Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

48 | His Secret

WARNING!
This part contains descriptions of violence that may not be suitable for all readers. Please exercise discretion while reading.

***

"Brengsek! Gue udah percaya sama lo! Tujuh tahun gue nahan diri untuk gak ikut campur, dan ini yang gue dapat? Lo terlalu sombong dan pada akhirnya malah bikin Elka celaka, bajingan!"

Kegaduhan seketika terdengar setelah seorang wanita yang berderai air mata, datang menghampiri tiga orang manusia yang menunggu dengan raut tegang di depan ruang UGD.

"Mana yang katanya lo bakal lindungin dia? Tai! Gak ada brengsek! Faktanya lo gak merubah hal apa pun! Tahu gini dari awal gue nggak kerja sama bareng lo!" Wanita itu menjerit pada ponsel yang tengah menampilkan aplikasi WhatsApp dan menyalakan fitur voice note. Ia kirimkan pesan suara tersebut pada lelaki yang sejak tadi keberadaannya tak ia ketahui sedang di mana. Orang itu sulit dihubungi. Andai Glori tahu di mana posisinya sekarang, sudah pasti ia akan melayangkan bogeman bertubi pada pria tersebut.

"Elka ... Elka awas aja lo ninggalin gue. Gak gue maafin." Usai memutuskan panggilan. Dia kembali melanjutkan sedu yang tak putus semenjak mendengar kabar bahwa sahabatnya telah diserang oleh orang tak di kenal dan mengalami kondisi kritis sampai dia harus terkulai lemah pada ranjang pesakitan.

Pelakunya tak dikenal. Beritanya memang begitu, tapi Glori yakin pelakunya bukanlah orang lain. Dia adalah pria bejat yang sejak dulu telah mempersembahkan neraka bagi Elka.

Handra

Kakak Ipar dari Elka sendiri yang begitu terobsesi menghujami sahabat malangnya dengan siksaan bertubi.

"Jahira, gimana? Ada perkembangan apa dari Dokter?" Glori menghampiri Jahira yang telah berwajah pucat pasi. Ia duduk di kursi tunggu sembari bersandar lemas pada dinding rumah sakit yang dingin.

Seandainya tak ia biarkan Elka pergi sendiri, mungkin kejadiannya bukan begini. Sejak tadi, Jahira sibuk menyalahkan diri meski Yasa dan Javis telah coba menenangkannya, tapi tidak, dia tak bisa mengumpulkan ketenangan.

Elka ditemukan tak sadarkan diri dan dalam kondisi mengenaskan pada lorong toilet di lantai dua Mal CL. Kepalanya terluka, sementara memar kemerahan terlihat pada beberapa titik di bahu serta wajahnya.

Sial beribu sial, hingga saat ini pelaku yang telah membuat Elka berakhir demikian belum juga diringkus. Entah trik seperti apa yang dia gunakan sampai bisa lolos dari pengejaran polisi.

"Salah saya, Bu Glori. Saya yang biarin Mbak Elka sendiri."

"Ra." Yasa kembali menegur Jahira. Berbeda dari Javis yang sedari tadi berjongkok sembari menyembunyikan wajahnya menghadap lantai, Yasa berdiri sambil bersedekap. Pandangannya tak lepas dari pintu ruang UGD. "Jangan ungkit hal apa pun sekarang. Gue minta lo tenang. Tolong."

Teguran Yasa membuat Jahira menggigit bibir dalamnya yang bergetar. Harus bagaimana ia mengendalikan semua ketakutan ini di saat Elka yang ia sayangi sedang berjuang di dalam sana?

Darah kental yang membasahi leher serta dress putih yang Elka kenakan, bayangan itu masih teringat jelas dalam ingatan Jahira. Bagaimana jeritan memekakkan telinga dari para pengunjung yang syok, bagaimana napas lemah Elka terembus saat Jahira membawanya ke sini menggunakan ambulans, dan ... bagaimana orang itu menggila.

Dia yang saat ini tak diketahui keberadaannya, adalah orang yang melayangkan pandangan paling tajam pada Jahira saat dia tahu Jahira tak sedang bersama Elka. Tatapan yang menguarkan amarah absolut. Seakan melalui tatapan itu, dia telah menandai Jahira sebagai pelaku kejahatan yang nanti akan ia eksekusi dengan hukuman paling mengerikan.

Dia tidak meninggalkan Elka sampai paramedis datang dan membantu mereka mengevakuasi Elka ke mobil ambulans. Tak ada raut tenang dari wajahnya. Amarah yang tampak ia tekan itu, beberapa kali terlepas saat para pengunjung mulai berkerumun saat Elka hendak dipindahkan. Dia berteriak, membentak siap saja yang menghalangi petugas medis untuk melakukan tugas mereka.

Namun, entah mengapa dia tidak ikut sampai ke rumah sakit. Satu hal yang aneh bagi Jahira. Sebelum ambulans berangkat dan Jahira juga telah berada di dalam mobil ambulans, dia melihat Javis berbicara empat mata dengan orang tersebut. Entah topik seperti apa yang mereka bicarakan sampai Javis menunduk dalam-dalam kala pria tersebut menatapnya tajam seraya menodongkan telunjuk ke arahnya.

Melihat dua orang yang sebelumnya jarang sekali berbicara, di luar konteks pekerjaan, tak pelak menimbulkan rasa ingin tahu bagi Jahira, tetapi ia tidak begitu memikirkannya sebab tadi pikirannya dipenuhi oleh Elka.

Jahira baru hendak menanyakan obrolan seperti apa yang Javis bicarakan bersama Daniyal saat pintu ruang UGD terkuak dari dalam.

Semua orang sontak memasang raut siaga. Mereka kompak berdiri.

"Dok, Dokter gimana kondisi saudara saya?" Glori maju lebih dulu. "Dia akan baik-baik saja, 'kan? Tolong katakan bahwa dia bisa pulih."

"Selamat malam, saya Rilon. Selaku dokter yang menangani saudara Ibu," ungkap Dokter tersebut memperkenalkan diri lebih dulu. "Kami sudah melakukan pemeriksaan fisik dan CT scan pada pasien. Ada pun hasil awal pemeriksaan, menunjukkan bahwa terdapat pendarahan internal pada bagian belakang kepala pasien."

Glori memejamkan mata sembari menekankan tangannya ke dada. Napasnya terembus kasar.

"Pendarahannya serius?" sambung Yasa menolak dihantam kelu.

"Maaf, saya harus mengatakan bahwa pendarahan internal yang terjadi di kepala pasien cukup signifikan."

Jahira gagal mempertahankan ketegaran. Ia mulai menangis pilu. Bersama Glori yang sejak tadi sulit membendung tangis.

"Namun, kami akan terus memantau tekanan di dalam tengkorak beliau demi memastikan tidak adanya peningkatan yang berbahaya," imbuh sang Dokter berusaha memberikan nada penenang yang sebenarnya tak berarti banyak bagi mereka.

"Bagaimana selanjutnya? Berapa lama waktu yang dibutuhkan sampai Elka sembuh?" desak Yasa mulai tidak tenang.

"Perawatan untuk mengendalikan pendarahan serta mengurangi tekanan pada tengkorak telah kami lakukan. Pasien juga akan ditempatkan pada unit perawatan intensif guna pemantauan lebih lanjut. Kami pun akan memulai pengobatan khusus untuk mengurangi pembengkakan, serta nyeri di kepala pasien." Dokter Rilon menjeda ucapan. Ia tahu-tahu memasang raut masam sebelum melanjutkan. "Hanya saja, saat ini sulit untuk memberikan estimasi waktu mengenai berapa lama jangka pemulihan beliau, karena semuanya bergantung pada bagaimana tubuh pasien mampu merespons perawatan. Tetapi Bu, Pak, kami pastikan akan terus memantau kondisinya secara ketat. Kami pun akan bekerja sama dengan tim rehabilitasi demi meminimalkan risiko yang timbul akibat cedera yang dialami pasien."

"Apa pun itu, tolong bantu saudara saya untuk sembuh, Dokter. Saya mohon dengan sangat, pastikan dia pulih. Saya memohon bantuan Anda."

Glori menyatukan tangan di depan dada, menunjukkan gestur permohonan, penuh keputusasaan.

"Kami usahakan yang terbaik, Bu."

"Boleh saya lihat dia saya sekarang?"

Dokter memberi anggukan persetujuan bagi Glori.

"Saat ini, pasien tengah mengalami kondisi koma ringan. Untuk itulah, dukungan emosional sangat penting baginya. Pihak keluarga bisa berbicara dengan pasien, memberinya dukungan dari luar meski pasien belum bisa merespon balik."

"Koma?" Jantung Glori bertalu hebat di dalam sana. "Dok, jangan buat saya takut."

"Koma ringan. Pasien memang berada dalam kondisi tidak sadar dan responsif, tapi pasien masih bisa menunjukkan reaksi terhadap rangsangan. Beliau akan menggerakkan tangan apabila diberi rangsangan kuat. Seperti sentuhan ataupun suara. Saya mohon Ibu tenang dan menghaturkan lantunan doa agar pasien diberi kekuatan untuk pulih dari komanya," ujar Dokter itu merasa iba pada keluarga pasien wanita yang ia tangani di dalam UGD. "Setelah ini, pasien masih akan dipindahkan ke ruang ICU. Kami akan mengawasinya secara ketat. Hanya satu orang saja yang boleh mendatangi beliau untuk sekarang."

"Baik ... baik. Ma-makasih infonya, Dokter. Makasih."

Saat Dokter pergi, Glori menatap Jahira dan dua teman lelaki Elka secara bergantian.

"Saya masuk lebih dulu, boleh?" pintanya memohon.

"Iya, Bu, silakan," sahut Yasa. Sedangkan Jahira memberi anggukan lemah. Javis sendiri kembali ke tempatnya semula. Berjongkok sambil merenung.

Elka sedang diberi analgesik oleh petugas medis saat Glori masuk ke dalam ruangan. Wajah yang telah kehilangan rona kehidupan itu, bagaimana mungkin masih mendapatkan siksaan setelah dia berjuang keras untuk bisa hidup?

Handra bajingan!

Hati Glori amat sakit melihat bagaimana rapuhnya sang sahabat. Oksimeter nadi terpasang di telunjuk tangan kanannya malah semakin meremukkan hati Glori. Tak pernah ia sangka hari ini akan tiba.

Elkanya sedang kesakitan. Dia gagal menepati janji untuk melindungi Elka bersembunyi dari Handra.

Seandainya dia tidak setuju ketika Daniyal mengajaknya bekerja sama tujuh tahun silam, mungkin kesabarannya tak berbuah pahit seperti sekarang.

Daniyal pengkhianat! Pria kejam itu gagal melindungi Elka!

"Maafin gue, Ka, gue punya dosa besar sama lo. Gue udah bohongin lo selama ini."

***

Rantai baja tebal yang baru saja terjatuh di atas lantai semen, berbunyi nyaring yang menimbulkan gema di seantero ruangan, bersamaan dengan deru napas yang terdengar memburu.

Bau anyir menyengat, melesak kuat dalam indra penciuman pria yang baru saja melepas lilitan rantai tersebut dari tangannya.

Ia menghempaskan diri pada kursi besi berkarat. Telunjuk kirinya yang bersih dari cairan merah--nyaris menutupi seluruh bagian tangannya--ia gunakan untuk menyeka keringat di dahi.

Umpatan kembali terlepas dari bibirnya.

Batuk lemah dari seseorang yang kini terbaring mengenaskan di bawah kakinya, nyatanya tak membuat dia tenang sedikit pun.

Untuk itulah, sekali lagi, satu tendangan keras ia arahkan ke area wajah manusia di bawahnya. Erangan kesakitan kembali terlolos dari sosok bertubuh besar tersebut.

"Kau pikir dengan mengubah wajah dan bentuk tubuhmu, kau bisa lolos dari saya?"

Batuk lemah lagi-lagi terdengar saat Daniyal secara brutal menginjak perut lelaki yang telah membuat Elka tersiksa selama ini.

"Handra, apa bangun dari kematian membuatmu berada di atas awan?"

Tekanan kuat semakin Daniyal lancarkan sehingga kepala Handra menggeleng lemah sebab siksaan yang ia terima sudah sangat melampaui batas toleransinya. Ia telah kehilangan suara akibat dianiaya sejak tiga jam lalu.

Siksaan yang mengerikan. Kakinya patah, sedang telapak tangannya sama-sama terluka usai ditusuk menggunakan besi tajam yang sebelumnya dipanaskan.

Daniyal, dialah monster sesungguhnya.

Handra berhasil ia dapatkan dalam kurun waktu tiga puluh menit usai Elka dilarikan ke rumah sakit. Kemunculan Handra memang sudah dia perkirakan akan terjadi dalam waktu dekat. Namun, ia tak mengira bahwa waktu tersebut adalah hari ini.

Daniyal lagi-lagi memaki diri. Kemurkaannya belum terpuaskan. Dia nyaris kecolongan. Andai instingnya keliru, Elka mungkin telah mati di tangan Handra.

Handra memang licik. Dia nekat mengganti wajahnya dengan rupa yang baru setelah dulu pernah Daniyal buat hancur. Bahkan, tubuhnya yang cukup kekar, sama sekali tak dikenali Daniyal. Timpang dari bobot tubuhnya dulu yang mudah dihantam angin.

Dialah sosok yang Daniyal cari selama ini.

Alasan dia menyeret paksa Elka agar terus merekat di sisinya, tak lain supaya Handra terpancing untuk keluar dari tempat persembunyiannya. Siapa sangka, ternyata Handra berada di sekitar mereka selama ini.

Diam-diam memperhatikan Elka, mengamati kelengahan Daniyal sebelum kemudian melancarkan aksinya untuk membunuh Elka saat perempuan itu lolos dari perhatian 'anjing penjaganya'.

Handra hanya berusaha menepati janji pada Damar dulu. Ia harus membuat Elka menyusul Damar supaya rasa bersalahnya dapat sedikit berkurang. Namun, rasa bersalah ini bukan dia tujukan pada Damar.

Melainkan kepada Zuri.

Ia belum sempat meminta maaf pada istri keduanya yang ternyata malah menyusul kepergian sang putra akibat syok luar biasa usai mendengar kabar kematian Damar.

Bertahun-tahun lamanya Handra digerogoti rasa bersalah pada istri keduanya itu.

Setidaknya dengan menyingkirkan Elka dari dunia ini, Damar akan merasa senang. Lalu Zuri dapat kembali menyambung kebahagiaan bersama sang putra.

Begitulah rencana awal Handra.

Ia bahkan sengaja melakukan operasi plastik, memilih rupa perempuan sebagai topeng terbaik untuk menyembunyikan identitas aslinya.

Tidak sedikit biaya yang ia butuhkan untuk melakukan permak wajah. Beruntung, ia masih memiliki beberapa aset peninggalan Zuri serta hartanya sendiri.

"Ka-kau ... le-lepaskan saya, sa-saya kasih uang ba-nyak. Bantu saya sem-buh. Sa-saya punya uang. Sa-saya kasih ka-mu."

Kata-kata Handra yang terbata menahan sakit disekujur tubuh pada suruhan Daniyal yang dulu diperintahkan untuk menghabisinya, masih tertanam jelas di otaknya.

Andai suruhan Daniyal bukanlah sosok mata duitan yang memiliki darah pengkhianat, mungkin tujuh tahun lalu, Handra telah kehilangan nyawa.

Perjalanan panjang baginya sampai bisa mempersiapkan rencana pembunuhan Elka.

Dia berpura-pura menjadi cleaning service saat tahu Elka akan melakukan syuting di Mal CL. Ia pikir, rencananya akan berakhir memuaskan, tetapi belum juga memastikan kematian keponakannya, Daniyal bersama gerombolan pria bertubuh kekar tahu-tahu mendatanginya sehingga Handra bergegas kabur.

Ia mencoba melarikan diri walau pada akhirnya, dia tetap saja tertangkap akibat kalah gesit dari antek-antek Daniyal.

Di sinilah dia sekarang. Berada di tengah gudang kosong yang memiliki langit-langit tinggi, bersama pria gila yang tak jua puas menyiksanya.

"Dulu, kau beruntung bisa kabur. Bagaimana rasanya bebas? Kau menikmati waktu singkat itu?" kata Daniyal nyaris berbisik. "Sayangnya, Handra, kamu harus segera meninggalkan semua kebebasan itu sekarang. Orang-orang saya cukup loyal. Mereka tak akan tergiur meski kau lemparkan banyak uang ke wajah mereka. Seperti dulu."

Daniyal yang merupakan keponakan Zuri, ternyata diam-diam telah mengawasi gerak-gerik Elka jauh sebelum tragedi pembunuhan Damar terjadi. Dengan bantuan Hamdan Lateef, bukan perkara besar bagi Daniyal untuk memainkan cara kotor supaya Elka tetap berada dalam pengawasannya.

Satu-satunya hal krusial yang luput dari perhatian Handra.

Dan celakanya, Handra tak sadar bahwa dia juga sedang dijadikan target eksekusi oleh keponakan istri keduanya tersebut.

Entah apa yang membuat Daniyal terobsesi pada Elka sampai diam-diam mengintai aktivitas gadis itu. Tindakan Daniyal baru Handra sadari setelah ia membunuh Damar.

Seusai kejadian penikaman tersebut, Daniyal datang tidak lama kemudian. Handra bahkan baru selesai mencuci tangan di keran depan rumah, tempat supirnya biasa mencuci mobil saat ia diringkus oleh pria-pria berbadan kekar dan kembali diseret masuk ke dalam rumah.

Pukul sebelas malam. Handra ingat bagaimana dinginnya hawa pada malam itu. Dia dihajar habis-habisan hingga menyebabkan wajahnya nyaris kehilangan rupa.

Handra tak akan lupa bagaimana Daniyal memulai obsesinya terhadap Elka.

Malam itu, Daniyal yang bertubuh lebih kurus dari pesuruhnya, hanya berdiam diri, memperhatikan bagaimana mayat Damar telah terbujur kaku. Sambil sesekali melirik ke arah bayi lelaki yang tak juga berhenti menumpahkan air mata. Dia perhatikan bagaimana kacaunya situasi yang terhampar di hadapannya dengan wajah tenang minim ekspresi.

Karol.

Seandainya wanita itu tak bersimpuh, memohon agar Daniyal menyelamatkan putranya yang dibawa kabur oleh Damar,  ia tak bertandang ke rumah Handra. Tempat di mana gadis yang sejak lama menyita perhatiannya tinggal.

Jangan sampai Elka tahu akan fakta bahwa selama ini, dia telah diikuti diam-diam. Daniyal harus membuat semuanya tampak natural ketika mereka bertemu nanti, tapi sayang, Damar dan Karol menjadi pengacau besar dalam rencana apik yang telah ia rakit.

Akibat ditinggalkan begitu saja saat itu, Daniyal menjelma bak detektif andal. Mencari tahu siapa sosok perempuan yang nyaris dilecehkan Damar saat di kelab hingga kemudian diselamatkan olehnya.

Ia pikir, ini hanya rasa penasaran biasa. Namun, perkiraannya agak melenceng.

Semakin dia memperhatikan gadis bernama Elka yang melarikan diri dari mobilnya di pagi hari saat mengunjungi area pemakaman Ayahnya, Daniyal mendapati ia sulit menghentikan aktivitas anehnya yang terpincut untuk menjadi stalker nomor satu Elka Dyatmika.

Ini salah, tapi mau bagaimana lagi? Ia telanjur menyelami kehidupan Elka yang ternyata sama kompleksnya dari hidup yang ia jalani sejak kecil. Dia berulang kali melihat Elka dipukuli oleh Handra, di tempat sepi saat orang lain sibuk dengan dunia mereka masing-masing.

Ia pikir, gadis tersebut akan menangis, memohon agar berhenti disiksa. Ternyata tidak, Elka memiliki ketahanan diri yang solid. Dia bahkan berpesta gila-gilaan sehabis dihantam oleh Papanya.

Harusnya, Daniyal abaikan saja gadis liar seperti Elka.

Namun, aneh. Rasa penasaran yang diselimuti oleh empati, tanpa disangka berubah menjadi hasrat untuk melindungi, serta keinginan kuat untuk memiliki.

Elka Dyatmika, Daniyal ingin memilikinya suatu saat nanti. Meski itu berarti, ia harus menjebak Elka supaya bisa terlibat bersamanya.

Saat mendengar ada mobil lain yang melintasi pagar rumah, di situlah Daniyal serta antek-anteknya segera bersembunyi. Sementara Handra ditinggalkan tergeletak mengenaskan dengan luka yang fatal di sekujur tubuh sampai membuatnya sulit berbicara, pun menggerakkan badan.

Jeritan Elka terdengar nyaring kala mendapati pemandangan mengerikan di ruang tamu rumahnya. Ia hendak mengambil barang-barang Zuri. Dan siapa sangka, ia malah menyaksikan kejadian berdarah tersebut dengan mata kepalanya sendiri.

Elka hilang kesadaran.

Belum satu jam ia meninggalkan rumah, dia mendapati dua orang yang sejak lama membuatnya hidup bak di neraka, kini telah menjadi mayat. Ia pikir begitulah yang terjadi. Namun, tidak, Handra masih sadar saat itu.

Dengan sisa-sisa kesadarannya, Handra mengintip bagaimana Daniyal mengusapkan darah segar Damar ke tangan Elka, sembari menempatkan pisau yang sebelumnya berniat Handra buang dan ia simpan di tas ranselnya, tetapi kemudian diambil lagi oleh Daniyal. Pria itu membuat pisau tersebut seolah-olah memang sedang digenggam Elka.

"Dengan bukti ini, setidaknya kau tidak bisa melarikan diri lagi dariku. Seperti waktu itu."

Kata-kata mengerikan tersebut, Daniyal ucapkan setelah dia memotret Elka yang pingsan di samping Damar sembari menggenggam pisau. Handra dengar dan menyaksikan langsung bagaimana Daniyal melakukan hal mengerikan yang entah tujuannya untuk apa.

Nyatanya, ada manusia lain yang lebih gila dari Handra.

Dan orang itu Daniyal.

Setelah mengambil gambar, barulah Daniyal menelepon Glori--sahabat Elka di bangku kuliah--untuk datang ke rumah mereka. Tentu sebelum itu, ia telah menancapkan kembali pisau di tangan Elka ke leher Damar, lalu menghapus darah di tangan gadis tersebut dengan menggunakan tisu basah beralkohol. Ia selalu mengantisipasi semuanya.

"Oh my god! Apa-apaan ini?! Elka kenapa?!" Itu adalah kalimat pertama Glori saat tiba tak lama kemudian, lalu melihat kekacauan di depan matanya.

"Handra dibunuh Damar," sahut Daniyal tanpa minat. "Elka pingsan. Dia mungkin syok."

"Ya ampun, astaga. Wah ... gila. Ini gila. Wait, kenapa lo bisa di sini?!"

"Bawa Elka ke tempat aman. Yakinkan dia bahwa Handra sudah meninggal. Kalau perlu, buat kuburan palsu atas nama Handra."

"Hah? Gi-gimana? Tunggu, tante Zuri ... dia di mana?"

"Rumah sakit. Elka baru pulang setelah mengantar tantenya."

"Kok bisa gini ya ampun! Mereka kenapa bisa bunuh-bunuhan? Gila, ya, nih manusia."

Glori menekan keningnya menggunakan dua tangan. Kemudian, perhatiannya segera teralihkan pada sosok mungil yang terbaring di atas sofa. Dia baru sadar ada tangisan bayi sedari tadi.

"I-itu bayi siapa?" tanyanya memasang tampang ngeri. Terlalu banyak kejadian dalam satu waktu. "No ... no fucking way! Ini beneran gak terkendali. Pantas Elka gak bisa dihubungi."

"Anak Damar. Mulai sekarang, Elka yang akan rawat dia."

Kening Glori nyaris menyatu. "The fuck?! Kok malah jadi tanggung jawab Elka?"

"Bayi itu hanya akan tinggal bersama Elka. Gue siapin pengasuhnya. Nanti kalau Elka tanya identitas pengasuh itu, bilang saja kalau dia teman dari pembantu di rumah lo yang lagi butuh kerjaan. Jangan khawatirin biaya hidup anak ini. Gue yang tanggung. Nanti kita ngobrol soal detail lain supaya lo paham."

"Dan kenapa gue harus bohongin sahabat gue?" decak Glori memasang tampang sinis. "Bentar, Daniyal, yang gue tahu lo benci Elka. Gimana bisa lo berakhir di sini? Bahkan sampai menyaksikan semua kekacauan ini?"

"Papa Elka nikahin tante gue. Damar, orang bodoh ini, dia sepupu gue," jelas Daniyal masih saja bersikap tenang seraya menendang kecil kaki Damar. "Oh, ya, ponsel lo gue sadap. Nanti bakal dimatiin. Asalkan lo janji rahasiain semua ini dari Elka."

"Lah? Anjing! Kenapa lo malah nyadap hp gue?! Gila lo!"

"I love her."

Mulut Glori yang sudah terbuka, siap melemparkan banyak makian, seketika terkatup rapat.

"She is the most important person in my life," imbuh Daniyal. Dengan intonasi jelas.

"Gi-gimana?"

"Bantu gue jagain Elka untuk sekarang."

"Hah?"

"Saat ini, gue nggak bisa terlibat banyak dengan dia karena satu dan lain hal yang gak bisa gue sampaikan langsung sama lo."

"Jangan bercanda, Daniyal," desak Glori menolak percaya pada pernyataan Daniyal yang ia rasa terlalu mengejutkan untuk didengar.

"Gue nggak butuh lo percaya. Cuma gue minta, tolong jaga Elka selagi gue gak di dekat dia."

Mulut Glori terbuka setengah. Ini benar-benar informasi menggemparkan. Mana ada orang yang berkata suka, tapi dia malah menolak Elka dengan penolakan paling menyakitkan, di mana seharusnya, ia tidak boleh mengucapkan kalimat-kalimat pedas tersebut pada perempuan yang ia sukai?

Memangnya dia pikir, setelah ditolak begitu, Elka masih bersedia kembali kepadanya? Logika macam apa yang tengah Daniyal tanamkan di otaknya? Glori mendumal dalam hati.

Tapi sudahlah, yang jelas, sekarang dia harus membawa Elka pergi dari sini sebelum mereka dikira sudah melakukan pembunuhan.

"Gue bakal amanin Elka bahkan tanpa lo minta sekalipun, tapi gue nggak akan percaya sama pengakuan konyol lo barusan sebelum lo jelasin secara rinci apa alasan lo nolak Elka waktu itu. Dan, jangan lupa juga untuk jelasin apa maksud kejadian ini secara rinci." Tunjuk Glori pada Damar, Handra, serta bayi di atas sofa.

Anggukan pasti, Daniyal beri kepada Glori. Mereka memang harus mendiskusikan banyak hal.

"Lo yakin ini yang terbaik untuk Elka?" tanya Glori sekali lagi.

"Selama lo tutup mulut, nggak ada yang patut dikhawatirkan."

"Serius lo suka Elka?"

Daniyal mengangguk singkat.

"Tapi muka lo lempeng gitu."

"Lo bukan Elka. Untuk apa gue nunjukin raut suka gue sama orang yang gak gue suka?" tukas Daniyal datar. Wajahnya yang minim ekspresi itulah yang membuat Glori ingin menonjoknya.

Bajingan gila!

"Siapa yang memintamu tidur."

Handra menjerit tertahan saat kaki Daniyal menginjak tangannya yang pedih luar biasa. Rasanya seperti terbakar. Bahkan lebih dari itu.

Hal tersebut lantas menyentak kesadaran Handra dari bayangan masa lalu. Tentang bagaimana dia menyaksikan sendiri Daniyal melakukan cara kotor untuk membuat Elka terjebak bersamanya. Sungguh pria yang mengerikan.

"Kau licik, Handra. Memanfaatkan harta tante Zuri untuk membuat dirimu lolos dari pengejaran saya, itu cara yang cerdik. Salah saya karena tidak mengantisipasi kemungkinan itu lebih dulu dan malah menyerahkan semua urusan harta beliau pada pengacara keparat yang ternyata adalah kaki tanganmu juga," ujar Daniyal memilih berjongkok di atas tangan Handra, menatap langsung bagaimana pria berwajah perempuan di hadapannya sedang mendesis kesakitan. "Kau patut dipuji karena berhasil mengelabui saya."

Daniyal menepuk pelan pipi Handra yang berlumur darah. Sebagian telah mengering sehingga menciptakan tekstur kasar ketika disentuh.

"Seandainya saya tidak disibukkan oleh pembalasan dendam terhadap Rosita, takdir hidupmu tidaklah selama ini." Daniyal menghela napas panjang, seolah dirinya adalah anak kecil yang sedang melimpahkan keluh kesah pada orang tuanya yang telah membuat dia kesal.

Handra mulai mengalami kejang setelah tangan Daniyal beralih mencengkeram lehernya.

"Kau ingin terbebas lagi?"

Daniyal mendekatkan telinga ke mulut Handra yang terbuka, berusaha mengais oksigen sebanyak mungkin, akan tetapi usaha tersebut berakhir sia-sia setelah Daniyal menyumpal mulut Handra menggunakan kaki kursi besi yang tadi ia duduki.

"Saya kabulkan," putus Daniyal dingin.

Lantas, batuk tertahan dari pria di bawahnya terdengar tragis saat Daniyal menekan kursi tersebut kuat-kuat dengan satu tangannya.

"Kau bebas sekarang. Damar akan menyambut hangat kedatanganmu."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro