Waktu Yang Salah - Fiersa Besari
Dipersembahkan oleh Queen SitiiNuraenii
--
Hidup memang sebuah pilihan, tapi hati bukan 'tuk dipilih.
Bila hanya setengah dirimu hadir, dan setengah lagi untuk dia.
...
Beri kisah kita sedikit waktu, semesta mengirim dirimu untukku.
Kita adalah rasa yang tepat, di waktu yang salah.
***
Hari semakin sore, langit memamerkan semburat merahnya. Namun, suasana di sekolah Farah masih saja ramai. Kebanyakan dari mereka adalah para pengurus OSIS yang tengah membereskan peralatan bekas berlangsungnya acara class meeting.
Farah, selaku pengurus inti OSIS duduk di depan kelas X IPS 2, memantau rekan-rekannya. Sebelumnya ia juga ikut membantu mereka. Namun, kemudian ia memilih untuk menepi. Bukan lelah fisik yang ia rasakan, sebagai pengurus inti OSIS pikirannya lebih sering lelah dibandingkan kondisi tubuhnya. Terlebih lagi, masalah lain yang tengah ia hadapi saat ini.
Dari kejauhan, dapat ia lihat Adam tengah berjalan menuju ke arahnya, pandangannya lurus menatap retina Farah. Hal yang Farah sukai dari laki-laki itu ialah cara berjalannya, tegap, tak peduli dengan orang lain di sekitarnya. Entah apa alasannya, tapi Farah menyukainya.
"Dicariin dari tadi, eh, tahunya duduk disini," ucap Adam yang kemudian mendudukkan dirinya di samping Farah.
Farah menoleh, senyumnya terukir tipis. "Kangen, ya?"
"Iya."
Keduanya tertawa renyah. Ceruk pada pipi Farah membuat tatapan Adam tak beralih dari gadis di sampingnya. Farah terlihat manis.
Sekadar informasi, setelah sekian lama berteman tanpa batas perasaan, akhirnya Adam meminta Farah untuk menjadi kekasihnya. Ia tak lagi mengejar Reva, perhatiannya kini hanya tertuju pada Farah. Ia tak lagi membiarkan Farah berharap tanpa kepastian. Tak lagi membiarkan Farah bimbang sebab perhatian yang melebihi batas dari sekadar teman.
Mereka berdua saling diam, keadaan berubah menjadi serius. Sejak beberapa hari lalu, sebenarnya mereka tengah terlibat masalah. Apa lagi kalau bukan tentang hubungan keduanya.
Jengah dengan keadaan yang tetap hening, Adam akhirnya angkat bicara.
"Jadi, mau bahas apa sekarang?"
Farah tak langsung menjawab. Sound system yang masih teronggok di tepi lapangan memutar lagu Waktu Yang Salah milik Fiersa Besari. Entah siapa yang memutarnya, namun, lagu itu seolah menggambarkan keadaan Farah dan Adam saat ini.
"Ya lanjut bahas yang kemarin," jawab Farah akhirnya.
Adam mengembuskan napasnya, ia menoleh pada Farah yang masih tetap memandang lurus ke depan. "Yaudah, gimana?"
"Gimana apanya? Bukannya udahan?"
"Dari kemarin ngomongnya udahan terus. Nggak mau diomongin baik-baik dulu, apa?"
Farah beralih menatap mata hazel Adam. "Aku udah sangat baik buat nggak memperpanjang semuanya, makanya aku pilih buat udahan. Lagian, siapa sih yang baik-baik aja kalau tahu cowoknya suka sama cewek lain?"
"Far, aku udah nggak ada rasa sama Reva."
"Bohong. Kamu belum move on dari Reva."
"Kalau aku belum move on, nggak mungkin sekarang kita bisa sama-sama kayak gini," elak Adam.
"Cara kamu buat move on itu ya sama aku. Kamu nembak aku supaya bisa lupa sama Reva."
Adam terdiam. Tak ada yang salah dengan apa yang diucapkan Farah. Gadis itu benar, caranya melupakan Reva adalah dengan mendekati Farah.
Tapi, kalau Farah bertanya apa ia menyukainya, tentu saja Adam akan menjawab iya. Kebersamaan mereka selama ini mustahil jika tidak menimbulkan benih-benih rasa. Namun tetap saja, Adam memang masih menyimpan nama Reva dalam hatinya.
"Bener, kan?" celetuk Farah. "Aku nggak akan maksa kamu buat terus sama aku. Kalau nyatanya, hati dan perasaan kamu masih buat dia."
"Far." Adam meraih jemari gadis itu, menggenapkannya dengan jemari miliknya. Pandangan mereka beradu.
"Aku nggak marah sama kamu walaupun cuma dijadiin pelarian. Justru aku seneng, karena perhatian kamu yang dulunya cuma sebatas teman akhirnya ada kepastian. Ya... meskipun ujung-ujungnya kecewa," tutur Farah, kemudian terkekeh kecil.
Adam mengepalkan salah satu tangannya dengan erat. Melihat Farah tertawa justru membuatnya kesal. Jujur saja, Adam lebih senang melihat Farah marah padanya dibandingkan bersikap biasa saja seolah tidak terjadi apa-apa.
"Far, kamu nggak nangis?" tanyanya pelan, mata hazelnya menatap retina Farah dalam.
Gadis itu kembali terkekeh, ia balas menatap Adam lekat. Farah menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, pandangannya buram. Ia berusaha untuk tidak menangis di hadapan Adam. Gadis itu menolak untuk terlihat lemah.
"Nangis aja, Far. Kalau bisa, kamu marah aja sama aku. Jangan malah ketawa kayak gini, itu malah bikin aku makin merasa bersalah."
Farah tak lagi menahannya, air matanya luruh begitu saja. Ia menarik tangannya dari genggaman Adam, digunakannya untuk menyingkirkan air mata yang tak henti membasahi pipinya. Tangan Adam terangkat, diusapnya pipi Farah dengan lembut.
"Maaf, Far," lirih Adam.
Farah mengangguk. "Bukan salah kamu juga," balasnya dengan suara yang sedikit tersendat.
Gadis itu terdiam sejenak, menenangkan dirinya dari tangis yang tak kunjung reda. Setelah sedikit tenang, Farah melanjutkan perkataannya.
"Kita berdua perlu waktu buat sendiri. Kita sakit kalau terus kayak gini. Seperti yang kamu bilang waktu itu... nggak usah bikin komitmen, cukup saling percaya."
"Tapi kamu percaya sama aku?"
Farah mengedikkan bahunya. "Gombal terus, susah percaya."
Adam mencubit pipi Farah dengan gemas. Keduanya tertawa.
"Persis seperti yang Fiersa Besari tulis di lagunya, kita adalah rasa yang tepat di waktu yang salah," ucap Farah lagi. Adam termenung mendengarnya.
"Kalau nanti rasa aku udah tepat, terus waktunya udah bener, aku boleh balik lagi?"
"Kenapa nggak? Aku orangnya setia."
"Kamu nggak takut kecewa?"
Farah menggeleng. "Karena aku percaya."
"Kalau gitu, kita balik kayak biasa? Teman tapi mesra?"
Farah memukul lengan Adam kesal. "Itu sih maunya. Aku yang kesiksa, teman tapi kok mesra. Bikin kesel, baperin terus, tapi kepastiannya nggak ada."
Adam meringis. "Maaf, ya."
Laki-laki bermata hazel itu kembali menggenapkan jemari Farah dengan jemarinya. Rasanya untuk Reva, coba ia enyahkan. Tak ada yang lebih berharga selain kehadiran Farah di sisinya. Yang tetap percaya, bahkan setelah dibuat kecewa.
Tamat
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro