhnya setengah hancur.
Didasari rasa penasaran yang tinggi serta ingatan samar-samar yang tampak menakutkan, Jongdae membuka kancing baju pasiennya, dia melepas bajunya, lantas didapatilah sekujur tubuhnya penuh dengan luka goresan pisau yang tampak masih baru, bahkan lehernya juga terlihat habis digores pisau dan kini telah terjahit dengan rapi. Tak hanya itu, bahkan kedua kakinya pun tak luput dari bekas luka bakar yang kini terlihat begitu mengerikan.
Tangan Jongdae gemetaran ketika menyentuh semua luka-luka disekujur tubuhnya itu. Sekarang dia ingat bagaimana semua luka-luka itu didapatkan tubuhnya. Tidak ada siapa pun yang berusaha melukai Jongdae, tapi dia sendiri lah yang melukai tubuhnya dengan kesadaran penuh ingin mati.
Semua itu terjadi setelah Jongdae tahu bahwa janin yang dipertahankannya dengan susah payah dari tangan orang-orang yang ingin merenggutnya darinya itu justru mati akibat kecerobohannya sendiri. Selama ini dia terlalu fokus menghakimi orang-orang disekitarnya tanpa sadar bahwa yang sebenarnya berbahaya adalah dirinya sendiri, dan Jongdae terlalu terlambat untuk menyadari hal tersebut.
Itu semua semakin diperparah setelah dokter mengatakan bahwa kemungkinan Jongdae dapat mengandung lagi sangat kecil karena infeksi yang dialami rahimnya akibat menkonsumsi obat-obatan berbahaya.
Tapi Jongdae itu orangnya tak suka minum obat, bahkan ketika demam parah pun dia sebisa mungkin menolak untuk minum obat, satu-satunya obat yang masuk ke dalam tubuhnya setelah dia tahu bahwa ada nyawa di dalam perutnya adalah obat yang dengan paksa diberikan oleh Chanyeol kepadanya.
Mengingat itu semua kembali membuat Jongdae tertawa, menertawakan nasib jeleknya sendiri hingga harus mengalami semua hal-hal buruk seperti ini.
“Aku bodoh!” Lagi-lagi dia menjambak rambutnya sendiri dengan kencang, seakan yang dilakukannya ini dapat menyingkirkan semua rasa pusing dikepalanya.
Selama berhari-hari, tanpa kenal rasa takut, Jongdae terus menyalahkan dirinya sendiri, ada banyak hal yang diandai-andaikan oleh dirinya hingga membuat tubuhnya sakit, belum lagi semua itu juga mempengaruhi jiwa juga pikirannya.
Hingga tanpa sadar, Jongdae telah depresi hanya dalam waktu sesingkat itu. Berkali-kali pula Jongdae terus mencoba untuk mengakhiri hidupnya sendiri dengan berbagai cara hingga membuat ibunya syok berat dan tubuhnya ikut drop dan dirawat dirumah sakit yang sama dengan putra tunggalnya itu.
Jongdae pikir, malam itu akan berjalan sama seperti malam-malam sebelumnya di mana dia harus menghadapi rasa sakitnya seorang diri hingga pagi tiba. Tapi siapa sangka, bahwa malam itu Sehun akan datang menjenguknya bersama seseorang yang mukanya babak belur.
“Park Chanyeol?”
Lebih tepatnya, Sehun datang sambil menyeret Chanyeol.
Sambil tersenyum lebar, Sehun berkata seperti ini pada Jongdae di depan ambang pintu ruang inap rumah sakit, “Hyung, aku sudah datang sambil membawanya, sekarang kamu bisa mencubitnya sepuasmu.”
Entah bagaimana, waktu itu, Jongdae tertawa senang mendengar ucapan seenaknya Sehun.
Mereka bertiga akhirnya pergi ke rooftop rumah sakit, Jongdae yang memintanya, meski awalnya Sehun kurang setuju karena di luar sangat dingin yang bisa saja membuat kondisi Jongdae kian memburuk, tapi dengan alasan kalau dia ingin menghirup udara segar untuk berbicara dengan mereka berdua, akhirnya Sehun dan Chanyeol setuju untuk pergi ke luar, namun dengan syarat tidak lebih dari setengah jam dan akan langsung kembali jika Jongdae sudah mulai kedinginan.
Dua cowok posesif yang menyukai putra tunggalnya itu, ibunya Jongdae — yang tak sengaja mengintip mereka bertiga ketika tengah berjalan ke lantai atas bersama adik iparnya — merasa dia harus mendidik kedua laki-laki yang mendekati anak semata wayangnya itu sesegera mungkin setelah dia sembuh nanti atau dia merasa akan menyesal seumur hidup.
“Percuma cinta mati kalau cara mengekspresikannya salah total, dasar anak zaman sekarang.”
“Hah? Kakak ipar sedang membicarakan apa, sih?”
“Huh, kau belum saatnya tahu. Nanti bisa-bisa kau cepat tua seperti aku.”
“Ini soal anakmu, ya?”
“Sudah lah, ayo antar aku kembali ke kamarku. Aku akan membiarkan mereka menyelesaikan masalah mereka sendiri kali ini aja, lagipula mereka sudah dewasa kecuali anakmu.”
“Hahh?”
🥀🥀🥀
Sementara itu, di tempat lain. Chanyeol mengendong Jongdae di atas punggungnya ketika menaiki tangga, sementara Sehun yang jalan duluan di depan mereka yang bertanggungjawab membuka pintu rooftop dan keluar lebih dulu untuk memeriksa sekitar.
Seketika angin malam berembus kencang menerpa wajah mereka. Tentu saja Jongdae juga harus memakai jaket tebal sebagai syarat lain dari kedua cowok itu karena di luar sangat dingin.
Sambil memeluk Chanyeol dari belakang, Jongdae menghirup udara malam banyak-banyak, rasanya dia sudah lama sekali tak merasakan udara sesegar ini. Kapan terakhir kali dia merasakan perasaan seperti ini? Jongdae pun bahkan tak mengingatnya.
“Aku mau turun,” ucap Jongdae ketika Chanyeol tak segera menurunkannya.
“Oh, oke.” Chanyeol yang sebenarnya tak rela melepaskan Jongdae dengan manut segera menurunkan tangannya. “Omong-omong kamu gak berat, kok.”
Dia pikir Jongdae merasa bahwa dirinya berat makanya minta turun, padahal kan digendong itu enak, gak perlu capek-capek jalan kaki, tapi Jongdae orangnya memang suka gak enakan.
Jongdae melirik Chanyeol dengan sebelah matanya. “Aku emang gak gendut.”
Chanyeol coba tersenyum setelah mendengar perkataan ketus Jongdae. “Berat badanmu banyak turun, ya.”
Chanyeol sedikit merutuki spontanitas mulutnya yang malah berkata seperti itu. Soalnya dia pernah dengar dari Xiumin, katanya jangan pernah mengingat-ungkit soal berat badan kepada perempuan, tapi kan Jongdae laki-laki? Terus kata-katanya kan harusnya masuk kepujian? Orang-orang biasanya senang dipuji kalo berat badannya turun? Tapi kan Jongdae lagi sakit, jelas aja lah berat badannya turun.
Dak! Jongdae coba menendang kaki Chanyeol lantaran kesal, tapi kakinya yang belum sembuh lah yang malah merasa kesakitan sampai-sampai dia harus memegangi kaki kanannya akibat rasa nyeri dari luka bakarnya yang belum sembuh total.
Melihat itu, Chanyeol panik, dia coba menolong Jongdae tapi tangannya ditampik. Chanyeol coba meminta bantuan pada Sehun yang berdiri cukup jauh dari mereka di depan pintu rooftop sambil memperhatikan mereka berdua, tapi Sehun malah memalingkan wajahnya seolah berkata: urus saja masalahmu sendiri, Sialan!
Membuat Chanyeol mengacak rambutnya frustasi.
“Jongdae, maaf... kalau kata-kataku ada yang menyinggungmu—”
“Tutup mulutmu, Park,” potong Jongdae, “aku muak mendengar kata maaf darimu. Lagipula kamu pikir siapa yang sudah membuat berat badanku turun sampai sejauh ini?”
Chanyeol menutup mulutnya, iya dia sadar semua ini gara-garanya. Jadi dia kini hanya berdiri diam di samping Jongdae seperti anak penurut. Bahkan ketika tanpa kata Jongdae berjalan mendekati pagar balkon dan bersandar ditepinya sembari melihat ke bawah pada orang-orang yang berlalu-lalang, juga lampu-lampu dari gedung lain dan kendaraan yang terlihat cantik dimalam hari, Chanyeol masih diam merenungi perbuatannya.
Sampai akhirnya Jongdae muak sendiri dan berkata, “Jika setengah jam sudah berlalu dan kamu masih tak membuka mulutmu, aku akan melemparmu dari atas sini.”
Meski tajam dan tak seperti biasanya, tapi Chanyeol cukup suka dengan kepribadian Jongdae yang baru dilihatnya.
Sambil senyum-senyum, Chanyeol memandangi wajah Jongdae dari samping, side profil wajahnya sangat sempurna, seperti dipahat dengan hati-hati namun mudah hancur.
Tapi ada sesuatu yang mengganggu pikiran Chanyeol, sesuatu berwarna keunguan yang sedikit mengintip dari kerah leher Jongdae. Lalu Chanyeol langsung teringat dengan kata-kata Sehun, tentang bagaimana kesulitannya Jongdae selama ini untuk bertahan.
“Mungkin kamu sudah bosan mendengarnya, tapi aku sungguh ingin minta maaf.”
Jongdae masih tak mau menatap Chanyeol.
“Aku tahu aku tak layak mendapat kata maaf darimu, bahkan kamu tahu Jongdae, jika bukan karena Sehun, aku pun malu untuk menunjukkan wajahku di depanmu seperti ini.” Chanyeol menunduk lesu, meski matanya terlihat melihat ke bawah balkon, tapi sebenarnya pandangannya mengabur, melayang jauh ke masa lalu dan melihat semua perbuatan buruknya.
Perlahan-lahan, Jongdae kini mencoba melihat wajah Chanyeol, menatapnya dari samping seperti ini, andai hubungan mereka masih baik-baik saja, pasti Jongdae akan langsung mengambil kamera dan memotretnya sebanyak mungkin.
Ketika melihat lebam-lebam diseluruh wajah Chanyeol, Jongdae menarik naik lengkung dibibirnya. “Sehun, ya?”
Mendengar Jongdae menyebut nama Sehun, Chanyeol segera menatapnya. “Sehun?” ulangnya.
Jongdae menunjuk pipinya sendiri, seakan memberitahu Chanyeol ada apa diwajahnya.
Chanyeol lalu menunjuk pipinya sendiri, lantas rasa nyeri dibekas tinjuan Sehun tadi sore kembali dirasakannya, sakit sekali. Kini Chanyeol tahu maksud Jongdae.
Dia mengangguk, seperti anak kecil yang mengadu. “Dibadan juga ada, kalau digerakin atau disentuh rasanya sakit banget,” dia memberitahu seadanya, tapi cukup membuat Jongdae kembali menarik senyum, Chanyeol lalu melanjutkan, “kayaknya aku gak bakalan mandi selama seminggu, nih.”
“Sama,” jawab Jongdae.
Chanyeol menunjuk pipinya sendiri. “Kayak begini juga?” Sebenarnya Chanyeol sudah tahu, tapi dia ingin mendengar Jongdae lebih terbuka kepadanya, dan betapa senang sekaligus mirisnya Chanyeol ketika Jongdae mengangguk tanpa ragu.
Dari kejauhan, Sehun terus memperhatikan punggung Jongdae dan Chanyeol. Dia sedikit tersenyum sekaligus cemburu ketika melihat mereka berdua ngobrol. Diponsel Sehun sudah menunjukkan kalau waktu yang mereka habiskan sudah lewat setengah jam lebih, tapi pada akhirnya Sehun membiarkan mereka menghabiskan waktu berdua sedikit lebih lama lagi.
“Aku karena Sehun, kalau kamu...?”
Jongdae tak langsung menjawab, ada jeda beberapa detik sebelum akhirnya berkata, “Gara-gara tangan aku sendiri.”
Chanyeol menatap Jongdae cukup lama. “Kenapa?“
Angin kembali bertiup kencang hingga seakan hendak membekukan kulit wajah.
Jongdae membungkukkan badannya dan meletakkan dagunya dipagar balkon, pandangannya menatap lurus ke depan dengan bibir manyun dan kaki kanan menghentak-hentak lantai.
“Kenapa? Kenapa, ya? Aku juga bingung. Pada awalnya aku pikir kamu yang jahat, terus gak lama setelah itu jadi Sehun yang jahat padahal sebelumnya aku anggap dia orang baik, baik banget. Kemudian aku menganggap bahwa orang tuaku sendirilah yang jahat, lalu gak butuh waktu lama sampai aku anggap semua orang jahat sama aku. Tapi tahu gak kenapa, Yeol?”
Chanyeol menggeleng. Tapi matanya tak sekali pun luput dari Jongdae.
“Ternyata orang jahatnya justru aku sendiri.”
Chanyeol tak pernah sekali pun mau mendengarkan permintaan Jongdae untuk berhenti balapan, balapan liar, menurut Jongdae balapan itu cuma buang-buang waktu dan kalau-kalau amit-amit sedang apes, Chanyeol bisa aja kenapa-kenapa dan yang namanya nasib selain Tuhan mana ada yang tahu. Jongdae cuma mau Chanyeol lebih memperhatikan dirinya sendiri dan fokus kuliah.
Tapi menurut Chanyeol sendiri, dia ingin sekali mencari uang lewat hobinya, yakni balapan. Tak ada yang lebih menyenangkan dari bersenang-senang sambil menghasilkan banyak uang, dan karena Chanyeol tak suka belajar di atas meja, karena menurutnya itu membosankan. Tapi pacarnya, Jongdae, malah selalu menentang apa yang menjadi kesenangannya, lama-lama itu membuatnya sangat muak.
Hingga suatu pagi, Jongdae memperlihatkan video Chanyeol yang sedang mabuk berat dimana di dalamnya video tersebut dia berjanji akan berhenti balapan kalau sudah mengalami kecelakaan sendiri. Tapi bagaimana mungkin Chanyeol mau tunduk dengan video yang direkam saat dia sedang mabuk? Jadi Chanyeol hanya menganggap video tersebuta angin lalu yang sama sekali tak penting.
Tapi sekarang, situasinya sudah berbeda. Chanyeol sudah mengalami kecelakaan itu sendiri saat sedang balapan, dan Jongdae sudah tak peduli lagi dengan masalah itu, terlebih keadaan Jongdae saat ini juga terdapat andil besar Chanyeol.
Chanyeol ... dia ingin sekali mengembalikan Jongdae seperti Jongdae yang dia kenal dulu, Kim Jongdae yang ceria dan malu-malu seperti kucing orange.
Karena Jongdae yang sekarang, Chanyeol benar-benar tak menyukainya, itu sama seperti melihat orang yang dia cintai terjatuh berkali-kali dari atas lautan pecahan cermin tanpa dia bisa berbuat apa-apa untuk menolongnya.
“Aku bakal keluar dari EXOplanet.”
🥀🥀🥀
NEW CHAPTER ‼️‼️
Happy independent day 15 - 17 August 🇰🇷🇮🇩
Ningtias 18/08/24
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro