53 | Konflik Terakhir
"Boleh gak, Ma, El pulangnya besok aja? Masih pengen main sama Elbarak. Sama Elijah juga. Di sini kalau sore rame, 'kan, ya? El suka. Ada temen-temen lain juga yang main ke sini."
"Kamu gitu mulu alasannya. Mama kesepian, nih, di rumah. Pokoknya pulang kantor nanti, kamu Mama jemput."
"Padahal kata Ayah dia sering ke rumah nemenin Mama."
Elka pejamkan matanya, merasa sudah tertangkap basah. Ia lantas mengarahkan pandangan pada pria yang sedang menandaskan makan siang--tepatnya nasi goreng yang pagi tadi Elka masak dan dijadikan bekal oleh Daniyal--dengan begitu khidmat.
Menyadari tatapan kekasihnya, satu alis Daniyal terangkat. Ia balas melayangkan tatapan tanya pada sang kekasih yang langsung ditanggapi Elka dengan gelengan singkat. Dia pun mengedik, lanjut menghabiskan makanannya.
"Tapi Mama kangen kamu."
"El juga kangen kok sama Mama, cuma ... gimana, ya, Ma? Be-besok aja boleh gak?"
Elka sontak cemberut. "Ya sudah. Besok jangan buat alasan lagi."
"Hehe, love you, Mom."
"Mama loves you too." Elka embuskan napas berat, ia tersenyum kecil. Rafael kesepian di rumah. Itu hal pasti sebab di Anggrek Mansion, dialah satu-satunya anak yang menghuni klaster tersebut.
"Cemberut gitu mukanya. Di kantor nggak boleh ciuman. Jangan mancing."
"Apa, sih." Elka mencebik saat Daniyal tiba-tiba bersuara. "Rafael, tuh, gak mau pulang ke rumah."
"Wajar. Rumahmu sepi. Gak cocok untuk bocah aktif kayak dia," jelas Daniyal. Ia paham rasa kesepian Rafael. "Rumahmu, cocoknya hanya untuk kita. Sepi. Dingin. Terlebih kamarmu. Kedap suara."
Elka tendang tulang kering Daniyal demi menghentikan pria itu berceloteh asal. Sejak kapan Daniyal jadi secerewet ini? Mana kadar mesumnya bertambah pula.
"Sadar tidak, kamu tuh mulutnya kotor? Dan tolong, kita lagi di kantor!"
"Di rumah doang boleh ngomong kotor? Alright then. I'll spank you hard, cursing your name as I take what's mine."
Elka megap-megap atas balasan nyeleneh Daniyal. Ia refleks memindai sekitar. Pantri divisi dalam kondisi sepi karena nyaris semua tim Sales and Marketing sedang makan siang di kantin kantor. Tersisa Elka, Daniyal, serta beberapa orang saja yang menghuni divisi. Itu pun mereka memilih tidur sebagai pengganti makan siang. Trio yang biasanya mengekori Elka juga sedang melanglang buana di mal PI dan CL. Membuat divisi benar-benar sunyi.
Andai Elka tidak kalah cepat untuk kabur selepas meeting bersama atasannya yang mesum ini, mungkin dia tak berakhir di sini. Pasalnya, ia seratus persen yakin namanya akan kembali disebut-sebut dalam grup gossipers bila kedapatan makan siang bersama Daniyal. Harusnya ia tak perlu memusingkan hal remeh begitu, bukan? Harusnya seperti itu, tapi entahlah, perasaannya tidak satu komando.
Padahal sudah jadi rahasia umum mereka kembali menjalin kasih. Itulah yang membuat ruang obrolan Elka di instagram membeludak oleh ucapan selamat yang datang bak air bah.
Dia diseret Daniyal untuk menemani pria ini makan di pantri. Yang mana hal demikian mustahil Elka tolak sebab Daniyal mengancam akan mengajaknya makan di kantin kantor bila menolak permintaan sederhana tersebut.
Sejak memutuskan untuk bersama, Daniyal sama sekali tidak membiarkan Elka sendiri. Terkecuali saat hendak ke toilet. Daniyal tinggal di rumah Elka sejak dua hari lalu. Mereka banyak menghabiskan waktu bersama.
Bisa dibilang, Daniyal mengurung Elka hanya untuk dirinya sendiri--di luar urusan kantor--mereka menjelma bagai perangko. Ke mana pun Elka melanglah, ada Daniyal yang mengekor di belakangnya.
Dan entah mengapa, ini mulai memberatkan Elka. Sulit baginya untuk menginterpretasi maksud hatinya yang kalut ke arah positif. Dia tidak pernah begini sebelumnya.
"Kendalikan dirimu. Aku gak lagi dalam mood untuk balas ucapan nyeleneh kamu," tegur Elka serius. Perasaannya buruk sejak pagi. Seakan ada bongkahan besar di hati yang ia pun bingung apa penyebab pastinya. Mungkin karena ia sedang masa PMS? Ia sendiri sulit menentukan alasan kekalutannya. Aneh, bukan?
Daniyal mendengar jelas intonasi berat Elka dalam suara letihnya. Ia letakkan sendok sambil menatap Elka lekat.
"Terjadi sesuatu?"
Elka mengepalkan tangan.
"Bisa kita jangan bertemu dulu?" Elka memberanikan diri untuk menyuarakan apa yang berkecamuk di benaknya. "Di luar urusan kerjaan."
"Why?" Lenyap sudah nada tengil Daniyal.
"Tidak ada alasan. Aku hanya merasa kita tidak perlu bertemu dulu."
"Aku tanya kenapa, Elka."
"Sesimpel aku butuh waktu sendiri?"
"Oke," jawab Daniyal setenang mungkin. "Kamu hari ini biar diantar Karol saja. Aku pulang ambil barang dulu di rumah Paman, malam nanti aku kembali ke rumahmu."
Elka menggeleng pelan. "Bukan. Bukan waktu seperti itu yang kumaksud."
Kedua alis Daniyal saling bertemu, meruncing ke bawah.
"Aku ingin sendiri untuk waktu yang lama. Itu bisa berarti sampai besok, atau hari sesudahnya."
"Aku butuh alasan."
"Ada yang salah dengan perasaanku, aku pun gak yakin letak salahnya di mana. Dan kurasa, aku perlu waktu untuk membenahi perasaan itu. Tanpa kamu. Bisa kamu kasih aku waktu untuk melakukannya?"
"Kita benahi bersama. Tell me, apa yang mengganjal hatimu."
"Tidak sekarang, Daniyal. Kita sedang di lantai Wisma Lateef. Mari pisahkan urusan pribadi dengan hubungan profesional kita."
"Kita sudah sepakat untuk bersama."
"Apa sesulit itu memberiku waktu sendiri?"
"Akan kuberi, tapi biarkan aku tinggal di rumahmu. Beri aku kamar lain, maka kuusahakan tidak menimbulkan suara sekecil apa pun, supaya kamu tidak terganggu. Bagiku, melihatmu dari jarak dekat juga sudah cukup. Permintaan seperti menjauh atau semacamnya, itu bukan sesuatu yang ingin kudengar darimu."
"You heard me loud and clear. Aku. Ingin. Sendiri. Artinya, kamu gak boleh tertangkap oleh radarku."
"Kalau begitu lupakan permintaanmu karena itu tidak akan pernah terjadi."
"Daniyal," desah Elka frustrasi.
Pria yang Elka sebut namanya dengan nada putus asa itu menggeleng tegas. Daniyal langsung menenggak air, lalu menutup kotak bekal milik Elka cepat.
"Akan kuhubungi Karol untuk menjemputmu. Pulanglah lebih dulu." Begitu kata Daniyal hingga sesudahnya, ia melenggang pergi menuju ruangan miliknya. Sedang Elka ditinggalkan dengan tangan terkepal.
Harusnya mereka baik-baik saja. Harusnya bukan suasana begini yang terpantik ke permukaan. Harusnya, harusnya dan harusnya. Delapan karakter huruf tersebut berkecamuk dalam benak Elka, diikuti oleh rentetan kalimat lanjutan yang membuatnya menyesalkan konflik kecil yang timbul di antara mereka.
Tapi tetap saja, rasa kesal, putus asa, serta stres, masih menyambangi hati Elka. Tidak. Dia harus segera menyingkirkan perasaan negatif ini sebelum konflik besar kembali tercipta.
Mungkin karena itu dia begini.
Pantas saja dia kesal. Jengkelnya sungguh tak tertahankan.
Pada akhirnya, Elka memerintahkan Karol untuk meninggalkannya meskipun ia tahu, Daniyal tak akan suka atas perintah sepihak tersebut. Ia berniat pergi ke suatu tempat, di mana hanya ia saja yang boleh pergi. Mengajak Karol, sama saja menggali kuburan sendiri.
Pasca tahu jati diri Rafael yang sesungguhnya, Elka memilih bersikap tenang terhadap asisten pribadi Daniyal tersebut. Dia juga sudah mengajak Karol mengobrol, dan beruntung, hasil obrolan mereka cukup memuaskan hati Elka. Karol menyayangi Rafael, sepenuh hati, tapi ia tidak berniat mengambil putra kandungnya dari perempuan yang telah mendedikasikan masa mudanya demi menghidupi Rafael. Karol seorang Ibu, dia sepenuhnya berhak atas Rafael. Namun, ia tahu sejauh mana dia mampu berharap. Antara Elka dan dirinya, semuanya amat timpang. Sehingganya, Karol serahkan kebahagian putranya pada Elka. Setidaknya dengan begitu, Rafael tak perlu merasa serba berkekurangan bila bersamanya.
Elka perempuan baik. Teramat baik sampai Karol tak berani mematahkan hati Ibu sambung putranya itu bila ia rebut Rafael dari Elka. Tidak ada yang akan berubah. Hidup mereka, akan tetap berjalan normal. Mungkin, inilah yang terbaik.
Elka sedang menunggu di ruang tamu rumahnya. Menantikan kedatangan seseorang yang sejak makan siang tadi, tak ia acuhkan. Seseorang yang beberapa menit lalu telah menerima pesan singkat darinya.
Mari berpisah. Adalah dua kata yang Elka kirimkan pada lelaki tersebut tanpa beban sedikit pun.
Desing mobil terdengar dari luar rumah. Elka menyilangkan kaki mulusnya. Dress putih selutut yang ia kenakan, gagal menyingkap sebagian pahanya.
Pintu depan yang sengaja ia biarkan terbuka, tahu-tahu terkuak paksa. Di sanalah pria itu berdiri. Raut keras di wajahnya, menjadi pertanda kuat bahwa ia sedang dikuasai oleh murka.
Elka menatapnya datar kala lelaki tersebut mendekat ke arahnya. Langkahnya lebar dan penuh entakan.
"Take back that damn message! What the hell do you mean by breaking up?! Are you out of your mind?!" Daniyal tumpahkan amarahnya ketika ia tiba di hadapan Elka
Napas panas tidak teratur, serta wajahnya yang memerah, Elka pandangi dengan raut santai. Seakan kemarahan Daniyal bukanlah apa-apa.
"Ada apa, Elka? Kupikir kita sudah baik-baik saja, kupikir semuanya sudah selesai. Lalu mengapa kau kirimkan pesan sialan itu? Apa yang salah? Katakan, Elka. Setidaknya bicaralah. Jika ada yang tidak kau sukai dariku, tolong katakan. Biar tugasku membenahi diri. Jangan tiba-tiba mengirimkan pesan sepihak tanpa eksplanasi. Bukankah kita bersepakat untuk saling terbuka? Lalu mengapa kau berharap hubungan ini berakhir? Apa ... apa yang salah, Elka?"
Melihat raut tak acuh perempuan di depannya, kian membuat Daniyal gusar.
"Kau masih kesal karena masa lalu? Kesal karena kupermalukan di depan teman-teman kita?" tebak pria itu, coba menjabarkan apa saja kesalahan yang sudah ia perbuat. "Kau tidak terima karena kupaksa terlibat dalam rencana balas dendam terhadap Rosita? Marah karena gerak-gerikmu selalu kupantau?"
Bungkamnya Elka mendatangkan kegamangan besar pada Daniyal. Sikap tenang yang didukung oleh minimnya ekspresi di wajah Elka, tak pelak menambah frekuensi panik pria itu. Sejak pagi, dia memang sudah curiga ada yang salah dengan gerak-gerik Elka. Kekasihnya cenderung murung, lalu tiba-tiba mengomel tanpa kejelasan pasti. Godaan Daniyal bahkan tidak lagi ditanggapi oleh raut tersipu.
Daniyal mengatur ritme napasnya. Menekan Elka hanya akan menimbulkan konflik baru. Cara kuno seperti itu, jelas kurang cocok diterapkan pada kekasihnya yang memiliki kepribadian serupa dengannya. Batu bila saling dibenturkan, hanya akan memancing percikan api.
"Ka, akan kutebus semua kesalahan bodohku itu. Kasih aku kesempatan untuk mengobati luka masa lalumu. Biar aku yang memperbaiki semuanya. Mungkin kedengarannya memang tidak mudah, bahkan walau sebanyak apa pun jaminan yang kuberi, tak bisa sepenuhnya menyembuhkan lukamu. Aku tahu sebesar apa kesalahanku. Karenanya, hukum aku, Elka. Limpahkan semua kesalmu, tapi kumohon, jangan sesumbar itu mengatakan kata pisah. Jangan hukum aku dengan cara seperti ini."
Nada keputusasaan terdengar begitu lirih dari birai Daniyal. Dia bukanlah Daniyal yang angkuh lagi. Dia cacat tanpa Elka. Dia hanyalah Daniyal yang telah kehilangan kuasa absolutnya di hadapan perempuan yang sangat ia cintai. Kekasih yang menjadi dambaan hatinya, setelah bertahun-tahun terperangkap dalam pekatnya kubangan kegelapan.
Ada bongkahan sesal besar di hatinya. Mengapa sejak awal, ia tak memakai cara 'normal' untuk menarik Elka dalam hidupnya? Andai mereka dipertemukan dalam situasi normal, andai mereka adalah manusia tanpa latar belakang hidup yang rumit, andai keduanya tak memiliki luka masa lalu yang kelam, mungkin hubungan mereka bisa dimulai dengan cara yang benar. Bukannya saling menyakiti, menorehkan luka baru dan malah menimbun luka lama tanpa penyembuhan tepat.
"All i want is to be loved by you. Namun, bila seandainya mencintai orang sepertiku terasa berat bagimu, sungguh, aku tidak berniat memaksa." Daniyal berlutut di depan Elka. Bahunya terkulai tanpa daya. Ia bak prajurit yang menyerahkan diri pada pihak musuh, siap dibantai dalam satu tebasan pedang. "Elka, sejatinya aku pria bodoh yang bingung pada bagaimana cara mencintai yang benar. Cara kotor yang selama ini kuterapkan, jelas tidak bisa disebut sebagai cinta murni. Benar, obsesi ikut bercambur di dalamnya. Segala cara kulakukan untuk menjeratmu, demi memenuhi fiksasi pribadiku terhadap dirimu. Sehingga pada akhirnya, tanpa sadar aku semakin keluar jalur. Aku begitu yakin kamu bersedia memaafkanku, menerima kehadiranku dalam hidupmu--sepaket dengan masa laluku yang buruk, tapi ternyata, aku begitu congkak."
Daniyal menyentuh jari tangan Elka yang dingin. Ia tatap iris coklat perempuan itu, mengalirkan sorot pendambaan yang berselimut ketidakberdayaan.
"Beri aku hukuman. Berikan balasan setimpal agar aku ikut merasakan luka yang pernah kuciptakan pada dirimu. Kuserahkan semuanya kepadamu, Elka." Daniyal kecup buku jari Elka. Lama, dan penuh kehati-hatian. "Tapi berpisah? Kau tembak saja kepalaku. Memilih kematian adalah opsi terbaik dibanding berpisah darimu. Ya, Elka, akalku tidak lagi berfungsi dengan sebagaimana mestinya. Pria di hadapanmu ini memang tidak tahu malu. Memilih mati dibanding menerima penolakan. Kedengarannya gila, bukan?"
Daniyal kembali menegakkan kepala.
"Namun, kalau memang kesempatan itu masih ada, kesempatan untuk kita bersama, aku bersungguh-sungguh, Elka, kudedikasikan diri ini hanya kepadamu. Aku akan berusaha hidup lebih bugar. Agar setiap kali kau butuh penopang di saat sakit, bahuku siap menerima sandaranmu. Membantumu pulih kembali, akan menjadi kewajibanku. Aku bukan pria pemalas, jadi kau tidak perlu khawatir hidup berkekurangan. Aku pandai menggunakan ototku, maka bila sewaktu-waktu kau butuh pertolongan, aku siap menggunakannya. Aku pun pandai berkelahi. Jika seseorang menyakitimu, maka dia harus siap berhadapan denganku." Wajah Daniyal diliputi sendu kala sadar semua itu sia-sia saja bila perempuan impiannya kukuh ingin berpisah. "Tapi sekali lagi, Elka, semua kebolehanku itu tidak akan pernah sempurna bila mana aku tidak berada di sisimu. Jika pada akhirnya aku gagal menjadi Daniyalmu, Daniyal milik Elka Dyatmika, kupikir opsi menyusul Handra tidaklah buruk."
"Apa lagi yang kau tunggu?" Elka tahu-tahu berkata dengan intonasi datar. Ia menarik paksa tangannya dari genggaman Daniyal.
"Menyusul ... Handra?" ujar Daniyal membalas gamang ucapan Elka. Kemudian, senyum getir terpatri di bibirnya. Dia telah kalah. Rupanya sudah tidak ada lagi harapan. Kesempatan yang ia harapkan, selamanya hanya akan menjadi ilusi. Elka tidak sudi memilihnya.
Beginilah akhirnya?
Daniyal pun bangkit. Tangan kanannya bertopang pada paha. Ia berdiri sambil menatap kosong lantai rumah Elka.
Lagi, ia angkat kepalanya, menatap lekat pada perempuan yang ia kira akan menjadi kekasih abadinya. Elka masih saja cantik, meski wajahnya tidak menunjukkan raut ramah. Tatapan Daniyal dibalas oleh ekspresi murka Elka. Sementara tangan perempuan itu tersilang di depan dada. Ia tampilkan gestur muak pada Daniyal.
Apa sekarang, melihat wajahnya saja Elka tidak sudi? Dia tampak marah, tapi berusaha menahan amarah tersebut agar tidak tumpah ruah. Lantas, Daniyal terkekeh pahit.
Baiklah.
Dia harus tahu diri. Mengharapkan pelukan sebagai akhir perpisahan agaknya terlalu muluk. Melihat dari bagaimana raut benci Elka sekarang.
Ia pun berbalik. Satu langkah mulai diambilnya, kemudian diikuti oleh jejak-jejak baru. Ia membawa dirinya menjauh dari radar Elka. Seperti yang diharapkan perempuan itu tadi saat di kantor. Dia, ingin sendiri. Tanpa Daniyal terlihat olehnya.
Langkah kaki Daniyal bagai terseret. Namun, ia tetap berusaha mempercepat langkah. Sudah tidak ada lagi harapan. Elka enggan hidup bersamanya.
Apa lagi yang lebih mengerikan dari itu?
Lima langkah lagi, Daniyal siap melintasi pintu keluar. Betapa ini meremukkan hatinya, ia sungguh tidak ingin keluar dari rumah Elka sebab di sinilah, mereka banyak menciptakan momen manis. Siapa sangka? Momen manis yang singkat itu, hanya akan menjadi bagian dari memori masa lalu yang pastinya mustahil ia lupakan.
Tiba-tiba, Daniyal merasakan benda tumpul mengenai punggungnya. Rasanya seperti ia baru saja dilempari batu. Bunyi nyaring pun menggema setelah beberapa detik hanya diisi oleh hening ketegangan. Ia seketika menghentikan langkah akibat terkejut.
"Bajingan! Ya sudah pisah saja sekalian! Pergi yang jauh! Biar aku nikah sama orang lain! Benci banget sama manusia kayak gini! Otaknya gak dipake mikir! Dasar gak peka!"
Jerit Elka nyaring. Suara tangisan juga mendadak terdengar.
Daniyal lantas berbalik. Tatapannya langsung tertuju pada kotak kecil yang tergeletak tidak jauh darinya. Ring box berwarna hitam yang terbuka, menampilkan dua cincin yang masih tersemat di dalamnya, sontak menyentak kesadaran lelaki tersebut.
"Katanya cinta, tapi gak niat nikahin aku! Omonganmu doang yang besar! Dari kemarin ditungguin buat ngelamar, tapi masih aja gak ada aksi! Kalau cuma mau pacar-pacaran, pacaran saja sama monyet! Umur aku udah mau kepala tiga! Udah gak cocok jadi pacar, harusnya aku dinikahin! Biar predikatku resmi jadi istri kamu!" jerit Elka tak lagi menahan diri. Sungguh, sejak tadi ia berniat menonjok wajah tampan kekasihnya itu.
Betapa mudahnya Daniyal menyerah hanya karena konfrontasi kecil yang seharusnya Daniyal paham, itu semua tidak mungkin Elka inginkan.
Niat hati hendak mengerjai Daniyal, dia malah dikejutkan atas pengakuan 'siap mati' dari pria gila itu. Yang benar saja. Mana mau Elka mati perawan!
"Kenapa malah bengong?!" sentak Elka dongkol. ''Ambil gak cincin itu!"
Melihat Daniyal masih saja bergeming, menatap syok kepadanya, air mata Elka lagi-lagi luruh.
"Kamu gak ada niatan mau nikahin aku. Iya, 'kan? Makanya gak lamar-lamar aku. Jahat banget. Kamu jahat banget, Daniyal."
Elka kembali duduk di sofa, ia tangkup wajahnya yang masih bersimbah air mata.
"Malang sekali nasibku terjebak bersama laki-laki yang gak mau kasih komitmen seumur hidup. Beraninya cuma main pacar-pacaran."
Mendadak saja, Elka merasa tubuhnya direngkuh begitu erat hingga rasanya ia remuk akibat pelukan penuh semangat tersebut.
"Malam ini? Besok? Minggu depan? Kapan pun kamu siap, ayo menikah!" Suara Daniyal terdengar bergetar, juga lantang di saat bersamaan. Ia kecup kepala Elka berulang kali. "Percaya atau tidak, Sayang, aku sudah menyiapkan rencana pernikahan kita. Aku bahkan sudah jauh-jauh hari meminta Paman dan Handini agar bersiap menyambut kehadiranmu sebagai bagian dari keluarga Lateef. Sungguh, Elka, persiapan lamaranku nyaris sembilan puluh persen, tapi karena kau tiba-tiba mengakhiri hubungan kita, aku tak lagi berpikir jernih."
"Kupikir masih terlalu dini. Kau sendiri tahu, kita baru berbaikan beberapa hari yang lalu. Dan rasanya, melamar dengan waktu sesingkat itu, kesannya sangat terburu-buru. Aku takut kamu tidak siap."
"Siapa bilang gak siap? Kamu pikir enak diposesifin, tapi hubungan kita stuck di pacaran doang? Emang aku remaja tanggung yang puas dibelai-belai tanpa kejelasan? Nggak enak, Daniyal! Kalau memang mau nikahin aku, maka lakukan secepatnya!"
Dalam tangisnya yang terus berlinang, Elka lagi-lagi mengomeli Daniyal. Menyudutkan pria itu dalam posisi serba salah. Dia piawai melakukannya, bukan? Tangis ini sengaja ia buat-buat. Hanya supaya Daniyal panik saja.
"Aku gak mau tinggal serumah, tapi status kita belum resmi sebagai pasangan yang sah. Terserah orang mau melabeli kita kumpul kebo, duduk masalahnya bukan di situ. Satu-satunya masalah di sini adalah, kau yang menempeliku bak lintah, tapi enggan mengikatku secara resmi. Aku nggak mau terjebak dalam posisi riskan begitu! Jari manisku gatal nunggu cincin dari kamu. Makanya aku inisiatif beli sendiri. Aku minta putus, untuk selanjutnya kita nikah! Bukan malah pisah sungguhan!"
Lonjakan kebahagiaan membuncah bagai air bah di hati Daniyal. Ia sangat-sangat lega. Seakan bongkahan batu besar yang beberapa waktu lalu mengganjal hatinya, terangkat, lalu hancur berkeping-keping.
Apa acting-nya sudah tepat sasaran? Benar, dia memang bersandiwara sejak tadi. Memosisikan diri sebagai pria menyedihkan demi membuat Elka menggagalkan rencana perpisahan yang diinginkan oleh perempuan itu lewat emotional blackmail.
Siapa yang menyangka, ternyata Elka malah mengerjainya?
Daniyal bersyukur karena kekhawatirannya tak mendasar. Meski begitu jangan salah, kendatipun tadi ia bermain peran, kata-kata yang ia ucapkan sebagian mengandung kebenaran. Tentang ia yang berjanji akan membahagiakan Elka, melindungi Elka, lalu mendedikasikan diri hanya untuk Elka, itu adalah kebenaran mutlak.
Akhirnya hari ini datang juga. Selangkah lagi, Elka resmi menjadi miliknya.
Sepenuhnya.
Selamanya.
Sungguh pasangan yang menyeramkan. Melegalkan segala cara untuk menjebak satu sama lain.
"Kau ... siap mengenalku lebih dalam?"
"Kalau gak siap, udah dari dulu aku milih bundir dibanding ikut alur permainan kamu yang bikin kewarasanku patut dipertanyakan."
"Janji tidak akan menyesalinya?" Daniyal kembali memastikan. Ia bertanya serius. "Siap menerima sisi diriku yang belum kutunjukkan kepadamu? Seburuk apa pun sisi itu?"
"Jangan memancing runyam baru. Seandainya aku tidak siap, drama ini tidak mungkin terjadi. Sekarang, ambil cincin itu. Sematkan di sini." Elka acungkan jari manisnya, tepat di hadapan wajah sang kekasih, lalu melipat jari lainnya ke dalam. Ia seperti memberi jari tengah pada Daniyal.
Pemandangan itu sontak membuat Daniyal tergelak. Melihat Elka begitu bersemangat untuk menjadi nyonya Lateef, tak pelak mengantarkan rasa hangat di hatinya. Jantung Daniyal berdebar antusias. Ia yakin, Elka juga mendengar debar kuat tersebut.
Daniyal bangkit, memungut kotak cincin yang tadi Elka lemparkan kepadanya. Ia keluarkan cincin berbahan platinum dari dalam situ.
Saat berbalik, tangan kanan Elka sudah terjulur di hadapannya. Perempuan pemaksa ini benar-benar tidak tahu apa yang sedang menunggunya di masa depan setelah mereka resmi terikat sebagai pasangan suami istri nanti.
Sudut bibir Daniyal sontak terangkat misterius.
"Elka Dyatmika, kusambut dirimu dengan suka cita. Kuucapkan selamat karena kau berhasil sampai pada tahap ini. Selamat datang, Sayang, hidupku sudah lama menunggu kehadiranmu di dalamnya. Tidak ada opsi kembali setelah ini. Meraung sampai mati pun, jangan bermimpi bisa kabur."
Cincin telah bertengger sempurna di jari manis Elka. Ia tersenyum lebar, sambil sesekali terkekeh haru.
Ah, betapa ia tak sabar menerima sapaan sebagai Nyonya Lateef.
Daniyal tiba-tiba mengecup keningnya, lalu berpindah pada leher jenjangnya.
"You know, baby, 90 percent of my mind is filled with thoughts of you."
"And the other 10 percent?" Elka yang sedang memerhatikan kilauan cincin di jarinya, menyahuti asal Daniyal.
"Still you."
"I know."
"But with all your clothes on."
Elka diam beberapa detik. Saat sadar maksud perkataan sang kekasih, ia jawil hidung Daniyal gemas.
"You're really shameless. Oh, aku jadi takut ranjang di kamarku patah."
Daniyal balas Elka dengan tawa puas.
"Too late to regret it now, baby," ungkapnya seraya menarik Elka lebih dekat. "They said, to stop time, we should kiss. So, shall we?
Elka mengalungkan lengannya pada bahu kokoh Daniyal. Sebelum menyanggupi permintaan kekasihnya, sekali lagi ia tatap jari manisnya dengan rasa bangga. Bahkan bibirnya mulai pegal akibat tersenyum lebar sejak tadi.
Arah pandangannya beralih pada Daniyal yang telah menatapnya begitu dalam.
"Your face." Elka kian mendekatkan wajah pada pria tersebut. Ia menyunggingkan senyum nakal nan sensual.
"What happend with my face?" bisik Daniyal. Matanya tak fokus. Membalas tatapan panas dari Elka, lalu berpindah pada bibir ranum sang kekasih.
"Face of a desperate horny man. And i love to see it, hehe."
T A M A T
Tamat beneran, yap!😘
Finally, they end up together! Panjang banget drama mereka. Sadar kok 90% cerita ini isinya konflik. Romance-nya seuprit kayak kewarasan dua kopel ini. Habis gimana, yak? I loveee chaos and drammmmaaaa sooo much!
Tenang ajaa. Yang manis-manis aku kasih di epilog & extra part. Mau request berapa nih extra part-nya?
Ngomong-ngomong, kasih rating dulu boleh dong sama cerita ini? 1-5, angka berapa yang kamu pilih? Apa alasannya kasih rating segitu?
I sadar ini cerita masih banyak kurangnya. Plot hole ada di mana-mana. Plzz bikin sakit mata (kuperbaiki saat revisi nanti🤞🏻) Apa lagi bagi pembenci slow burn romance. Pasti mencak-mencak tiap baca partnya wkwk.
Tapi meski begitu, mari kita survey tokoh kesayangan kalian. Kasih emot terbaik versi kalian untuk manusia fiksi ini🥺💕 (Yg gak suka tokohnya, kasih emot ☠️ aja, hihi.)
Elka
Daniyal
Rafael
Glori
Yasa
Javis
Jahira
Karol
Izz
Sonya
Gabri
Anggi
Damar
Handra
Ssssssst, tak bisikin. Jadi ... di antara nama-nama itu ... ada tokoh utama selanjutnya dalam series Sonder ini, lhoo!
Tebak siapa? Dan siapa saja pasangan mereka?👀 Pokoknya seru! Bangett, ngett, ngett!
Dah, ya, segini dulu cuap-cuapnya. Sampai jumpa di epilog & extra part, yap!🤗
#tolong_jangan_ikuti_kegilaan_mereka
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro