Sincerely |OtaKaru|
A/N:
Orter (14) Kaldo (18)
Wirth (9)
Latarnya masih sama tapi sistem sekolahnya ga ada nginep di asrama
.
.
.
Sewaktu kecil Orter selalu menghabiskan waktunya di perpustakaan rumahnya bersama adiknya yang selalu mengikutinya bak anak bebek, namun saat sedang membaca buku, ia suka mengintip ke luar jendela, di luar ia bisa melihat anak 4 tahun lebih tua darinya melambaikan tangan ke arahnya, orang itu lewat depan rumah setiap siang menjelang sore.
Orter tidak pernah membalas lambaian tangan itu, hanya menatap dan muncul tanda tanya di atas kepalanya, Orter tidak kenal dengan orang itu tetapi orang itu tersenyum padanya.
Menginjak umur 14 tahun tidak ada bedanya, namun kali ini ada tugas tambahan yaitu, mengantar jemput adiknya ke sekolah. Suatu waktu Orter tidak sengaja bertemu dengan orang itu setelah menjemput adiknya dari sekolah, tepat di depan rumahnya.
Lagi-lagi orang itu menyambutnya dengan senyum.
Orter memandanginya, terpana dengan kecantikannya, rambutnya abu-abu, Orter ingin menyentuhnya, sementara Wirth bergerak ke belakang punggung kakaknya.
Kemudian Orter mencabut setangkai bunga liar yang tidak sengaja ia lihat, dan memberikan bunga itu pada orang itu. Orang itu nampak terkejut tiba-tiba diberi bunga oleh Orter, bunga itu diterima dengan senang hati olehnya, lalu Orter mendapat elusan di kepala, sepersekian detik kedua pipi Orter memerah.
Wirth diam-diam memperhatikan kakaknya, melihat perubahan ekspresi kakaknya yang kaku menjadi lembut saat itu juga Wirth takut dengan kakaknya.
"Kamu lucu, nama?"
"Orter ... Mádl ...."
"Nama yang bagus, aku Kaldo." Pandangan Kaldo beralih ke Wirth yang masih bersembunyi di belakang punggung Orter. "Adikmu?"
Orter mengangguk. "Namanya Wirth."
"Salam kenal."
Mádl bersaudara menundukkan badannya sedikit. Kaldo mengangkat tangannya setengah, melambai dan mengucapkan "Sampai ketemu lagi" pada mereka, lalu pergi. Orter terus memandangi punggungnya tanpa berkedip sampai adiknya menarik-narik lengan kemeja kakaknya.
"Apa Wirth?"
"Kakak bertingkah aneh."
"Tidak."
"Kakak ngeliatin terus orang itu."
"Tidak."
Dahi Wirth mengkerut, mempertanyakan kenapa kakaknya bisa menjawab seperti itu tanpa sadar apa yang sudah dilakukannya tadi. Apalagi Kaldo kelihatan beberapa tahun lebih tua dari kakaknya.
"Ayo masuk ke rumah."
Orter menarik masuk adiknya ke dalam rumah, suasana rumah sangat sepi seperti tidak ada orang, Orter berjalan menuju tangga, kamarnya ada di lantai 2 sama dengan Wirth. Genggaman tangannya terlepas saat sudah sampai kakinya menginjak lantai 2. Orter langsung masuk ke dalam kamarnya meninggalkan Wirth menggantung di dekat tangga yang sedang menatap aneh kakaknya.
Kalau diingat-ingat lagi, Wirth pernah melihat kakaknya menatap keluar jendela perpustakaan pada jam-jam tertentu, Wirth menebak-nebak apa yang kakaknya lihat itu adalah orang yang memperkenalkan diri sebagai Kaldo tadi?
"Kakak aneh," komentarnya sambil melihat pintu kamar Orter sebelum masuk ke dalam kamarnya.
Sementara itu Orter di dalam kamar sedang duduk di kursi belajarnya, lanjut membaca buku yang diambil dari perpustakaan rumahnya, hidupnya memang dihabiskan untuk membaca buku sampai pada akhirnya Orter sering menggosok kedua matanya secara bergantian dan juga memijat kening.
Pandangannya mulai kabur, namun keesokan harinya kembali seperti semula. Orter tidak merasa butuh kacamata, masih yakin ia tidak butuh alat bantu tersebut untuk melihat, dirinya masih bisa melihat dengan jelas.
Sampai suatu ketika Orter sedang berjalan menyusuri jalan, karena pandangannya memburam tiba-tiba, langkah kakinya menjadi berantakan dan tidak sengajak menubruk seseorang, Orter langsung mengucapkan "maaf" pada orang yang telah ditabraknya dengan suara lirih.
Orter meyipitkan kedua matanya saat melihat orang yang ditabraknya, penglihatannya makin buruk.
"Kamu, Orter kan?"
Suara lembut, ringan sedikit tinggi terdengar familiar di telinga Orter. "Kaldo ...?" Orter berusaha keras untuk melihat wajah orang itu dengan jelas.
"Jangan-jangan kamu rabun? Tidak bawa kacamata?"
"Aku tidak butuh kacamata, aku masih bisa melihat dengan jelas."
"Benarkah?" tanyanya tidak percaya, tawa kecil keluar dari mulutnya. "Jangan keras kepala seperti itu, kamu melihatku dengan jarak dekat seperti ini aja perlu menyipitkan mata."
"Berisik." Orter mengumpat dalam hatinya, penglihatannya benar-benar sudah menurun, ia harus menerima bahwa dirinya memerlukan alat bantu yang sangat ia hindari. Wajah Orter kini nampak kusut persis pakaian yang belum disetrika, Orter kesal tidak bisa melihat dengan jelas wajah orang yang ada dihadapannya sekarang.
"Orter, bagaimana kalau kita ke toko kacamata dulu?"
"Tapi aku harus pulang."
"Pulang dalam keadaan seperti itu sangat merepotkan, nanti kamu nabrak lagi, untung yang kamu tubruk itu aku."
Mendengar perkataan Kaldo Orter terdiam, terpaksa menurut, ia tidak membawa uang banyak di dompetnya, harga kacamata cukup mahal. Di toko kacamata Kaldo minta Orter untuk memeriksa matanya terlebih dahulu pada penjaga toko, setelah itu memilih lensa yang cocok untuk matanya.
Pemeriksaan berlangsung cepat, Orter memperhatikan Kaldo yang sedang berbincang dengan penjaga toko, lalu tak lama Kaldo memasangkan kacamata padanya.
"Bagaimana Orter? Sudah bisa melihat dengan jelas, lensanya cocok?"
"Iya ... aku bisa melihat muka Kak Kaldo yang cantik lagi," jawabnya polos dengan suara datar. Suara datarnya itu memberikan kesan sangat serius.
Kaldo menanggapinya dengan tawa, sedikit tersipu dengan pujian Orter. "Kacamata itu buat Orter."
"Aku ad uang di rumah, akan aku ganti."
"Tidak usah, anggap aja ini balasan kecil sudah memujiku barusan."
Orter menyahut dalam hati, aku tidak memuji hanya mengatakan kenyataan. "Terima kasih." Kepala Orter mendapatkan elusan lembut lagi, entah mengapa Orter sangat senang setiap kali kepalanya diusap seperti itu oleh Kaldo. Seketika Orter merasakan sensasi terbakar di wajahnya.
"Dengan begini kamu bisa pulang dengan tenang, atau kamu mau menjemput adikmu?"
"Adikku udah diantar ke rumah, aku ... aku mau ke toko buku."
"Penglihatanmu memburuk karena baca buku terus ya?"
Orter memalingkan pandangannya. "Tidak, cuman kebetulan aja."
Kaldo meletakkan tangan kanannya ke pipi, mencoba memaklumi sifat keras kepala Orter, baru kali ini ia bertemu dengan anak yang sangat keras kepala, walaupun begitu sifatnya yang seperti itu bikin Kaldo berpikir anak itu manis.
"Mau aku temani ke toko buku?"
Mulut Orter sedikit menganga, terkejut dengan tawaran Kaldo, Orter berpikir cukup keras, otaknya menyuruhnya untuk menjawab "Tidak" tetapi hatinya menyuruhnya menjawab sebaliknya.
"Ayo." Kaldo menggenggam tangan Orter.
Awalnya Orter diam saja saat dirinya ditarik keluar toko, baru beberapa langkah, Orter menarik tangannya agar lepas dari genggaman tangan Kaldo.
"Ada apa?"
"Tidak jadi ... aku mau pulang."
Kaldo kebingungan melihat tingkah Orter. "Mengerti, aku antarkan pulang."
Orter tidak membalas, ia langsung membalikkan badan dan berjalan ke arah yang berlawan, meski tidak dapat jawaban Kaldo mengikutinya dari belakang, mengejarnya sampai bisa berjalan beriringan dengan Orter, Kaldo kembali menggenggam tangannya. Orter sempat melirik cepat ke Kaldo.
Tidak ada obrolan selama perjalanan menuju kediaman Mádl, sesampainya di depan rumah Mádl, genggaman tangan seketika terlepas, Orter melihat ke tangannya, ada rasa kecewa melihat tangannya kosong, tak menggenggam apapun.
"Sampai jumpa lagi."
"Sebentar."
"Ada apa?"
"Aku ... aku punya sesuatu buat ...," lidahnya kaku saat mau menyebut nama Kaldo, "Kak Kaldo ...."
"Oh? Aku akan mendapatkan bunga lagi?"
Orter menggeleng, "Tunggu, jangan pergi dulu." Orter langsung berlari masuk ke dalam rumahnya, berlari menaiki tangga sampai menabrak adiknya saat menuruni tangga.
"Kak, tadi dicari sama ayah," kata Wirth sembari mengelus pundak kanannya yang membentuk pundak kakaknya.
"Ya, nanti aku bakal ke ruang kerja ayah setelah memberikan ini."
Wirth memiringkan kepalanya bingung, kakaknya mau memberikan sesuatu ke seseorang? Wirth tidak pernah sekali pun melihat kakaknya bisa dekat dengan orang.
"Kakak aneh."
Orter kembali ke depan rumahnya sembari menggenggam sesuatu di tangan kanannya. Orter mendekat ke Kaldo, Orter berjinjit sedikit agar bisa sampai ke rambutnya Kaldo. Orter memakaikan pita merah ke sisi kiri dan kanan rambut Kaldo, setelah selesai Orter mundur satu langkah.
"Terima kasih, lucu."
"Besok kita bisa ketemu lagi kan?"
"Bagaimana ya? Semoga saja."
"Begitu ya." Ekspresi wajah Orter menampakkan raut kecewa.
Kaldo memainkan rambut bagian kanannya, lalu tersenyum, entah mengapa Kaldo bisa menebak maksud dari pemberian pita ini oleh Orter, menurutnya tingkah anak laki-laki 4 tahun lebih muda darinya itu sanga lucu.
"Sampai jumpa, Orter."
"Ya."
Setelah hari itu berakhir, Orter tak lagi bertemu dengannya.
"Kak."
"Apa Wirth?"
Orter sudah berumur 18 tahun dan masih belum bertemu kembali dengan orang itu, Wirth sedikit khawatir dengan kakaknya yang mengurung diri di perpustakaan setelah pulang sekolah, Wirth mengerti kalau kakaknya gemar membaca buku, Wirth sempat memergoki kakaknya sedang menulis surat, tetapi tidak ada alamat yang dituju tertulis.
"Aku dengar kakak mengejar posisi menjadi Divine Visionary."
"Iya."
"Lancar?"
"Lumayan, mendapatkan koin emas sangat mudah."
"Gitu ya."
Pembicaraan selesai sampai disitu. Wirth menggaruk kepalanya gusar, suasananya menjadi awkward, apa karena kakaknya terlalu kaku makanya Wirth jadi agak ragu untuk mengajaknya bicara. Wirth memiliki informasi penting tentang suatu hal, yang pasti suatu hal itu adalah informasi yang kakaknya inginkan, Wirth tidak bisa menyimpannya tanpa memberitahu kakaknya.
"Kak."
Tiba-tiba angin berhembus kencang masuk ke dalam perpustakaan melewati jendla yang terbuka lebar, secarik kertas di meja terbang mengikuti kemana angin berhembus, angin membawa kertas itu terbang keluar perpustakaan. Orter mencoba untuk mengambil kertas itu dari jeratan angin tetapi kertas itu memilih untuk terbang menjauh agar Orter tak dapat menggapainya. Orter berjalan cepat menuju jendela.
Ketika Orter melihat ke luar jendela, ekspresi wajahnya menjadi ragu, jari telunjuknya membenarkan letak kacamatanya.
"Orter, kita bertemu lagi, ini milikmu? Sebegitu rindukah kamu padaku sampai membuat surat seperti ini?" tanyanya dengan nada suara playful.
Why am I crying?
What should I answer my heart?
Words don't have to always be spoken,
Just by being there, they will only grow stronger
And it makes me long for you more
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro