Pertemuan Singkat - Vierra
Dipersembahkan oleh Queen Xanaarchy
--
Apa kau ingat pertemuan pertama kita?
Waktu itu saat matahari sedang terik-teriknya dan bersiap membakar tubuhku di tengah lapangan upacara seorang diri dengan kepala di tutupi oleh bola yang di potong setengahnya, kalung dari berbagai jenis cabe dan bawang-bawangan serta di mulutku ada sebuah dot bayi. Tangan kananku terus memberi hormat serta mata bulatku menatap lurus tanpa mempedulikan ejekan orang-orang.
Sesekali ada senior yang memotretku layaknya fotografer profesional. Masih mending jika aku sedang dalam keadaan tampan, tapi ini masih saat MOS dan aku sedang berdandan konyol seperti ini. Aku tak menyangka gara-gara buang sampah sembarangan mengakibatkan aku di jemur layaknya pakaian seperti ini.
Saat itu aku mendengar gelak tawa yang khas, membuatku beralih dan menatap siapa si pelaku. Di sana, aku melihatmu dengan pakaian dan atribut yang sama sepertiku. Rambut panjang hitammu di kepang dua seperti cewek lainnya. Mata hazel-mu bahkan sampai berair karena gelak tawa yang keluar dari mulutmu. Detik itu pula, kekesalanku menjadi berlipat ganda karena dirimu.
Dirimu, seorang gadis yang tidak aku kenal, dengan berani menertawakan kebodohanku. Bahkan kau tertawa sambil memegang perutmu, seolah aku ini sangat menggelikan hingga tawa yang keluar dari mulutmu terdengar sangat puas seperti kau yang bersenang-senang di atas penderitaan orang lain.
Apa kamu tau, rasanya ingin aku pelototi wajah cantikmu dan ingin aku cubit pipi gembilmu karena dengan seenaknya menertawakanku. Tapi beruntunglah saat itu aku masih waras dan mencoba mengabaikanmu, menganggap kamu tidak ada di sana.
Bel masuk terdengar, orang-orang mulai berhenti mengerubungiku dan akhirnya hukumanku selesai. Rasanya kaki panjangku sangat pegal bahkan seolah menancap ke tanah, tangan kananku juga pegal. Tenggorokanku kering sehingga aku butuh minuman yang menyegarkan untuk memuaskan dahagaku. Hukuman ini di tambah cuaca panas benar-benar membuatku terkesan, ini sensasi yang luar biasa. Mulai saat ini aku takkan buang sampah sembarangan lagi.
Saat aku mulai melangkahkan kaki untuk menuju kelas, tiba-tiba seperti ada seseorang yang menarik baju seragamku. Sontak aku berhenti dan menoleh ke belakang. Saat itu wajahmulah yang pertama kali aku lihat. Kamu tersenyum sambil menyodorkan air mineral dingin untuku. Kamu tersenyum manis ... sangat manis nan lembut, berhasil membuat jantungku berhenti berdetak selama satu detik. Detik berikutnya detak jantungku tiba-tiba menggila karena aku mendengar tawa kecil dari mulutmu. Bodohnya aku sampai mengira bahwa aku akan mati saat itu juga karena serangan jantung.
Ya, itu semua karena dirimu.
Lihat, kan? Pertemuan pertama kita sangat menyebalkan, aneh dan lucu, begitu juga dengan pertemuan kedua, ketiga masih seperti itu. Kamu, gadis mungil berkulit putih bersih yang selalu datang dengan tawa yang menyebalkan seolah mengejekku tapi jika gelak tawamu berganti dengan senyuman, kekesalanku seolah sirna dan berganti dengan perasaan yang aneh. Ada kesan mendebarkan, bahagia ... ah entah apa itu namanya aku juga bingung jika di suruh untuk mendeskripsikannya.
Pribadi yang ceria, cantik, eye smile yang memukau kala kau tersenyum membuatmu tampak menggemaskan. Sebenarnya masih banyak hal yang aku suka darimu tapi aku tidak mau membaginya dengan orang lain.
Aku tidak menyangka jika gadis menyebalkan seperti dirimu akan menjadi bagian penting dalam hidupku. Jika di ibaratkan, kau layaknya bintang. Begitu bersinar dan mempesona dengan cahaya yang kau pancarkan sendiri.
Lama-lama aku terpesona oleh sinarmu dan aku ingin memilikinya. Hingga akhirnya kau pun memberikan sinarmu. Aku berpikir kalau masa SMA-ku akan sangat berwarna dengan adanya dirimu di hidupku. Hari demi hari kita lewati dengan canda tawa dan bahagia meskipun beberapa kali terselip sedikit luka. Itu adalah hal yang wajar dalam sebuah hubungan, kan? Kita masih bisa menyelesaikannya baik-baik dan berujung dengan sifat childish-mu yang merengek agar di belikan cokelat atau berkunjung ke kedai es krim untuk merayakan perdamaian kita.
Lihat, kan? Gadisku benar-benar menggemaskan.
Sebenarnya, mantra apa yang kau gunakan? Aku seolah terhipnotis oleh semua yang ada pada dirimu. Terdengar berlebihan tapi itulah adanya.
Aku benar-benar menyayangi gadisku.
Ada hal yang aku sukai juga darinya. Dia bisa saja menjadi galak jika Kenya—teman sekelasku—mengobrol denganku dengan tatapan genitnya. Senang? Tentu saja tidak. Aku selalu berusaha menjaga jarak dengannya. Lagi pula aku tidak nyaman dan tidak suka dengan gadis seperti itu. Aku tidak mau membuat gadisku marah.
Pernah saat itu aku sedang menunggu gadisku di parkiran sekolah, tiba-tiba Kenya datang dan menepuk pundakku lalu berkata, “Milan, lo pulang sama siapa? Bisa gak anterin gue—“
“Sama Sydney,” jawabku cepat. Aku malas mengobrol lama dengannya.
Aku menatap Kenya dengan sebal, kenapa dia selalu berada di dekatku? Aku tahu kalau aku memang tampan tapi tidakkah dia tahu kalau aku telah memiliki Sydney?
Kenya melipat tangan di dada sambil mendengus kesal. “Emangnya gak bosen jalan sama cewek pendek itu terus?”
Aku seolah tertohok oleh ucapan Kenya barusan. Beraninya dia memaki gadisku dengan sebutan pendek! Jika masalah postur, mungkin gadisku kalah karena postur tubuh Kenya lebih tinggi tapi aku tidak melihat itu sebagai masalah yang besar. Biarpun postur Sydney kecil, pendek, mungil atau apalah itu, Sydney tetap gadisku.
Aku merasa tangan kananku di genggam oleh seseorang dan aku langsung hafal begitu tercium wangi khas vanilla. Itu adalah Sydney.
“Kenya ngapain di sini? Pulang sana!” usir Sydney.
“Lo aja yang pulang sendiri, gue mau pulang bareng Milan. Iya, kan?” tanya Kenya sambil menatap ke arahku.
Enak saja dia mengaku-ngaku, tentu saja aku akan pulang bersama Sdyney.
Aku hanya mengedikkan bahu tak acuh sebagai jawaban dan sukses membuat Kenya kesal. Terlihat dari bibirnya yang mengerucut kesal dan menghentakkan kakinya.
“Milan, ayo pulang,” pinta Sydney.
Aku langsung mengangguk dan membukakan pintu mobil untuknya. Saat Sydney akan masuk ke dalam mobil, tiba-tiba suara Kenya kembali menginterupsi.
“So cantik, awas aja lo!”
Astaga Kenya, gadis ini benar-benar membuatku kesal. Aku ingin sekali memarahinya tapi rasanya tidak pantas jika aku memarahi seorang perempuan. Aku takut jiwa laki-lakiku di pertanyakan. Lagi pula aku bukan tipe cowok seperti itu.
“Berisik, mending lo pesen ojek online biar cepet,” kataku dengan santai lalu menutup pintu mobil untuk Sydney. Aku lalu berjalan memutar dan duduk dibalik kemudi.
Tiba-tiba kaca mobil sebelah di ketuk-ketuk beberapa kali. Rupanya, itu adalah Kenya lagi.
Aku langsung menurunkan kaca mobil dan berkata, “apalagi? Lo gak ada uang? Atau Ovo lo abis?”
Perkataanku barusan membuat Sydney terkekeh geli seolah puas menertawakan Kenya. Reflek aku pun tertawa. Terdengar jahat tapi ini sangat menggelikan.
“Milan ih,” rengek Kenya.
Sydney pun mendekat ke arah kaca mobil di sampingku dan berkata, “Babay Kenya jelek!” Sydney lalu menekan tombol agar kaca mobil tertutup.
Aku pun segera menginjak pedal gas dan mobil pun keluar dari area sekolah.
Sydney itu bisa galak dengan gayanya sendiri tapi tetap menggemaskan di mataku. Meskipun sedang marah, Sydney bukan tipe orang yang meledak-ledak. Itu salah satu yang aku suka darinya.
Aku pun sering berada di posisi Sydney. Gadisku memang menggemaskan hingga ada beberapa kakak kelas yang berniat mendekatinya. Tentu saja aku tidak terima, aku marah.
Bahkan waktu itu aku hampir berkelahi dengan Darwin, kakak kelasku sekaligus senior di klub basket sekolah. Kalau bukan karena Sydney yang menangis sambil berteriak memanggil namaku, mungkin Darwin akan habis di tanganku.
Aku tidak suka jika milikku di ganggu atau di ambil oleh orang lain.
Sore ini, aku akan pergi menemui Sydney. Aku sudah rapi dengan kaos putih polos berlengan pendek, celana denim dan memakai sepatu. Tak lupa aku memakai parfum pemberian Sydney. Aku segera mengambil kunci mobilku dan keluar dari kamar. Saat aku sampai di ruang tengah, aku bertemu dengan mamaku yang sedang menonton tv.
“Ma, Milan pergi keluar dulu bentar.”
Mamaku langsung menoleh. “Memangnya kamu mau pergi kemana lagi?”
“Milan mau ketemu Sydney dulu.”
Mamaku menghembuskan napas lelah. “Baru tadi pagi kamu menemuinya, Milan. Apa kamu tidak bosan?”
Aku tersenyum. Mana mungkin aku merasa bosan bertemu Sydney?
“Milan gak bosen kok. Udah ya, Milan pamit dulu, Ma,” ucapku lalu aku mencium punggung tangan mama dan pergi. Aku mampir dulu ke toko bunga untuk membeli bunga mawar kesukaan Sydney.
Sekarang aku sudah sampai dan aku sudah tak sabar untuk bertemu Sydney. Aku berlutut menatap gundukan tanah yang masih basah dan menatap lekat batu nisan bertuliskan nama Sydney, mengusapnya dengan lembut. Aku tetap berusaha tersenyum walau kenyataannya sangat sulit. Tak lupa aku panjatkan doa terbaik dan menaburkan bunga mawar.
“Hai, Sydney. Sore ini aku datang lagi karena ingin bertemu denganmu,” lirihku. “Sebelum kesini, mamaku sempat bertanya kemana aku akan pergi dan aku langsung menjawab kalau aku akan pergi menemuimu.” Aku merasakan mataku memanas, dadaku perlahan merasa sesak. “Mama bertanya, apakah aku tidak bosan menemuimu terus?” aku tertawa hambar mengingat perbincanganku dengan mama sore tadi. “Dan aku menjawab kalau aku tidak bosan,” kataku sambil tersenyum lalu air mata yang menggenang di pelupuk mataku akhirnya jatuh melewati pipiku.
Rasanya sangat wajar jika mama menanyakan hal itu. Pasalnya, ini sudah tiga hari semenjak kepergian Sydney, aku selalu meluangkan pagi dan soreku untuk menemuinya di sini. Mungkin mama khawatir melihatku yang terpuruk seperti ini.
Ini semua terasa sangat berat untuku. Paru-paruku seolah di remas dengan kuat hingga rasanya sangat menyesakkan, juga seperti ada benda tajam yang menusuk jantungku, rasanya amat sangat sakit tak tertahankan. Duniaku seolah hancur saat Sydney tidak ada. Hubunganku bahkan baru menginjak enam bulan. Sangat sebentar.
Marah pada Tuhan? Awalnya iya, tapi Tuhan adalah pemilik semesta beserta isinya termasuk Sydney. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain mendoakan yang terbaik untuk Sydney. Aku juga berterimakasih pada Tuhan karena telah di percaya untuk menjaga Sydney meskipun hanya sesaat.
Penyakit Autoimmune disorders telah merenggut Sydney-ku di saat aku benar-benar menyayanginya. Tapi, mungkin Tuhan memiliki rencana yang lebih indah untuknya.
Sydney-ku pasti sudah bahagia di Surga.
Tamat
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro