Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

52 | War Is Over

Napas Elka masih belum stabil saat ia menatap langit-langit putih kamarnya. Tangannya terkulai lemas pada masing-masing sisi tubuh. Daniyal tidak waras. Ini bukan metafora atau semacamnya. Elka kewalahan mengimbangi sisi liar Daniyal yang ia yakini belum sepenuhnya ditunjukkan oleh lelaki tersebut. Dia tidak main-main menyiksa Elka dari dua jam lalu saat ia masuk seenaknya ke dalam rumah, lalu mengajak Elka berperang lidah.

Bukannya berbicara dari hati ke hati, melepas perasaan kurang nyaman di dada setelah lama perang dingin, dia malah memakan dada Elka. Memikirkan hal yang mereka lakukan tadi membuatnya malu bukan main. Ya, dia cinta Daniyal, tapi melakukan intimasi seperti demikian di saat mereka belum sepenuhnya berbaikan, sensasinya luar biasa menegangkan.


Elka memaksa beranjak dari atas ranjang. Memungut bra, serta mengambil dress hitam sedengkul yang tadi ia siapkan sebelum mandi. Dia sebenarnya harus mandi lagi karena berkeringat. Beruntung, lengket yang tadi mengganggu telah dibersihkan Daniyal dengan amat telaten.

Gentleman sialan.

Gemericik air terdengar dari arah kamar mandi di mana Daniyal berada sekarang.

Apa dia bergabung saja dengan Daniyal? Elka menggeleng tak habis pikir. Ia terkekeh atas pemikirannya sendiri. Glori pasti akan mengatainya pemilik rumah bordil jika tahu dia berpikiran begitu. Jika beginilah keadaannya, dia sama saja tidak jauh berbeda dari Daniyal yang juga seorang freak dalam urusan begini.

Menggelikan.

Elka putuskan keluar kamar. Dia ingat belum menyalakan lampu di teras rumah dan malah fokus membersihkan isi rumahnya yang berdebu setelah sebulan lebih ditinggalkan sebab Rafael dan Sus Ami juga telah diboyong Glori ke rumahnya.

"Ka!"

Samar, Elka mendengar teriakan tersebut hingga membuatnya menoleh ke belakang. Suara Daniyal. Dia menunggu dua detik demi mendengar kata-kata selanjutnya. Hening. Ia mengedik, melanjutkan langkah ke lantai bawah rumah.

"Elka!"

Perempuan itu berjengit saat baru menekan saklar untuk menyalakan lampu teras. Ketika hendak berbalik, bahunya terdorong ke belakang kala Daniyal merengkuhnya begitu erat.

"Uh, ada apa?" Elka bertanya sambil memperbaiki posisi dagunya di bahu Daniyal yang sekaku besi. Tubuh lelaki ini juga tampak tegang. Sadar bahwa Daniyal hanya memakai boxer, dengan kondisi badannya masih sangat basah, Elka dibuat mengernyit.

Hal paling mengerikan bagi Daniyal adalah mendapati ranjang perempuan yang sedang dia rengkuh ini berada dalam keadaan kosong. Ingatnya, Elka sedang berbaring di atas situ sebelum ia masuk ke kamar mandi.

Elka melarikan diri. Lagi. Begitulah skenario yang tersusun di otak Daniyal hingga ia menyeru nama kekasihnya tadi sembari diselingi nada panik.

Daniyal sudah bertekad akan memperbaiki semuanya mulai sekarang. Semuanya. Menunda hanya akan membuat Elka semakin membentangkan jarak dengannya.

"Pakai baju dulu. Masuk angin nanti kamu. Bawa pakaian lebih?"

Masih dalam posisi berpelukan, Daniyal mengangguk singkat. Dia selalu menyiapkan pakaian kantor lebih di mobil.

"Aku ambilin."

Niat Elka yang hendak beranjak langsung dicegah Daniyal. "Tunggu di sini," ucapnya setelah menuntun Elka duduk di sofa ruang tamu. Sebelum beranjak, Daniyal kecup lama dahi Elka. Ia rengkuh kekasihnya sampai tubuhnya kembali rileks.

Entah mengapa mood di antara mereka berangsur-angsur mendung. Elka bukannya tak sadar Daniyal menampilkan ekspresi pahit selepas memastikan dirinya duduk di sofa dan kemudian berbalik pergi. Menyembunyikan wajahnya yang tampak dibayangi oleh rasa takut.

Tidak sampai dua menit, Daniyal kembali menampakkan diri. Beruntung, kompleks cluster sedang sepi. Jika tidak, siapa yang tak akan terkejut melihat pria dewasa seperti Daniyal acuh tak acuh keluar masuk rumah Elka hanya dengan boxer hitam sedengkul di tubuhnya.

Saat melangkah ke arah sang kekasih, Daniyal berhenti sejenak untuk mengenakan celana bahan panjang berwarna hitam. Sementara Elka menunggu dalam diam. Matanya juga tak lepas dari pria itu. Hingga tahu-tahu, ia berpindah tempat di antara dua kaki Daniyal setelah lelaki itu duduk di sofa panjang dan memilih berselonjor, sementara punggungnya ia sandarkan pada lengan sofa.

"Harus banget duduknya gini?" goda Elka coba mencairkan suasana yang nahasnya tak diindahkan oleh pria yang kini merengkuhnya dari belakang. Alhasil, ia biarkan Daniyal memulai obrolan lebih dulu.

"Maaf," lirih Daniyal. "Sebelum kujelaskan semua hal yang bagimu mungkin akan terdengar sangat keji, izinkan aku minta maaf lebih dulu. Maaf, maaf, Elka."

Elka berdehem. "Kumaafkan," jawabnya singkat. Ia merasakan langsung bagaimana hangatnya tubuh Daniyal sebab mereka duduk berdempetan. Terlebih Daniyal tidak mengenakan pakaian yang menutupi tubuh atasnya.

"Kita pernah bertemu, jauh sebelum kamu dan diriku berada di jurusan yang sama."

Elka lantas mengernyit. "Oh, ya? Kapan? Di mana?"

"Sembilan tahun lalu. Di kelab."

Anggukan pelan, Elka beri atas jawaban Daniyal yang menurutnya tidak terlalu mengagetkan. Selain sekolah, orang-orang hanya akan bertemu dirinya di tempat remang-remang tersebut. Jadi wajar saja Daniyal melihatnya di situ sebab kelab adalah pelarian terbaik Elka kala itu.

"Aku sepupu Damar."

Detik itulah Elka terkejut. Ia sampai ingin berbalik demi menatap pria di belakangnya, tetapi Daniyal mencegahnya bergerak.

"Aku sepupu Damar. Tante Zuri adalah adik mendiang Ibuku. Kamu sudah mendengar dari Gabri tentang apa yang melandasi hubunganku dan mereka berakhir buruk. Walaupun sebenarnya, aku tetap menjadi si keras kepala yang ingin terus mengemis maaf dari mereka. Aku tidak akan kaget bila Tante Zuri maupun Damar sama sekali tidak menceritakan dari keluarga mana mereka berasal karena setelah kematian Paman Zefran, mereka melepas semua embel-embel Lateef dari hidup mereka."

Daniyal berhenti sejenak. Nyatanya, menceritakan rahasia tentang hidupnya masih saja membawa gelenyar pahit di hati.

"Aku punya banyak waktu untuk menceritakan tentang bagaimana buruknya kondisi hubunganku dengan mereka, tapi untuk sekarang, aku hanya akan berbicara tentang bagaimana awal mula aku tergila-gila pada gadis menyedihkan sepertimu."

"Yang benar saja, Daniyal." Elka berdecak sebal. Daniyal memang paling ahli menjadi perusak suasana.

Dan seolah enggan ambil pusing pada protes yang dilayangkan kekasihnya, Daniyal kembali melanjutkan, sambil sesekali mengusap pelan perut Elka yang ia peluk. "Menyelamatkanmu dari Damar yang berniat melecehkanmu malam itu, adalah awal dari segalanya. Sepupuku yang sebelumnya telah berniat menyetubuhimu, berniat membawamu yang berada di bawah pengaruh alkohol untuk pergi bersamanya. Bisa kamu bayangkan apa yang terjadi setelahnya bila aku luput akan gerak-gerik Damar?"

"Kamu ... melakukan ... apa?"

"Aku memang mengikuti Damar karena sebuah alasan. Siapa sangka, malam itu aku malah menjadi pahlawan kesiangan yang mencegahmu berakhir mengenaskan. Awalnya aku bingung harus kuantar ke mana dirimu yang mabuk. Bagiku kamu menyusahkan, Elka. Sungguh. Kamu benar-benar tidak tahu apa yang terjadi saat itu, sementara aku dibuat kelimpungan karena sok menjadi penyelamat. Entah apa yang membuatku nekat menyelamatkanmu."

Daniyal meloloskan napas berat.

"Karena kebingungan, aku malah membawamu pergi ke pemakaman di mana Papaku berada. Kita bermalam di sana. Kamu di jok belakang, sementara aku di kursi depan. Membawamu ke situ dibanding menyerahkanmu ke kantor polisi supaya biar mereka saja yang mengantarmu pulang ke rumah, menurutku adalah pilihan yang tepat. Kamu tahu mengapa?"

Elka diam. Dia sudah bisa meraba ke mana arah Daniyal melanjutkan ucapannya.

"Aku melihat lebam di antara belahan dadamu. Warna yang cukup kontras dari kulit pucatmu," desis Daniyal. "Kamu tahu, Elka, jujur saja, sejenak aku terpana oleh wajahmu yang begitu tenang dalam tidur. Kamu cantik. Meski dandananmu terlihat aneh. Garis pipimu tirus, membuatmu tampak seperti boneka. Terlebih saat melihat dadamu yang sedikit menyembul dari pakaian kurang bahanmu, itu kesempatan yang agak sulit kulewatkan. Aku pria normal. Diberi pemandangan begitu, tentu aku senang-senang saja."

Daniyal mendadak mengecup kepala Elka. Diam dan lama.

"Lama aku memperhatikan dirimu sampai tiba-tiba, mataku berhenti pada bercak ungu keemasan yang terlihat di antara belahan dada atasmu. Warna yang tampak begitu jelas di pagi hari." Daniyal memberi usapan pelan di kepala Elka. "Handra yang melakukannya?"

Elka mengangguk ragu. "Aku ingat pagi itu. Terbangun di tempat asing, di mobil yang entah milik siapa, aku sangat terkejut sampai di pikiranku hanya terlintas kata kabur. Panikku bertambah besar setelah melihat gapura pemakaman. Aku mengira diriku sudah diculik, lalu berniat dibunuh. Bagaimana jika itu suruhan Papaku yang sudah matang-matang menyiapkan rencana untuk menghabisiku dengan menyuruh pembunuh bayaran karena enggan mengotori tangannya sendiri? Pikiranku hanya tertuju ke situ karena pagi sebelumnya, aku dipukuli habis-habisan akibat ketahuan pulang larut."

Daniyal pejamkan matanya frustrasi. Mendengar langsung Elka berbicara demikian, dia merasa masih belum puas menghabisi Handra. Bahkan tulang leher Handra yang putus bukanlah hukuman terbaik yang Daniyal beri kepadanya. Hanya karena muak mendengar rintih kesakitan pria itu, Daniyal dibuat geram hingga akhirnya menghabisi nyawanya.

"Aku tahu ada yang tidak beres denganmu. Dengan sendirinya, sejak hari itu, kuputuskan pergi ke kelab."

"Dan di situlah kamu memulai aksi penguntitanmu?" sela Elka tak sabaran.

"Yes, love," bisik Daniyal tepat di telinga kiri Elka.

"That's not love, you jerk. Kamu sedang melakukan tindak kejahatan. Pantas saja saat kamu menceritakan kisah Putri dan Putra, kamu tahu detail tentang kasus kami. Itu menyeramkan, Daniyal."

"Bagiku itu cinta. Lebih tepatnya, tindakan yang menghadirkan benih cinta di hatiku."

"Ewh. Dangdut banget."

Daniyal terkekeh atas respon sinis Elka.

"Dari kejauhan, memperhatikan dirimu adalah hal menarik karena aku melihat sesuatu yang luput dari pengamatan orang lain. Saat selepas bertemu temanmu, kamu mendadak memasang wajah sedih. Seolah kamu adalah anak yang tersesat di hutan belantara. Dirimu yang selalu melamun di tempat-tempat umum, lalu menari tanpa kendali saat di lantai dansa kelab sembari memasang topeng bahagia demi terlihat 'hidup', atau ketika kamu hendak masuk ke rumahmu, kamu akan memaki kesal, tapi tetap saja memilih masuk, itu semua hal yang menurutku menarik."

"Ini semacam fetish atau bagaimana? Apanya yang menarik dari semua tindakanku? Normal-normal saja kok karena waktu itu aku hanyalah remaja bodoh yang terlalu mencintai masa muda."

"Bukan karena kamu sedang mencari pelarian?"

Elka seketika cemberut. Daniyal pandai sekali membuatnya sulit mengelak.

"Tindakanmu menarik karena kamu sama sepertiku. Terlalu sering mengenakan topeng demi menyembunyikan kelemahan kita, bukankah itu hal menarik? Menolak memberi cela pada orang lain agar mereka tak tahu akan sisi lemah kita yang sesungguhnya. Aku menemukan banyak kemiripan denganmu. Semua ekspresimu terekam jelas dalam ingatanku. Dan, ya, semejak itulah, aku sulit berpaling. Sepenuhnya, perhatianku hanya tertuju padamu. Memang benar, Elka, tidak ada yang patut dimaklumi dari perbuatanku. Penguntitan jelas merupakan kejahatan, dan aku mengakui kesalahan itu."

Kepala Daniyal ia sandarkan pada punggung Elka. Ia dilanda gamang untuk beranjak ke topik selanjutnya.

"Maaf, berapa kali pun aku akan terus mengucap maaf kepadamu." Rasa bersalahnya terus bertambah kala mengingat hari-hari berat yang sudah ia beri pada kekasihnya. "Foto yang kutunjukkan saat memaksamu terlibat dengan keruntuhan Rosita, aku ... sengaja memotretnya sewaktu kamu pingsan usai melihat Handra dan Damar terkapar."

Siap tidak siap, sekarang adalah saatnya jujur pada Elka.

"Jauh sebelum kejadian pembunuhan Damar, dia datang kepadaku, mengaku bahwa dirinya telah angkat kaki dari rumah kalian. Kesal keinginannya tidak dikabulkan oleh tante Zuri. Aku tahu apa keinginannya sebab dia punya kebiasaan buruk menceritakan semua masalahnya saat mabuk. Kubiarkan dia tinggal di rumah Handini. Paman juga senang menerima Damar."

"Pada masa-masa pelariannya, dia hampir setiap hari bersenang-senang di kelab. Mengabaikan semua hal baik yang kami tawarkan agar hidupnya terarah. Sayangnya, Damar memilih berkubang pada kesenangan duniawi yang katanya adalah cara terbaik untuk membuatnya tidak gila. Terkadang aku pergi bersamanya karena ingin mencegahnya menciptakan keributan yang nantinya akan menyusahkan kami."

"Suatu ketika, dia bertemu Karol. Seorang Pramuria kelab yang Damar kunjungi. Bajingan itu sengaja menjebak Karol untuk melayaninya. Dia--Karol--dilecehkan saat mabuk. Namun, entah Karol sama gilanya dengan Damar, dia ternyata malah menaruh rasa pada bajingan itu. Posisiku benar-benar tidak menguntungkan saat menyaksikan mereka tenggelam dalam dunia mereka sendiri."

"Hingga suatu ketika, Karol mengandung hasil perbuatan mereka. Kamu tahu orang seperti apa Damar. Dia pecundang sejati. Karol dibiarkan melewati masa-masa kehamilannya seorang diri, tanpa pendampingan darinya. Sementara aku? Aku yang turun tangan menangani Karol karena sungguh, membiarkan wanita asing sepertinya yang bisa saja menjadi ancaman bagi ketenteraman hidup Paman dan Handini--terlebih jika Karol tahu dari keluarga mana Damar berasal, lalu ia mendatangi Rosita demi meminta pertanggung jawaban--adalah skenario terburuk yang kukira akan terjadi saat itu."

"Akulah yang membantu Karol. Memberinya sekian banyak uang agar dia diam. Dan beruntung, Karol ternyata enggan cari gara-gara. Meski begitu, satu yang ia permasalahkan. Tentang Damar yang tak lagi memedulikannya, padahal menurut Karol sendiri, Damar menjanjikan masa depan utuh dalam hubungan mereka. Itu pula yang menjadi alasan Karol setuju 'bersenang-senang' dengan Damar dulu, tapi nyatanya, ia ditipu mentah-mentah."

Daniyal mengetatkan rahang. Menyelesaikan konflik Damar bukanlah perkara mudah.

"Damar, dia manusia bejat. Entah apa yang dia pikirkan saat membawa kabur bayi yang baru beberapa hari Karol lahirkan. Lagi dan lagi, aku harus turun tangan membereskan kekacauan yang dia timbulkan karena Karol sampai bersimpuh di hadapanku untuk meminta tolong agar bayinya diselamatkan dari ayah kandungnya yang gila."

"Nahas, saat tiba di rumahmu, aku sadar sudah sangat terlambat karena Damar telah dihabisi oleh Handra. Entah apa yang terjadi saat itu sampai Damar dibunuh sementara rumah kalian berada dalam keadaan kosong. Kamu tidak terlihat, begitupun tante Zuri. Jujur saja, itu memudahkanku karena aku datang bersama beberapa orang untuk menghajar Damar demi memberinya pelajaran. Siapa sangka? Nyawa Damar malah berakhir di tangan Handra."

"Handra memang berniat kabur. Sadar dia bertingkah tidak wajar saat membersihkan tangannya yang bersimbah darah di halaman rumah kalian, aku meminta suruhanku untuk menyeretnya kembali masuk ke dalam rumah. Aku ingat betul apa yang selalu dia perbuat kepadamu. Dan semesta seakan memberiku kesempatan untuk melakukan hal yang berbulan-bulan sudah kutekadkan. Berangkat dari rasa geram, kuperintahkan suruhanku untuk menghabisi Handra. Dia pantas mendapatkannya. Betapa seringnya dia memukulmu, menyiksamu, bukankah lebih baik dia dihabisi saja sekalian agar para pengganggu di hidupmu tiada secara bersamaan?"

Detak jantung Daniyal memompa cepat. Kini, tibalah dia pada inti penjelasannya. Ia genggam tangan kekasihnya demi mendapatkan suntikan keberanian.

"Aku ... kupikir saat itulah kesempatanku untuk menjeratmu masuk dalam hidupku telah tiba. Ketika kamu datang, lalu pingsan, aku memanfaatkannya untuk melakukan tindakan gila. Aku yang menempatkan pisau itu di tanganmu. Aku pula yang memotretmu. Aku ... itu salah, Elka. Amat salah, tapi rasanya aku harus melakukan hal demikian agar kamu sepenuhnya tak berkutik saat tiba waktunya aku datang untuk menyeretmu masuk dalam hidupku."

Gigi Daniyal menggemeretak. Sangat sulit berkata jujur. Ia dibayang-bayangi akan ditinggalkan Elka selamanya bila berbicara lebih dalam lagi. Namun, siap atau tidak, mundur bukan lagi pilihan.

"Memanfaatkan kelemahanmu demi kesenanganku sendiri, itu kejam, tapi aku telah kehilangan kesabaran untuk menunggu momen pas agar kamu sepenuhnya berada dekat denganku. Sengaja kujadikan Rosita sebagai alasan dalam kerja sama kita, supaya kamu percaya bahwa rencanaku terkesan masuk akal. Supaya kamu bersedia melakukannya dan tidak menaruh curiga bahwa selama ini, aku telah melakukan banyak hal kotor di belakangmu berkat obsesi kelamku terhadapmu."

"Foto yang kamu tunjukkan hari itu, sangat menakutiku." Elka sekonyong-konyong membuka suara usai terdiam lama menyimak penuturan Daniyal.

"I'm sorry." Daniyal berulang kali mencium kepala Elka. Kilasan memori saat Elka yang dulu ketakutan saat ia menunjukkan foto tersebut, membuatnya amat merasa bersalah.

Elka menggeleng. "Kamu tahu? Sebenarnya sebelum kejadian pembunuhan Damar, beberapa jam sebelumnya, Papa bertengkar denganku. Dia beranggapan akulah penyebab hancurnya kebahagiaannya yang baru. Lagi dan lagi, dia menyudutkanku, memaksaku berada dalam posisi penjahat di hidupnya. Aku ... muak, Daniyal. Sangat-sangat muak. Selalu disalahkan sementara akulah korban sesungguhnya dari keegoisan mereka, membuatku sengaja menghasut Papa untuk menghabisi Damar."

Daniyal tergemap.

"Aku ... Akulah yang membuat Papa membunuh Damar. Jika ada yang patut Papa salahkan setelah semua kejadian buruk yang menimpa kami, orang itu adalah Damar. Karena Damar, Mama Zuri dibuat tersiksa akan tingkah kekanakannya. Karena Damar, rumah kami selalu tidak kondusif. Karena Damar, Papa sulit mengendalikan situasi tenteram di antara kami agar kembali ke posisi semula seperti saat sebelum Damar pergi dari rumah. Aku, Daniyal, akulah yang menghasut Papa untuk menghabisi Damar."

Elka mengeratkan tangan mereka yang saling membelit.

"Menyebutmu sebagai satu-satunya penjahat di sini, rasanya agak kurang tepat. Aku memang sengaja menyetujui ajakan kerja sama darimu. Kupikir dengan begitu, aku bisa sedikit menebus dosa yang kulakukan. Aku takut. Takut bila kehidupan yang sudah susah payah kuusahakan untuk tetap berjalan normal, tiba-tiba terenggut hanya karena masa laluku yang kelam. Aku benar-benar takut kamu akan melaporkanku pada pihak berwajib."

Elka merasakan gelengan pelan Daniyal. Ia tersenyum getir.

"Kupikir kamu sungguh akan melakukannya. Aku nggak mau, Daniyal. Rasanya tidak adil bagiku harus menanggung kesialan lagi setelah sekian lama hidup tenteram bersama Rafael. Setidaknya, biarkan aku egois sekali lagi. Jika menjadi pesuruhmu adalah satu-satunnya cara yang bisa menebus kesalahanku, maka aku siap melakukannya. Apa pun itu, aku siap."

"Asalkan hidupku tidak berakhir di balik jeruji besi. Itu masih lebih baik dari mati secara kontan. Berada di penjara, rasanya pasti seperti tersiksa perlahan-lahan, lalu kemudian mati secara mengenaskan akibat depresi. Memikirkan kemungkinan terburuk itu, rasanya menyesakkan."

Daniyal mengusap tangan Elka dengan jempolnya. "Aku tidak tahu kamu menyimpan beban batin seberat itu sementara diriku seenaknya menyiksamu."

"Anggap saja kita impas?"

"Tidak, Elka. Tidak akan pernah impas karena apa yang sudah kulakukan padamu, sangat melewati batas. Sengaja membiarkan Rafael tinggal bersamamu agar dia bisa menjadi senjata cadangan demi melumpuhkanmu, itu juga kesalahan besar. Betapa piciknya pemikiranku. Menggunakan anak kecil demi memenuhi keegoisan pria dewasa sepertiku, terdengar sangat bodoh."

"Beruntung aku menyayangi Rafael. Coba kalau tidak, mau kamu melakukan apa kepadanya, aku jelas enggan peduli."

"Menjebakmu terlibat dalam kehancuran Rosi--"

"Sudah kukatakan bahwa aku memang bersedia terlibat demi menebus rasa bersalahku pada Mama Zuri, Papa, dan Damar. Walau saat itu, aku tidak langsung setuju dan malah berniat kabur. Bayangkan saja, pria yang menolak cintaku dengan cara keji, mendadak muncul entah dari mana. Belum cukup sampai di situ, dia menunjukkan foto yang amat mengerikan. Jelas aku takut."

"Katamu, kamu sudah cinta kepadaku jauh sebelum kita bertemu di jurusan, lalu mengapa kamu menolak cintaku?" kata Elka dongkol. Diingat-ingat berapa kali pun, sungguh kejam cara Daniyal menolaknya.

"Ingat aku pernah berkata bahwa aku tipikal orang yang enggan merusak rencanaku sendiri?"

Elka mengangguk. Dia tak mungkin lupa pada hari di mana Daniyal menyerah, bersedia menerima cintanya secara utuh. Hari di mana pertama kali mereka lepas kendali dan menjadikan ciuman sebagai tanda resmi bahwa mereka adalah sepasang kekasih.

"Kupikir menolakmu adalah cara terbaik agar tidak terdeteksi oleh Rosita. Jika dia tahu ada manusia lain yang kucintai, jelas dia tak akan berpikir dua kali menghancurkan dirimu. Bahkan aku yang menguntit dirimu, semuanya kulakukan dengan sangat hati-hati supaya dia tidak sampai menyadarinya. Bagi Rosita, tidak ada wanita yang pantas bersanding denganku selain Handini karena menurutnya, aku dan istri pamanku itu, memang menjalin hubungan serius. Rosita hanya takut Handini marah lalu memutuskan hubungan dengannya. Itu bisa berimbas pada kekayaan, serta keamanannya sendiri sebab selama ini, Handini-lah yang membuat Rosita kebal hukum."

"Dan bila itu terjadi, semua rencanaku untuk menghancurkan Rosita, bisa berpotensi pada kegagalan besar. Itulah sebabnya, aku mengambil risiko menolakmu dengan cara demikian. Aku harus memastikan kamu paham bahwa mencintai orang sepertiku--pada waktu itu--bukanlah pilihan tepat. Kamu harus kubuat menyerah agar fokusku tidak mudah membelot dari rencana awal."

"Aku masih dongkol, ya, ditolak begitu. Malunya sampai sekarang."

"Maaf. Aku sadar, tindakanku sangat keliru, tapi bisakah kamu bayangkan? Perempuan yang lama kutaksir, tiba-tiba menyatakan cintanya di hadapan banyak orang, bagaimana mungkin aku tidak panik? Saat itu, pilihanku hanya dua. Menolak, atau menciummu. Sungguh, Elka, aku takut gagal menahan diri dan malah menciummu tepat di hadapan teman-teman kita. Sedikit saja aku salah bersikap, mungkin kamu sudah kuajak tidur bersama saat itu juga."

"Heh! Mesum banget!"

Daniyal tersenyum tipis. Ia menggigit kecil bahu Elka. "Cintaku yang salah. Seandainya aku tidak melakukan penguntitan dan mengintervensi hidupmu lebih dalam, mungkin aku tidak ...."

"Mungkin aku tidak akan pernah selamat dari Papa. Mungkin Damar juga berhasil melecehkanku. Mungkin hidupku tidak akan sesempurna sekarang. Mungkin aku tidak tahu ada orang lain yang begitu mencintaiku hingga ditahap dia kehilangan akal dan melakukan banyak cara gila demi membuatku selalu bersamanya. Demi membuatku aman di sisinya. Demi memastikan hidupku jauh dari bahaya. Demi membuatku sadar bahwa aku--manusia pembawa sial, seperti kata Papa--ternyata pantas menerima kasih yang tulus, ternyata diriku juga pantas dicintai sepenuh hati. Tanpa syarat, tanpa aku harus menjaga sikap demi dicintai, dan tanpa aku harus mengemis."

" .... berakhir mengenaskan."

Daniyal meremang usai mendengar kata-kata yang Elka sebutkan dengan cepat dan terstruktur tersebut.

"Cintamu tidak salah, tapi tindakanmu juga bukanlah hal yang patut dibenarkan. Aku juga mencintaimu, tapi caraku menunjukkannya juga salah. Kamu tahu, saat kamu menculik Rafael dari rumah yang Glori siapkan untuk kami tempati, di hari yang sama pula, Rafael memberitahuku bahwa dia melihatmu berbicara dengan Pak Stephanus. Katanya, kamu menyebut namaku dalam percakapan kalian. Rafael sampai bertanya, apa benar rumah kami adalah pemberian darimu? Sebab katanya, dirimulah yang selama ini membayarkan tagihan rumah pada Pak Stephanus."

Elka memutar kilas balik saat kejadian Daniyal menculik Rafael beberapa bulan silam. Hari yang sama dari hari di mana ia setuju menjadi pesuruh Daniyal. Saat pulang ke rumah, Rafael memberondongnya dengan pertanyaan tersebut. Tentang rumah mereka yang katanya diberi oleh Daniyal. Elka sontak terkejut. Ia pun segera menghubungi Stephanus demi memastikan kecurigaannya.

Benar saja. Usai dipaksa, diancam akan memberitahu Daniyal bahwa ia tahu rahasia mereka, akhirnya Stephanus memilih jujur. Dengan jaminan Elka tetap tutup mulut supaya posisi Stephanus tidak riskan. Gila saja dia kehilangan kepercayaan dari orang seperti Daniyal. Rugi namanya.

Nyatanya, alasan Anggrek Mansion terjangkau di kantong Elka, ternyata berkat campur tangan Daniyal sendiri. Elka kira, rumah yang Glori sarankan untuk ia tempati setelah keluar dari rumah Handra, memang cocok untuk ditanggali. Menilik dari segi keuangannya yang cukup, membeli satu unit rumah di cluster Anggrek Mansion adalah pilihan tepat sebab biayanya masih bisa Elka usahakan. Bahkan awalnya, Glori yang membayar. Namun, setelah Elka mendapatkan pekerjaan tetap di HL Property, barulah dia lanjut membayarkannya.

Siapa sangka? Selama ini, dia telah dibantu oleh Daniyal--melalui Glori.

"Aku memaksa Pak Stephanus untuk jujur. Tolong jangan marahi dia." Elka mengusap kepala Daniyal pelan. "Bisa dibilang sejak saat itu, aku selalu curiga padamu. Kamu berlaku kasar, tapi tindakanmu berkata sebaliknya. Aku jadi bertanya-tanya, mengapa perkataan serta tindakanmu begitu kontradiktif? Bahkan tidak sekali saja aku sadar kamu bertingkah aneh. Buktinya, kamu diam-diam menciumku di apartemenmu. Saat aku kecelakaan waktu itu. Entahlah, intuisiku selalu berkata bahwa kamu sebenarnya juga menyukaiku, tapi ... gengsi? Semacam itulah perkiraanku."

"Jadi ... kamu tahu wajah asliku sejak lama?"

"Ya? Hm ... begitulah." Elka mengedik acuh tak acuh. "Ah, benar! Ketika aku bangun dari koma, besoknya Glori mendadak mengaku mengenai kalian yang sejak lama kerja sama. Semenjak kematian Papa Handra dan Damar. Aku jujur saja sama dia. Bilang kalau aku pun sudah lama curiga kepadamu. Tahu kok aku sama tabiatmu. Dan, ya, aku ingin memberi sedikit perhitungan agar kamu panik. Biar takut kutinggalin, terus gak berani lagi ngerjain aku. Gimana? Kapok?"

Elka terkikik. Wajah Daniyal yang syok saat ia mengamuk di rumah sakit benar-benar menghibur Elka. Dia tampak tidak berdaya. Seru sekali melihatnya.

"Hmhh, tangan. Itu tangan tolong dikondisikan," desis perempuan tersebut kala tangan Daniyal mulai bergerak pada area sensitifnya. "Da-Daniyal."

"Seru ngerjain aku?" bisik Daniyal tertawa santai, tapi napasnya terembus berat. Ia meniup telinga Elka sensual. "How about I give you punishment in return? But don't worry, darling, you'll enjoy this one."

Perasaan hangat merekah sempurna di hati Daniyal. Apa benar ini kenyataan? Dia sulit percaya Elka amat mudah memaafkannya setelah mengarungi hari-hari berat yang ia persembahkan pada perempuan ini.

Bagaimana jika hari, jam, menit, detik ini, tidaklah nyata? Bagaimana bila Daniyal hanya sedang bermimpi? Apa kebahagiaan yang ia reguk sekarang hanyalah fatamorgana atas dahaga kebersamaan yang ingin ia selalu lakukan dengan Elka?

Erangan lirih terlolos dari bibir sang kekasih, membelai telinga Daniyal begitu nakal. Membawa kesadaran penuh kepadanya bahwa ia tak sedang bermimpi.

Elka-nya nyata.

Bagaimana ini? Dia tak bisa mengendalikan lonjakan kebahagiaan yang menyesaki hatinya.

Tak ada lagi kesalahpahaman. Kini mereka siap bersama, menjejaki bulevar baru yang menuntun keduanya pada satu kesatuan nan utuh. Melangkah bersama, menuju destinasi kebahagiaan yang pasti di depan sana.

Elka dan Daniyal, sepakat melepas lara. Mengeloskan getir demi berganti menjadi halwa. Tak ada lagi sakit, tak perlu pula memasang kedok-kedok dusta karena selanjutnya, tugas mereka adalah mereguk kasih dalam ikatan suci. Bersama, selamanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro