8 | Tikus Berkubang Sampah
Langkahnya yang rengsa membawa tubuh Elka kembali ke dalam kamar. Setidaknya, ia berhasil menggerakkan tubuhnya yang sudah seperti raga tanpa tulang. Ponsel. Ia butuh itu untuk menghubungi Sus Ami.
Dengan sesa tak putus, ia meraih ponsel yang ternyata sudah tergeletak secara mengenaskan di atas lantai kamar. Mungkin terjatuh ketika dia berlari tadi. Dua puluh tiga panggilan tidak terjawab dari Izz adalah hal yang pertama kali Elka lihat pada bar notifikasi ponselnya.
Secara mengejutkan, ponsel itu kembali berdering, ikut menampilkan nama Izz sebagai penelepon.
"Kakak di mana sekarang?" Tanpa salam, Izz bertanya langsung ke inti.
Elka tak mampu bersuara sebab ia tengah berperang melawan desir sakit di dada.
"Kakak sakit, 'kan? Kenapa gak istirahat dulu? Tadi aku ke rumah Kakak, mau nganterin bubur, dan ternyata kalian nggak ada di situ. Ini hari minggu, harusnya Rafael juga di rumah. Aku panik banget ini Kak."
Helaan napas kasar terdengar dari Izz. Ia seolah menahan diri untuk tak memberondong Elka dengan seribu tanya.
"Aku nggak tahu apa yang sedang terjadi, tapi tadi aku lihat Rafael sama Sus Ami turun dari mobil yang dikendarai Asisten Pak Daniyal. Beliau juga turun dari mobil itu. Ini aku baru mau ke situ, mau ngecek Rafael. Dan sekarang pertanyaanku, Kakak di mana? Apa jangan-jangan Kakak di rumah Pak Daniyal juga?"
"Sa-saya akan ke situ. Kamu tolong jaga Rafael, Izz. Bawa Rafael pulang ke rumah saya. Kalau perlu paksa dia pulang."
"Kak Elka ... kenapa? Kakak di mana seka--"
Elka menutup panggilan Izz. Ia enggan memperpanjang obrolan yang berpotensi semakin menipiskan akal sehatnya.
Tujuan utamanya adalah menjemput Rafael, menjauhkan putranya dari Daniyal. Entah kejahatan apa yang sedang disusun lelaki kejam itu di belakang Elka. Sesulit itukah bagi Daniyal untuk menjadi manusia normal dan sedikit saja berbelas kasih pada orang lain? Di mana letak kerugian dari berperilaku baik?
Lupakan tentang moralitas Daniyal yang patut dipertanyakan. Pertanyaan terbesar Elka sekarang adalah, sebesar apa kesalahan yang ia perbuat dulu hingga dia menerima kekejaman yang tidak masuk akal ini? Dia hanya tidak sengaja mendengar secuil obrolan Daniyal. Tidak. Disengaja. Lalu untuk perkara dia yang berniat curhat pada Glori, itu bahkan belum terjadi! Jelas-jelas ini semua tidak adil bagi Elka!
Ia tak ingin menenggelamkan dirinya dalam lahar emosi sebab dia masih harus membebaskan Rafael dari pengaruh Daniyal. Mungkin saja, Daniyal telah mencuci otak Rafael. Mengarang cerita agar sang putra luluh begitu saja hingga secara sukarela menerima ajakan Daniyal untuk pergi. Kita berbicara tentang Daniyal. Semua kemungkinan terburuk dan paling tidak masuk akal sekali pun, bisa saja terjadi.
Menghubungi Glori menjadi prioritas ke dua Elka setelah ia tahu di mana posisi Rafael sekarang.
"Gue ada urusan mendadak di rumah. Ini mau balik. Nggak apa-apa, 'kan, Ri? Lain waktu kita makan malam bareng."
Meski bingung mengapa Elka mendadak pulang ke rumahnya setelah tadi memohon agar dicarikan hunian yang akan ditempati untuk sementara waktu, Glori tetap mengiyakan permintaan sahabatnya. Dia sadar ada yang tidak beres, tapi mendengar nada suara Elka, ia pun urung bertanya.
Elka sudah memegang kendali mobil ketika ponselnya lagi-lagi berdering. Ia meliriknya sekilas. Mendapati nama Izz, ia memilih mengabaikannya. Energinya harus tersimpan demi menghadapi Daniyal.
Telah habis semua stok kutukan yang ia layangkan pada lelaki itu sejak Rafael menghilang. Orang lain mengenal Elka sebagai sosok dengan pengendalian diri yang cukup baik. Dia tahan pada segala cercaan yang dilimpahkan oleh Opa Iksan kepadanya hanya karena dianggap melalaikan tugas sebagai seorang Ibu yang gemar menghabiskan waktu untuk bekerja dibanding mengurusi putranya sendiri.
Atau dianggap sebagai penjilat atasan demi mendapatkan posisi pantas di perusahaan. Bahkan, ada yang sampai mengira Elka adalah peliharaan gadun. Ia terlalu sering mendengar suara-suara sumbang itu ketika berada di toilet kantor, bersembunyi dari bilik toilet sambil menatap datar tumit lecetnya yang terbalut pump heels. Seandainya dia memang penjilat, kakinya tak akan terasa pegal ketika ia harus bergerak gesit meladeni semua stakeholder kantor atau bertemu dengan orang-orang media agar relasi antara perusahaan dengan pihak mereka tetap terjamin keutuhannya. Belum lagi dia juga perlu menjaga fokus agar segala urusan mal tetap berjalan dengan sebagaimana mestinya.
Konyol memang, dia dikira mengandalkan kaki yang mengangkang lebar-lebar untuk menghidupi diri. Kendatipun menerima hujatan seperti demikian, ia tidak ingin repot-repot memberikan eksplanasi. Tipe penggosip bukanlah jenis manusia yang perlu ia ladeni. Mereka akan selalu menciptakan bahan pergunjingan demi memuaskan ego mereka yang babak belur karena kalah saing.
Sungguh, itu semua bukanlah perkara besar bagi Elka sebab sejak kecil, ia sudah terbiasa dihinakan hanya karena tumbuh tanpa sosok Ibu. Moralnya dianggap rusak bahkan oleh mereka yang harusnya mengayominya sebagai sosok keluarga. Ia masih bisa tahan untuk tidak melempar kembali apa yang sudah mereka beri untuknya.
Akan tetapi, Daniyal adalah pengecualian. Dia satu-satunya manusia yang seenaknya membuat hidup Elka sekacau ini. Elka gagal menahan diri untuk tidak mengutuk, mencaci dan memaki. Hal yang notabene jarang ia lakukan. Bukan karena sok suci, melainkan karena ia ingin menciptakan lingkungan positif untuk sang putra.
Bila ada gelar manusia paling keji sedunia, maka gelar itu pantas disandang Daniyal. Ia tak menyangka kekagumannya pada pria tersebut dapat menuntunnya terjun dalam petaka besar. Andai dulu dia menahan perasannya, mungkin Daniyal tidak bersikeras mengincarnya ketika ia kedapatan menguping pembicaraan yang isinya rencana pembunuhan itu.
Kemungkinan paling besar, ia hanya akan digertak karena gadis cupu sepertinya bukanlah hambatan berarti. Lagi pula, dengan topeng manipulatif Daniyal, mana mau dia buang-buang tenaga dan mempertaruhkan citranya demi berurusan dengan mahasiswa yang eksistensinya amat jarang ter-notice seperti Elka.
Begitulah pandangan yang Elka terima selama kuliah dulu. Tak jarang, teman-temannya sampai berkata bahwa ia sangat culun untuk ukuran gadis dua puluhan tahun. Tidak heran mereka syok atas pernyataan cinta yang Elka lakukan dulu. Dan bagaikan bumerang, akibat pengakuan cinta yang berakhir tragis itu, kini kedamaian hidupnya dipertaruhkan.
"Selamat datang."
Sapaan tersebut Elka terima ketika dia baru saja memasuki kediaman Daniyal. Pria itulah yang memberikan sambutan. Tanpa raut bersalah sedikit pun.
Mata Elka nyalang memindai ke segala arah demi menemukan keberadaan putranya.
"Di mana Rafael?!" sergah Elka tanpa basa-basi.
"Dia baik-baik saja," sahut Daniyal kalem setelah menanggalkan sigaret dari belahan bibirnya dan menyudut sisa rokok tersebut ke dalam asbak kaca yang juga terisi oleh beberapa puntung rokok.
Elka menggeram marah. "Mengapa kamu sangat berambisi membuat saya terlibat dalam rencana pembunuhan itu?!"
Daniyal mengedikkan bahu. "I crave challenges. And you knowingly tossed me bait."
Elka menatap tidak percaya pada pria di hadapannya. "Apa kamu sadar betapa menjijikkannya tingkahmu?"
"Jangan berlagak seolah saya satu-satunya penjahat di sini. Kita berdua tahu, apa alasan yang mendasari semua ini."
"Kamu keterlaluan, Daniyal," desis Elka geram. Menyebut nama Daniyal dengan mulutnya sendiri, memberikan efek buruk bagi Elka. Ia bergidik dibuatnya. "Sudah saya katakan, saya tidak sengaja. Sesulit itukah bagimu untuk melepas saya?"
"Sulit? Tentu tidak," ujar Daniyal ringan. Terlihat jelas bahwa dia menikmati kesengsaraan Elka. Ia memasang seringai arogansinya.
"Lalu apa yang membuatmu begitu terobsesi menjerat saya? Bukankah kamu sendiri yang mengatakan bahwa saya adalah perempuan rendahan yang akan selalu kamu singkirkan dari hidupmu?"
"Well then, I'll take back that statement," ungkap Daniyal tidak tahu malu. "Ternyata, kamu cukup berguna untuk dipertahankan. Bersyukurlah karena saya memberikan penilaian baik untukmu sebab tidak semua orang mampu melihat value dirimu sebaik saya melihatnya."
"Sekarang kamu berbicara tentang value sementara dirimu adalah manusia licik yang memperoleh kebahagiaan dari kesengsaraan hidup orang lain. Kau bercanda?" Elka berdiri dengan raut tidak percaya. Sungguh, kepercayaan diri Daniyal adalah hal menggelikan. "Kamu pria gila. Sampah!"
"Benar sekali. Lihat, bukankah kita memiliki chemistry yang patut dipertahankan? Kamu mengerti saya, dan saya pun mengertimu. Kamu menyebut saya sampah, sementara kamu adalah tikus yang berkubang di dalamnya. Dengan begitu, kita bisa menjadi partner yang cocok dalam segala hal."
Cukup sudah. Semakin lama Elka berdiam diri di sini, semakin kewarasannya menipis. Ia mengepalkan tangan kuat-kuat.
"Tolong, tolong dengarkan saya sekali lagi," ucap Elka benar-benar lejar. "Jika kamu mengira saya orang yang tepat untuk rencanamu, maka kamu sedang menjerumuskan diri dalam kegagalan besar. Saya bukanlah orang yang tepat untuk diajak bekerja sama. Kamu akan menyesal setelah mengetahui bagaimana buruknya kemampuan saya. Percayalah, kapasitas otak saya sangat buruk bila kamu mengharapkan saya mampu mengingat rencana apik yang sudah jauh-jauh hari kamu susun. Ini sia-sia Daniyal. Kamu akan merugi."
"Bertahun-tahun mengemban profesi sebagai Public Relation di perusahaan besar, kamu terdengar seperti memiliki masalah kepercayaan diri. Kontradiktif." Satu alis Daniyal terangkat. "Menurutmu, saya sebodoh itu sampai harus percaya pada statement konyol barusan?"
Kepalan tangan Elka mengendur. Kini, tubuhnya terasa sangat lemas. Ia ingin berteriak sejadi-jadinya karena tak tahan meladeni Daniyal lebih lama lagi. Matanya mulai berkaca, ia menggigit bibir dalamnya demi menghalau tangis yang siap tumpah.
"Saya ... tolong lepaskan saya, saya tidak sanggup menghadapimu. Maafkan perlakuan saya di masa lalu. Saya mohon, Daniyal. Sejujurnya saya takut, sangat-sangat takut berurusan denganmu. You can't fathom the dread of waking up in the dead of night, haunted by nightmares of the menacing threats I've endured from you. Please, forgive me." Elka menangkupkan kedua tangan, saling menggesekkannya, lambang dari permohonan yang timbul dari keputusasaan.
Sementara Daniyal duduk angkuh di sofa ruang tamu, terus menatap Elka lekat. Wanita yang dahulu dikenal pendiam yang kini berdiri di hadapannya, terlihat tengah ketakutan tanpa daya.
"Baiklah. Saya menyerah." Daniyal mengangkat kedua tangan sejajar dengan bahu. "Kamu tahu, Elka, ternyata saya memang tidak tahan dengan drama yang tercipta setelah saya terlibat denganmu lagi. Usaha saya beberapa hari belakangan agaknya sia-sia. Pada akhirnya, kamu akan tetap keras kepala, lalu berusaha mencari cara agar bisa kabur dari saya. Sementara saya bukan tipikal orang yang gemar membuang waktu. Kamu memang pantas dipertahankan, tetapi jika keberadaanmu hanya akan mengacaukan segalanya, maka saya terpaksa harus melepasmu."
Daniyal mengangkat bahu sembari memasang raut pasrah. Tanda ia menyerah pada semua drama yang tercipta di antara mereka.
"But there's one thing I need to ensure before I let you go. Our meeting today, it's gonna be the final one. Saya meminta agar kamu kooperatif. Saya tidak ingin dihantui oleh perasaan ingin tahu tentang apa saja informasi yang sudah kamu ketahui mengenai saya. Sejauh mana hippocampusmu menyimpan informasi tentang diri saya? Mengetahui ada orang lain yang secara tidak sengaja menyimpan banyak informasi mengenai saya yang tidak seharusnya diketahui oleh orang lain, cukup membuat saya terusik. Do you mind if we chat somewhere else? Tidak akan lama. Saya meminta kerja sama darimu. Ikuti saya."
Daniyal tampak tidak peduli pada pernyataan yang baru saja Elka katakan. Sedang Elka, ia sangat-sangat muak. Ia ingin bebas. Artinya, dia enggan berlama-lama berada di tempat yang sama dengan pria ini. Terlebih jika harus menceritakan semua hal yang ia ketahui tentang Daniyal. Jika sudah begini, bukankah damai bukan solusi? Dia tidak akan pernah bisa percaya pada pria ini.
Namun, dia akan mengikuti alur permainan Daniyal. Ini yang terakhir.
Daniyal salah memilih lawan.
Ketika pria itu melangkah menjauhinya, Elka ikut mengekor di belakangnya. Mereka menuju lantai dua. Elka mempercepat langkah agar lebih dekat dengan pria tersebut. Hanya bunyi pijakan kaki yang kini menjadi satu-satunya sumber suara di antara mereka.
Bila Daniyal pikir, Elka adalah perempuan naif yang tidak bisa berbuat nekat, maka lelaki itu salah.
Elka mendekatkan diri ke arah Daniyal. Tangannya sudah terangkat kala Daniyal mendadak berhenti dan serta merta membalikkan badan. Sepersekian detik pandangan mereka beradu, Elka tarik kerah baju Daniyal sekuat tenaga. Tak ada gentar sedikit pun di wajahnya ketika melakukan hal tersebut. Ekspresinya berubah drastis hanya dalam beberapa detik.
Dingin dan kaku.
Di saat Elka pikir rencananya berhasil, ia malah di hadapkan dengan kejadian tak terduga. Tengkuknya dicekik dari arah belakang, persis seperti yang Glori lakukan padanya pagi tadi, tapi kali ini, tekanannya lebih kuat hingga Elka merasa lehernya remuk. Kedua tangan yang tadinya ia yakini berhasil menarik kerah baju Daniyal, kini malah berpindah posisi menggapai pelaku yang membuat lehernya kesakitan.
Elka kesulitan bernapas, ia melemas dengan cepat. Nyeri yang luar biasa merambat di dadanya, rasanya seperti terbakar. Posisi mereka yang masih berada pada undakan tangga, membuat ruang gerak Elka terbatas. Ditambah, orang yang mencekik lehernya sama sekali tidak mengendurkan kekuatannya. Mata Elka yang melotot dan sedikit berair, bertatapan dengan sorot Daniyal yang terus menyaksikan keadaannya dengan raut dingin minim ekspresi.
Bajingan! Dia dijebak!
Di saat Elka pikir nyawanya akan melayang, Daniyal mendadak bersuara.
"Hentikan."
Satu perintah, cekikan tersebut berhenti.
Elka terbatuk hebat, berusaha menggapai pembatas tangga, tapi entah mengapa tangannya sulit sekali digerakkan. Kedua tungkainya bergetar kuat sedang pandangannya mulai mengabur. Jantungnya memompa gila-gilaan. Hanya denging nyaring yang kini memenuhi gendang telinganya.
Ketika ia mengira tubuhnya akan berguling secara mengenaskan dari atas tangga lalu meninggal dalam keadaan tragis, sensor tubuhnya merasakan adanya sentuhan di area pinggangnya. Lalu dengan satu entakan kecil, wajahnya langsung mendarat pada bidang padat. Teksturnya tak sekeras solidnya tegel tangga. Dan sebelum kesadaran benar-benar meninggalkan raganya, ia mendengar bisikan di atas kepala.
"Elka, kesalahan terbesarmu adalah pernah mencintai orang seperti saya."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro