Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

FIRST LOVE


LAGU : Panggung Sandiwara - Achmad Albar

====

Sekarang tahun 2016 dan usiaku tepat menginjak angka 37 tahun. Namaku Elyezza dengan panggilan Yezza, memiliki sepasang malaikat kecil dan sekarang duduk di bawah pohon yang 20 tahun silam masih muda dan rindang. Jemariku yang sudah tak lagi langsing sibuk menari di atas kertas putih yang ditorehkan tinta hitam di atasnya untuk menceritakan kembali kisah ini.

Tahun 1995, tepat dua puluh satu tahun silam umurku genap 16 tahun. Aku bersekolah di satu-satunya SMA yang ada di kota Padang Panjang. Dulunya sekolah itu hanya bernama SMA Negeri, namun sekarang sekolah itu telah berubah nama menjadi SMAN 1 Padang Panjang.

Memang sedikit perubahan pada namanya, namun berubah total pada isinya dari terakhir kali aku meninggalkan kota ini pada tahun 1997 untuk meraih pendidikan di tingkat selanjutnya.

Tahun 1995, tahun yang penuh kenangan. Aku saat itu masih menginjak kelas 2 SMA dan duduk termenung di warung Ni Eli yang berada di dekat gerbang belakang sekolah memikirkan naskah drama kelas untuk mengambil nilai.

"Ooh Yez, kata Bu Yen naskahnya itu tentang anak sekolah, udah tau?" tanya Ima yang ikut duduk di sampingku.

"Udah Ma, tapi belum dapat ide. Bantuin dong."

"Hmm, apa ya? Tentang tawuran aja gimana?" usulnya.

"Tawuran? Gak perlu dibikin dramapun, kita bisa liat secara langsung pas pulang sekolah."

"Tawuran lagi? Dimana?"

"Depan sekolah, sama anak STM. Tadi kabarnya ada yang nyerang Bu Seli pas ibu itu baru sampai di gerbang. Kan kasian, ibu-ibu lagi hamil dilempari batu. Trus mereka berencana buat balas dendam."

"Apa? Serius? Memble banget mereka, nyerang yang lemah," kesal Ima tak terima.

Dulu, disaat aku masih SMA, kata-kata meble adalah kata-kata yang sedang popular. Memble berarti cupu yang berlawanan dengan kata kece, berarti keren. Dan sekarang kata-kata itu kembali terkenal di tahun 2016 ini.

"Jadi, udah dapat ide buat naskah dramanya?" tanya Ima lagi setelah meneguk segelas air putih.

"Ya belum. Otakku masih buntu," aku terkekeh. "Udah yuk masuk! Bentar lagi lonceng bunyi loh."

Kami berdua berjalan ke kelas. Sekolahku saat itu masih riuh dengan berita pelemparan batu oleh anak STM ke salah satu guru, terutama yang cowok, dan mayoritas dari mereka sudah siap sedia untuk membalas dendam ke anak STM.

Dulu, disaat peraturan belum berdiri tegak, tawuran adalah hal yang lazim. Dan karena itulah sekolahku, SMA Negeri, SMA yang hanya ada satu-satunya di kotaku dikenal sebagai sekolah yang paling ditakuti dalam hal tawuran. Bahkan keganasan dalam tawurannya melebihi keganasan anak STM.

Ya, itu dulu, disaat dua puluh satu tahun silam. Namun sekarang, di kotaku ini SMA tak lagi hanya ada satu-satunya, serta SMA Negeri yang dulunya dikenal dengan kenakalannya, sekarang telah dikenal dengan prestasi dan sopan santun serta taat agamanya, dan sekolah itu sekarang telah dikenal sebagai SMAN 1 Padang Panjang.

Langkah kakiku terhenti. Bu Yen memanggilku ke ruang guru untuk membantunya membawa beberapa buku Bahasa Indonesia yang akan dibagikan di kelasku.

"Ma, bantuin bawa bukunya. Aku gak kuat sendirian," seruku memanggil Ima yang ada di ambang pintu.

"Bentar, aku cari cowok aja, biar dia yang bawa semuanya," elaknya. "Ga! Virga! Bantuin dong, bawain buku ke kelas!" teriaknya ke entah siapalah itu.

Ima beranjak dari posisinya. Aku berpikiran kalau ia akan kabur dari permintaanku, namun pikiranku salah. Dia kembali ke ruang guru sambil menarik-narik tangan seorang pria.

"Nih, bawain ke kelas ya! Masa tega liat cewek bawa buku seberat ini," katanya lagi.

Cowok yang dipanggil Virga itu tampak tak keberatan. Dia membawa buku-buku itu tanpa keluhan sedikitpun.

"Eeh, sini aku bawa sedikit," tawarku dan lagi dia tidak mengeluh. "Kamu kelas berapa?" tanyaku sebagai formalitas. Kamipun mulai berjalan beriringan keluar kantor guru.

Dia tersenyum kecil. "Aku sekelas sama kamu," lalu dia terkekeh.

"Eeh? Sekelas? Tapi kok kayaknya aku belum pernah melihatmu sejak hari pertama belajar?"

"Gak pernah masuk dia mah Yez," jawab Ima yang berjalan di sampingku. "Sibuk sama..," Ima menggantungkan ucapannya karena mendapat tatapan sinis dari Virga.

"Sama apa?" tanyaku penasaran.

"Sama bisnisnya. Biasalah, anak pengusaha," jawab Ima.Aku tak lagi bertanya, pasalnya perasaanku mengatakan bahwa ada sesuatu yang tak boleh aku ketahui tentang Virga.

Jarak dari kantor guru dengan kelasku bisa dikatan sangat jauh. Kelasku berada di sudut sekolah bagian depan dan kantor guru juga terletak di sudut sekolah bagian belakang. Jadi jika ingin jalan pintas ke kelasku, aku harus berjalan Pythagoras melewati tanah lapang yang ada di tengah sekolah.

Sekarang tanah lapang itu telah disulap sebagai lapangan olahraga. Memuat lapangan bola, lapangan basket, dua buah lapangan volley dan lapangan takraw. Bisa dibayangkan bahwa seberapa jauh kelasku dengan kantor guru.

Di tengah perjalanan, Virga menyanyikan salah satu lagu yang sedang popular di tahun itu untuk mengusir kebosanannya. Suaranya merdu dan berhasil membuatku luluh.

Dunia ini panggung sandiwara.

Cerita yang mudah berubah

Kisah mahabrata atau tragedi dari Yunani

Setiap kita dapat satu peranan

Yang harus kita mainkan

Ada peran wajar, ada peran berpura-pura.

(Panggung Sandiwara- Achmad Albar)

"Mantap! Aku dapat ide!" teriakku tiba-tiba membuat Ima dan Virga menoleh berbarengan.

"Apa?" tanya Ima singkat.

"Gimana kalau dramanya kita masukkan lagu Panggung Sandiwara?"

"Emangnya ada tugas?" timpal Virga.

"Tugas Bahasa Indonesia," sahutku. "Kalau dari ideku sih gini, kita bikin cerita dramanya tentang percintaan sama persahabatan. Ada yang jatuh cinta, ada yang munafik, ada pihak ketiga dan ada pihak penengah. Jadi pas di puncak masalahnya atau diakhir-akhiran drama kita tutup dengan lagu itu?"

"Boleh juga sih, tapi, yang nyanyi siapa?" tanya Ima.

Aku melirik kearah Virga yang sedang memperhatikan percakapan kami. Dia menaikkan sebelah alisnya dan menatap untuk menolak.

"Boleh-boleh!" teriak Ima setuju.

Virga pasrah dengan keadaan. Ia pasrah setelah Ima mengancamnya dengan suatu hal yang sangat ia takuti.

----000----

Hari pertama latihan dan hanya beberapa orang yang hadir untuk latihan di rumah Santi. Beberapa orang yang hadir itu adalah aku, Ima, sang tuan rumah Santi, Virga, Dea, Indri, Fikri dan Kahfi.

Virga datang dengan membawa gitarnya. Aku yang berperan sebagai sutradara, datang dengan membawa naskah dan beberapa properti pendukung. Walau dari sedikit orang yang datang itu, kami tetap latihan beberapa adegan. Namun, latihannya hanya terjadi beberapa menit saja.

Kegiatan kami selanjutnya hanyalah bernyanyi-nyanyi dengan Virga yang menjadi pusat perhatian. Ya, suaranya yang merdu membuat orang-orang ketagihan untuk mendengarnya.

Mengapa kita bersandiwara

Mengapa kita bersandiwara

Peran yang kocak bikin kita terbahak-bahak

"Hahahaha!" Kami semua tertawa sebagai sound effect-nya.

Peran bercinta bikin orang mabuk kepayang

Dunia iniii...penuh peranan

Dunia inii, bagaikan jembatan kehidupan

Mengapa kita bersandiwara

Mengapa kita bersandiwara.

Aku menatap lamat Virga yang tampaknya larut dalam lagunya. Tapi, tak lama setelah itu, sepertinya Virga menoleh ke arahku dan tersenyum simpul. Senyuman tulus yang berbeda dari sebelumnya. Senyuman yang berhasil membuatku merasa suka dengan dirinya.

Semua orang bertepuk tangan untuk Virga, termasuk aku. "Lagi! Lagi! Lagi!" teriak kami bersama-sama untuk menuntut Virga kembali bernyanyi.

"Udah ya, aku lapar," dia terkekeh.

"Ooh iya, bagaimana kalau kita pergi makan? Berhubung sejak tadi kita cuma ngemil, aku punya usulan tempat makan yang enak dan murah. Bagaimana?" sambung Fikri.

"Aku ikut!" seru ima.

"Aku juga!" aku sependapat dan begitu juga yang lainnya.

Saat itu juga kami pergi bersama-sama ketempat yang ditunjukkan Fikri. Masing-masing kami menggunakan sepeda untuk pergi ke sana. Dulu jalanan dikota ini masih sangat sepi. Di setiap pinggir jalanan dan setiap perumahan pasti ditumbuhi pohon, membuat jalan raya dan trotoar menjadi teduh.

Anak-anak kecilpun biasa bermain di tepi jalan. Ada yang bermain lore, lompat tali, ginggong, petak umpet dan lainnya. Pemandangan yang sangat langka untuk zaman sekarang.

Virga tepat di belakangku. Dia tampaknya sengaja melambatkan kayuhnya untuk mensejajarkan posisinya dengan Santi. Santi, gadis cantik di kelasku, wajar saja jika Virga berusaha mendekatinya.

Saat itu juga aku merasa kecewa. Rasa sukaku kepadanya hilang sudah.

Mending aku tidak menyukainya lebih dalam lagi. Aku tak mau terluka dikemudian hari, batinku meyakinkan diri.

----000----

Latihan kami tetap berlanjut, namun dari hari ke hari aku semakin menjaga jarak dengan Virga. Walau perasaanku padanya hanya sekilas, namun aku akan tetap jaga jarak dengan dirinya agar menghargai perasaannya ke Santi.

Sekarang hari selasa dan sudah sore. Aku baru bisa pulang dari sekolah setelah selesai latihan drama untuk yang kesekian kalinya. Ya, kami latihan setiap pulang sekolah untuk menyelesaikan drama ini lebih cepat dibandingkan kelas lainnya.

"Yez!" panggil Virga dari kejauhan. Aku menoleh dan berhenti berjalan.

"Apa?"

"Aku mau pulang bareng," dia terkekeh.

Aku kembali merasa senang dengan dirinya, namun langsung ku urungkan mengingat tekadku yang bulat. Berusaha bersikap normal, akupun menjawab, "Tumben pulang jalan, biasanya sepeda atau gak motor."

"Ya, sesekalilah, jalan itu 'kan sehat, sekalian olahraga. Oh ya, aku minta nomor teleponmu dong," dia bertanya dan jantungku berdetak kencang. Aku masih berusaha tetap bersikap normal. "Punya 'kan?"

"Punya kok, catat ya." Aku pun memberikan nomor teleponku kepadanya. Kamipun kembali berjalan dan berpisah setelah Virga mengantarku ke rumah.

Baru membuka pintu, pandanganku dan perhatianku langsung tersita oleh telepon rumah. Berharap bahwa Virga akan meneleponku. Namun seberapa keras aku mengelak untuk tak mendekatinya, harapanku mendorongku untuk mendekatinya. Hingga disinilah aku, duduk termenung menunggu telepon dari dirinya.

----000----

Pagi hari, moodku sudah buruk. Semalaman menunggu telepon yang datang, tapi tak satupun ada telepon dari orang yang ditunggu. Pagi itu aku sudah menghilangkan semua rasa yang pernah ada di hatiku.

Sekolah tampak lebih lengang dari kemaren. Tapi aku sama sekali tak peduli dengan suasana sekolah. Lonceng masuk berbunyi dan semua siswa masuk ke dalam kelas masing-masing. Di kelasku hanya mayoritas cewek yang hadir, para cowok lenyap entah kemana.

Termasuk dia. Virga. Hari ini dia absen dan perasaanku merasa tak enak.

Waktu seakan berlalu lebih cepat. Lonceng pulang telah berbunyi. Kami tak latihan drama untuk hari ini karena siswa yang hadir bisa dikatakan tidak lebih dari cukup.

Aku berjalan menyusuri jalan untuk pulang. Di tengah jalan, aku menemukan kericuhan. Tawuran lagi. Aku hendak berputar balik, namun mataku menangkap sesosok Virga di barisan depan.

Dia memakai baju sekolah dan tampak sangat emosi saat melemparkan batu ke arah lawannya. Virga tawuran? Bagaimana bisa?, batinku tak percaya. Aku masih memerhatikannya dari jauh, dan akhirnya mata kami bertemu.

Aku membuang muka dan langsung pergi dari tempat itu menuju rumah Ima yang tak jauh dari sekolah. Dengan perasaan yang menggebu-gebu, aku mengetuk pintu rumah Ima.

"Virga tawuran!" ucapku setelah ia membukakan pintu untukku.

"Lagi?!" katanya spontan.

"Maksudmu?"

"Aah, sebenarnya dia gak hadir sekolah, itu untuk tawuran. Awalnya aku mau memberi tahumu, tapi dia melarangku, sampai akhirnya kau mengetahuinya sendiri."

"Jadi kamu sudah lama mengetahuinya?"

"Iya. Aku sudah bertemanan dengannya sejak SMP. Aku sudah lama mengenalnya. Maafkan aku ya Yez."

Aku diam.

"Kamu mau masuk dulu?"

"Aku mau pulang," jawabku singkat.

"Oke, aku akan menemanimu pulang. Tunggu di sini, aku akan tukar baju."

Kami berjalan memutari tempat tawuran. Sebelum berpisah, aku sempat meminta nomor telepon rumah Virga ke Ima dan ia memberikannya tanpa bertanya sedikitpun.

Aku menunggu sampai jam 7 malam. Waktu yang pas untuk menelponnya, karena jam segitulah orang biasanya bebas dari kegiatan.

"Halo," sapaku.

"Halo?"

"Ini kediaman Virga?"

"Ya, dengan saya sendiri."

"Aku Yezza. Ga, kamu baik-baik saja?Kamu terluka? Kenapa pakai acara ikutan tawuran sih!"

Dia tertawa.

"Kenapa malah ketawa?"

"Apa aku gak boleh tertawa?"

"Boleh, tapi 'kan sekarang gak ada yang melucu!" bentakku.

Dia diam.

"Ga, kamu masih di sana?"

"Ya ya ya! Aku masih di sini. Aku tutup teleponnya ya," balasnya lalu sekejap kilap ditutupnya.

Hatiku sakit. Apa salahku sampai diperlakukan seperti ini? Apa aku telah mengganggunya? Aku tau aku bukan siapa-siapanya dia. Aku tau aku tak berhak berlaku seperti itu.

Air mataku menetes. Aku kecewa, sangat kecewa. Aku menangis di dekat telepon rumah. Beruntung saja rumahku saat itu kosong karena semua anggota keluargaku sibuk dan aku bisa menangis dengan sepuasku.

Tak lama setelah itu pintu rumahku diketuk. Aku mengelap air mataku dan berusaha agar tampak normal dan menghilangkan bekas tangisanku. Aku membuka pintu dan mendapati Virga di depan pintuku. Wajahnya tampak berseri.

"Hai," sapanya. "Kenapa? Terjadi sesuatu? Kamu habis menangis?"

Aku tergugu. Kenapa dia datang ke sini?

"Hei? Apa saya bisa berbicara dengan arwahnya Yezza?"

"Kamu kenapa ke sini?"

"Aku mau ngomongin sesuatu," ucapnya. "Ingin mengutarakan perasaanku. Aku suka sama kamu Yez," ucapnya mulus tanpa hambatan.

Aku terkejut. Sejak kapan dia bisa menyukaiku? Bahkan kami baru bertemu beberapa hari yang lalu. "Kenapa? Kenapa tiba-tiba sekali?"

"Sebenarnya aku sudah menyukaimu sejak awal SMA."

"Kenapa bisa? Kenapa kamu menyukaiku?" Aku tau aku banyak bertanya. Ini seperti bukan diriku. Namun, jika masalah perasaan, aku tak bisa diam.

Dia tersenyum. "Karena kamu pengertian."

Aku menaikkan alisku, tak mengerti dengan yang dia katakan. "Kamu orang yang rela berkorban Yez."

"Haah? Kenapa kamu bisa menilaiku seperti itu?"

"Dari awal kita bertemu, kamu sudah menampakkan sifatmu yang sebenarnya. Kamu menjaga perasaan orang, kamu mengkhawatirkanku walau kamu tau perbuatanku itu salah."

Aku diam, menunggunya menyelesaikan kata-katanya.

"Aku tau kamu itu tulus. Aku tau kalau kamu pernah menyukai Aldi yang dianggap rendah oleh orang lain, aku tau kalau kamu menilai orang bukan dari tampilan luar, karena itulah aku menyukaimu. Namun, aku selalu tak bisa mendekatimu dari dulu," dia menjelaskan.

Aku terharu, ingin mengatakan: "ya aku mengerti," tapi kata inilah yang keluar dari mulutku. "Kenapa? Kenapa aku? Kenapa tidak Ima saja?"

"Aku dan Ima sudah berjanji bahwa tak akan ada suka diantara kami. Dan juga, Ima sudah memiliki pacar, kau tahu itu bukan?"

"Ooh," lalu aku mengangguk

"Jadi, apa kamu mau jadi pacarku?"

Aku mengangguk malu dan dia tersenyum merkah. Hari itu adalah hari terspesialku. Virga dan aku berbicara singkat tentang banyak hal, termasuk tentang kenapa dia suka sekali menyanyikan lagu Panggung Sandiwara.

Dunia ini panggung sandiwara.

Cerita yang mudah berubah

Kisah mahabrata atau tragedi dari Yunani

Setiap kita dapat satu peranan

Yang harus kita mainkan

Ada peran wajar, ada peran berpura-pura.

Mengapa kita bersandiwara

Mengapa kita bersandiwara

Peran yang kocak bikin kita terbahak-bahak

Peran bercinta bikin orang mabuk kepayang

Dunia iniii...penuh peranan

Dunia inii, bagaikan jembatan kehidupan

Mengapa kita bersandiwara

Mengapa kita bersandiwara

Dunia iniii...penuh peranan

Dunia inii, bagaikan jembatan kehidupan

Mengapa kita bersandiwara

(Panggung Sandiwara- Achmad Albar)

"Kamu tau kenapa aku sering menyanyikan lagu ini?" Aku menggeleng. "Lagu ini seperti cermin bagiku. Setiap aku menginginkan sesuatu, aku harus bersandiwara dahulu, dan setelah berhasil bersandiwara, aku akan mendapatkan hasil yang memuaskan. Namun aku sering berpikir-pikir kenapa harus bersandiwara dulu, kalau kita menjadi diri sendiri saja sudah memuaskan. Tapi setelah melihat kenyataan yang ada, didunia ini kita harus bersandiwara. Hidup ini keras ya 'kan?"

"Hahaha, sekarang aku mengerti semuanya," aku berucap malu.

Tak lama setelah itu dia pamit pulang. Aku menghempaskan badan dan menggeliat karena kegirangan. Aku tak bisa mengucapkannya dengan kata-kata.

----000----

Sekarang aku berjalan kegirangan menuju sekolah. Namun dalam perjalanan ke sekolah, aku melihat garis polisi di tepi trotoar. Aku merasa ngeri dengan bekas darah yang masih melekat di trotoar itu.

Sekolah tampak ramai dari kemaren. Sangat pasang surut. Ima mendatangiku dengan wajah yang sangat suram.

"Virga meninggal," ucapnya lirih. Kata-kata itu berhasil membuatku kaku.

"Bohong 'kan?" ucapku tak percaya.

Ima menggelengkan kepalanya. Air mataku keluar begitu saja. Mataku mulai kabur dan menghitam. Aku pingsan.

Begitulah kejadian yang selalu terbayang diingatanku. Cinta pertamaku yang tak berjalan lama. Tak lebih dari 24 jam. Sampai sekarang aku sangat mengingat Virga. Seorang Virga yang meninggal dikarenakan atas serangan secara bersama-sama saat malam dimana ia pulang dari rumahku. Dan sekarang, di bawah pohon nan tak lagi rindang ini, aku akan menyanyikan lagu yang sering dinyanyikan Virga.

Dunia ini panggung sandiwara.

Cerita yang mudah berubah

Kisah mahabrata atau tragedi dari Yunani

Setiap kita dapat satu peranan

Yang harus kita mainkan

Ada peran wajar, ada peran berpura-pura.

Mengapa kita bersandiwara

Mengapa kita bersandiwara

Peran yang kocak bikin kita terbahak-bahak

Peran bercinta bikin orang mabuk kepayang

Dunia iniii...penuh peranan

Dunia inii, bagaikan jembatan kehidupan

Mengapa kita bersandiwara

"Hidup ini keras 'kan Virga?" Aku tersenyum lalu menutup buku putih yang bertoreh hitam ini.

.

.

TAMAT

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro