Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6 | Target Terkunci

Setelah tidur selama dua jam kemudian, Elka kembali terjaga dengan kondisi lebih bugar. Bangun dari pembaringannya, hal yang pertama kali dirinya lakukan adalah mengecek kamar Rafael. Bocah itu masih terlelap pulas. Sedang Sus Ami ternyata juga tidur di kamar Rafael.

Ia kembali ke kamarnya, memindai pantulan dirinya melalui kaca besar kamar mandi. Kacau. Kaus putihnya ternoda oleh beberapa titik darah, sedang wajahnya pucat. Pancaran kehidupan amat jauh dari irasnya.

Usai menyelesaikan semua rutinitas skincare pagi, Elka beranjak turun ke lantai bawah. Rambutnya tercepol rapi, menampilkan leher jenjangnya yang mulus. Karena merasa dingin, dia lebih memilih memakai sweater oversize yang dipadukan dengan legging pants tebal. Suhu pagi ini terasa lebih rendah sebab hujan terus tumpah sejak ia terbangun di jam dua tadi.

Elka mematikan lampu yang masih menyala di ruang tengah dan menyibak gorden-gorden penghalau cahaya dari luar. Akan tetapi, niatan membuka jendela langsung urung saat melihat kucuran hujan dari atap rumah. Dia pun terdiam menatap pemandangan tersebut. Mungkin, pagi dan hujan adalah momen pas untuk berkontemplasi. Diamnya Elka mengantarkan otaknya bergerak mengurai benang kusut dalam benak demi menemukan celah agar bisa keluar dari kemelut yang kini membelenggunya.

Tetapi nihil. Otaknya terlalu lejar untuk memproses solusi cemerlang. Ia buntu. Belum lagi urusan di kantor mulai terganggu karena keteledorannya sendiri.

Elka menepuk pipi sedikit lebih kencang, coba menyegarkan pikirannya yang berembun seperti jendela kaca rumah. Masih terlalu pagi untuk memforsir otak, jadi ada baiknya ia melakukan aktifitas fisik saja.

Ia berpindah ke dapur, mulai berjibaku menyiapkan menu sarapan bagi penghuni rumah. Bunyi sutil yang bergesekan dengan wajan mengubah suasana dapur terasa lebih hidup. Pikirannya juga berangsur-angsur tenteram hanya dengan menyibukkan diri seperti sekarang.

"Pagi yang sibuk."

Elka terkesiap. Kepala yang awalnya sedikit tertunduk menatap wajan, kemudian ia angkat sejajar dengan dinding di hadapannya.

Suara itu ....

Dia menutup mata dengan rahang terkatup. Pegangannya pada sutil, menguat seiring deru napas yang terembus berat. Dia kenal suara barusan. Sebelum berbalik, ia mengecilkan api kompor.

"Gagang pintumu baik-baik saja. Saya bukan trespasser," imbuh suara itu lagi.

Elka akhirnya membalikkan badan. Tampak Daniyal berdiri tidak jauh darinya sembari bersandar pada meja makan. Kedua tangan pria itu terlipat di depan dada, sementara kakinya menyilang.

Mendapati sosok tersebut mendadak muncul di dapur rumahnya, Elka sama sekali tak menyembunyikan raut ketidaksukaan.

Sedangkan Daniyal malah terhibur melihat reaksi antipati perempuan yang semalam mengejutkan mereka karena pingsan tiba-tiba di saat dia belum melakukan hal apapun kepadanya.

"Mau apa, Anda?" sergah Elka langsung, masih memegang sutil erat-erat demi menyalurkan emosi membara di hati.

"Menemanimu memasak?" Daniyal mengangkat bahu. "Daya tahan tubuhmu lemah. Saya takut kamu tiba-tiba pingsan."

"Berhenti berbasa-basi. Katakan saja apa tujuan Anda."

"Bernegosiasi," jawab Daniyal kontan. Namun, perkataan selanjutnya membuat emosi Elka langsung tersulut. "Lebih tepatnya, saya ingin menagih janji tujuh tahun silam."

"I never made any damn promises to you."

"Exactly. 'Cause I'm the one who makes promises to myself."

Elka memejamkan mata saat keresahannya berubah menjadi alarm bahaya.

"Biar saya perjelas. Janji yang saya buat, itu hanya berfokus kepadamu. Kedatangan saya ke sini, kamu tahu apa penyebabnya. Maka dengarkan perintah saya."

"Lalu? Bukan tanggung jawab saya memenuhi janji tersebut. Itu urusan Anda."

"Kamu dengar tidak kata-kata saya? Perintah. Ini perintah. Mau atau tidak, kamu harus menuruti kemauan saya."

"Atas dasar apa Anda bisa seenaknya memerintah saya?"

Daniyal terkekeh.

"Sungguh, Elka, kamu masih bernyali menanyakan hal itu padahal dulu saya berbaik hati membebaskanmu?" tanyanya tak habis pikir. "Selain naif, kamu juga memiliki masalah dalam daya ingat. Baiklah, biar saja perjelas supaya kamu tidak tampak bodoh. Dengar, imbas dari kesalahan fatal yang kamu perbuat dulu, adalah alasan mengapa saya berada di sini."

"Saya bersumpah, pagi itu saya tidak sengaja mendengar obrolanmu. Sama sekali tidak disengaja. Sedikit pun saya tidak berniat menguping, tapi karena telanjur takut, saya putuskan bersembunyi dan berusaha kabur. Lalu tentang Glori, kamu sendiri tahu saat itu saya belum sempat mengucapkan apa pun kepadanya. Rahasiamu tersimpan rapi. Saya tahu saya bersalah, dan saya minta maaf atas kesalahan itu."

Daniyal menatap Elka lekat dalam bungkam panjang sehingga kesan intimidasi dari pria itu begitu terasa. Ekspresinya tampak datar. Sulit bagi Elka untuk menebak apa yang bersembunyi di balik sorot kelam matanya.

"Tolong jangan mengganggu keluarga saya. Tujuh tahun saya sudah berusaha melupakan semua yang pernah terjadi pada masa lalu. Saya berani menjamin, sampai sekarang tidak ada satu orang pun yang tahu cerita tentang kamu. Saya mohon Daniyal, tolong lepaskan saya," pintanya putus asa.

Pada akhirnya, Elka hanya mampu memohon sebab dia tak dapat memikirkan cara lain untuk menyingkirkan Daniyal. Ia menatap dengan sorot pengharapan agar lelaki itu dapat berwelas asih melepaskannya.

Namun, tanpa diduga Daniyal malah melangkah mendekati Elka. Dengan air muka datar, pria tersebut memangkas jarak di antara mereka. Tiap langkah yang diambilnya sarat akan sirene peringatan di otak Elka. Belum sempat dia menghindar, Daniyal telah menjulang tepat di hadapannya. Eksistensi pria itu seolah mempertegas bahwa di sini, Elka adalah tawanan yang tak seharusnya berpikir untuk melarikan diri. Jarak di antara mereka cukup dekat sampai deru napas keduanya bertemu di udara.

Dari jarak sedekat ini, Elka bisa sepenuhnya melihat pahatan tanpa cacat dalam paras lelaki ini. Garis rahang Daniyal yang kokoh, membuat wajahnya menguarkan aura maskulinitas tanpa cela. Usia matang telah membawa perubahan besar bagi Daniyal yang dahulu lebih kurus.

Tak pelak, Elka jadi merasa kerdil sekarang. Mengapa Daniyal harus segigih ini melibatkan dia dalam rencananya? Sama sekali tak masuk akal bagi Elka bila pria ini memilihnya secara acak padahal orang seperti dia tidak mungkin kekurangan kaki tangan.

"Berhenti kehilangan fokus." Daniyal menjentikkan jari di depan wajah Elka. "Siapa yang berusaha kamu bodohi dengan tampang palsu ini? Trik semacam ini tidak mempan pada saya. Selain itu, apa yang kamu khawatirkan? Rencana yang nanti kita lakukan, akan jauh lebih menguntungkanmu. Sebaliknya, sayalah yang merugi sebab harus mengotori tangan hanya untuk memberi pelajaran pada target kita nanti."

"Target? Kamu masih berambisi membunuh seseorang?" murka Elka terkejut.

"Di sebelah mananya kata membunuh terucap dari bibir saya?" tukas Daniyal retorik.

"Kamu memang akan melakukannya! Sejak dulu kamu sudah bermain-main dengan nyawa orang lain!" Pupus sudah pertahanan diri Elka. "Dan kamu berniat menjadikan saya kambing hitam atas semua rencana mengerikan itu!"

"Lalu?"

Elka tertawa getir. Sulit berbicara dengan pria berperangai iblis seperti Daniyal. Tidak ada belas kasih dalam kamus hidupnya. Elka menunduk, mencerna kembali awal mula yang membuatnya sampai terikat dengan pria angkuh ini.

Mengapa saat itu dia harus datang ke rooftop? Kenapa juga dia berniat memberitahu Glori tentang apa yang didengarnya? Tidak, jauh sebelum itu terjadi, mengapa dia mesti melibatkan diri dengan Daniyal? Mengapa dia harus menyukai lelaki ini?!

Dia tak bisa diam begitu saja. Bagaimana pun juga, Daniyal perlu dilawan agar hidupnya tetap berada dalam zona aman. Ini semata-mata bukan hanya untuk darinya saja. Rafael, bocah itu pantas mendapatkan kehidupan yang baik. Ia tidak akan menciptakan dunia yang sama untuk sang putra seperti yang dulu pernah ia alami.

"Kita berdua tidak saling mengenal. Saya tak tahu banyak tentang kamu, dan kamu pun tak tahu-menahu saya orang yang seperti apa. Oke, saya memang terkejut dengan sisi lain yang kamu tunjukkan pada hari itu, tetapi bukan berarti kamu dapat semena-mena memperalat saya hanya karena tidak sengaja mendengar potongan obrolanmu. How on earth could you even consider bringing me into this, when I could just as easily wreck all the carefully laid out plans? Pertimbangan apa yang kamu pikirkan sehingga secara random memilih saya dari semua kenalanmu yang tentu memiliki kemampuan lebih baik dari saya?" Elka memaksakan diri untuk beradu tatap dengan Daniyal kendatipun dia merasa terintimidasi di bawah sorot tajam lelaki tersebut.

"Kamu yang tidak tahu banyak tentang saya, itu benar. Tapi saya, tahu siapa dirimu," pungkas Daniyal dengan intonasi rendah yang sontak membangkitkan remang di sekujur tubuh Elka. "Jika kamu pikir saya datang tanpa membawa informasi yang cukup, maka kamu keliru, Elka."

Daniyal memaksa Elka untuk terus menatapnya. Ia memandang Elka layaknya pemangsa yang telah mengunci target buruannya.

"Apa yang kamu ketahui tentang saya?" tanya perempuan itu defensif. "Kamu hanya sedang menggertak karena kenyataannya, kamu tak tahu apa-apa."

Daniyal loloskan tawa kecil.

"Menurutmu, alasan seperti apa yang saya miliki hingga saya bersedia terlibat secara sadar dengan perempuan sepertimu padahal dulu saya tidak tahan menghirup udara di tempat yang sama denganmu? Untuk apa saya mau repot-repot mendatangi kamu jika bukan karena saya melihat adanya potensi menjanjikan bila kamu terlibat dalam rencana saya? Kamu bidak saya. Itu takdirmu," putus Daniyal tegas. Ucapannya tak terbantahkan. "Waktu saya terlalu berharga, Elka. Lagi pula, menjadikan produk gagal sepertimu sebagai bidak dalam catur rencana saya, setidaknya cukup membuat dirimu berguna."

Kata-kata penghinaan Daniyal menimbulkan retak tipis dalam tembok rasa percaya diri Elka yang bertahun-tahun susah payah ia bangun bermandikan sedu dan peluh. Sungguh, hanya Daniyal yang mampu membuatnya sehina ini.

Daniyal menilik raut terpukul yang terpancar dari wajah Elka. Dia pun menyeringai. Perempuan ini terbilang buruk dalam mengontrol ekspresi dan emosinya. Baguslah. Tipe seperti Elka sangat ideal untuk rencananya. Membidik dua burung dalam sekali waktu memang tujuan awalnya.

Dia merasa terhibur sekarang.

"Berhentilah menolak ajakan saya selama saya masih meminta secara baik-baik," imbuh Daniyal. "Bukankah sudah saya katakan? Jangan coba mempertanyakan tekad saya. Saya mudah tersinggung bila kemampuan saya diragukan. Ya, kecuali kamu ingin Rafael ikut terkena imbasnya. Apa boleh buat? Saya tidak punya pilihan lain."

Elka bak kehilangan pita suara dan fungsi lidah. Satu-satunya yang bisa ia lakukan hanyalah mengepalkan tangan kuat-kuat.

"Rafael. That kid means something to you, doesn't he?"

"Dia tidak ada hubungannya dengan semua ini," desis Elka, berhasil membunuh kelu yang menguasai bibirnya.

"Kalau begitu, sudahi drama ini. Terima saja tugasmu."

Tepukan pelan, Elka rasakan di puncak kepalanya. Daniyal yang melakukannya.

"Pulang kantor nanti, datanglah ke rumah saya. Asisten saya yang akan menjelaskan alur rencana kita."

Tanpa memperpanjang obrolan di antara mereka, lelaki yang ternyata masih mengenakan baju yang ia pakai semalam itu, segera menarik diri dari hadapan Elka.

"Ingat, saya tahu banyak tentang dirimu. Kapan pun saya mau, saya bisa saja menjadikan informasi yang saya miliki sebagai senjata untuk membuat hidupmu sengsara. Termasuk Rafael."

Senyuman Daniyal tampak tak berperasaan, kental akan superoritas mutlak.

"Sampai jumpa sore nanti, Elka."

Lelaki itu kemudian pergi begitu saja tanpa menoleh lagi ke belakang. Meninggalkan Elka yang terkulai lemas hingga sutil yang sejak tadi ia genggam terjun bebas menimpa lantai dapur.

Elka tak tahu berapa lama ia terdiam, mencerna kejadian yang baru saja ia alami. Meskipun mencium aroma gosong, entah mengapa konsentrasinya sulit terkumpul.

"Ya ampun! Kak!"

Selepas Daniyal pergi, tak lama kemudian sosok lain bergantian masuk ke dapur sambil berlari panik menghampiri Elka.

Izz.

"Astaga! Kompor, Kak! Matiin kompornya!"

Elka bergeming, dia masih tenggelam dalam menungnya. Izz buru-buru mematikan kompor ketika menyadari kepasifan Elka.

"Get it together, Kak! Dapur Kakak hampir kebakaran!"

Barulah seruan panik tersebut menarik fokus Elka untuk kembali memijak bumi.

"Kenapa Kakak masak? Lagi sakit, 'kan? Lihat, karena nggak fokus, Kakak malah berakhir seperti ini. Ayamnya sampai gosong. Kenapa nggak istirahat dulu?" cecar Izz beruntun. Penampakan wajahnya yang seperti baru bangun tidur, tak menutupi ekspresi paniknya.

"Izz? Kamu juga di sini?" tanya Elka bingung, ia mengabaikan omelan Izz. Ini masih sangat pagi dan dua pria yang harusnya tidak berada di sini, mendadak muncul secara mengejutkan di dapur rumahnya.

"Saya sama Pak Daniyal bermalam di sini. Saya tidur di sofa living room. Kak Elka tadi nggak lihat saya di situ? Kalau Pak Daniyal nggak tidur, beliau dari semalam duduk di ruang tamu. Ada ngerjain sesuatu. Cuma barusan, beliau udah pulang setelah bangunin saya. Untung saya langsung sadar sama bau gosong, jadi buru-buru ke dapur. Lagian Kakak bukannya istirahat malah masak."

"Nginap?"

"Hah? Oh, iya. Kita nginap. Soalnya semalam kondisi Kak Elka agak mengkhawatirkan, cuma Sus Ami bilangnya Kakak nggak usah dibawa ke rumah sakit. Ya sudah, Pak Daniyal jadinya manggil dokter. Terus kata dokternya, Kak Elka kecapean. Dehidrasi juga. Dan untuk jaga-jaga, saya sama Pak Daniyal akhirnya nginap. Sorry kalau Kakak nggak nyaman. Hanya saja, kami benar-benar khawatir. Rafael sampai nangis gak keruan pas Kakak pingsan. Untung Pak Daniyal sama Sus Ami bisa nenangin dia."

Atas fakta mengejutkan yang berturut-turut ia terima, Elka meraup sisi kiri wajah frustrasi.

"Kepala Kakak sakit? Duduk dulu di kursi," usul Izz khawatir. "Izz bantu berdiri."

Elka menggeleng pelan. "Makasih sudah berjaga di sini. Kamu boleh pulang, Izz. Saya baik-baik saja sekarang," terang Elka tulus kendatipun ia gagal menyembunyikan raut 'baik-baiknya'.

Izz bukannya tidak sadar perempuan yang ia anggap sebagai Kakaknya ini berbohong mengenai kondisinya. Namun, mendesak Elka untuk menjelaskan bagaimana kondisi terkininya sekarang, bukanlah keputusan tepat.

"Beneran Kak Elka udah nggak kenapa-napa? Kita ke dokter dulu, gimana? Atau mau saya panggilin lagi dokternya?" tawar remaja lelaki tersebut hati-hati.

Sayangnya, Elka lagi-lagi menggeleng singkat.

"Oke, kalau gitu Izz pulang. Nanti kalau Kakak butuh apa-apa, panggil saja. Hari ini Izz nggak ngampus."

Izz yang paham Elka enggan ditanyai lebih dalam terkait keadaannya, akhirnya memilih pergi. Asing rasanya melihat pribadi tangguh yang biasanya selalu tampak baik-baik saja, dalam sekejap menjadi sosok pemurung yang seakan telah kehilangan segala kenikmatan hidup.

Setelah ditinggalkan sendirian, Elka kembali terduduk di lantai dapur. Dia hanya mampu tercenung lama. Kenyataan bahwa Daniyal bisa dengan mudah keluar masuk rumahnya dan mampu memberikan ancaman yang membuatnya tak mampu berkutik, memicu ketakutan terbesar Elka. Lelaki itu berniat melibatkannya dalam rencana pembunuhan.

Pembunuhan. Artinya, ia harus merenggut nyawa seseorang.

Tidak, ia tak ingin terlibat dalam kejahatan apa pun. Selama ini, dia telah menjalani kehidupan yang damai bersama Rafael. Putranya tahu ia Ibu yang baik, Ibu yang tak akan pernah melakukan perbuatan mengerikan sedikit pun.

Glori! Dia harus menghubungi Glori sebelum semuanya berada di luar kendali.

Persetan dengan ancaman Daniyal!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro