
7 | Hide & Seek
"Lo bikin panik, Ka, telepon pagi-pagi buta. Kenapa coba? Untung gue kebangun."
"Gue mau pindah."
"Hah? Pindah apa? Kantor? Rumah? Pindah negara? Pindah planet? Yang spesifik dong! Masih pagi ngajak gue mikir berat lo!"
"Cariin gue rumah. Pagi ini juga."
"Buset pagi-pagi bukannya keliling cari mie ayam, malah cari rumah baru. Napa, sih? Pala lo oke, 'kan? Wait, jangan bilang lo bikin kerusuhan? Berantem ama Opa Iksan? Orang tua sinisan itu? Demi, Ka! Masih pagi ya ini!"
"Beneran mau pindah. Cariin gue rumah, Ri. Nanti gue cerita. Gue nggak mungkin cari sendiri karena sekarang posisi gue nggak aman. Bantuin gue, please. Cariin rumah yang keamanannya terjamin."
Lalu secara mendadak, terdengar bunyi berisik dari ponsel Elka yang sedang terhubung dengan Glori.
"Mas, mas bangun, bangun dulu. Aku mau cerita, penting. Ih! Jangan sentuh-sentuh! Serius aku mau bicara!"
Glori terdengar tengah membangunkan suaminya.
Elka tak lagi mendengar sisa obrolan mereka sebab dia sedang mengendalikan diri. Dia memandang kosong pada koper kecil berisikan pakaian dan surat-surat penting. Rafael sudah dia bangunkan bersama Sus Ami. Baju putranya juga sudah dia masukkan ke dalam koper. Meski bingung mengapa Elka tiba-tiba bertingkah aneh karena menitahkan mereka bersiap sepagi ini, Rafael maupun Sus Ami tidak banyak bertanya.
Elka hanya menjelaskan bahwa mereka akan meninggalkan rumah selama beberapa waktu ke depan. Jelas itu dusta semata sebab sampai kapan pun, dia tak akan pernah kembali ke lingkungan ini. Jangan kira, dia sudi dijadikan kambing hitam dalam rencana gila Daniyal. Dia harus segera melapor pada Stephanus--pengelola cluster--terkait kepindahannya.
"Ka, Elka."
"Ya."
"Mas Kipli udah kasih tahu bawahan dia yang ngurus Citra Gemilang. Lo ke situ, ya. Entar bilang ke security kalau lo iparnya Mas Kipli," terang Glori cepat menyebut townhouse yang berada di wilayah Cilandak.
"Thanks, Ri."
"Gue nyusul setelah ini."
"Iya."
Segera setelah panggilan disudahi, Elka bergegas menghampiri Rafael dan Sus Ami yang telah bersiap di ruang keluarga.
"Kita berangkat sekarang. Nggak ada yang mau diambil lagi di kamar?"
Kedua orang itu menggeleng kompak.
"Kita mau ke mana, Ma?" tanya Rafael sambil mengikuti ritme langkah Elka yang cepat.
"Ketemu tante Glori."
Putra Elka itu mengangguk paham. Setelahnya, mereka masuk ke dalam mobil yang terparkir di garasi. Elka berusaha terlihat tenang ketika memasukkan koper ke dalam bagasi. Lantas, mobil putih miliknya mulai meninggalkan pelataran rumah. Matanya waspada menyisir sekitar.
Aman.
Perlahan, mobil yang ia kendarai mulai menjauh dari rumah. Hujan membuat jalanan basah dan berwarna hitam pekat. Atmosfer dingin terasa lebih menusuk hingga dia tak menghidupkan AC dalam mobil. Sebisa mungkin dia menjaga fokus agar tak melakukan keteledoran pada rencana pelariannya ini.
Nahas, tingkat kewaspadaan Elka seketika melonjak kala mendapati sosok Daniyal terlihat dari balik jendela depan rumahnya. Melalui kaca jendela tersebut, Daniyal tampak berdiri tenang dengan tangan kanan yang sedang menempelkan mug hitam ke bibirnya. Sekilas, lelaki itu berlagak seperti pria baik-baik yang sedang menikmati suasana paginya yang damai.
Jauhnya bentang jarak di antara mereka, membuat Elka kesulitan menelisik ekspresi seperti apa yang Daniyal pasang dari balik kaca tersebut.
Peduli setan! Pria itu harus tahu bahwa dia tak bisa membuat Elka gentar hanya karena ancamannya! Dalam hati, ia tidak berhenti merapalkan doa pengharapan. Kali ini saja, tolong biarkan dia berhasil dalam pelariannya.
***
"No way! Lo pindah karena Daniyal tiba-tiba tinggal di kompleks itu?! Gimana ceritanya coba? But wait, ada yang janggal. Kalau pun dia pindah ke situ, urusannya apa sama situ? Toh di antara kalian nggak ada apa-apa. Sumpah, ya, Ka, gue pikir tadi lo beneran in danger! Eh, tahunya, cuma gara-gara tetanggaan sama Daniyal, lo random banget minta pindah."
Kehebohan Glori tak lantas membuat fokus Elka terpecah dalam memandangi layar macbooknya. Dia terpaksa meminta WFH pada sang atasan. Meski Karlina sempat heran mengapa tangan kanannya mendadak minta izin untuk bekerja dari rumah, dia tetap memberikan persetujuannya.
Lagi pula, ini adalah kali pertama Elka meminta izin untuk tak datang ke kantor dalam jangka waktu satu tahun terakhir. Bahkan jatah cutinya masih sangat banyak sebab bawahan teladannya ini hampir tidak pernah meminta cuti. Elka bisa saja langsung mengambil jatah libur, tapi dia enggan melakukannya.
Yang sejak tadi heboh adalah rekan sedivisi Elka. Tiga entitas yang terdiri dari Jahira, Javis dan Yasa, sudah ribut-ribut di grup WhatsApp mereka. Membombardir Elka dengan ribuan tanya tentang alasan keabsenannya dari kantor. Elka hanya mengaku bahwa dia sedang tidak enak badan. Ia yakin alasan dangkalnya akan dijadikan bahan olokan ketika masuk kantor nanti. Tentu saja, kata cuti sangat kontradiktif dengan sosok Elka Dyatmika yang dikenal sebagai karyawan paling teladan di MarCom.
Bagi mereka, Elka mirip dengan guru Matematika yang tetap datang mengajar meski harus melewati badai, gempa bumi, atau longsor sekalipun. Tak ada halang rintang yang dapat mencegahnya bekerja. Lupakan semua itu karena sekarang, ia sedang menghadapi Glori dengan deretan pertanyaan yang harus dijawab secara hati-hati.
"Gue nggak mau terjebak canggung."
"Seriously, Ka? Canggung? Kalian nggak ketemu lebih dari tujuh tahun loh. Kejadian lo confess ke dia aja, pasti Daniyal dah lupa. Ini kenapa kesannya lo masih hidup di masa lalu, sih?"
Elka sudah berjanji tak akan bermulut besar. Rahasia akan tetap menjadi rahasia. Bahkan pada Glori sekali pun, dia harus tutup mulut. Janjinya pada Daniyal adalah hal yang mutlak meski itu artinya, dia masih harus membohongi Glori.
"Gue tetep malu, Ri. Kemarin saja pas diundang ke rumah dia buat dinner, rasanya gue mau pingsan saking malunya ketemu dia. Bisa jadi gue trauma gara-gara kejadian itu. Nggak tahulah, yang jelas gue nggak mau ketemu dia dalam jangka waktu yang lama."
"Yeuuu, cemen. Aturan kalau ada cowok cakep yang jadi tetangga, harusnya lo pepetin terus. Mana ini si Daniyal lagi. Daniyal, Elkaa. Bukan cumi-cumi lain, tapi Daniyal! Guanteeng, mapan, punya harta, sempurna untuk dijadiin prospek jodoh."
"Seriously, Glori?"
"Pikirin dulu, Ka. Kalian cocok kok. Mau gue bantu?"
"Jangan ngelantur."
"But why? The last time you had a crush, it was on Daniyal. And my gut tells me you're not really over him yet. Am I right or what?"
Lama-lama telinga Elka panas mendengar pengaruh Glori yang berusaha mengubah pemikiran Elka untuk kembali mengejar Daniyal.
Menyukai orang seperti Daniyal, itu sebuah kesalahan besar. Cukup sekali seumur hidup.
"Udah ah, gue pulang dulu. Nyebelin, gue kira lo kenapa-kenapa pas tadi nelepon." Glori merapikan cepolan rambutnya yang awut-awutan. "Aduh! Tampang gue bikin nangis. Gak ada bedanya gue ama mak-mak dasteran yang biasa ngerumpi depan rumah dan hobinya gibahin janda bahenol yang pergi malam pulang pagi. Itu lohh, kayak di sinetron yang sering ditonton Sus Ami."
"Ri."
"Apaan?" Glori sibuk membenahi penampilannya di hadapan cermin besar meja rias. Mereka saat ini sedang berada di kamar seluas lapangan golf yang akan Elka tempati selama beberapa waktu ke depan. Itu terdengar hiperbolis, tapi sungguh, kali pertama menjejaki ruangan yang Glori sebut sebagai kamar ini, Elka agak terkejut dengan ukurannya. Bahkan meskipun kamar di rumahnya juga sudah dikategorikan besar, tapi kamar ini berkali-kali lebih luas. Pintu kamarnya saja menjulang tinggi.
"Thank you so much. I don't know how messed up I'd be if you weren't here. I owe you a lot, Ri," ucap Elka tulus walau matanya tetap menyoroti layar MacBook.
Untuk sejenak, Glori menghentikan aktifitasnya. Ia langsung menghampiri sang sahabat.
"Lo Elka, 'kan?" Tanpa diduga, perempuan yang baru saja mengeluhkan penampilan kusutnya itu, seketika mencekik tengkuk Elka kuat-kuat. "Ngaku! Elka gue nggak sealay ini!"
"Apaan, sih." Elka menggeliat hingga cengkeraman Glori terlepas.
"Ya lagian lo mendadak bicara manis gini. Sejak kapan Elka Dyatmika suka menye-menye?"
"Terserah lo."
Glori terbahak menerima ekspresi kecut sang sahabat. "Temenan nyaris sebelas tahun dan lo masih gak terbiasa ama gue? Situ gila? Gue udah ditahap siap ngelakuin segala hal buat lo, tapi elo-nya masih kagokan gini. Curiga gue, jangan bilang selama ini lo anggep gue pulu-pulu yang cuma bisa diajakin haha-hihi doang."
"Ngomong apa coba, Ri."
"Elu! Elu yang omongannya ngaco! Pokoknya, kita berdua satu jiwa! Nggak mau, ya, denger lo ngomong kayak gitu lagi. Tanpa lo, gue juga bukan apa-apa, Ka. Lo ada di saat gue beneran muak ama hidup gue. Tuh, 'kan, malah melankolis guenya! Jijay banget, ewhhh!"
Bibir Elka merekah haru. Benar, dia dan Glori telah melewati masa-masa berat bersama. Glori membersamainya ketika ia merasakan pengalaman berat kala menjadi seorang Ibu di usia dua puluh tiga tahun. Bahkan saat kejadian itu, Glori tetap bertahan di sisinya. Di saat manusia normal akan lari ketakutan ketika Elka melakukan hal tersebut, Glori yang keras kepala malah membantunya bangkit kembali.
Elka pun menjadi penyokong Glori di saat dia bertengkar hebat dengan keluarganya lantaran memaksanya menikah di usia muda. Menjadi saksi hidup bagaimana gilanya Glori yang merusak diri karena dikekang oleh kakak dan Ayahnya yang diktator, tak pelak membuat Elka berusaha 'mewaraskan' Glori menggunakan segala cara. Banyak hal gila yang Elka perbuat. Mengingat masa-masa itu malah membangkitkan remang di tubuhnya. Proses pendewasaan mereka agak abnormal.
"Dah, ya, gue balik dulu. Entar malem ke sini lagi. Bareng Elijah sama Elbarak. Nggak usah masak, biar gue aja yang nyiapin. Kita makan malam bareng."
Elka memberikan gestur 'ok' menggunakan jari ibu dan telunjuk.
Setidaknya, untuk sementara waktu dia aman di sini. Di rumah tiga tingkat bak istana yang merupakan salah satu unit ekslusif dari townhouse Citra Gemilang. Berkat Glori, serta suami sahabatnya itu, ia bisa tenang sekarang. Dia jamin, Daniyal akan kesulitan menembus lapisan keamanan kompleks ini. Penjagaannya amat ketat. Hanya mereka yang memang tinggal di sini saja yang bebas berkeliaran.
Usai menyelesaikan pekerjaannya, Elka baru bisa merilekskan tubuhnya yang kaku. Waktu menunjukkan pukul sebelas pagi. Masih terlalu dini untuk tidur siang. Hanya saja, sedetik setelah mengempaskan tubuh ke atas ranjang, otot persendiannya terbuai untuk segera diistirahatkan.
Tadi Rafael dan Sus Ami ia tinggalkan bermain di kolam renang. Tidak ada yang lebih baik dari menghabiskan masa libur dengan bermain sepanjang hari. Begitulah yang Rafael lakukan sekarang.
Akibat terlalu malas keluar kamar, Elka menelepon Sus Ami untuk menanyakan keadaan mereka.
"Ya, Buk?"
"Sus, El udah selesai main?"
"Udah. Nih, lagi maem nugget yang tadi dibawain Bu Glori."
"Oh oke. Aku tidur, ya. Ngantuk banget. Nanti kalau butuh apa-apa bangunin aku."
"Siap, Buk. Ini kayaknya El juga mau langsung tidur setelah makan. Kelelahan dia. Lagi makan aja, matanya mulai merem."
"Kalau gitu, El-nya dianter ke sini aja Sus. Pintu kamar nggak saya kunci."
"Siapp, Buk!"
***
Entah sudah berapa lama Elka digelung lelap. Yang pasti, tubuhnya terasa telah dimanjakan. Menjadi dewasa adalah masa di mana kita sadar bahwa tidur merupakan bentuk eksklusifitas yang nilainya sangat berharga.
Ia lalu bangkit memeriksa sekitar. Rafael tidak berada di kamar. Mungkin saja bocah itu sudah bangun dan langsung bermain di luar? Elka segera meraih ponsel untuk melihat jam yang telah menunjukkan pukul lima sore.
Karena masih enggan turun dari ranjang, ia memilih menelepon Sus Ami. Pada dering pertama, panggilannya tak bersambut. Ia kembali menelepon. Apakah Sus Ami masih tidur juga? Benak Elka penasaran.
Dalam percobaan ke dua, ternyata yang menerima panggilan adalah Rafael sendiri.
"Halo, Mama."
"Sus Ami mana? Kok kamu yang angkat teleponnya."
"Lagi masak."
"Gitu, ya. Kenapa gak bangunin Mama saja? Kasihan, Sus Ami pasti capek setelah nemenin kamu berenang tadi. Ngomong-ngomong, kamu lagi di mana, Sayang?"
"Ini di ruang tamu. Main rubik. El nggak tega bangunin Mama, soalnya Mama tidurnya lelap banget."
"Gak takut sendirian?"
"Nope."
"Mama ke situ deh biar kamu ada yang nemenin. Tunggu, ya, Mama cuci muka dulu."
"El nggak sendirian kok."
Elka yang hendak menapakkan kaki di atas lantai, seketika urung ketika mendengar sahutan sang putra. Ia mengernyit bingung.
"Apa?"
"I'm not playing alone. I'm with Uncle."
Elka pikir ada yang salah dengan pendengarannya. Ia menggeleng kuat agar kesadaran menyatu sempurna dengan raganya.
"Gimana? Gimana, El?"
"Mama telepon lagi, ya, nanti. El lagi seru main rubiknya. El udah kalah lima kali dari Om. Mama jangan lupa susul El, ya, supaya kita bisa tanding rubik sama Om. Om jago banget. El sebel. Kayaknya yang bisa ngalahin Om cuma Mama deh."
Elka merasa punggungnya bagai dipecut gesper tebal. Kantuk yang beberapa saat lalu mengerayanginya, seketika lenyap tanpa sisa. Dia melompat dari atas ranjang. Bergegas menuju ruang tamu.
Sial! Mengapa rumah ini begitu besar?! Jarak kamar dan ruang tamu sangat jauh! Dia berlari tak sabaran, dua tungkainya mengayun cepat demi segera mencapai ruang tamu. Di saat tubuhnya telah berada di tempat tersebut, ketakutan besar langsung menyergap alam bawah sadar Elka.
Kosong!
Di tempat itu tidak ada siapa-siapa.
"Nggak, nggak mungkin!" Elka menjerit panik. "Sus Ami! Rafael di mana?!"
Perempuan itu berlari panik ke arah dapur. Namun, Sus Ami yang ia cari juga tidak berada di situ
Nihil.
"No ... nggak mungkin," lirihnya pilu. "Dia nggak mungkin nyulik El. El nggak seharusnya dijadikan target."
Lutut Elka melemas dengan sendirinya. Bagai tulang yang dicabut paksa dari tubuhnya, ia kehilangan seluruh energi dalam sekejab mata.
Kata syok tak cukup menggambarkan seterguncang apa Elka sekarang. Laju napasnya berhembus tanpa kendali. Dadanya sesak. Ia mengepalkan tangan, tetapi sia-sia karena kekuatannya lenyap tanpa sisa.
Di titik itulah, Elka sadar bahwa hidupnya sudah benar-benar terpenjara oleh dominasi Daniyal.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro