Stigmata |CarpaFinn|
A/N:
Mana of Wishes!Finn
Mash tidak sekolah di Easton
.
.
.
Dari dulu Finn selalu menjadi sasaran pembulian murid di kelasnya, namun luka yang didapat dari buli itu selalu Finn tutupi, kalau bisa seragam sekolah yang kotor selalu dibilas menggunakan air sebelum pulang.
Esok harinya, kelas 1-A kedatangan murid baru, murid itu memiliki wajah menyeramkan, Finn sudah memiliki firasat buruk hanya dengan melihatnya saja, badannya gemetar karena imajinasinya sendiri, akan bertambah satu orang lagi yang membulinya. Kedua mata cerahnya berkaca-kaca. Tambah menakutkannya lagi wali kelasnya menyuruh murid baru itu untuk duduk di bangku kosong sebelah kanan.
Finn menundukkan kepala, berpura-pura fokus dengan buku catatannya. Finn menolak untuk bertatapan dengan murid baru itu.
"Oi."
Finn tetap melihat ke buku catatannya.
"Kamu luka-luka kaya gitu."
"Kumohon jangan berbicara denganku ...," bisiknya.
"Kenapa?"
"Mereka akan membencimu kalau ngobrol denganku."
"Jadi di sini juga cuman sekumpulan orang bodoh."
"..."
"Namamu Finn Ames kan?"
Finn mengangguk.
Murid itu memperhatikan Finn lekat-lekat. "Semuanya akan berakhir, orang yang menggangumu akan kulenyapkan semua."
Suara jentikan jari bergema di dalam ruanganya, ketika Finn mengangkat kepalanya ruang kelasnya menjadi kosong, tidak ada siapapun selain dirinya dan murid baru.
"Yang lain kemana ...?"
"Lenyap sesuai keinginanmu."
"Aku tidak pernah menginginkan itu."
"Kalau kamu tidak menginginkan itu aku tidak mungkin di sini dan mereka semua tidak akan mati."
"Mati ...?"
Murid berambut merah marun yang berdiri di depan kelas mengeluarkan sebilah pisau, bilah pisau dalam genggamannya itu menetes darah. Wajah Finn memucat, keringat mengucur dari dahinya, air mata menetes.
"Aku tidak pernah berharap seperti ini."
"Siapa kamu sebenarnya ...?"
-----
Finn membuka matanya, nafasnya terengah-engah, bulir keringat menetes dari dahinya. Finn mengangkat badannya, pupil kuningnya melihat ke seluruh ruangan. Ia masih berada di kamar asrama, kepala Finn menunduk menatap kedua telapak tangannya yang bergetar, Finn lega cairan merah kehitaman yang melumuri tangannya hanyalah mimpi.
Finn mengatur pernapasannya agar kembali normal, kedua matanya terpejam erat, dari ujung matanya menetes air mata, ia sangat ketakutan, kedua tangannya mulai memeluk tubuhnya sendiri, badan mungilnya itu meringkuk, berharap apa yang ada di mimpinya tidak menjadi nyata.
Dalam tangisnya ia beraharap ada seseorang yang akan menolongnya dari mimpi buruk, siapapun yang telah merundungnya, ia ingin semua orang menghilang, ia ingin menjadi kuat bisa berdiri sendiri, Ia sudah tidka tahan dengan mimpi buruk yang terus menerus ia rasakan.
"Siapapun tolong aku ...."
Close your eyes and lift up your prayers inside the deep dark blue darkness
Just like a stigmata mark engraved in the tightly clasped hands of one who kneel
Finn yang menangis dalam diam di kamarnya mulai berhenti saat cahaya matahari mulai masuk ke dalam kamarnya, Finn mengangkat badannya, wajahnya tidak menampilkan ekspresi apapun, tatapan matanya pun kosong. Kini Finn seperti boneka tanpa jiwa.
Finn beranjak dari ranjangnya, mengambil peralatan untuk mandi, Finn berjalan gontai ke kamar mandi asrama, sampai di kamar mandi Finn menatap dirinya sendiri di cermin.
Diriku begitu menyedihkan, begitu pikirnya ketika melihat kondisinya saat ini.
Setelah Finn membersihkan wajahnya, sebuah senyum terukir di wajah, ia kembali merasa segar, ia siap menjalani hari dengan senyum.
Senyum di wajahnya itu tidak bertahan lama, di kelas, ekspresi wajah kembali murung, dan menundukkan kepala, ketika ada tiga murid mendatanginya, memintanya melakukan membersihkan sepatu yang kotor ataupun buku catatannya dicoret-coret tanpa izin, Finn hanya bisa menurut tanpa bisa melawan.
Ia terus berharap bisa menjadi kuat untuk melawan mereka, menolak permintaan mereka yang bukan urusannya.
"Oi, Finn belikan kami roti di kantin."
Finn mengangguk, berjalan ke luar kelas. Ketika berjalan di kelas Finn berpapasan dengan seorang murid yang mirip dengan orang yang ada di dalam mimpinya, murid berambut berantakan, warna merah marun, memiliki tatapan mengintimidasi, mengenakan jubah Asrama Orca. Finn melewati orang itu pura-pura tidak tahu, namun perasaan familiar yang ia rasakan ketika melewatinya membuat tubuhnya bergerak otomatis, menengok ke belakang.
"Ngapain dia masuk ke kelasku ...?"
Finn teringat lagi dengan mimpinya, dalam hitungan detik tujuannya berubah, ia harus mengejar murid itu, menghentikan murid itu sebelum masuk ke dalam kelas. Finn berusaha menggerakkan kedua kakinya secepat mungkin, raut panik terlukis jelas, tangan kanannya terulur ke depan, namun tangannya tak bisa menghentikan murid itu masuk ke dalam kelas.
Ketika murid itu sudah hilangd air pandangannya, langkah kaki Finn berhenti, pupilnya bergetar, Finn memberanikan diri untuk kembali melangkah, masuk ke dalam kelasnya, ia harus memastikan bahwa mimpinya tidak menjadi nyata, ia tidak pernah berharap teman sekelasnya semua mati.
Finn hanya ingin bebas dari dirinya yang lemah, tak bisa melawan.
Hanya itu saja, tetapi mengapa ...?
Finn berdiri di depan pintu kelas, dari dalam kelas Finn tidak mendengar suara sama sekali, hening. Tangan kanannya bergerak menggenggam knop pintu, memutar dan mendorong pintu.
Manik peridot Finn mengecil, air mata lagi-lagi menetes. Mimpinya menjadi kenyataan, seluruh ruangan bermandikan darah, di lantai mayat bergelimpangan dan masih meneteskan darah. Finn makin ketakutan lagi saat melihat wajah mayat-mayat itu, semuanya melotot dan mulutnya terbuka lebar seakan sedang berteriak padanya.
Kaki kirinya bergerak mundur. Kepalanya menggeleng pelan.
"Kenapa ...? Kenapa ini harus terjadi ...? Ini bukan yang aku inginkan."
"Ini yang lubuk hatimu harapkan, Finn."
Murid berambut merah marun itu menjatuh mayat laki-laki ke lantai, di jubahnya banyak bercak darah, tempatnya yang ia pijak sekarang genangan darah yang terbuat dari mayat tadi.
"Ini bukan yang aku inginkan."
"Tidak, ini yang kamu inginkan, kamu terus berharap untuk mereka semua hilang."
"Engga ... kamu sendiri siapa sebenarnya? Kenapa kamu tega membunuh mereka semua?"
"Aku?"
Murid itu berjalan menghampiri Finn. "Aku adalah wujud keinginanmu, kamu berharap untuk menjadi kuat, bisa melawan mereka yang semena-mena terhadapmu." Langkah kakinya terhenti. "Dan mereka yang melukaimu sampai kamu harus melilitkan perban ke kepala juga tanganmu."
"Wujud dari ... keinginanku ...." Finn menaruh tangan kanannya di depan dada. "Aku tidak pernah ingat memiliki keinginan seperti itu ...."
"Kamu hanya melupakannya, kamu adalah Mana buatan seorang Visioner Suci, Mana yang bisa mengabulkan semua keinginan."
"Aku bukan manusia ...?"
Murid itu melihat ke sekeliling kelas. "Kamu tidak suka dengan pemandangan ini kan? Kamu bisa menghidupkan mereka lagi, kamu bisa mengembalikkan kondisi kelas ini seperti semula."
"Semuanya akan kembali seperti semula ... hanya dengan berharap?" Finn menaruh kedua tangannya di dada, maniknya menatap murid berambut marun itu dengan tatapan penuh harap. "Apa benar bisa kembali seperti semula ...?"
"Bisa, percayalah pada dirimu sendiri, kekuatan yang ada di dalam dirimu itu akan mengabulkan segala keinginanmu."
"Kamu sebenarnya siapa? Kenapa kamu tau tentangku ...?"
"Aku hanya manusia tanpa nama yang terlahir atas keinginanmu." Ia mendekatkan mulutnya pada telinga Finn. "Finn, berharaplah, dan semuanya akan kembali seperti semula."
"Aku mengerti ...."
"Ucapkan keinginanmu yang keras."
Finn memejamkan kedua matanya, terus berharap semua yang terjadi di sini kembali seperti semula, tidak ada darah, tidak ada mayat, tidak ada yang mati. Tubuh Finn bercahaya, cahaya itu memenuhi ruangan. Ketika cahaya dari dalam diri Finn memudar, Finn bisa mendengar sayup-sayup suara teman sekelasnya dan ketika membuka mata Finn sangat terkejut, semuanya benar-benar kembali seperti semula.
Semua orang hidup.
Finn diam beberapa saat, ia masih tidak percaya, harapannya terkabul.
Jadi apa yang dikatakan murid di hadapannya ini benar?
Tak lama kemudian suara sombong murid laki-laki yang menyuruhnya untuk membeli roti kembali terdengar. Finn bergidik ketakutan mendengar suara itu.
"Mana rotinya? Gua kan tadi minta elu beli roti ke kantin."
"So ... soal itu ...."
"Jadi lu berani nantang kam--"
Murid berambut marun membalikkan badannya, ia menatap tiga murid yang mendatangi Finn dengan tatapan tajam.
"Janga ganggu Finn lagi, atau kubunuh," ancamnya seraya mengeluarkan belati dari balik jubahnya.
Tiga orang itu otomatis ketakutan dan balik mengancam jika ia melukai mereka, mereka akan mengadukannya pada guru.
Murid berambut marun itu menyeringai, ancaman tiga orang itu tidak berpengaruh terhadapnya. "Huh, dasar lemah, aku tidak takut dengan ancaman kalian."
"Sudah, hentikan."
Finn menggenggam erat lengan jubah murid itu dan mengajaknya ke luar kelas.
"Kalau itu mau Finn, aku tidak keberatan."
"Kita pergi ke tempat yang jauh dari sekolah."
Tidak ada balasan dari murid berambut marun itu, ia hanya mengikuti apa yang Finn inginkan. Sesuai perkataannya, Finn pergi jauh dari sekolah, ia mengajak murid berambut marun itu ke pegunungan yang berada di bagian utara dari sekolah.
Murid berambut marun itu tidak mengatakan apapun, begitu juga Finn, selama perjalan Finn hanya menundukkan kepala dan berjalan tanpa henti sembari memegangi lengan jubah Orca.
"Finn, kamu baik-baik saja?"
"Oh iya, kamu bilang kamu tidak punya nama kan?"
"Iya, Finn belum memberikanku nama."
Finn melepaskan pegangannya pada lengan jubah, memutar badannya ke belakang. "Kalau begitu aku akan memberikanmu nama Carpaccio, gimana?" katanya dengan senyum.
"Aku tidak masalah, Finn yang memberikanku nama itu."
"Mulai hari ini namamu Carpaccio."
"Finn."
Senyum tipis yang menghiasi wajahnya luntur kembali, ekspresi sendu menggantikan. "Kekuatanku ini sangat berbahaya .... sebaiknya aku menghilang saja dari dunia ini."
"Meskipun FInn berkata seperti itu, Finn takut, Finn tidak mau menghilang sendiri."
"Aku tida--" ucapannya terhenti, apa yang dikatakan Carpaccio benar, jika dirinya adalah sebuah ancaman di dunia ini arena kekuatannya, ia ingin menghilang tetapi ia tidak ingin menghilang sendiri, dari dulu ia ingin sekali memiliki teman. Setidaknya ia tidak menghilang sendiri, bersama temannya, teman yang akan menemaninya.
"Aku ada di sini karena Finn. Di dalam lubuk hatimu, kamu menginginkan seorang teman, makanya aku ada di sini."
Kedua tangan Carpaccio digenggam oleh Finn, senyum tipis diselimuti kesedihan mengikuti.
"Bagaimana kalau ... kita berdua menghilang dari dunia ini?"
"Kalau itu yang Finn inginkan, aku akan mengikutinya, kemana pun Finn akan pergi, aku akan bersamamu, meskipun itu menghilang dari dunia ini."
Perasaan lega mengisi kekosongan dalam hatinya.
"Carpaccio, kita berdua, selamanya."
"Berharaplah dan semuanya akan menjadi nyata, Finn."
Finn mengangguk pelan, ia menubrukkan tubuhnya ke tubuh Carpaccio, kedua tangan memeluk erat. Carpaccio balas memeluk.
"Selamanya, berdua"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro