Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapt 10 🥀 Sorry Not Sorry

Udara sejuk rumah sakit dipagi hari bercampur dengan bau obat-obatan yang para pasiennya keluarkan. Seharian penuh aku tinggal di kamar rumah sakit dan rasanya aku akan gila detik itu juga.

Memilih berbaur dengan orang-orang penyakitan, aku menyuruh seorang suster membantuku menaiki kursi roda dan memaksanya untuk membiarkanku berkeliling seorang diri atau aku akan menggodanya terus-terusan. Oke, dalam beberapa kesempatan para suster itu mungkin kegirangan aku godai, itu hal yang lumrah karena aku tampan, kecuali saat aku sudah mulai menepuk bokong mereka.

“Aku doakan mereka tidak mendapatkan kesempatan digodai pria tampan sepertiku lagi.” Aku menggerutu sambil memegangi pipi kananku yang memerah setelah suster-suster itu tampar penuh kasih sayang.

Aku mengedarkan pandangan ke seluruh taman rumah sakit, memeriksa kukuku yang sudah sangat panjang dengan embusan angin sepoi yang membuai setiap helai rambutku.

“Apa kabar, Jongdae?”

Aku mengedarkan pandangan, memandang malas orang-orang yang lalu-lalang. Berharap diantara puluhan orang itu ada Jongdae yang tengah berjalan menghampiriku dengan senyum lebarnya untuk merawatku. Tetapi, yang aku lihat justru Kyungsoo yang tengah berjalan ke arahku dengan pakaian rumah sakitnya.

“Sekarang kita sama,” katanya dengan nada mengejek. Kyungsoo berdiri di sampingku. “Bagaimana rasanya memiliki kaki patah?”

Aku memukul lengan Kyungsoo kuat. “Mau merasakannya sendiri?”

“Lihat ini? Ini, ini, dan ini.” Kyungsoo menunjuk beberapa lebam diwajah dan tangannya. “Kalau tambah satu lebam lagi saja aku bisa dicoret dari daftar mahasiswa tertampan. Kau enak waktu itu langsung kabur, lah aku, dikeroyok.”

“Gak usah lebay.”

Kami hening dengan pemikiran masing-masing selama beberapa saat hingga Kyungsoo menepuk bahuku pelan. “Yeol, kau tahu kalau Jongdae ada di rumah sakit ini tidak?”

Aku langsung menegakkan bahuku dan menghadap ke arahnya semangat. “Darimana kau tahu?”

“Kemarin aku tidak sengaja berpapasan dengannya di lorong rumah sakit ini,” jelas Kyungsoo sambil menerawang, “aku tidak terlalu tahu apa yang terjadi dengannya, fisiknya terlihat baik-baik saja. Jangan marah ya, tapi sepertinya ku pikir ini penyakit dalam, wajah Jongdae juga terlihat pucat.”

Aku mendengarkan dengan seksama setiap kalimat yang Kyungsoo ucapkan.

“Tapi anehnya, ayah Jongdae justru terlihat marah, waktu itu juga ada Sehun. Kau tahu kan, sepupu Jongdae yang terlihat seperti bule itu.”

Aku mencengkeram ban kursi roda dengan marah, mataku terpejam erat, menyingkirkan kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi padanya.

“Kenapa kau memberitahuku?” Aku juga tidak tahu kenapa aku bertanya seperti ini.

Kyungsoo mengernyit heran. “Kau kan kekasihnya? Eh, apa sudah putus, ya? Yah, gak heran sih, kau kan brengsek.”

Rasanya aku ingin menyumpal mulut Kyungsoo dengan kaos kaki yang sudah setahun belum dicuci! Putus daripada! Bahkan aku masih—sebentar, tapi Sehun sendiri mengatakan bahwa mereka akan segera menikah. Aku bahkan juga tak berhasil menguping pembicaraan mereka waktu itu karena aku terlalu pengecut.

“Sebentar lagi Jongdae akan men—Jongdae?” Aku mengangkat kepalaku ketika tak sengaja melihat sosok yang sangat mirip Jongdae tengah berjalan beriringan dengan seseorang yang terlihat seperti Sehun.

Oh Sehun!

Kyungsoo berjalan lebih dekat dengan mereka, tak lama kemudian kembali menghampiriku. “Iya, itu Jongdae bersama Sehun,” infonya heboh.

“Antar aku ke sana.”

“Aku? Tidak, aku tidak tertarik mengurusi urusan orang lain—”

“Doh Kyungsoo.” Aku menggeram dengan suara dalam andalanku, memberikan tatapan tak suka seperti dulu ketika pertama kali Kyungsoo dikenalkan oleh Suho di geng.

Kyungsoo menghembuskan napas pendeknya, berjalan ke arah belakang kursi rodaku dan mendorongnya dengan malas-malasan; mengalah.

“Ck, kau ini siput atau kura-kura, sih?” jengkelku. Dengan tak sabaran, aku memutar ban kursi roda itu sendiri.

Akhirnya Kyungsoo mau mendorongku, kami mengikuti Jongdae dan Sehun yang masuk ke dalam sebuah kamar pasien. Aku pikir mereka hanya berdua—hampir saja aku akan melompat dari kursi rodaku dan membunuh Sehun— hingga ketika aku mengintip dari celah pintu dan terlihat siluet punggung Bibi Oh, aku mengembuskan napas lega dan kembali berpikir positif.

“Kau benar tidak ingin mengugurkan janin itu saja?” Ibu Jongdae bertanya lembut. “Akibat obat penggugur yang gagal membunuhnya itu, dia kemungkinan besar tidak akan terlahir sempurna.”

Apa?

“Jongdae hamil?”

“Ssstt, diam, Berengsek!” Aku memperingati Kyungsoo agar menutup mulutnya.

Dadaku bergemuruh dengan sekujur tubuh yang tiba-tiba panas-dingin, tengkukku menjalarkan hawa panas yang sampai ke mata, aku menahan napas dan menunggu percakapan mereka selanjutnya.

Namun, diantara mereka bertiga tidak ada satupun yang membuka mulut, semuanya konsisten dengan keterdiaman masing-masing.

Jongdae menunduk dalam, tangannya ia bawa untuk mengelus perutnya yang masih datar yang berbalutkan sweater kuning. Dengan disaksikan ibunya dan Sehun, Jongdae mulai terisak pelan.

“Aku akan merawatnya bagaimana pun keadaannya kelak.”

Hatiku tercekik, hanya itu yang aku dengar dari suara lemah Jongdae.

“Jongdae Hyung.” Sehun berjongkok dibawah kaki Jongdae yang tengah duduk diatas kasur rumah sakit. “Aku pikir ini sedikit salah, Hyung tahu hidup dengan kekurangan fisik itu tidak mudah, aku pernah memiliki seorang teman difabel dan dia sangat sering dibully, kehidupannya berjalan dengan sulit hingga akhirnya dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.” Sehun menatap manik mata Jongdae dalam. “Jika disuruh memilih, dia mungkin tidak ingin dilahirkan dengan keadaan seperti itu—”

“Kenapa kamu jadi ikut memojokkan aku, Sehun?” Jongdae mengusap ingusnya dengan punggung tangan, ia balas menatap Sehun kesal. “Dan darimana kamu tahu kalau dia tidak ingin dilahirkan? Katanya kamu ingin melindungiku?”

“Jongdae Sayang.” Bibi Oh—ibu Jongdae—mengelus pundak Jongdae lembut. “Dia kemungkinan bukan hanya akan terlahir cacat, tapi juga membahayakan keselamatan nyawamu, kau bisa saja meninggalkan ketika kelahirannya nanti.”

“Aku tidak masalah kalau harus mati demi melahirkannya.”

Kim. Jong. Dae!

“Kim Jongdae cukup!” Bentakan itu membuat Jongdae menatap ibunya takut-takut. “Aku tidak melahirkan seorang anak yang hanya untuk mati demi melahirkan anak lainnya.”

Aku cepat-cepat berbisik pada Kyungsoo ketika aku melihat Bibi Oh tengah berjalan ke arah pintu dengan wajah masam. “Kyung, ayo cepat pergi dari sini.”

“Ewh, aku bukan pembantumu—”

“Sssttt, sebentar!” cegahku ketika ternyata Bibi Oh berbalik menghampiri Jongdae lagi.

“Ah, dan satu lagi Jongdae, melahirkan itu tidak semudah buang air besar atau ketika kalian sedang membuatnya!”

Aku kembali menepuk-nepuk lengan Kyungsoo gugup. “Cepat-cepat pergi dari sini, Kyung!”

Kyungsoo mengembuskan napas lelahnya, lalu bergegas mendorong kursi rodaku pergi dari depan pintu kamar Jongdae. Kyungsoo mengambil arah berbeda dengan arah yang ibu Jongdae ambil.

Sesaat, isi percakapan mereka kembali terngiang di kepalaku seperti kaset bajakan.

“Akibat obat penggugur yang gagal membunuhnya itu, dia kemungkinan besar tidak akan terlahir sempurna.”

Aku melirik sekilas bangunan serambi rumah sakit yang kami lewati, lalu menunduk lesu dengan berbagai perasaan aneh yang hinggap di hatiku, rasanya benar-benar tidak nyaman dan aku ingin menyingkirkan saja jika bisa.

Makhluk itu masih hidup, padahal aku memberi dosis yang sangat tinggi untuk Jongdae agar makhluk itu mati. Dan kabar buruk lainnya adalah: dia kemungkinan akan terlahir cacat bahkan membahayakan nyawa Jongdae? Apa yang sebenarnya sudah ku perbuat!

“Di mana kamarmu?”

Sepasang suami-istri melintas di hadapanku dengan sebuah buntelan panjang yang mereka timang-timang, senyum merekah terpancar jelas dalam wajah mereka. Aku melirik sekilas untuk melihat apa yang tengah mereka bawa, lalu aku menghela napas kecewa ketika tahu bahwa buntelan itu ternyata adalah sebuah bayi.

“Aww! Sakit sialan!” Aku mengumpati Kyungsoo yang seenaknya menjitak kepalaku.

“Sejak tadi aku bertanya berulang kali di mana kamarmu, Bodoh! Masih untung kau tak ku buang ke selokan.” Kyungsoo memainkan kursi rodaku dengan cara mendorongnya kuat lalu tiba-tiba memberhentikannya, secara berulang-ulang hingga membuat tubuhku sakit akibat terhentak-hentak.

“Aku tidak mendengar suaramu, Bodoh!” balasku tak kalah sengit.

“Aish, cepat. Di mana kamarmu?” tanya Kyungsoo tak sabaran.

“Aku tak tahu.”

Aku yakin saat ini Kyungsoo tengah memelototi ku dengan mata bulatnya itu, itu terbukti dengan perubahan cuaca disekitar rumah sakit yang tadinya cerah tiba-tiba berubah mendung.

Tanpa mengatakan apa pun, Kyungsoo kembali mendorongku.

“Kita mau ke mana?”

“Kembali ke tempat di mana pertama kali aku menemukanmu!”

Aku tak lagi menanggapinya, saat ini kepalaku tengah pusing, bukan waktu yang tepat untuk mencari gara-gara.

Aku mencintai Jongdae seperti aku mencintai sirkuit, aku memperlakukannya sama seperti aku memperlakukan makanan kesukaanku atau baju topiku.

Aku tidak ingin kehilangan Jongdae.

Batinku menjerit tertahan, sadar aku masih di tempat umum dengan Kyungsoo yang berada di belakangku. Jika Jongdae melahirkan makhluk itu dan ia tidak selamat ....

“Kyung, menurutmu bagaimana ciri-ciri seorang pembunuh i—”

“Chanyeol.”

“Ah, Paman Kim.” Aku memaksakan senyum begitu ayah Jongdae tiba-tiba saja beberapa langkah ada di depanku dan tengah berjalan ke arahku.

“Ada apa dengan kakimu?”

Aku mengernyit heran, biasanya orang tua Jongdae tidak seramah ini denganku. Apa dunia sudah mau kiamat? Padahal aku masih memiliki segunung dosa yang entah dapat ku tebus atau tidak.

“Tadi malam aku tidak sengaja jatuh dari motor,” jawabku, “aku hanya perlu sedikit beristirahat untuk bisa berjalan lagi. Terima kasih telah mengkhawatirkanku.”

Paman Kim melirik Kyungsoo sekilas. “Semoga cepat sembuh,” doanya. Aku pikir dia akan langsung pergi hingga kata-kata itu terucap dari bibir tipisnya, “Apa kita bisa bicara berdua secara pribadi?”

Aku tidak ingin menduga-duga apa yang ayah Jongdae ingin bicarakan padaku, yang aku lakukan saat itu hanyalah mengangguk mengiyakan. Lalu setelahnya, kursi rodaku sudah berpindah tangan ke ayah Jongdae dan Kyungsoo berpamitan begitu saja.

Hujan lebat mengguyur kota ketika Paman Kim membawaku ke kantin rumah sakit, dia duduk di depanku dengan tangan yang saling bertautan diatas meja. Beberapa saat hingga pesanan kami datang beliau tidak mengatakan apa yang menjadi penyebab membawaku ke sini.

“Ehem.” Aku berdeham, berharap dengan begitu dapat menyadarkannya untuk segera berbicara.

Sorot tajam itu menatap manik mataku lekat. “Apa kau sangat mencintai Jongdae, Chanyeol?”

Aku tidak langsung menanggapinya. “Tumben Anda menanyakan hal sepribadi ini dengan saya?” tajamku, “bukankah Anda biasanya membenci saya?”

Dia menghela napas. “Ahaha, benar. Biasanya aku selalu mencurigai mu setiap kali kau menjemput Jongdae.”

Paman Kim mencondongkan tubuhnya padaku, aku menatap wajahnya yang sangat mirip dengan wajah Jongdae itu.

“Jongdae telah mengkhianatimu,” ujarnya merasa bersalah. “Dengar, aku memang tidak begitu menyukaimu, tapi secara pribadi sebagai seorang ayah untuk Jongdae, aku ingin meminta maaf dengan tulus atas nama putra tunggalku.”

Aku mengernyit bingung. “Maksud Anda?”

Dia menghela napas berat. “Jongdae selingkuh dengan Sehun dan saat ini dia tengah mengandung.”

Detik di mana Paman Kim menyelesaikan ucapannya, rasa-rasanya aku ingin menepuk jidatku sambil berteriak, “Jongdae tidak selingkuh!”

“A-apa?”

Lalu detik itu juga aku sadar bahwa ucapanku itu benar-benar terjadi di dunia nyata, aku tidak sedang membayangkannya seperti apa yang aku pikirkan.

“Apa maksudmu, Chanyeol?” Paman Kim menggoyang-goyangkan bahuku. “Kau tahu sesuatu?”

20 tahun lalu ketika aku masih duduk di taman kanak-kanak, seorang guru mengatakan secara khusus bagi anak laki-laki tentang sebuah tanggung jawab dan kejujuran sebagai tonggak penting kedewasaan bagi seorang laki-laki sejati.

Aku mencintai Jongdae, meski aku juga sadar akulah yang merusak masa depan Jongdae. Aku menginginkannya meraih apa yang dia cita-citakan, namun disaat yang bersamaan aku juga membuat dinding yang dapat menghancurkan cita-cita tersebut.

Aku mencintai Jongdae seberapa sering pun Jongdae bertanya kapan aku akan berhenti balapan.


🥀🥀🥀

A/N: Happy birthday to our maknae EXOplanet, piyak piyak piyak piyak. 🐣🐣🐥🐥🐤🐤Oh Sehunie the best maknae, our boy, our rapper and main dancer, our model, BA, aktor, dan bayi besarnya EXO-L.🤗

Hehehe, 3 in 1, irit gambar euyy biar sinyal nggak ngajak ribut. Yang punya choeaedol jangan lupa drop heart ke Sehun Community.

Ningtias 12/04/21

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro