49 | Supposed To Be Your Shield
"Elka, gak bosen tidur terus? Mama capek, lho, liat kamu rebahan mulu. Itu Papa sama Kakak kamu, pada kompak ngomelin Mama. Katanya kamu gak usah dibangunin. Aneh emang. Masa mereka biarin kamu malas-malasan gini. Udah, ya, Sayang, bangun sekarang."
Suara itu, terdengar begitu lembut melesak masuk dalam sukma Elka yang telah kering oleh kehampaan. Membawa sentuhan sejuk menenangkan yang entah mengapa memberikan efek kedamaian sendu baginya.
Suara asing yang rasanya familiar bagi Elka, siapa pemiliknya? Dia seolah pernah mendengar suara yang terdengar begitu teduh ini. Entah kapan dan di mana.
"Gak mau bangun juga?" Suara yang Elka perkirakan milik wanita paru baya itu kembali terdengar. "Kamu, ya, bandel Mama bilangin. Nanti nyesel lho kalau nggak bangun."
Baru Elka sadari orang itu menyebut dirinya dengan sebutan Mama.
Mama.
Empat karakter huruf yang asing dalam pengecapan Elka.
Ia merasa tubuhnya begitu ringan. Namun, untuk sekadar menyibak kelopak mata--supaya dapat melihat langsung gerangan sosok tersebut--tenaga sebesar apa pun yang ia kerahkan, tetap saja berakhir gagal. Yang ada, matanya merekat kian kuat.
"Sebenarnya, Mama mau ajak kamu. Pergi ke tempat jauh, sangat-sangat jauh. Kita pergi bersama. Berempat," lanjut wanita tersebut meloloskan nada getir. "Papa sama Kakakmu juga sudah menunggu. Mereka sangat bahagia karena kesempatan untuk berkumpul bersamamu akhirnya terbuka lebar. Bukankah bagi kita, tak ada hal yang lebih membahagiakan selain utuh bersama?"
Tawaran menarik yang anehnya membuat Elka tertarik untuk menyanggupinya.
"Tapi sekarang, Mama sadar bukanlah waktu yang tepat untuk melakukannya. Bertemu setelah sekian lama berpisah, itu adalah kabar membahagiakan untuk kita. Kedengarannya memang menjanjikan. Namun, tidak, Nak. Di sini, banyak yang ingin mempertahankan dirimu di sisi mereka. Andai mereka tak cukup kukuh untuk melakukan itu, Mama nggak akan berpikir dua kali untuk membawamu pergi."
Dialog ini seolah tengah menuju penghujung. Dan mengapa ada perasaan tidak rela yang kini berkubang di hati Elka?
"Elka ... Mama ... maafkan Mama. Ampuni Mama yang gagal melindungimu, ampuni Mama yang membiarkanmu menerima semua sakit ini, ampuni Mama karena tidak bisa membiarkan manusia seperti Handra menghentikan siksaannya terhadap kamu. Mama yang sebenarnya patut disalahkan. Andai hari itu Mama tidak pergi, kamu mungkin tak akan sesakit ini."
Tahu-tahu, Elka merasakan adanya sentuhan kehangatan di telapak tangan kanannya. Remasan kecil juga ia rasakan.
"Let’s meet again later. Don’t worry, we’ll be waiting for you, love. Untuk sekarang, tugasmu adalah bahagia bersama mereka yang mencintaimu--sama seperti cinta yang kami miliki untukmu juga." Suara tersebut mulai menjauh dari jangkauan dengar Elka. Memudar oleh tangis menyesakkan yang tumpang tindih di telinganya. "Elka, putri Mama yang berharga, hiduplah dengan baik, Nak. Tak akan ada lagi yang berniat menyakitimu. Dia ... meskipun dia gila, Mama setuju jika kau bersamanya. Dia satu-satunya pria yang siap memberikan dunianya hanya untukmu."
Sayup-sayup, Elka dengar kalimat perpisahan final yang membuatnya gagal menahan bendungan tangis.
"Elka, putri cantik Mama, cinta di hidup Mama, izinkan kami pergi untuk sekali lagi. Kami akan selalu menunggumu. Bukan sekarang, ambil waktu sebanyak mungkin untuk hidup dalam damai. Sampai saat itu tiba, teruslah mereguk banyak kebahagiaan. Semoga dahaga kasihmu selalu terpuaskan agar kau tak pernah lagi merasa kekurangan."
Dorongan keras seketika Elka rasakan. Ia bak diseret menjauh dari suara menenangkan yang membuat hatinya remuk. Rasanya begitu sesak.
"Elka, cinta kami untuk kamu, Sayang. Selalu. Selamanya."
Sayup-sayup, Elka mendengar suara itu. Kemudian memudar sepenuhnya oleh denging menyakitkan yang mengisi gendang telinganya.
"Ka! Elka! Damn it! Where the hell is the Doctor?! Why is he taking so damn long to get here?!"
Sedunya belum sepenuhnya pudar saat kelopak mata Elka terbuka sempurna. Ia mendengar lolongan frustrasi dari seorang wanita yang suaranya sangat familiar.
Elka abaikan keributan yang Glori timbulkan. Arah tatapannya ia pusatkan ke langit-langit putih di atasnya.
Apa tadi mimpi? Pemilik suara asing itu ... adalah Ibu kandungnya? Jika iya, mengapa tak ia bawa saja Elka pergi bersamanya? Mengapa ia kembali ditinggalkan dan dipaksa hidup dalam dunia yang mengerikan ini? Batin Elka tak putus bertanya.
Perlahan, bau dari tempat yang dahulu pernah membuatnya amat ketakutan, memaksa masuk dalam indra penciumannya.
Bau rumah sakit.
Tubuhnya lantas menegang. Hendak menoleh ke sisi kanan dan kiri supaya bisa memastikan apakah informasi yang terbentuk di otaknya adalah benar atau tidak, ia malah merasakan sakit luar biasa.
"Ri." Tak peduli betapa sakit kerongkongannya sekarang, Elka loloskan rintihan lemah tersebut.
"Ya Elka, gue di sini. Gue di sini," sahut Glori panik. "Dokter bakal ke sini. Tunggu, Ka, tolong jangan ngomong apa-apa dulu. Jangan banyak gerak. Gue mohon tunggu sebentar sampai dokternya datang. Lo haus? Gue ambilin air."
Glori bergerak cepat mengangsurkan botol air mineral yang telah diisi oleh sedotan sehingga Elka tak kesulitan saat menyesap air. Hanya saja, lega dari dahaga bukan berarti membuat Elka menurunkan rasa was-was yang kini merongrong hatinya.
"Ba-bawa gue pergi dari sini. Papah gue biar bisa turun. Sekarang, Glori."
Perintah yang Elka ucapkan dengan nada ketakutan itu, sontak membuat Glori sadar bahwa manusia di depannya ini amat paranoid oleh bangunan yang mereka pijak sekarang.
"Ka, please, jangan sekarang." Glori menggeleng tegas.
Elka sudah mulai menggerakkan tangannya saat rombongan Dokter dan Perawat memasuki ruang inap VIP yang Elka tempati usai ia dipindahkan dari ICU.
"Glori, gue ... gue takut."
Melihat Elka hendak bangun, Glori segera beringsut ke arahnya dan menahan perut wanita itu agar tetap berada di posisi semula. Sementara Dokter mulai melakukan pemeriksaan untuk menganalisa kondisi sang sahabat yang tengah dilanda panik.
"Sialan, Elka! Lo diem dulu!" Damprat Glori lantaran Elka mengerahkan segenap tenaga supaya bisa bangun. "Dok, pasien ini punya trauma soal rumah sakit. Gimana ya biar dia nggak makin ke-trigger? Boleh kita pindah perawatannya ke rumah saja?"
Glori memberi keterangan singkat kala Dokter sedang berfokus memeriksa Elka yang sayangnya selalu gagal karena terlalu banyak bergerak. Glori paku kakinya pada lantai sebab gerakan Elka kian liar, coba untuk bangun dari hospital bed. Dokter pun tampak kesulitan mengimbangi gerakan liar Elka.
"Kira-kira itu memungkinkan gak, Dok?" desak Glori. Ia gemas setengah mati pada tingkah sahabatnya.
Untuk ukuran orang yang baru saja terjaga dari komanya, kekuatan fisik Elka agak berlebihan.
"Buset, Ka! Diem dulu napa!"
"Gue udah bilang jangan pernah lo bawa gue ke sini bahkan meski gue diambang kematian sekalipun!" Suara serak Elka terdengar menyakitkan di telinga Glori--dalam arti harfiah. Itu terdengar seolah Elka siap merusak pita suaranya.
"Dan lo pikir gue bakal lakuin itu?! Setelah lo nyaris mati depan mata gue?! No bitch!"
"Biarin gue mati kalau gitu!"
Rasanya Glori ingin menekan Elka kuat-kuat agar menempel ke ranjang, tapi itu tak ia lakukan mengingat bahu sahabatnya juga sedang cedera.
"Dok, kasih dia bius!"
"Bu Elka mohon tenang, dan Bu Glori, maaf, mungkin Anda bisa menunggu di sebelah sana. Biar kami yang menangani Ibu Elka."
Dokter yang berada di antara dua wanita yang sedang debat alot itu, akhirnya membuka suara.
Tentu Glori langsung melipir demi mencegah mulutnya mengucapkan banyak umpatan lantaran sahabatnya terlalu keras kepala. Dia bahkan baru bangun dari koma! Bisa-bisanya Elka punya tenaga untuk mempermasalahkan hal sederhana seperti itu.
Ya, sederhana menurut Glori tidak sesederhana menurut Elka.
Alasan Elka yang enggan ditempatkan di rumah sakit karena dulu, dia melihat langsung bagaimana Ibu sambungnya tiada usai Elka memberitahu kabar kematian Damar dan Handra.
Tentu saja itu bukan klimaksnya.
Zuri yang tak pernah sekalipun memarahi Elka, hari itu, dia mengutuk putri sambungnya tanpa ampun.
Dia berdoa semoga Elka tak akan pernah merasakan kebahagiaan karena menurut Zuri, petaka di hidup Damar, berawal dari Elka.
Bukankah itu tolol?
Bahkan orang yang awalnya berpikiran logis seperti Zuri, bisa-bisanya memilih berpikir bodoh karena kelakuan putranya yang tidak waras. Pantas saja otak Damar cacat, itu diwariskan langsung oleh Ibunya.
Glori adalah orang yang senang saat ketiga manusia problematik itu pergi dari hidup Elka.
Awalnya begitu. Siapa sangka? Handra tahu-tahu muncul dan kembali mengacaukan kelangsungan hidup Elka. Seolah keberadaan Daniyal yang sejak lama memburunya, bukanlah perkara besar yang patut dia permasalahkan. Handra gemar menantang maut. Untuk itulah, berapapun biaya yang dibutuhkan demi mencari, lalu menghabisi Handra, Glori siap merogok habis semua tabungannya! Dia enggan direcoki lagi!
Dan rasanya cukup membohongi Elka. Dia harus memberitahu sahabatnya tentang semua kelakuan Daniyal. Dari awal, hingga akhir.
Ini semua harus dihentikan sekarang.
***
Daniyal sedang menguatkan tekad untuk masuk ke ruangan Elka setelah ia melihat Glori keluar dari tempat tersebut. Lalu beberapa saat kemudian, aksi sahabat Elka itu juga diikuti oleh Jahira. Perempuan yang masih takut pada Daniyal itu, melayangkan anggukan hormat pada sang bos saat mereka berpapasan di depan pintu ruang inap Elka. Kemudian, Jahira segera mengambil langkah seribu.
Sebelumnya, Daniyal memang sudah menghubungi Jahira maupun Sus Ami. Bertanya mengenai siapa di antara mereka yang akan bergantian menjaga Elka selepas Glori pulang ke rumah untuk selanjutnya kembali besok pagi.
Jahira yang harusnya bertugas menjaga Elka malam ini. Rencana awalnya begitu, tetapi kemudian Daniyal menitahkan gadis tersebut supaya mereka bertukar peran. Tentu saja setelah Glori pulang.
Bukannya Daniyal takut pada sahabat dari kekasihnya itu. Aksi kucing-kucingannya didasari oleh tuntutan kedamaian dari dalam diri. Ia hanya ingin menghindari konflik usai mengirim Handra ke neraka. Ia butuh ketenangan pikiran. Dan itu, hanya bisa ia dapatkan usai memastikan Elka berada dalam kondisi aman dengan mata kepalanya sendiri. Tanpa Glori di antara mereka.
Matanya memperhatikan sekitar sebelum akhirnya masuk ke dalam ruang inap Elka.
Di sana, di tengah ruangan, terbaring seorang wanita yang tampak begitu tenang dalam lelapnya.
Tepat hari ini, sudah seminggu lamanya Daniyal tak melihat wajah Elka secara langsung. Beruntung, Javis masih melakukan tugasnya dengan baik. Ia terus mengirimkan laporan terkini mengenai kondisi Elka selama Daniyal tak berada di sini.
Bukan tanpa alasan mengapa Daniyal baru bisa berkunjung sekarang. Dia harus memastikan abu jenazah Handra telah disebar ke laut. Benar, usai menghabisi Handra, ia membakar habis jasad pria gila itu hingga menjadi abu.
Silakan pertanyakan kewarasan Daniyal. Toh sejak dulu, dia memang dibentuk menjadi pria gila oleh Rosita.
"Elka," lirihnya lembut. Dia tampak tidak berdaya setelah tiba di sisi kiri ranjang Elka. "I was supposed to be your shield, the one who stood between you and all of your pain. But now, all I see is the weight of my failure pressing down on you, and I realize how powerless I truly am."
Daniyal sentuh tangan Elka yang terasa dingin. Ia sempat mengernyit, untuk selanjutnya menyibak pakaian rumah sakit Elka yang berwarna broken white. Ia meraba kehangatan di perut kekasihnya pelan-pelan. Hangat. Tarikan napas Elka juga normal. Baru setelah itu, ia mampu bernapas lega. Elkanya masih hidup.
"I promised to keep you safe, yet I couldn't even hold back the darkness that crept into your life. How do I face you now, knowing that I let you down when you needed me the most?"
Bisikan keputusasaan dari pria itu, tahu-tahu membawa Elka terbangun dari lelapnya. Tidak. Bisa dibilang, ia hanya menutup mata sejak tadi tanpa tidur sedikit pun. Daniyal langsung menyadari gerak lamban kelopak mata kekasihnya hingga terbuka sempurna.
Ia mempersiapkan diri dari semua respon Elka. Ketegangan terpancar nyata dari irasnya yang jauh dari kondisi prima. Daniyal harus jujur pada dirinya sendiri yang biasanya sok kuat. Mengurusi manusia seperti Handra memang melelahkan. Ia juga kurang tidur karena selalu tak sabaran menyambut hari esok demi segera bertemu Elka.
Kekasihnya.
Benar, semenggelikan itu dirinya.
"Hai," sapanya dibarengi oleh senyum kecil. "How do you feel, Ka?"
Elka tak segera membalas. Ia hanya menatap Daniyal lekat-lekat.
"Maaf, aku baru datang sekarang."
Maaf.
Empat huruf yang hampir tak pernah terdengar dari mulut seorang Daniyal Lateef, kini terlontar luwes dari dua belah birainya. Hanya kepada Elka, dia berlaku layaknya tentara kalah perang yang mengenaskan.
"Kata Jahira, kamu bisa pulang besok. Ke apartemenku, ya? Aku yang rawat. Biar Rafael sama Sus Ami saja. Ada Karol yang bakal jagain dia juga. Sementara kamu bisa fokus pulihin diri, tapi kalau kamu mau bareng dia, aku ajak Rafael sekalian ke apartemen. Gimana? Aku rawat kamu mulai sekarang."
Elka alihkan tatapannya dari sosok pria yang menjulang di sampingnya. Ia lebih memilih memandangi layar hitam teve di depan sana, seolah benda tersebut lebih menarik dipandangi dibanding pria tampan yang sedang bersikap manis kepadanya ini.
"Hei, kenapa?" Daniyal memblokade pandangan Elka menggunakan kepalanya sendiri. Ia sampai memiringkan tubuh supaya Elka hanya menatap kepadanya. "Kamu marah karena aku baru berkunjung sekarang?"
Daniyal coba menyentuh tangan Elka sekali lagi, seperti tadi. Namun, yang terjadi selanjutnya sukses membuat pria tersebut membatu di tempatnya.
Elka menepis tangannya. Pedih di tangan Daniyal--efek tepisan itu--memang tak seberapa, tetapi penolakan Elka-lah yang membuatnya dihantam kelu.
"Ka, what's wrong?" tanya Daniyal bingung setelah terdiam tiga detik. "If it’s because I haven’t visited you all week, I’m really sorry for being late. I didn’t mean to, I swear. I just ... I had something I needed to deal with before I could see you, love. Please, forgive me, okay?"
Bungkam adalah jawaban yang Elka pilih untuk menghukum Daniyal.
Hukuman karena dia baru datang sekarang setelah sekitar seminggu Elka terbaring lemah di ranjang rumah sakit, tanpa sekalipun Daniyal temani.
Ya, begitulah impresi awal Daniyal. Elka hanya sedang merajuk. Namun, nyatanya bukan itu alasan di balik bungkamnya Elka sekarang.
Ada sorot murka yang terpancar dari mata perempuan tersebut saat Daniyal berusaha menyelami arti tatapannya yang terbalut luka. Dan dalam kedip selanjutnya, lontaran kata mengandung murka serta kekecewaan mendalam, tahu-tahu diucapkan olehnya.
"How does it feel to have tricked and manipulated me for seven years? Do you get a twisted kick out of the chaos you’ve caused?"
Elka terkekeh pelan. Amat pelan. Hingga kekehan itu terkesan bak tambur perang bagi Daniyal.
"Tentu saja kau senang. Membodohi wanita naif sepertiku, itu permainan seru, bukan? Tenang saja, aku tidak akan menyangkal kenaifan dan kebodohanku sendiri karena memang begitulah kenyataannya. Oh, apa lagi yang tersisa dari diriku yang belum sempat kau manfaatkan?"
Elka terdengar seakan dia sedang bergembira.
"Tubuhku?" sambungnya menerka-nerka. "Ya. Kupikir itu adalah satu-satunya yang belum sempat kau dapatkan. Daniyal, biar kuberitahu, sebaiknya kau manfaatkan hal itu sekarang sebelum Glori dan yang lain datang."
Tidak.
Bukan ini yang ingin Daniyal dengar dari Elka.
"Karena setelah mereka datang, aku tak yakin baik kau ataupun diriku bisa selamat. Tebak apa yang akan kulakukan?"
Elka beralih menatap nakas di sampingnya. Ia memandang lurus ke arah pisau buah yang terletak pada nakas tersebut, tepat di samping keranjang buah, pemberian dari beberapa karyawan di bawah naungan HL Property yang berkunjung sore tadi.
"Benda kecil itu ... adalah benda terbaik yang akan kugunakan agar terbebas dari orang sepertimu, Daniyal."
"Jangan gila Elka," sergah Daniyal dingin.
Elka terkekeh serak. "Kewarasanku sudah kuinjak-injak. Sejak lama. Dan sebenarnya, aku yang gila, itu bukanlah hal baru. Percayalah, jauh sebelum kita bertemu, aku memang bukan perempuan baik-baik. Jadi, mengapa tak kau ambil saja kesempatan untuk meniduriku sekarang agar semua permainan yang kau lakoni selama tujuh tahun belakangan, rampung sepenuhnya?"
"Elka."
"Aku beruntung punya sahabat seperti Glori. Dia loyal. Meski kadang terlambat melakukannya," jelas Elka mengubah arah percakapan mereka dengan cepat. "She told me everything."
Kepalan tangan Daniyal seketika terbentuk kokoh kala Elka menyebut maksud ucapannya yang tiba-tiba membawa nama Glori dalam percakapan mereka.
"Kau memata-matai diriku, sengaja membuatku tinggal di Anggrek Mansion. Bahkan, alasan aku lolos menjadi karyawan di HL Property, itu juga ulahmu, bukan? Lalu Sus Ami, dia adalah suruhanmu juga. Sekarang semuanya menjadi jelas. Pantas saja Opa Iksan begitu membenciku. Siapa pula yang akan senang jika majikan kesayangannya memilih loyal pada perempuan gila sepertiku?" Elka terkekeh pedih. Cairan bening yang berasal dari kelenjar air mataya mulai menggumpal, siap terjun membasai wajah pucatnya. "Daniyal, sejujurnya, bukan itu yang membuatku marah. Sungguh. Bukan itu."
Elka berhenti sejenak demi mengatur regulasi napasnya yang mulai berantakan.
"Fakta mengenai Rafael, mengapa harus kau sampaikan juga pada Glori? Mengapa kau tidak diam saja dan jangan pernah mengungkit tentang siapa sosok Ibu kandung putraku yang sebenarnya?"
Untuk kesekian kalinya semenjak dua hari terakhir, usai Glori takut-takut memberitahu semua misteri tentang Daniyal yang ia ketahui--termasuk identitas Rafael yang dahulu sempat Daniyal bagi pada Glori--membuat Elka kembali gagal membendung tangis yang berkali lipat terasa menyesakkan setelah ia melihat wujud asli dari penjahat yang telah lama mempermainkan hidupnya.
Daniyal Lateef. Sosok yang ia kira cinta abadinya.
Andai jarum infus ini tak tertanam di punggung tangannya, Elka sudah berlari pada Rafael saat ini juga. Tak peduli setiap hari bocah itu datang berkunjung, Elka hanya ingin Rafael tetap di sisinya. Ia perlu memastikan Rafael tidak ke mana-mana.
Rafael sendiri pun bingung mengapa Ibunya sering menangis kala manatapnya diam-diam. Itu adalah pemandangan baru yang hampir tak pernah ia lihat. Ibunya sosok tangguh. Otak kecilnya lantas bertanya-tanya. Apa alasan yang mendasari Ibunya menjadi serapuh ini?
"Jika benar Karol adalah wanita yang telah melahirkan Rafael, lalu apa itu artinya ... dia akan merebutnya dari sisiku? Putraku itu?"
Elka menggigit bibirnya yang bergetar. Telah hilang kekuatannya untuk melakukan pemberontakan. Meski sang penjahat kini berdiri tepat di depannya, kuasa diri Elka benar-benar telah tersedot habis. Yang tersisa hanyalah lolongan keputusasaan.
"Daniyal, Rafael putraku. Dia anakku. Selamanya begitu. Masa mudaku hanya kubabiskan untuk menghidupinya, aku yang membesarkannya, aku yang membuatnya hidup meski diriku meraung untuk tiada, dia satu-satunya yang membuatku mampu bertahan sampai detik ini. Lalu, menurutmu aku siap melepasnya pada Karol?"
Elka menggeleng lemah. Betapa bayangan itu amat menakutkan baginya.
"Jika itu adalah alasan mengapa Karol bertahan di sisimu--untuk merebut Rafael dariku tiba waktu yang tepat--maka bunuh saja diriku, Daniyal. Bunuh saja perempuan bodoh ini. Setidaknya dengan begitu, aku tak harus menyaksikan bagaimana Rafael direbut dari sisiku."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro