Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapt 13 🥀 If We Love Again

🥀🥀🥀

Oh Sehun PoV

🥀🥀🥀🥀🥀

🥀🥀🥀

🥀

“Jongdae Hyung!”

“Kim Jongdae!”

Kaki kiriku seakan mati rasa ketika aku sadar bahwa kepala yang aku tendang dengan sekuat tenaga itu adalah kepala Jongdae Hyung yang tengah memeluk kepala si brandal Park Chanyeol.

Ketika Chanyeol melepaskan cengkeramannya pada kakiku dan langsung beralih memeluk Jongdae Hyung, aku langsung mengambil alih tubuh Jongdae Hyung yang pingsan darinya dan membaringkannya di atas ranjang rumah sakit.

Darah segar keluar dari kuping kanan Jongdae Hyung ketika aku membenarkan kepalanya dengan perlahan, darah itu menetes dan mengotori seprai putih rumah sakit. Kulihat Chanyeol sudah kembali duduk dikursi rodanya, ia tengah menekan bel rumah sakit yang berada di dekat nakas.

Jantungku berdebar menggila sementara tanganku gemetaran ketakutan kalau-kalau terjadi sesuatu pada Jongdae Hyung, ketika aku berjongkok disamping ranjangnya aku dapat melihat wajah berantakan si berandalan itu yang sedikit lebam akibat ulahku.

“Jika Jongdae kenapa-kenapa, itu semua salahmu.”

Aku menoleh tak terima pada ucapan Chanyeol yang menyalahkanku seakan semua ini hanyalah salahku.

“Jika aku harus dihajar demi membayar kesalahanku yang telah tak sengaja memukul Jongdae Hyung, atau harus mendekam di penjara sekali pun, aku akan menerimanya dengan lapang dada.” Aku tak akan kalah dari laki-laki berandalan ini, sekali pun itu hanya adu mulut. Aku akan memenangkan Jongdae Hyung.

Aku mengerutkan dahi bingung ketika Chanyeol justru tertawa mengejek. “Perbaiki dulu cara bicara sok desawamu itu, Bocah.” Dia mendekati ranjang Jongdae Hyung dan menggenggam jarinya erat. “Apa yang kau rasakan pada Jongdae itu hanyalah cinta monyet.”

“Bukan cinta monyet!” Aku berdiri, dengan mengepalkan kedua tanganku menahan kesal.

Tak berselang lama, dokter dan 2 orang suster datang dan memeriksa keadaan Jongdae Hyung. Chanyeol membawa kursi rodanya menyingkir, dia keluar dari ruangan Jongdae Hyung setelah dokter mengatakan bahwa pasien tak baik-baik saja dan mengalami cidera ringan pada pendengaran bagian dalamnya yang membuat telinganya mungkin akan merasakan dengungan yang menyakitkan.

Aku masih berdiam diri di samping ranjang Jongdae Hyung sambil terus menggenggam jari-jarinya erat, hingga paman dan bibi Kim datang aku menjelaskan apa yang baru saja terjadi.

“Ketika aku datang, aku sudah melihat Jongdae Hyung menangis tertekan, aku pikir Chanyeol memeluknya dengan paksa. Aku ingin melepaskan Jongdae Hyung dari cengkeramannya, tetapi Chanyeol malah menjadikan Jongdae Hyung sebagai tamengnya hingga pukulanku tak sengaja mengenai kepala Jongdae Hyung,” ceritaku pada mereka, yang aku ambil hanya dari sudut pandangku tanpa sedikit pun menceritakan kejadian tersebut dari sudut pandang ketiga belah pihak. Lagi pula itu tak perlu, kesaksianku saja sudah lebih dari cukup.

Ayah Jongdae Hyung tak berkomentar, sedari tadi ia hanya sibuk memandangi wajah anaknya saja tanpa sekali pun melirikku. Sementara bibi Oh, adik ayahku, beliau sedari tadi terus menyendiri, duduh sejauh mungkin dari sang suami.

“Sehun,” panggil paman Kim.

Kepalaku yang semula menunduk langsung mendongak begitu pria paruh baya itu memanggil namaku. “Iya, Paman?”

“Bisakah kau pulang dari rumah sakit malam ini, Sehun?” mintanya yang membuatku bingung, karena sejak Jongdae Hyung masuk rumah sakit, aku sudah selalu menemaninya dan menginap di sini dan mereka tak sekali pun mempermasalahkannya. Jadi, kenapa baru sekarang? “Kau masih sekolah, aku tak ingin membuat orang tuamu memarahi mu karena nilai ujianmu jelek.”

Tutur kata itu terdengar lembut, namun entah mengapa aku justru merasa tersinggung karenanya.

Dengan tenang, aku menggeleng; menolak perintahnya. “Tidak, Paman. Aku sudah dewasa dan aku ingin sekali melindungi Jongdae Hyung,” jawabku yakin, “lagi pula aku ini salah satu murid tercerdas, aku bisa dengan mudah mempelajari pelajaran yang ada. Jadi, Paman Kim tak usah mengkhawatirkan nilaiku.”

Paman Kim membalik tubuhnya menghadap ke arahku, mimik wajahnya terlihat serius. “Bisakah kita bicara di luar sebentar, Sehun?”

Aku mengangguk mengiyakan meski dalam hati terasa begitu ganjal, aura yang Paman Kim keluarkan sangat mengintimidasi, firasatku seakan mengatakan bahwa sebentar lagi aku akan memiliki saat-saat yang sulit.

Kami berdua berakhir di taman rumah sakit, Paman Kim duduk disebelah kiri kursi taman berwarna putih panjang itu ketika aku sendiri memutuskan untuk tetap berdiri menghadap ke arahnya. Malam ini langit agak mendung, bintang-bintang dan rembulan yang biasanya bersinar terang pun sinarnya terhalang awan kelabu. Angin malam sepoi-sepoi menerpa wajahku, aku sedikit memejamkan mata untuk lebih menikmati kesejukannya.

“Jam berapa sekarang?"

Aku refleks membuka ponsel dan memeriksa jam. “00.09 AM KST, Paman,” sebagai calon menantu idaman, aku menjawabnya dengan cepat dan tepat. “Memangnya ada apa? Paman tak akan menyuruhku tidur sekarang, 'kan?”

“Lalu, berapa usiamu sekarang?” tanya Paman Kim lagi tanpa menghiraukan pertanyaanku. Kali ini, aku benar-benar mengerutkan dahi bingung akan pertanyaan yang beliau utarakan.

Dengan ragu-ragu, aku menjawab, “19 tahun. Ulang tahunku setiap tanggal 12 April.”

Wajah Paman Kim menoleh kepadaku. “Aku sudah bertanya sendiri pada Jongdae,” Paman Kim tersenyum lembut padaku ketika mengatakannya.

Aku menahan napas, apa Jongdae Hyung sudah berkata jujur? Lalu, aku harus bagaimana nanti?

Aku mengangguk sebagai jawaban bahwa aku menunggu kata-kata Paman selanjutnya, tetapi yang aku dapatkan justru Paman Kim yang berdiri dan berjalan ke arahku kemudian memelukku erat. Tangan kanannya menepuk-nepuk punggungku seakan aku adalah putra kebanggaannya.

“Aku tahu kau anak baik-baik,” bisik Paman, “kau bukan seperti si berandalan Chanyeol itu, Sehun. Kau adalah keponakan kesayanganku.”

Aku mengeraskan wajahku, sama sekali tak menyukai perkataan pria berkepala 5 ini.

“Jadi?” tanyaku dongkol. “Aku—tindakan apa yang akan Paman ambil untuk Jongdae Hyung dan si Park Chanyeol bodoh itu?” Aku melepaskan tubuh dari pelukannya. “Paman tahu tidak kalau aku, Oh Sehun, laki-laki di depanmu ini ... aku, aku ini benar-benar menyukai ...,” kata-kataku seakan tersangkut di tenggorokan, rasanya seperti menelan kue beras bulat-bulat. “Aku menyukai—bukan! Bukan! Aku. Mencintai Jongdae Hyung!”

Kulihat wajah Paman yang nampak khawatir. “Keponakanku, Oh Sehun.” Paman Kim coba meraih tubuhku kembali ketika aku justru melangkah mundur; menghindarinya. “Dengarkan Pamanmu ini dulu—”

“Karena aku dan dia adalah sepupu?" potongku marah dengan mata memerah. “Atau karena perbedaan usia kami? Tapi pasti bukan karena kita adalah sama-sama lelaki, bukan? Karena kedua kakek buyut Kim adalah sesama pria.”

Aku coba menerka-nerka di mana salahnya aku ketika mencintai sepupuku sendiri.

“Atau, karena aku yang terkadang masih suka bertindak kekanak-kanakan?” Angin malam kian bertiup kencang menerpa wajahku seiring dengan gerimis yang kian lama kian deras. “Apakah Paman tahu bahwa cinta tak mengenal perbedaan apa pun itu—”

“Oh Sehun!”

Secara tak biasa, aku mengepalkan tangan ketika berhadapan dengan Paman Kim. Dan kali ini dia memanggil namaku dengan geraman dan mata sipitnya —yang sama persis seperti milik Jongdae Hyung— yang melotot kesal. Ketika beberapa orang yang juga berada di taman tengah berhamburan meneduh, kami berdua justru saling beradu argumen melalui tatapan.

“Aku tak ingin memperpanjang kebohonganmu tentang siapa yang menghamili anakku karena kau adalah anak dari adik kesayanganku,” geramnya, “aku tahu kau menyayangi Jongdae seperti kau menyayangi nyawamu sendiri dan aku menghargai perasaanmu sebagai sesama lelaki, jika ditanya, siapa yang jauh lebih baik? Kau atau Chanyeol? Maka jawabanku adalah, tidak keduanya.”

Aku mendengarkan ucapannya dengan serius.

“Kalau ditanya lagi, siapa yang paling bajingan? Kau atau Chanyeol? Maka jawabanku adalah....” Paman Kim menjeda ucapannya dan melirikku jenaka. “Kalian berdua itu sama saja.”

Aku mengerutkan dahi tak mengerti. Bagaimana mungkin aku dan Si Berandal Chanyeol itu sama saja? Jelas-jelas, dari segala sisi, aku lebih baik daripada dia!

Dengan tangan yang terlipat dibelakang punggung. Paman Kim tersenyum ke arahku. “Aku tadi baru saja pulang dan memeriksa CCTV di rumah,” ceritanya, “Sehun, bagaimana rasanya mengendap-endap ke rumah orang dan mencuri beberapa celana dalam milik anak pemilik rumah itu?”

Aku melebarkan mataku ketika dengan entengnya Paman Kim mengatakan hal sevulgar itu. Dengan tenang, aku menggeleng meyakinkan. “Aku tak mengerti apa maksudnya?”

“Maksudku adalah, beberapa celana dalam Jongdae yang kau curi itu.” Paman Kim mengeluarkan ponselnya dari saku celana bahannya, entah mencari apa di saja. “Jongdae kadang mengeluh bahwa celananya suka menghilang, dan itu terjadi setiap kali kau baru saja menginap. Karena penasaran, aku diam-diam memasang kamera CCTV di tempat-tempat tersembunyi.”

Entah bagaimana tanganku tiba-tiba saja berkeringat dingin juga gemetaran. Apa yang harus aku katakan pada Jongdae Hyung kalau sampai Paman Kim menceritakan hal ini padanya? Mau ditaruh di mana wajahku!

Paman Kim menyodorkan ponselnya yang tengah menayangkan video rekaman di mana aku tengah membuka laci milik Jongdae Hyung, menciumi celana-celana itu dan menyembunyikannya di dalam baju sebelum akhirnya aku bawa pergi.

“Chanyeol memang berengsek karena dia suka bermain di belakang Jongdae, dan bahkan dengan mudah melukai Jongdae. Tapi kau, Sehun.” Aku menatap Paman begitu namaku dia sebut. “Kau terlalu terobsesi pada Jongdae, bukan tidak mungkin di masa depan jika Jongdae membuat kesalahan yang membuatmu cemburu kau tak akan segan-segan untuk melukainya lebih parah daripada yang Chanyeol perbuat.”

Dengan terbata-bata, aku kembali membela diriku, “Aku akan—aku bisa memperbaiki kelakuan buruk ku itu.” Aku bersimpuh di bawah kakinya, memeluk kaki yang hanya memakai sandal jepit itu sambil menangis takut, takut akan kehilangan orang yang aku sayangi selama ini. “Aku sungguh minta maaf, terkadang aku tak mengerti akan apa yang aku lakukan, tapi Paman. Tolong berikan aku kesempatan sekali saja untuk—”

“Kau harus mengerti, kesempatan kedua tidak datang untuk siapa saja, Sehun.” Aku mendongak, menatapnya bingung. “Tunggu, hingga aku mati, baru kau boleh mendekati Jongdae dan menjadikannya milikmu.” Paman Kim berlalu ke dalam rumah sakit, meninggalkan aku sendiri yang masih berusaha mencerna kata-katanya barusan.

Kemudian, aku mengingat-ingat, kapan Mama terakhir kali meminta bantuanku untuk membeli hadiah ulang tahun untuk kakaknya? Kira-kira berapa lama rata-rata manusia akan hidup di dunia dan meninggal karena faktor usia? 50 tahun? 60 atau 70 tahun? Penyakit? Kecelakaan? Biasanya orang akan cepat mati karena memiliki penyakit-penyakit tertentu yang berbahaya, 'kan?

Aku tersenyum, berdiri dari posisi bersimpuh tadi dengan hati yang ringan. “Jongdae Hyung bilang Paman suka sekali makan jeroan, kalau begitu mulai besok aku akan selalu membelikannya masakan jeroan agar hati Paman selalu gembira.”

Kalau ada yang mengingatkan bahwa Paman Kim tidak boleh makan makanan jeroan karena asam urat yang dideritanya, aku tinggal bilang saja tidak tahu menahu soal itu.

Aku memikirkan untuk menguras semua tabunganku ketika tengah berjalan menyusul Paman, tetapi mungkin aku akan sedikit tidur dan kembali memikirkannya besok, lalu berterima kasih karena beliau yang sudah memberikanku solusi atas masalahku.

Setidaknya aku masih memiliki banyak waktu, dan selama itu pula aku akan membuat diriku berguna, aku akan menjadi orang yang sukses yang dapat memberikan orang yang aku cintai apa pun yang dia inginkan, termasuk kemewahan dunia. Dan aku akan menyingkirkan siapa pun yang menjadi penghalang impianku.

Tepat pada bulan Juli, makhluk sialan itu akhirnya mereka pertahankan, usianya sekarang sudah 5 bulan dan selama itu pula Jongdae Hyung harus terus mendapatkan perawatan intensif mengingat kandungannya yang sangat lemah.

Ketika akhirnya aku tahu bahwa Si Berandal Chanyeol itu menuruti permintaan Jongdae Hyung agar mempertahankan anak mereka, tidak ada apa pun yang bisa aku lakukan, mereka kini seakan mengganggap ku orang asing.

Tidak ada yang mau mendengarkan pendapatku lagi, Jongdae Hyung dan Paman Kim mengambil keputusan mereka sendiri padahal mereka sudah tahu apa yang akan terjadi di masa depan jika makhluk itu terus hidup.

Tetapi siapa peduli, aku hanya bisa tersenyum miris melihat semua itu dan terus menunggu, menunggu waktu yang tepat untuk ... bukan untuk melihat mereka tertawa bahagia seperti saat ini!

Chanyeol memanfaatkan situasi yang ada dengan sangat baik, kakinya yang patah sudah sembuh, dia kini sudah bisa berjalan lagi. Entah apa yang sebenarnya tengah dia rencanakan, prilakunya seakan terus berubah-ubah, kadang dia begitu munafik dihadapan Jongdae Hyung dan terkadang pula dia menunjukkan sifat bengisnya yang sesungguhnya.

Memendam semua kecurigaanku seorang diri, aku dan dirinya secara terbuka melakukan perang dengan cara berlomba-lomba mendapatkan perhatian dari Jongdae Hyung dan orang tuanya. Tetapi sepertinya aku harus bersyukur karena sepertinya Bibi juga tak begitu menyukai Chanyeol, setidaknya masih ada 1 orang yang berada dipihakku.

“Hari ini kau kalah lagi, Bocah.”

🥀🥀🥀

A/N: Sita-citaku buat jadiin Sehun pemeran antagonis akhirnya kesampaian! 🤣✌️

Ningtias 03/12/2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro