Soporifik
Tapi pagi aku kebangun dan nggak bisa tidur. Jam 2 pagi, baru tidur jam 11. Ini hasil dari apa yang aku lakuin karena nggak bisa tidur, sebelum akhirnya berangkat pagi buat obser. Kalau nggak jelas, ya memang yang buatnya begitu. :)
-
(n) obat tidur
Abrisam Eka Nandana
*bayangin aja rambutnya item, okesip. Bye.*
Brigita Aqila
-
Ada banyak hal yang bisa memicu gangguan tidur. Salah satunya perpisahan. Malam ini, Gita nampaknya diminta untuk menemani bulan yang bersinar sendirian karena tak satupun bintang terlihat di langit. Dengan tangan yang berkutat di ponsel, Gita duduk santai di balkon apartemennya.
Terus aja kasih makan dopamin ini, Git. Terus. Dia membatin namun masih memandangi ponselnya.
"Begadang, Git?"
Dari balkon apartemen sebelah, suara itu terdengar, yang kemudian disusul dengan petikan gitar. Gita menoleh, mendapati seorang pria di sana, dengan setelan rapi namun cukup berantakan sebagai pertanda "baru pulang kerja". Rambut hitam itu kelihatan acak-acakan, dan dasi longgar yang terikat di kerah itu memperkuat aura berantakan dari sang pria.
"Ngapain malam-malam begini main gitar, Bri?"
Brisam terkekeh, cukup keras untuk didengar Gita dari tempatnya. "Daripada ngerokok, kan?"
"Lah, biasanya juga gitu kan?" tanya Gita lagi. Sesaat, dia menunggu jawaban. Tapi karena memikirkan sesuatu, kembali dia menyeletuk, "Wait, do you stop smoking or something?"
Brisam menganggukkan kepala tanpa menoleh ke arah Gita selagi tangan memetik senar-senar gitar. "Kind of," katanya. "Mau jadi orang sehat."
"Is that one of your sarcasm?" Gita cukup terkejut dengan ucapan Brisam. Karena sebagai tetangga, sekaligus teman kuliah dari beberapa tahun lalu, Gita tahu semaniak apa Brisam dengan rokok-keduanya merupakan Bonnie dan Clyde, partner in crime secara harfiah.
Tapi sekarang Brisam semudah itu bilang dia berhenti? Entah ini sebuah keajaiban yang harus disyukuri atau dipertanyakan.
"Bagus deh," balas Gita, ikut terkekeh. Kali ini dia mengunci layar ponsel dan meletakkannya di lantai. "Biar gue nggak pusing lagi sama asap rokok lo itu."
"Lo nggak mau nanya gitu kenapa gue berhenti?" Kali ini giliran Brisam yang balik bertanya.
Sesaat Gita mengernyitkan kening, cukup bingung dengan ucapan Brisam kali ini. "Agak penasaran sih, tapi nggak penting amat." Gita mengangkat pundak acuh tak acuh. Dengan geraman Brisam yang dibuat-buat, Gita akhirnya mencebik. "Kalau mau cerita ya udah sih, cerita aja."
"Lo masih galau, Git?" Pertanyaan itu begitu acak, diajukan secara tiba-tiba, tapi memberi kesan yang sama dengan sentilan yang menusuk. Gita baru mau membalas, tapi Brisam lebih dulu melanjutkan, "Gue juga, Git. Rasanya kacau."
Mata Gita mengerjap, berusaha mencerna apa yang baru dia dengar. Agak sulit untuk percaya kalau Brisam baru saja... bagaimana cara bilangnya, curhat? Karena sekalipun keduanya sudah kenal cukup lama, Gita tidak merasa ada di dalam jarak yang cocok untuk jadi tempat Brisam menuangkan perasaan dan pengalamannya.
Wajar memang jika Brisam tahu Gita sedang dalam fase "galau", karena sekalipun Gita tidak bercerita, tentu Brisam tahu teman sekantornya yang akan menikah. Dan itu adalah pacar Gita.
Hm, oke. Mantan pacar.
"Ini lo mainin gitar karena galau, Bri?"
"Mencoba mengeksplorasi bakat yang terpendam lama dalam diri ini."
"Dangdut banget sih."
Brisam tertawa-sebenarnya terlalu sebentar untuk dikatakan sebagai tawa. Gitar itu Brisam letakkan di samping, tubuh gitar dijadikan tumpuan bagi lengan kanannya. Meski tidak kedengaran, Gita tahu Brisam tengah menghela napas, kelihatan cukup frustrasi sekaligus memancing rasa penasaran Gita.
"Lo mau cerita ke gue?" tanya Gita akhirnya. Keduanya saling bertatapan lewat tralis dengan cela yang cukup besar sebagai pembatas balkon, hingga akhirnya Brisam mengangguk.
"Patah hati itu nggak enak banget ya ternyata," Brisam memulai, "gue masih bingung mau bereaksi kayak gimana setelah putus. Mana satu kantor lagi, kan?"
Gita mencoba mencerna lebih dulu, mengambil hipotesa kemudian memastikan dengan balik bertanya, "Pacar lo research engineer juga?"
"Nggak, dia bagian komunikasi, yang ngurusin proyek gue sekarang, makanya satu kantor," jelas Brisam. "Yah, gue sih awalnya ngerasa enak-enak aja, apalagi akhirnya bisa lebih sering ketemu karena sebelumnya gue di luar kota terus dan dia stay di Jakarta. Tapi makin dikasih kesempatan buat saling ketemu gini, yang ada semua malah rusak."
"Jadi kalian diam-diaman gitu di kantor?"
"I tried not to. Tapi susah, Git. Jadi profesional itu susah, dan itu yang bikin gue stres." Gita masih menyimak, kali ini memeluk lutut sementara matanya menangkap Brisam yang menyugar rambutnya, tapi yang ada malah makin membuat rambut hitam legam itu berantakan. "Gue malah dapat kabar dia mau nikah sama orang lain karena orang tuanya beberapa minggu lalu."
"That's kinda dramatic, but... can relate," ujar Gita. Yah, paling tidak dia tahu rasanya ditinggalkan pasangan dengan tidak tanggung-tanggung, ditinggal nikah. Gita memejamkan mata, lengan semakin erat memeluk kedua lututnya, dagu bersandar pada dengkul. "Rasanya sakit, tapi gue nggak bisa apa-apa karena mau gue menahan dia pun, hubungan gue bukan apa-apa dibanding komitmen yang mau dia ambil dengan orang lain.
"Komitmen tingkat tinggi itu memang menyatukan, tapi merusak orang lain juga," kata Brisam. Kata-katanya barusan terdengar seperti gumaman.
Sesaat Gita memejamkan mata, menikmati semilir angin yang berhembus diikuti suara keramaian jalanan ibukota di bawah. "Tapi komitmen tingkat tinggi, kayak pernikahan, bukan sesuatu yang gampang diambil, kan?"
Brisam mengangguk. "Dan itu bagian paling menyakitkannya, kan? Mereka serius untuk mengambil langkah dengan orang lain, bukan dengan gue-dengan kita."
"Fuck it."
Brisam terkekeh. "Bisa ngomong kasar juga ya lo, Git?" ledeknya kemudian tersenyum kecil. "But, yeah. Fuck it. Fuck them."
Karena kata-kata kasar itu, Gita jadi ikut tertawa. Dia menolehkan kepalnya, kali ini pipi kanan yang bersandar pada dengkulnya. "Lucunya kita masih bisa ngata-ngatain dan ketawa kayak gini."
"Yang galau juga boleh bahagia," komentar Brisam dengan santai. Pria itu merogoh saku, mengeluarkan ponselnya. Tidak ada percakapan di antara mereka beberapa saat, hanya Gita yang mencoba melihat apa yang Brisam tunjukan.
Akrivitas Gita di Instagram.
"Sengaja."
"Hah?"
"Gue mungkin nge-stalk, tapi gue pengen Alex tahu. Persetan apa kata orang. Kalau dia masih punya hati dan rasa bersalah, harusnya dia tertampar.lo?"
"Lo ngelakuin ini buat apa? Biar dia balik ke lo?"
"Dan kemudian gue dicap jadi perusak hubungan orang, padahal sebelumnya hubungan gue yang rusak?" tanya Gita retorik. "Gue juga nggak tahu, Bri. Gue pengen dia balik, tapi gue masih punya moral untuk nggak merusak hubungan orang. Tindakan gue itu sebenarnya lebih ke pelampiasan. Gue butuh Alex merasa bersalah, and at least it can covers my ego," tutur Gita.
Dia menghela napas sesaat sebelum mengerang. "Nggak usah dibilang, gue nggak butuh diteriakin orang egois, because I know I am. Gue hanya nggak mau terluka sendirian. Gue memang jahat."
"Semua orang punya sisi jahatnya masing-masing kok. Meskipun salah, gue cukup mengerti tindakan lo."
Gita terdiam. Dia pikir Brisam akan menceramahinya atau melakukan sesuatu untuk meneriakkan tindakan jahat sekaligus bodoh dari Gita. Selama beberapa tahun saling mengenal, bahkan sampai tinggal di apartemen yang bersebelahan, Gita pikir begitulah sifat Brisam, dinilai dari kacamatanya sebagai orang luar; baik, pembela kebenaran yang sedikit gila, dan tukang ceramah. Tapi nyatanya itu bukanlah Brisam yang jadi lawan bicara Gita saat ini.
"
To be honest, ego gue juga terluka. Gue nggak tahu harus mempertanyakan apa artinya 7 bulan gue sama dia, atau bersyukur karena gue bisa lebih berantakan lagi kalau harus dibeginikan setelah menjalani hubungan yang lebih lama," ujar Brisam sembari menghirup udara banyak-banyak. "Waktu orang-orang nanya apakah gue baik-baik saja, gue cuman bisa mengangguk, karena itu jawaban yang orang harapkan, yang paling baik untuk membuat gue nggak malu-malu amat."
Gita memandangi Brisam untuk beberapa saat, matanya menyipit dengan alis yang nyaris bertaut. "Lo pacaran buat ego atau karena perasaan?"
"Apa masuk di akal lo kalau gue bilang dua-duanya?" Brisam balik bertanya. "Yah, buat gue, nggak ada hubungan yang nggak dimulai tanpa ego. Rasa suka mendorong untuk memiliki, dan ego juga berperan untuk membuat komitmen yang diambil untuk tetap bertahan, kan?"
Penuturan Brisam justru membuat Gita berpikr. Wah, dia tidak pernah memikirkan hal itu. Sama sekali tidak pernah. Tapi kalau semakin dicerna, Gita merasa pendapat Brisam barusan memang logis. Seburuk-buruknya ego, hal itu juga yang membuat seseorang tahu diri.
Gita mencoba meraup udara sebanyak yang bisa ditampung alat pernapasannya, membiarkan diri terlena sesaat. Dilepaskan pelukan pada lututnya, punggung berganti bersandar pada dinding. "Kalau dipikir-pikir, cinta yang tulus itu memang nggak ada ya?"
"Kalau tulus yang ada sih penyanyi, Git," celetuk Brisam asal, membuat Gita terkekeh.
"In a weird way, penjelasan lo bikin gue bisa sedikit memaklumi hal kayak gini." Gita mengulum senyum. "Ego dan perasaan gue terlalu bagus untuk Alex."
"Dan gue harap gue juga begitu."
"Oh, iya dong, Bri. Memang begitu. Kesannya dia nolak Starbucks buat dapatin Chatime."
"Harus banget nih perumpaannya bawa-bawa merek?" tanya Brisam, kepalanya menggeleng.
Gita hanya bisa mengendikkan bahu. "Cuman itu yang kepikiran."
"Ah, sial. Gerimis," Brisam merutuk selagi kepala menengadah ke atas. Sekalipun berada di balkon, rintik-rintik air masih bisa mengenainya. "Disuruh tidur apa ini ya kita?"
Gita ikut menengadahkan kepalanya, tangan terulur untuk menangkap beberapa rintik hujan di telapak tangan. "Hujan-hujan gini enaknya tidur sih."
"Seharusnya lo tidur dari dari, Git."
"Talk to yourself, ya, Pak Nandana."
"Wah, ada apa ini nyebut-nyebut nama belakang, Bu..." Brisam diam sesaat, keningnya mengerut karena berpikir. "Bentar, gue lupa nama belakang lo."
"Dih, tetangga sendiri tapi nggak tahu nama lengkapnya?" Gita mendengus.
"Lo pikir gue petugas densus penghuni apartemen yang punya biodata lo, hah?" Brisam memutar mata. "Nggak penting juga."
"Sialan." Rutukan Gita sukses memancing tawa dari Brisam.
"Thanks, Git," celetuk Brisam, tawanya mereda. "Gue pikir gue nggak bisa tidur, sampai tadi ke apotek minta obat tidur."
"You did that?" tanya Gita tak percaya, dan Brisam mengangguk.
"Pikiran gue nggak tenang kalau mikirin beginian," terang Brisam, "tapi rasanya lebih baik karena bisa ngobrol sama lo. Mungkin gue harusnya nggak beli obat tidur, tapi beli keripik terus mampir ke apartemen lo sambil curhat."
"Thanks juga, Bri. Kayaknya malam ini gue juga bisa tidur," kata Gita sembari berdiri, mengambil ponsel yang sebelumnya dia letakkan di lantai. "It feels good to know kalau bukan hanya gue yang berantakan karena cinta. Ditunggu traktiran keripiknya."
"And how should I take that?" Kekehan Brisam terdengar. "Apa gue harus bangga karena baru saja mengakui jadi si hopeless romantic?"
"It's a compliment. Itu ucapan terima kasih gue."
"Lo benar sih. Kemalangan lo bisa bikin gue tidur lebih nyenyak sekarang." Brisam terkekeh kemudian ikut berdiri, beranjak dari tempat bersemayamnya tadi. "Nite, Git."
"Nite."
Memang, patah hati punya seribu cara untuk merusak seseorang. Tapi hati pun tahu, dua orang yang sama-sama terluka pun bisa saling membantu, dan satu sesi curhat di malam hari sudah cukup untuk mengantarkan keduanya terlelap lebih baik.
Dan hati pun punya seribu cara untuk menyatukan siapa saja, termasuk Abrisam dan Brigita, dua orang yang berusaha untuk membangun hatinya kembali.
[END]
Cliffhanger atau apapun itu, serah deh. Ini sebenarnya salah satu obat tidur aku karena aku kebangun jam 2 pagi hanya untuk minum, terus nggak bisa tidur lagi. Aku beralih buat baca buku ilmu kesehatan anak punya emak, nemuin bagian gangguan tidur. Bukannya tidur aku malah ngetik cerita. Nggak tahu harus bangga atau nggak.
Sebenarnya dari tiap cerpen aku coba selipin beberapa hal, kayak percakapan Brisam sama Gita, soal orang yang patah hati gitu lah wkwk. Dari TED Talk yang aku tonton, patah hati itu adiktif sifatnya, apalagi kalau kita terus ngikutin. Dan, yah, aku salah satu orang kayak Brisam, nggak percaya sama cinta tulus. Dih, tulus tuh bukannya jenis umbi-umbian yaa (tales, anying)
Kayaknya lagi enak ngetik soal cerpen gini sih, cuman sengaja buat di satu work karena di sisi lain aku ngerasa pengen manjangin ceritanya, tapi nggak bisa janji karena hutang banyak sekalipun ide numpuk di kepala.
So far, apa ada yang kalian dapatin dari sini? :)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro