Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Lost in Last Time

Inspired by Hedi Yunus's Song - Sebatas mimpi.
* Song Fiction ini udah beberapa kali kupakai untuk keperluan event grup kepenulisan :v

Entah kenapa, pengen up aja hehe.

Maafkan kalau jelek, karena pas nulis buru-buru dikejar deadline :v

❣❣❣

Kata siapa menunggu itu buahnya manis? Tidak selalu. Arsena buktinya.

❣❣❣

Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada sudah lelah menunggu lalu pada akhirnya semua berakhir sia-sia. Arsena Prayoga meratapi setiap lekuk wajah perempuan di hadapannya itu. Perempuan yang menatapnya dengan pandangan sendu. Serta secarik kertas undangan pernikahan yang digenggam erat oleh Arsena. Bertuliskan nama seseorang yang pernah mengikat janji bersamanya. Bertukar janji untuk selalu bersama sehidup semati.

Tetapi seseorang itu telah mengingkari segalanya. Janji yang telah mereka ikat sekian lama, dengan cepat diubah oleh orang itu. Arsena tahu semua itu terjadi bukan seratus persen kesalahan orang itu. Arsena pun ikut andil dalam perubahan rencana yang terjadi.

Namun Sheira Utami gadis berparas manis dengan rambut panjang ikal, seharusnya tidak memilih meninggalkan Arsena dan mengambil kesimpulan sendiri. Sungguh, Arsena tidak mengerti. Segala usahanya untuk membahagiakan Sheira seakan sia-sia. Hampir sepuluh tahun berpacaran tetapi dalam sekejap hancur hanya karena Sheira tidak dapat memahami Arsena.

Perih. Begitulah yang saat ini dirasakan Arsena. Rasanya seperti ada sebilah pisau yang terus mengiris hatinya tanpa henti. Menyakitkan memang, saat kita tahu bahwa selama ini kita hanya menjaga jodoh orang lain.

Memang Arsena tidak sebaik laki-laki pilihan Sheira. Arsena hanya seorang barista cafe yang tidak bisa mengumpulkan uang dengan cepat. Sementara laki-laki yang menikahi Sheira, seorang dokter yang sudah mapan. Bisa membahagiakan Sheira dalam hal harta dan kepuasan batin.

"Sen, maafin aku," ucap perempuan di hadapannya ---Sheira--- ini dengan nada suara yang lemah.

Arsena tidak menanggapi. Ingin rasanya ia menjawab dengan kalimat 'apa kalau aku maafin, kamu bisa membatalkan segalanya?'. Tapi hanya sekedar mengucapkan satu kata saja rasanya ia tidak sanggup.

"Sen, aku tahu aku salah. Tapi kamu tahu kan? Aku sudah masuk kepala tiga. Keluargaku sudah bertanya kapan aku menikah. Aku bisa nunggu kamu tapi keluargaku enggak." Sheira meninggikan nada bicaranya sedikit. Merasa harus menjelaskan semuanya kepada Arsena. Agar laki-laki yang sebenarnya ia cintai itu bisa mengerti kenapa ia harus meninggalkannya.

"Tapi aku bukan nggak mau. Aku cuma menunggu waktu yang tepat." Akhirnya setelah diam sedari tadi, Arsena dapat membuka mulutnya. Meskipun lidahnya masih terasa kelu dan susah untuk mengungkapkan setiap kata yang sebenarnya ingin ia ungkapkan.

"Waktu apa, Sen? Kamu laki-laki. Bisa menikah di usia berapapun. Tapi beda halnya dengan perempuan. Perempuan sudah dituntut untuk menikah bahkan sejak usia dua puluh empat tahun." Sheira memang sudah berusia hampir tiga puluh tahun, tapi kecantikan di wajahnya masih tetap membuatnya terlihat seperti wanita umur dua puluh empat tahun.

"Tapi usia kita sama, Shei. Aku cuma minta kamu tunggu sebentar. Lalu apa maksudnya semua ini, Shei? Apa?" Arsena meremas kertas undangan yang ia genggam sangat erat itu. Lalu Arsena menjambak rambutnya sendiri. Merasa kepalanya pening dan terasa sakit seperti ditimpa ribuan batu beton.

Semua yang Arsena rancang selama ini hanya menjadi angan yang tidak akan tercapai.

❣❣❣

Arsena memandangi fotonya bersama Sheira yang tersimpan rapi di dalam ponselnya. Di foto itu, Sheira tampak bahagia bersamanya. Di foto itu, ia dan Sheira terlihat jelas saling mencintai. Senyuman yang terukir di bibir ia dan Sheira sangatlah terlhat tulus.

Lalu Arsena membuka mobile banking dan mengecek saldo rekeningnya. Saldo yang tadinya hanya sedikit kini membengkak. Dua tahun terakhir ini Arsena bekerja lebih keras. Mengumpulkan uang untuk menjadi lebih layak di mata Sheira dan keluarganya. Mengumpulkan uang untuk melamar Sheira dengan mahar yang tinggi. Arsena meletakkan ponselnya di atas meja lalu berjalan ke laci lemari. Mengambil satu berkas yang berisikan surat tanah dari sebuah rumah lumayan besar yang ia beli untuk kehidupannya dengan Sheira. Arsena kemudian melempar berkas itu dengan kasar ke sembarang tempat.

"Sheira ...." Arsena lelah menahan air mata. Selama ini ia selalu berusaha tegar dan tidak menangis. Tetapi laki-laki juga bisa menangis 'kan? Laki-laki bukan benda mati yang tidak memiliki perasaan.

Arsena menitihkan air mata. Awalnya hanya sedikit, tapi kini air mata itu telah membanjiri wajahnya.

"Aku memang nggak bilang ke kamu, Shei. Aku nggak bilang kalau aku menyiapkan masa depan kita. Tapi harusnya kamu ngerti."

Ya, Arsena belum mengatakan apapun tentang rancangan masa depan untuk hidupnya dan Sheira. Bahkan sampai saat ini, saat Sheira sudah memutuskan akan menikah dengan laki-laki lain.

❣❣❣

Canda tawa, peluk hangat, genggaman yang menenangkan, kecupan yang mendamaikan, dan segala bentuk ungkapan rasa cinta yang dulu pernah dilalui telah hilang dalam sekejap. Arsena bahkan tidak yakin Sheira masih mengingat semua itu.

Saat sedang melamunkan masa-masa indah berdua, ponsel Arsena bergetar. Ada pesan masuk dari Sheira. Arsena kemudian membuka pesan itu.

Sheira
081370xxxxxx

Sena, aku di depan rumah kamu. Bukain pintu. Aku nggak lihat siapapun di rumah kamu. Kamu ada di rumah kan?

Arsena berdecak kesal setelah membaca pesan itu. Mau apa lagi sih, Shei? pikirnya. Namun tidak mungkin ia tak membukakan pintu untuk seseorang yang ingin bertamu ke rumahnya. Meskipun tamu itu tamu yang tidak diinginkan.

Arsena melangkah ragu ke depan rumah. Mau tidak mau ia harus bertemu lagi dengan Sheira. Pernikahan Sheira sudah di depan mata. Rasanya ingin sekali Arsena menghancurkan pernikahan itu tapi sayangnya ia bukan orang yang kejam. Biarlah Sheira bahagia meskipun bukan dirinya alasan dari rasa bahagia Sheira.

Arsena telah sampai di pintu depan dan membuka pintu. Setelah pintu terbuka, sosok yang begitu ia cintai tapi juga begitu malas ia lihat langsung tampak di depan matanya.

"Sen ...."

"Ada apa?"

"Aku nggak boleh masuk?"

"Oh iya ... masuk." Arsena mempersilakan Sheira masuk lalu Sheira duduk di sofa ruang tamu rumah Arsena.

"Ini ... hari jadian kita 'kan? Tepat hari ini kita sudah berpacaran sepuluh tahun."

Iya. Arsena ingat dengan jelas bahwa hari ini hari jadian ia dan Sheira. Ia hanya tidak ingin mengingatnya dan mengatakannya pada Sheira. Tetapi dengan gampangnya Sheira mengatakan itu di depannya. Saat anniversary yang ke-10 itu sudah tidak ada lagi gunanya.

"Terus kenapa, Shei?" tanya Arsena lemah.

"Kamu nggak mau mengucapkannya untukku? Kamu nggak mau memberiku ha---"

Arsena memotong ucapan Sheira. "Tolong Shei ... kalau kamu sudah memilih laki-laki lain, biarkan aku lupa semuanya. Apa kalau aku minta kamu batal menikah dengan dokter itu, kamu mau menurutinya?"

Sheira menggeleng pelan. "Undanganku sudah disebar. Hanya akan mempermalukan keluarga kalau pernikahannya batal."

"Lalu pergilah! Jangan pernah muncul lagi di hadapanku, Shei. Biarin aku belajar melupakan dan bangkit."

Sheira terdiam membeku. Dilihatnya Arsena sangat frustrasi. Wajah yang dulu penuh cinta dan kebahagiaan,  sudah tidak lagi tergambar dari raut wajahnya.

"Baiklah," kata Sheira. "Tapi boleh aku tanya satu hal?" lanjut Sheira lagi.

Arsena masih diam tidak mau menjawab.

"Aku janji, setelah ini aku akan pergi. Jauh dari hidup kamu. Jauh dari pandangan kamu."

"Iya boleh. Tanya saja."

"Kamu sendiri tahu, aku memutuskan untuk menikah karena desakan sana-sini. Aku juga jauh sebelum mengambil keputusan ini, sudah bertanya berkali-kali ke kamu kenapa kamu nggak mau menikahiku. Aku jadi merasa sakit dan sedih tiap kali aku tanya kamu cuma bilang 'aku belum bisa, Shei.' Kenapa Sen? Kalau saja kamu kasih aku kejelasan, aku bakalan tetap sama kamu."

"Kamu mau tahu?"

"Iya Sen, aku mau tahu. Apa karena kamu punya wanita lain dan ingin menikahinya?" Tebak Sheira ragu.

Arsena tertawa kecil mendengar itu. Bisa-bisanya Sheira berpikir seperti itu. Sepuluh tahun bersama ternyata tidak cukup untuk membuat Sheira mengenal dirinya.

Arsena beranjak dari duduknya dan berjalan menuju kamarnya. Meninggalkan Sheira yang menunggu di ruang tamu sendirian. Sesampainya di kamar, Arsena mengambil berkas surat rumah yang baru saja dibelinya, tepat dua hari sebelum Sheira mengatakan bahwa dia ingin menikah dengan laki-laki lain ---yang lebih mapan dan cepat melamarnya--- tentunya. Arsena juga mengambil ponselnya yang tergeletak bebas di atas meja. Kemudian ia kembali ke ruang tamu untuk memberitahukan Sheira alasannya untuk tidak buru-buru melamar Sheira.

Arsena menyerahkan berkas itu dan menyuruh Sheira membacanya dengan seksama. Lalu ia membuka mobile banking dan memperlihatkan saldo rekeningnya pada Sheira.

"Apa ini, Sen?"

"Lihat saja sendiri." Arsena kembali duduk di sebelah Sheira.

Sheira membuka berkas itu. Membaca dengan seksama apa yang tertulis di dalam sana. Ada Sertifikat Hak Milik (SHM) di sana. Dan mobile banking di ponsel Arsena yang jumlahnya sangat besar. Ada ratusan juta di dalamnya.

"Ini ... apa, Sen?" Sheira tampak kebingungan. Sertifikat tanah, saldo rekening yang besar, ia sama sekali tidak mengerti.

"Itu semua aku siapkan untuk kamu. Aku nyiapin uang yang banyak untuk lamar kamu. Aku nyiapin uang yang banyak untuk persiapan pernikahan kita. Aku nyiapin uang yang banyak untuk kehidupan kita setelah menikah supaya tidak susah. Karena aku nggak mau, orang yang aku sayang harus hidup susah sama aku. Dan sertifikat rumah itu, rumah yang baru aku beli tepat dua hari sebelum kamu bilang kamu mau menikah dengan laki-laki lain. Tadinya supaya kita nggak tinggal di rumah yang kecil dan nggak layak. Supaya kamu nggak perlu tinggal di rumahku ---rumah mertua kamu--- dan hidup nyaman tanpa dicampuri urusan rumah tangga kita sama mamaku. Semuanya untuk kamu, Shei. Untuk kamu ...." Arsena menangis.

Mendadak, Sheira juga ikut menangis.

Sheira menangis tersedu-sedu. Apa yang sudah ia putuskan dengan terburu-buru ternyata adalah sebuah kesalahan. Kesalahan yang akan selalu menjadi penyesalan dalam hidupnya. Arsena telah menyiapkan begitu banyak untuknya dan dengan teganya ia berpaling. Tetapi sungguh, Sheira berpaling karena ada laki-laki yang lebih serius untuk menikahinya. Laki-laki yang dikenalkan orang tuanya. Laki-laki yang memang jauh lebih mapan dari Arsena. Laki-laki yang sudah memiliki pekerjaan lebih baik dari Arsena.

Sheira terburu-buru mengatakan ya saat dilamar laki-laki itu karena Arsena selalu tidak pernah jelas saat Sheira bertanya kapan Arsena akan melamarnya. Arsena selalu mengatakan 'aku bukan tidak mau, aku hanya belum siap' itulah yang dikatakan Arsena. Bagaimana Sheira tidak bimbang? Arsena sendiri tidak pernah memberi kejelasan. Namun siapa sangka, ternyata belum siap yang dimaksud Arsena adalah ini. Persiapan untuk membahagiakan dirinya setelah menikah, yang ternyata belum siap.

Sheira menarik dengan lembut Arsena yang menangis terisak itu ke dalam pelukannya. Tidak pernah Arsena menangis di hadapan Sheira tapi hari ini dia menangis. Tidak ada penolakan dari Arsena saat Sheira menariknya ke dalam pelukan. Dalam keadaan sedang berpelukan, keduanya saling menangisi semua yang terjadi. Sheira menangisi kebodohannya dan Arsena menangisi kekalahannya.

"Maafin aku, Sen ...." ucap Sheira putus-putus. Karena terlalu banyak menangis ucapannya pun jadi tidak jelas.

"Aku cinta kamu, Shei," ucap Arsena lemah. Kali ini ia memeluk Sheira sangat erat. Tidak seperti kemarin yang tidak berani memeluk Sheira karena gadis itu telah menjadi milik orang lain.

"Biarin aku peluk kamu. Untuk yang terakhir kalinya. Aku mau tetap dalam keadaan ini untuk beberapa saat, Shei." Arsena menghapus dengan kasar air mata yang jatuh. Tetapi sepertinya air mata itu mengalir dengan sangat deras sampai ia pun tidak dapat membendungnya.

"Iya, Sen. Aku juga masih belum rela pisah dari pelukan hangat kamu." Sheira masih menangis sesenggukan.

Pelukan terakhir ini yang menjadi saksi gagalnya rasa cinta yang selama ini mereka bangun.

❣❣❣

Sepuluh menit berlalu, Arsena melepaskan pelukan itu. Ia menghapus lagi air matanya. Kali ini air matanya berhenti mengalir. Mungkin air matanya pun tahu, sudah sepantasnya ia melepaskan Sheira tanpa kesedihan. Karena cinta yang sesungguhnya adalah saat kita melihat orang yang kita cintai bahagia. Saat ini mungkin Sheira belum merasa bahagia tapi setelah menikah pasti Sheira akan bahagia. Bagaimana tidak? Dilihat dari segi apapun Arsena tidak sebanding dengan dokter itu. Yang Arsena miliki hanyalah wajah yang terbilang rupawan. Selebihnya ia hanyalah debu yang diinjak oleh siapapun yang melewatinya.

"Pergilah, Shei. Kamu menerima lamarannya pasti karena kamu mulai mencintainya walaupun sedikit. Belajarlah mencintainya lebih banyak lagi. Aku baik-baik saja. Aku bahagia melihat kamu bahagia." Arsena merasa lebih baik setelah pelukan terakhir tadi. Ia merasa sudah seharusnya melepaskan Sheira dari genggamannya.

Sheira pasti sudah mulai mencintai dokter itu. Kalau tidak, Sheira tidak akan mungkin dengan gampang melupakan apa yang sudah dia lalui bersama Arsena. Dan melupakan janji yang sudah diikat keduanya.

Dengan langkah yang berat, Sheira keluar meninggalkan rumah Arsena. Rumah yang juga menjadi saksi kemesraannya bersama Arsena. Tuhan memang Maha Kuasa. Meskipun sepuluh tahun Sheira dan Arsena menjalin kasih tapi tetap saja mereka harus berpisah. Karena memang mereka tidak berjodoh.

Walau digenggam kuat jika bukan milik kita, dia terlepas juga. Walau ditolak jika dia memang jodoh kita maka dia untuk kita.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro