Malam Itu di Negeri Langit
Januari, 1999
TIDAK ada yang tidak bahagia ketika bis karyawisata sudah berangkat menuju dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah. Semua mahasiswa saling membicarakan pegunungannya yang megah, candi-candi peninggalan Hindu, dan embun es di pagi hari. Seperti sebuah Negeri Langit.
Namun, sepanjang perjalanan, Wulan hanya terdiam. Memandangi gerak semu pepohonan, kendaraan, sesekali terguncang ketika bis melaju. Dia seperti potret dalam perjalanan pilu. Hatinya sesak, ingin meluncur jatuh dan meledak. Maheswa, sahabatnya, sedang sakit, meninggalkannya duduk bersama udara hampa. Padahal ada banyak cerita yang ingin disampaikannya.
Perjalanan yang ramai itu perlahan berkurang, semenjak AC dinyalakan, musik radio mengalun membawa mereka terlelap ketika bis menanjak bukit. Hanya Wulan yang masih terjaga, tepat ketika ponselnya berdering.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," Wulan terkejut, "Maheswa? Bukankah kamu harus istirahat."
Maheswa tertawa pelan, sedikit batuk. "Saya tahu ada yang mengganjal hati kamu. Mau bicara, 'kan?"
"Benar."
"Cerita saja. Saya dengarkan."
Wulan menarik napas perlahan, memastikan bahwa seluruh temannya telah tidur lelap, lalu memejamkan mata.
"Apa kamu ingat ... tragedi yang Ibu ceritakan?"
[]
Februari, 1979
"Diajeng!"
Anak perempuan yang sedang memberi makan kambing itu menoleh, mengernyitkan kening. "Apa? Jangan ganggu saya! Sudah kemarin para ternak kelaparan karena kamu."
"Aduuh, jangan marah!" Ajie cengengesan. "Besok, ada pesta ulang tahun Genta."
"Hah?" Diajeng mengangkut seikat rumput lagi dan meletakkannya di depan kandang. "Kamu orang itu, suka ikut-ikutan. Mentang-mentang Genta datang dari kota. Dia tidak perlu, lah, bawa hal aneh ke sini."
"Aduuh! Bukan hal aneh," sanggah Ajie, masih mengikuti ke mana pun Diajeng pergi. "Ini hal bagus, Jeng. Kamu harus ikut."
"Emoh!"
Diajeng kembali ke rumah--keseharian paginya memang begitu. Menyapu, memasak air di tungku, memberi makan kambing. Padahal, dia ingin sekali pergi melihat sawah. Ada banyak sawah di desanya yang subur itu. Tapi, Surya, bapaknya, selalu melarang karena berbahaya.
"Ikut, ya, Diajeng!"
"Kan saya bilang tidak mau, ya tidak mau. Saya tidak suka ikut-ikut pasta itu."
"Namanya pesta, Diajeeeng!" Ajie mengehela napas, kelelahan mengikuti gerak Diajeng yang sangat cepat dan tangkas. "Kalau kuberikan sesuatu, kamu mau ikut, tidak?"
"Apa?"
Ajie berbisik, "kita datangi sawah!"
"Benarkah?" mata Diajeng membulat. "Tapi, bagaimana jika Bapak marah?"
"Bapak tidak akan tahu!" Ajie terkekeh misterius. "Kita lewat jalan rahasia. Tapi, kamu ikut ke pesta ulang tahun Genta."
Diajeng meletakkan periuk di atas meja makan dan menutupnya dengan tudung. Dia menghela napas. "Baiklah. Tapi, janji, ya? Tidak akan dimarahi."
Cengiran Ajie menampakkan gigi ompongnya. "Janji."
[]
Menjelang sore itu, Surya mengenakan pakaian yang lebih rapi, beranjak pergi. Diajeng memergokinya. "Mau ke mana, Pak?"
"Pos komando."
"Buat apa?"
"Bertemu teman."
"Ada apa?"
Pria itu menahan kerutan di keningnya, berusaha tak terlihat marah. "Diajeng, kamu tidak boleh ikut. Di sana tempat orang memantau gunung berapi. Kalau ada anak-anak--apalagi sepertimu--perkerjaan akan susah."
"Kami tidak merepotkan."
"Diajeng!"
Anak perempuan itu terkejut, mendengus, berlari ke dalam rumah. Surya juga dengan rahangnya yang keras, pergi naik sepeda. Dia memang mengadakan pertemuan tiap minggu sekali untuk memastikan bahwa desanya aman dari letusan gunung berapi, mengingat tiga desa makmur itu terletak di kaki Gunung Dieng.
Sesampainya di pos komando sore itu, para petugas yang sedang menyeruput kopi bangkit untuk menyambut. Mereka bilang, kondisinya aman-aman saja. Surya singgah sebentar untuk mengobrol, lalu kembali pulang. Dia ingin saja percaya dan menjadi tenang, namun sesuatu terus mengusik hatinya, memperingatkan bahwa jangan terlalu senang dengan apa yang terlihat di permukaan.
[]
Diajeng hampir kesal semalaman, meringkuk di atas kasur kapuknya. Tapi, dia tak menangis. Diajeng adalah anak perempuan yang kuat, namun keras kepala dan keras hati. Dia baru akan bangkit untuk mengambil jatah makan, sebelum jendelanya diketuk. Sebenarnya itu bukan jendela, melainkan bagian triplek yang dibentuk Ajie sedemikian rupa hingga dapat digeser. Seperti loket pembayaran kecil.
"Apa?" kata Diajeng ketus, ketika jendela itu ia geser sedikit menampakkan wajah Ajie. "Ini sudah malam, mau jam dua belas!"
"Saya mau kasih undangannya," kata seorang bocah laki-laki lain yang penampilannya agak mencolok, dengan pakaian harum, kaus kaki panjang dan sepatu. Genta tersenyum malu. "Diajeng datang, ya, ke pesta ulang tahun saya yang ke sepuluh!"
"Oh," Diajeng mengagguk, "iya, nanti saya datang. Sudah, sana pergi. Apa kalian tidak kena marah kalau main jam segini? Kamu juga, Ajie. Kasihan Ibu menjaga adikmu sendirian."
"Ih, tidak apa-apa, tuh," sangkal Ajie. "Wulan baru setahun. Dia cuma bisa, huhuhu."
"Ya sudah, terserah," kata Diajeng. "Gih, pulang!"
"Aku tidak bisa tidur," kata Ajie. "Aku tidak sabar mau ke pesta ulang tahun Genta! Dia bilang, ada mobil-mobilan."
"Dan banyak permen!" seru Genta.
"Kue?"
"Hadiah!"
Akhirnya, kedua anak itu asyik berbincang di jendela kamar Diajeng--yang justru semakin pusing. Kedua temannya membuat kerusuhan, sementara Surya pasti sudah tertidur saking lelahnya berkerja.
"Sudah, pulang, lah!" Diajeng menguap, matanya mulai berat. "Orang tua kalian, memangnya, tidak mencari?"
"Papa dan Mama sibuk membaca, menulis, menelepon," kata Genta. "Sibuk-sibuk-sibuk."
"Kalau aku dikira sudah tidur!" Ajie tertawa. "Aku, kan, jago pura-pura-eh, aduh!?"
Angin deras menderu hingga menerbangkan daun-daun dan menggoyangkan pohon. Genta mengucek matanya yang hampir kelilipan. "Kenapa anginnya panas? Sepertinya mau hujan. Aku pulang saja, lah."
"Iya!" sahut Ajie. "Diajeng, jangan lupa tutup jendelamu. Anginnya mengerikan--"
Tiba-tiba, terasa getaran samar dari tanah yang semakin kuat. Ketiga anak itu melotot.
Diajeng merasakan seisi rumahnya terguncang, api dalam lenteranya berkedap-kedip hingga padam, barang di kamarnya berserakan. Dia segera keluar dan bertemu Surya di ruang tamu, yang segera menggendongnya ke luar rumah. Warga-warga sekitar turut melakukan hal yang sama, berduyun-duyun keluar dengan panik, berkumpul di tanah lapang.
"Diajeng, jangan ke mana-mana!" Ajie menghampiri Diajeng dan menggenggam tangannya. Kedua keluarga itu, Surya dan orang tua Ajie, berkumpul berdekatan. Wulan masih tertidur dalam bendongan yang terikat pada ibunya.
Kepala desa menghimbau untuk tetap tenang dan tidak mendekati bangunan, menunggu sejenak di bawah malam yang kian panas mencekam. Beberapa pria sudah menyalakan obor sebagai pusat cahaya.
"Tidak akan lama," kata Ajie. Ia tampak sangat pemberani jika menyangkut masalah yang serius seperti sekarang. "Kita sudah biasa gempa, 'kan?"
Dalam keheningan yang penuh gumaman khawatir itu, guncangan kembali terjadi. Beberapa wanita menjerit kaget, sebagian lagi menenangkan anak-anak mereka yang menangis. Dunia seakan-akan hendak meruntuhkan tempat warga desa berpijak dan melumatnya habis. Keadaan semakin buruk ketika seseorang datang tersenggal-senggal. "Ada awan hitam raksasa di atas kawah Sinila!"
Semua orang terkejut alang kepalang, mendapati hati mereka bergetar ketakutan. Apa yang akan menimpa mereka sebentar lagi? Tahu-tahu, gempa dahsyat kembali terjadi disertai suara ledakkan besar. Jerit dan tangisan terdengar di mana-mana.
"KAWAH SINILA MELETUS!"
"Diajeng!" Surya segera menarik tangan anaknya dan berlari bersama warga desa. Semua bergerak panik dalam barisan yang sama menjauhi desa. Mulanya, mereka tak mempunyai tujuan selamat, namun entah mendapatkan pikiran dari mana, mereka bergegas menuju Kepucukan-yang justru wilayah paling berbahaya.
"Ajie!" teriak Diajeng. Anak laki-laki itu telah terpisah dengannya karena terbawa arus warga lain.
Suara letusan terus memekakkan telinga dan membuat lutut siapa pun lumpuh. Dalam rombongan Diajeng, mereka menyusuri jalan menanjak di antara pepohonan dan semak, terseok-seok, ketakutan. Kegelapan di antara obor yang meretih-retih membuat Diajeng tersungkur jatuh, tapi orang-orang terus bergerak. Surya sudah lenyap. Para orang tua meninggalkan anaknya, para anak meninggalkan orang tuanya. Manusia kocar-kacir seperti laron.
Ketika itu, Diajeng menangis. Dilihatnya suasana mimpi buruk bak tayangan neraka yang bengis. Orang-orang menjerit dan memegangi leher mereka, seperti terjerat kawat, tercekat. Mereka telah menghirup udara beracun dari kawah yang semakin pekat.
"Diajeng!" Ajie tahu-tahu muncul, menarik Diajeng bangkit dan berlari ke arah berlawanan. Wulan menggerung menyayat hati dalam gendongan Ajie. Kedua anak itu terus berlari melewati orang-orang yang mulai dicambuk malaikat maut, jatuh bergelimpangan dan menggelepar, sebelum darah mengalir keluar dari seluruh lubang di tubuh mereka.
Diajeng menangis habis-habisan, Ajie tak kalah frustasinya meski ia terus mendekap Wulan sebelah tangan. Hingga ketika mereka hendak menuruni tanah, Ajie tersandung dan terguling-masih melindungi Wulan. Diajeng menjerit kaget, hendak membantunya sebelum Ajie menyerahkan Wulan yang menangis keras. Ajie sendiri dengan kepalanya yang sudah berdarah, wajah penuh air mata dan bercak tanah, berkata, "cari Genta! Selamatkan diri kalian."
"Ajie, ayo!" Diajeng menggendong Wulan dengan sebelah tangan dan menarik Ajie, namun anak lelaki itu menepisnya.
"Jangan banyak bernapas! Cepat pergi--aaarrghhh!" Ajie menggerang dan menggelepar sebelum jiwanya telah naik ke angkasa.
Diajeng menahan hatinya yang begitu hancur seperti diremuk, diinjak-injak. Dia berlari menjauh sambil terus mendekap Wulan yang masih menangis dalam gendongan. Diajeng merasa matanya perih dan tenggorokannya mulai sakit, tapi dia terus bertahan hingga menemukan obor-obor menyala di sebuah daerah.
Orang-orang dewasa berdatangan menggotong mereka, mengamankan Wulan yang banyak terluka. Pandangan Diajeng mulai buram, seluruh tubuhnya sakit. Dia menatap langit gelap kebiruan yang mengantarkannya menuju alam bawah sadar.
[]
Kesedihan menguar di pengungsian. Mobil jeep dan angkut berangsur-angsur datang, berhenti di halaman. Warga desa meninggalkan seluruh harta benda mereka, yang bahkan, setelah itu sempat dijarah oleh orang-orang biadab. Kini mereka tak memiliki apa-apa selain kehidupan.
Seorang anak perempuan duduk di sudut teras, jauh dari keramaian. Pandangannya nanar kepada rumput-rumput kering yang dibelai angin. Dalam benak kecilnya, Diajeng bertanya-tanya: untuk apa semua ini terjadi? Apakah Tuhan marah pada mereka? Apakah alam murka pada mereka? Mungkin selama ini, mereka sudah banyak berbuat salah namun tak pernah menyadarinya.
Manusia baru akan sadar bahwa mereka bergelimpangan dosa, ketika ditimpa bencana dan menyesal.
Selalu seperti itu.
Seseorang datang, duduk di sebelah Diajeng. Meski kedua orang tuanya selamat, orang tua teman-temannya banyak yang meninggal. Bahkan temannya juga meninggal. Hati Genta benar-benar terenyuh, ia meminta orang tuanya mengeluarkan seluruh uang untuk mendanai kebutuhan desa.
"Diajeng," panggil Genta. Dia sebenarnya sangat sedih, karena acara ulang tahunnya yang meriah harus batal oleh tragedi naas. Bayangan senyum anak-anak desa yang bahagia mendapatkan hadiah, lenyap begitu saja. Seperti angin. Angin panas yang pertama kali datang seperti ketukan pintu sebelum bencana bertamu.
"Selamat, Genta," Diajeng menoleh dan tersenyum tipis, "sudah sepuluh tahun."
Genta terkejut, matanya mulai berkaca-kaca. "Tidak usah, tidak apa-apa ...."
"Biar pun orang-orang bersedih, bukan berarti kamu juga harus," tutur Diajeng. "Senyum, lah. Kamu harus bersyukur."
Kedua pipi Genta yang putih dan tembam merona. Dia mengangguk.
"Genta!" seorang wanita tua berdiri di ujung teras sambil menggendong bayi perempuan. "Tolong jagakan dulu!"
"Iya, Bibi!" anak lelaki itu beranjak sebentar. "Ini adiknya Ajie, 'kan?"
Diajeng menatap Wulan dengan sedih, lalu merengkuhnya. Diajeng mendekap Wulan erat-erat seolah dia adalah Ajie. Seolah dia adalah Surya, atau Utari, ibunya. Wulan tampak sebagai kesatuan wujud orang-orang yang paling Diajeng sayangi, satu-satunya yang Tuhan tinggalkan.
Genta juga ingin memeluk Wulan dan Diajeng, tapi dia terlalu malu. Dia hanya bertekuk dan memeluk lututnya sendiri; bertanya-tanya, kapan dia bisa memberikan seluruh kebahagiaan dari berbagai penjuru dunia untuk Diajeng.
"Genta," panggil seorang pria muda bersetelan necis. Dia mendekati mereka. "Ayo, berkemas."
"Berkemas?" Genta terkejut. "Mau ke mana?"
"Pindah. Papa tertinggal informasi bahwa tempat ini menyimpan banyak kawah berapi. Kita akan cari tempat yang lebih aman."
"Ta-tapi!" Genta melirik Diajeng yang sedang memangku Wulan. Papanya ikut melirik mereka, berpikir, kemudian menghela napas.
"Ajaklah."
Mata Genta membulat. "Sungguh? Ini sungguhan Papa, 'kan."
"Iya!" pria itu mencubit ujung hidung Genta. "Memangnya siapa lagi?"
Genta tersenyum lebar. Dia memegang pundak Diajeng. "Mau, ya, Diajeng? Tinggal bersama kami. Rumahnya luas, tapi sepi sekali. Tidak ada teman bermain."
Diajeng berpikir sejenak, meletakkan dagunya di atas kepala Wulan yang asyik bertepuk tangan. Dia sudah tak punya siapa-siapa di desa itu. Rumahnya juga tidak ada. Setelah pengungsian ini selesai, dia harus ke mana? Sementara di depan Diajeng sekarang, ada seseorang yang sangat membutuhkannya, bahkan memberinya tempat tinggal. Mungkin, dari serentetan hidup yang dijalaninya sejak dulu, Tuhan menakdirkan bahwa akhirnya adalah begini.
"Baiklah," kata Diajeng. "Tapi, Wulan juga harus ikut."
"Dengan senang hati!" Genta saking bahagianya langsung memeluk Diajeng dan Wulan yang terkejut. "Kita harus main setiap hari!"
Keesokan harinya, mobil keluarga Genta sudah siap. Papa dan Mama Genta duduk di depan, anak-anak di belakang. Mereka memulai perjalanan meninggalkan desa. Meninggalkan Pegunungan Dieng.
Diajeng menghadapkan wajahnya ke luar jendela, merasakan angin segar menerpa dan mengisi paru-parunya yang kembali hidup. Sejak dulu, banyak kejadian tak terduga menimpa hidupnya. Mulai dari kematian Ibu, letusan kawah Sinila, hingga pergi meninggalkan Dieng. Semuanya, bagi Diajeng, adalah pemelintiran jalan hidup oleh Tuhan.
[]
Januari, 1999
"Begitu ...."
Wulan mengembuskan napas pelan ketika ceritanya berakhir. Ingatannya berkelebat ketika televisi di rumah mengulik kembali sebuah berita lampau pada 20 Februari 1979. Tentang Kawah Sinila yang meletus menjelang subuh karena gempa, sehingga mengeluarkan gas beracun yang mencemari udara sekitar pedesaan. Sekitar 149 jiwa manusia melayang. Hewan ternak pun turut menjadi korban. Kini, berita itu sudah tenggelam oleh masa dan terlupakan. Namun bagi Wulan, tragedi itu tidak akan pernah lepas dari memorinya.
Dari hidupnya.
"Saya masih tak mengerti, kenapa harus terjadi bencana di tanah saya? Tahu, kan. Bapak dan ibu kandung saya sudah lama mati karena itu. Abang saya juga," lirih Wulan. "Meski tidak ingat bagaimana rupanya, saya tetap menyayangi mereka."
"Wulan, saya turut berduka," kata Maheswa. "Itu sebuah kisah yang sangat berat, terutama jika kamu harus pergi ke sana dan lagi-lagi teringat. Tapi, sedikit hal yang ingin saya tanya."
"Apa itu?"
"Apakah mereka yang telah berkalang tanah bisa kembali?"
"Tidak, Maheswa."
"Apakah masa lalu bisa diperbaiki dengan alur yang kita mau?"
"Tentu tidak bisa."
"Begitu, lah, Wulan. Sedih itu wajar, tapi berlarut-larut dalam kesedihan tidak baik bagi jiwamu. Ketika sebuah tragedi telah berlalu, kita dihadapkan pada masa sekarang dan masa depan. Apakah kita akan terus menoleh ke belakang dan kesakitan, atau menghadapi yang di depan dengan teguh?"
Wulan terdiam, hanyut dalam penuturan Maheswa yang sangat lembut dan menenteramkan. "Saya mengerti ...."
Maheswa tersenyum. "Aku percaya kamu adalah perempuan yang kuat. Inilah jalan tempuhmu. Kamu harus menghadapinya, Wulan. Kuatlah."
"Maheswa ... terima kasih banyak," Wulan mengulum senyum, "saya tutup teleponnya? Kami sudah hampir sampai."
"Saya tunggu kisahmu nanti," pesan Maheswa. "Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Wulan melihat laporan teleponnya yang terjadi selama hampir satu jam. Mungkin Maheswa memiliki paket telepon yang tertimbun. Tapi, bukan itu yang membuat Wulan kaget. Dia mendengar sebuah isak tangis. Awalnya hanya satu, tapi kemudian semakin banyak. Wulan menengadah dan melihat bahwa seluruh temannya ikut menyimak cerita Wulan. Masing-masing memosisikan dirinya seperti sedang di bioskop.
"Wulan, saya tidak pernah tahu ceritamu itu!" Riandra membersitkan ingusnya dengan tisu. "Mengharukan sekali!"
"Benar!"
"Maafkan kami karena tidak peka dengan masa lalumu!"
"Iya, Wulan!"
Bibir Wulan gemetar, matanya mulai berkilauan.
"Wulaaan!" Riandra beranjak untuk memeluk Wulan. Teman-teman perempuan yang lain mengikuti gadis itu dan membuat tempat Wulan sesak, penuh haru. Wulan memang selalu tertutup di kelas, dan baru kali itu, tanpa sengaja dia menceritakan kisahnya pada mereka. Pak Supir ikut terharu dan mengusap air matanya yang menitik. Dia bergerak untuk menyetelkan sebuah lagu terakhir sebelum mereka tiba di Pegunungan Dieng.
Perjalanan ini trasa sangat menyedihkan
Sayang engkau tak duduk disampingku kawan
Banyak cerita yang mestinya kau saksikan
Di tanah kering bebatuan
Tubuhku terguncang dihempas batu jalanan
Hati tergetar menampak kering rerumputan
Perjalanan ini pun seperti jadi saksi
Gembala kecil menangis sedih
Kawan coba dengar apa jawabnya
Ketika ia kutanya mengapa
Bapak ibunya tlah lama mati
Ditelan bencana tanah ini
Sesampainya di laut kukabarkan semuanya
Kepada karang kepada ombak kepada matahari
Tetapi semua diam tetapi semua bisu
Tinggal aku sendiri terpaku menatap langit
Barangkali di sana ada jawabnya
Mengapa di tanahku terjadi bencana
Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita
Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa
Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita
Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang.
[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro