Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

47 | Kebenaran Sesungguhnya

Part ini cukup panjang. Ingin tahu siapa Damar sesungguhnya? Mohon baca secara teliti.

***

Elka patut mengapresiasi dirinya karena ia masih bernyawa sampai dengan saat ini. Dia harus diganjar dengan tepuk tangan riuh nan meriah dari semua orang. Terkecuali Handra. Tentu saja.

Di umurnya yang ke enam belas tahun, dia telah melewati hal yang kebanyakan kasusnya tidak terjadi pada teman sebayanya.

Kini, dia paham mengapa ia masih dipertahankan oleh Handra. Fungsinya tak lain sebagai pelepas penat pria tempamental tersebut.

Punching bag bernyawa. Sederhananya begitu.

Handra itu, dia sejatinya pria munafik. Berwajah dua. Elka sudah pakem pada sifat Papanya. Di luar rumah, atau ketika bertemu orang lain, dia memasang topeng malaikat untuk mengelabui lawan bicara. Dia pembohong yang harusnya bersertifikat, diakui oleh negara.

Bagaimana tidak? Dengan orang lain, tutur kata Handra tertata apik. Terstruktur, dan diucapkan dengan nada tenang. Dia berlagak layaknya orang paling suci. Bahkan ia sengaja menjual kisah masa lalunya demi memperoleh simpati.

Tentang ia yang kehilangan istri serta keluarganya, lalu kini bertahan hidup dengan membiayai anak perempuan yang ia sayangi. Percayalah, beberapa kali Elka muntah karena tidak tahan mendengar kebusukan perkataan Handra. Dia gagal menahan mual.

Dan seperti yang sudah-sudah, saat semua orang pergi, ketika Elka tinggal seorang diri, maka di situlah kebejatan Handra dimulai. Topeng malaikat ia tanggalkan, lalu wajah iblis ia tampilkan. Elka yang sejatinya adalah samsak pribadinya, akan kembali ia gunakan untuk membuat hatinya tenang.

Kalau bukan Elka, memangnya objek apa yang akan Handra manfaatkan untuk melepas emosi negatifnya? Karung tinju, itu adalah visualisasi yang Handra lihat dari Elka selama ini. Ia menggunakan adik iparnya sebagai samsak untuk memuntahkan amarah.

Namun, walaupun begitu, Elka heran, mengapa Handra tetap membiayai kehidupannya. Dia tak pelit soal uang. Walau seringnya, Handra lemparkan sejumlah uang tersebut ke wajah Elka demi membiayai kebutuhannya selama sebulan.

Bukankah itu aneh? Atau ini semacam upah dari tugas Elka sebagai samsak pribadi Handra?

Capek sudah bukan kata favorit Elka lagi. Efek karena terbiasa, akhirnya ia menjadi kebal. Kebal ketika dipukuli atau disiksa dengan berbagai macam jenis siksaan. Sungguh, Elka telah imun. Jika ada kata di atas pasrah pun, dia sudah tak peduli lagi sebab sekarang, ia telah menemukan cara untuk membahagiakan diri agar tidak gila sewaktu-waktu.

Masa-masa SMP memang yang terbaik menurut dia. Dirinya mengenal banyak manusia dengan ragam perangai. Dan dari banyaknya jenis perangai, ia memilih berbaur dengan mereka yang ternyata juga memiliki kekecewaan besar dalam hidup mereka. Entah karena kondisi keluarga yang berkonflik, atau ada yang memang hanya berniat bersenang-senang, coba keluar jalur, lalu melewati batas normal kehidupan siswa SMP.

Elka serta teman-temannya menjadi semakin akrab. Mereka melakukan hal gila bersama. Kenekatan menjadi motto bagi mereka. Elka tahu tindakannya salah, tapi entah mengapa, dia sangat tertarik untuk melakukan semua kesenangan ini. Ia bak burung yang terbebas dari sangkar.

Dia merasa lebih hidup.

Bahkan saat Handra mendapatinya pulang ke rumah dengan mengendarai mobil milik temannya, Elka bersikap santai, kendatipun Handra memarahinya habis-habisan.

Sekarang, murka Handra bukan momok terbesar Elka. Dia hanya perlu diam saat dimarahi, lalu Handra akan berhenti ketika telah merasa puas melimpahkan semua emosinya. Lalu setelah itu, situasi kembali berjalan normal.

Handra disibukkan dengan banyak pekerjaan, sementara Elka mengurusi kehidupannya sendiri. Dinamika antara mereka memang tak sejalan. Namun, sekali Handra butuh melepaskan emosi negatifnya, ia akan kembali pada keponakannya yang dia anggap sebagai karung tinju.

Satu yang terpenting bagi Elka. Uang. Dia terima jika dimarahi, dicaci, atau dipukuli, dia akan diam, tetapi dibalik semua siksaan tersebut, paling tidak Handra bukan orang pelit.

"Kamu harus sekolah, dan belajar mandiri! Jika sudah bisa, kau Papa usir dari rumah. Namamu dalam kartu keluarga, akan Papa singkirkan! Andai bukan karena Kakakmu, Papa tidak sudi membesarkan manusia pembawa sial sepertimu! Sayangnya Papa sudah berjanji pada Elma. Benar, Papa orang jahat, rasanya Papa ingin memukulimu setiap saat. Karenamu Papa kehilangan Elma! Karenamu hidup Papa menderita, itulah sebabnya kau pantas mendapatkan siksaan yang sebenarnya tidak setimpal dari kesakitan yang Papa rasakan!"

"Tapi karena ketenangan hidup Papa adalah prioritas utama, maka kamu akan tetap Papa lepas suatu saat nanti. Jangan besar kepala. Papa bukannya peduli pada kehidupanmu. Semua kebaikan yang Papa beri sekarang, supaya kamu nanti tidak menjangkitkan kesialan hidupmu pada orang lain. Belajarlah mandiri agar kau tidak menyusahkan mereka yang nanti hidup berdampingan denganmu. Cukup Papa, Elma, dan orang tuamu yang kau buat susah!"

Begitulah penuturan yang Elka dengar usai berani bertanya mengapa Handra masih bersikap murah hati membiarkannya tinggal di rumah ini, dan membiayai pendidikannya yang cukup mahal padahal Handra muak kepada dirinya.

Tentu percakapan itu tidak berjalan mulus seperti yang dibayangkan. Handra menjelaskan hal itu usai menampar Elka karena tak sengaja batuk di dekatnya. Ya, hal sesederhana itu mampu memancing emosi pria dewasa sepertu Handra.

Setidak-tidaknya, sekarang Elka tahu mengapa pria sekejam Kakak Iparnya masih bermurah hati pada pembawa sial seperti dia.

Handra mengidap penyakit mental. Elka pernah mendengar pria tersebut mengobrol bersama seseorang yang tak lain adalah Psikiater. Saat itu, Handra sedang mengatur jadwal untuk melakukan konsultasi.

Berangkat dari hal tersebut, ketakutan Elka pada Handra perlahan surut karena dia paham, tak akan ada ujungnya melawan orang yang memiliki keterbelakangan mental. Buang-buang waktu, tenaga, serta emosi.

Masa-masa remajanya memang yang terbaik. Dia bagai menjadi pribadi baru yang sudah sepenuhnya paham bagaimana dunia di sekitarnya bekerja.

Beranjak SMA, lingkaran pertemanan Elka bertambah luas. Motto kenekatan yang ia pegang teguh sejak SMP, membawanya menyelami dunia malam. Terlebih saat Handra melakukan perjalanan bisnis, Elka akan memanfaatkan itu untuk pergi ke kelab. Hidupnya cukup tertata selama tiga tahun mengenakan seragam SMA. Dalam artian, ia telah pandai mengibuli Handra.

Di situlah dia mengenal Damar.

Pria pemuja selangkangan yang ia temui saat pergi ke kelab.

Bukan sekali dua kali Elka berusaha dipikat oleh lelaki itu, tapi karena ia yang pada dasarnya anti pati pada romansa, akhirnya enggan mengindahkan ajakan kencan dari lelaki yang tampak problematik tersebut.

Hidupnya sudah cukup rumit, dan berpacaran artinya adalah beban baru. Elka jelas tidak suka itu. Untuk sekarang, dia hanya ingin menikmati masa muda tanpa gangguan entitas yang memiliki kromosom seks X dan Y yang berpotensi besar dapat mengganggu ketenangannya yang bersifat temporer. Handra sewaktu-waktu akan kembali mengencangkan tali kekang di leher Elka bila dia menunjukkan semua kebebalannya.

Main aman adalah pilihan bijak.

"Kamu gak tahu Papamu mau nikah?"

Balasan tersebut Elka dapatkan saat bertanya pada pekerja di rumah mereka tentang keriuhan yang sedang terjadi. Dia baru bangun tidur setelah semalam kelelahan berpesta bersama teman-teman SMA-nya usai merayakan hari kelulusan mereka sebelum nanti berpisah melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan.

Sepanjang minggu ini, dia juga tidak bertemu Papanya yang entah sedang berada di mana. Bisnis kuliner yang Handra miliki mulai bergerak maju sehingga menyebabkannya sering bermalam di luar. Atau mungkin itu hanya asumsinya saja? Nyatanya, Handra sedang berada dalam misi pencarian pasangan hidup jilid dua.

Entahlah, Elka enggan mencari tahu kesibukan orang itu.

Dia hanya butuh uang.

Lagi pula, mengurusi urusan Handra sama saja cari mati. Lebih baik ia tetap bertahan pada zona nyaman.

"Papa ... mau nikah?" gumamnya bingung usai mendengar pertanyaan heran dari ART yang sejak tiga bulan lalu bekerja di sini. Semoga ART ini menjadi yang terakhir sebab sejak lama, tak ada bibi yang betah bekerja di rumah ini. Emosi mereka sering terkuras habis berkat sikap keras Handra.

Handra juga melarang pekerja di rumahnya untuk menginap. Selain Elka dan dirinya, tak ada yang boleh tidur di rumah ini. Mungkin karena merasa ribet, mantan pekerja Handra akhirnya memilih berhenti.

Mereka tak tahu saja alasan Handra enggan membiarkan mereka tinggal di sini supaya orang-orang itu tidak menyaksikan langsung bagaimana kejamnya Handra pada Elka.

"Udah, ya, saya mau lanjut kerja. Oh, hampir lupa. Ada dress untuk kamu. Dari Bapak. Bapak kasih pesan ke saya kalau kamu bangun, itu disuruh pake."

"Papa nikahnya kapan?"

ART yang tampak belum begitu berumur itu, memandang Elka miris. Dari wajahnya terpancar jelas raut penghakiman. Seolah dia sedang menilai buruknya kualitas hubungan majikannya dan sang putri.

"Minggu depan. Cuma hari ini ada pertemuan keluarga."

Elka mengangguk pelan, lalu ART tersebut melenggang pergi, bergabung bersama pekerja lain yang Elka perkirakan adalah tim yang Handra sewa untuk mengurusi pertemuan hari ini.

Ia heran, bukankah Handra selalu berkata bahwa dia mencintai almarhumah Kakaknya? Lalu dia ternyata malah menikah lagi.

Nyatanya, cinta tak menjamin seseorang mampu berpegang teguh pada perasaan itu. Cinta bersifat dinamis. Pilihan tepat bagi Elka tak membiarkan dirinya menyentuh perasaan semu tersebut. Dia paham betul pada kapasitas dirinya yang rentan pada afeksi.

Sekali jatuh, selamanya mengemis.

Sama seperti yang ia lakukan pada Handra dulu. Dia memohon untuk diberi kasih sayang. Bahkan walau sering disiksa, ia tetap menjadi si tuli dan si buta yang enggan menerima penolakan yang Handra beri.

Kini, Elka berulang kali mengucap syukur karena akhirnya dia keluar dari kubangan kedunguan tersebut.

Luka telah menjadi alarm agar dirinya sadar bahwa mengemis cinta adalah hal keliru yang tak seharusnya ia ulangi di masa depan.

Jika ia diberi kesempatan untuk hidup pada masa depan, Elka siap meneguhkan hati. Ia tak akan sembarangan membuka hati agar kejadian di masa lalunya tidak terulang.

Mengemis cinta itu melelahkan, maka harapannya harus terkabul.

Manusia berhati batu. Akan dia usakan tekad tersebut bertahan hingga embusan napas terakhirnya nanti.

Dia tidak boleh bodoh karena cinta.

***

"Hai, Elka. Saya Zuri Lateef, senang mengenalmu, Sayang."

Sapaan hangat tersebut Elka terima saat ia baru saja ikut bergabung di ruang keluarga yang telah disulap menjadi tempat pertunangan yang cantik.

Handra telah menerima kedatangan tamu-tamunya yang ternyata tiba lebih dulu saat Elka sedang dirias.

Namun, bukan sapaan ramah itu yang saat ini membuat tubuh Elka membatu. Mungkin Handra yang duduk bersisian dengannya sudah merasakan ketegangan Elka.

Wajah familiar di depan sana, apakah ia tak salah lihat?

Damar.

Mengapa lelaki mesum yang menyebalkan itu berada di sini? Dan, sungguh, tatapan tajam yang Damar layangkan kepadanya benar-benar menyeramkan. Dia seolah berniat meledakkan kepala Elka dengan laser mematikan yang terpancar dari matanya.

Jelas Elka bersikap apatis. Meladeni orang seperti Damar adalah kesia-siaan. Dia harus fokus pada acara pertunangan yang hanya dihadiri oleh selintir orang ini agar Handra tak akan memukulnya karena dianggap abai tidak memperhatikan hari sakralnya secara saksama.

Sayang sekali, pertunangan ini sama-sama tidak dihadiri oleh orang tua dari kedua belah pihak. Handra telah ditinggal mati oleh orang tuanya, begitupun dengan Zuri. Jadi, selain Elka dan Handra yang tak memiliki teman dekat, tamu undangan hanya berasal dari teman-teman Zuri.

Selama mengikuti rangkaian acara, Elka akhirnya tahu bahwa pertemuan Handra dan Zuri berawal dari klinik Psikiater.

Tempat aneh untuk memulai kisah cinta.

Seperti penuturan Zuri, mereka yang acap kali bertemu usai melakukan konsultasi dengan Psikiater andalan kedunya, membuat mereka saling mengenal. Zuri berkata bahwa takdir telah membawa dia dan Handra untuk mengenal, lalu menjalin kasih.

Kisah cinta yang mengkhawatirkan. Elka takut Zuri berakhir sama seperti Handra yang akan melimpahkan siksaan saat situasi hatinya sedang buruk.

Untuk itulah, Elka meminta izin untuk ke belakang, yang mana itu hanyalah alibi karena ia memang berniat melarikan diri.

Membayangkan Handra memiliki sekutu, jelas itu perkara serius bagi Elka. Terlebih lagi, Damar yang berperangai buruk adalah putra kandung dari Zuri.

Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Bisa saja, bukan, Zuri telah salah mendidik Damar sehingga anaknya menjadi liar. Yang Elka tahu, pola asuh seorang Ibu dapat menjadi penentu dari tumbuh kembang anak.

Jika Damar bukanlah orang baik, maka bisa saja, hal serupa juga berlaku pada Zuri.

"Berhenti."

Sapaan itu Elka dapatkan saat dia baru saja melintasi pintu dapur untuk keluar dari rumah. Persetan dengan dress putih cantik ini. Yang jelas ia harus kabur. Masalah kemurkaan Handra akan ia tanggung belakangan.

"Mau ke mana?"

"Lo nyasar. Toilet bukan di sini. Balik gih," tukas Elka jengkel karena Damar tahu-tahu mengikutinya sampai ke sini. Berani sekali dia.

"Kita harus bicara Elka. Pernikahan mereka harus dibatalkan."

Elka sontak memeriksa sekitar. Semua pekerja sedang berkumpul di area dapur bersih, beristirahat usai menyelesaikan semua urusan mereka di dapur kotor, pun menghias rumah.

"Ogah. Bukan urusan gue," tolak Elka defensif. Seandainya bisa, ia juga ingin menolak pernikahan Handra. Namun, memangnya dia siapa?

"Urusan kita. Lo harusnya jadi pasangan gue."

Perkataan paling tidak masuk akal itu membuat Elka menatap ngeri pada Damar. Jangan lagi.

"Lo mabuk. Gak waras."

"Gue gak mabuk!" teriak Damar lantang.

"Eh jangan teriak dong! Terserah, ya. Gue cabut."

Elka pikir dia berhasil kabur saat Damar tahu-tahu mencekal tangannya.

"Jangan begini, Elka. Lo tahu gue cinta banget sama lo. Dan pernikahan orang tua kita, gue nggak mau itu terwujud. Menjadi saudara tiri bukanlah hubungan yang gue inginkan hadir di antara kita. Seandainya gue tahu lebih dulu bahwa Om Handra adalah Papa lo, gue udah nentang ini sejak awal. Ya, gue yang salah karena gak memastikan semuanya. Lo nggak tahu seterkejut apa gue saat tadi lo datang dan duduk di samping Om Handra. Dia memang pernah bilang kalau punya anak cewek, tapi sampai pagi tadi, kita nggak pernah tahu gimana rupa anak ceweknya karena dia hampir gak pernah ungkit soal perkara itu."

Damar menumpahkan rasa frustrasinya. Sayangnya, pemilik wajah tampan, tapi berperangai serigala nan berbahaya ini, gagal memancing rasa kasihan Elka.

"Gue yakin kita bisa batalin pernikahan mereka. Ayo, Ka, kita harus berusaha supaya cinta kita nggak kandas gitu saja. Gue nggak akan pernah mau kehilangan lo."

"Damar lo gila! Cinta apaan yang lo maksud? Sejak kapan gue punya perasaan kayak gitu sama lo?! Lepasin brengsek!" Elka menarik kuat-kuat tangannya dari cekalan pria sinting di depannya.

"Sayang, Elka, dengerin gue. Gue tahu lo sedang menyangkal perasaan lo yang sebenarnya. Gue tahu, Ka, lo juga suka sama gue."

"Anjing! Lo halunya kebangetan. Gila, gue merinding." Elka nyaris tak bisa berkata-kata usai mendengar nada percaya diri Damar. "Dengar baik-baik, Mar. Gue nganggap lo hanya sebagai teman. Walaupun pernah nerima ajakan clubbing dari lo, bukan berarti gue punya rasa yang sama. Dan sekarang, gue nyesel banget karena udah kenal lo."

"Nyesal? Lo nyesal setelah kenal gue?" tanya Damar syok.

"Ya," balas Elka dengan nada tajam, menohok.

"Nggak." Damar menggeleng. "Lo pasti cuma mau jual mahal. Iya, kan? Ah, jadi begini cara lo supaya bikin gue gak berdaya dan terus mengejar lo? Bagus, Elka, cara licik yang berhasil."

Cengkeraman pada lengan Elka akhirnya melonggar.

"Oke."

"Oke apa? Damar, please, lo jangan denial. Tolong banget ini, tolong, gue nggak suka sama lo. Nggak. Akan. Pernah. Suka. Terima kenyataan itu dengan pikiran terbuka. Dan asal lo tahu, walaupun lo paksa gue untuk batalin pernikahan orang tua kita, gue gak bisa menuhin itu. Gue masih pengen hidup, Mar. Nyawa gue terlalu berharga untuk disia-sian dalam rencana konyol lo."

"Tenang saja, Elka, gue akan menghancurkan rencana pernikanan mereka supaya lo nggak denial lagi."

"Yang lagi denial itu, elo, brengsek!" jerit Elka kehilangan kesabaran. "Tolong sadar!"

"Iya, Sayang, gue minta lo sabar untuk sekarang. Gue akan minta Mama hentiin rencananya agar kita bisa bersama nanti."

Elka tidak tahu lagi harus menyadarkan Damar dengan cara apa. Pria ini enggan ditolak. Dia tipe manusia yang menganggap penolakan adalah kebenaran. Dan Elka paling benci yang seperti ini.

Lebih mengejutkan lagi, rencana pembatalan pernikahan yang Damar tekadkan, ternyata benar-benar dia ia lakukan.

Di hari yang sama pula, ia melakukan pemberontakan. Dia memohon pada Zuri untuk jangan menikahi Handra.

Namun, selayaknya Ibu yang menanggap anaknya sedang mengalami tantrum, Zuri hanya membiarkan Damar mengambuk sampai dia diseret pulang oleh salah seorang teman lelaki dan sopir pribadi mereka yang paham seproblematik apa seorang Damar.

Elka pun gagal melarikan diri. Ia terpaksa bertahan sampai semua prosesi pertunangan tersebut berlanjut hingga akhir.

Sebongkah kekhawatiran mengisi relung hati Elka. Ia takut Handra akan mendapati semua kekacauan yang Damar lakoni, sebenarnya bersumber darinya.

Itulah mengapa, ia berusaha keras mendekatkan diri dengan Zuri agar ketika Damar berulah, Handra tak mudah percaya pada semua kata-kata omong kosong remaja lelaki tersebut.

"Damar memang begitu. Dia tidak terima saya menikah karena takut kasih sayang saya berkurang untuknya. Anak bodoh itu, dia tak tahu saja sebesar apa cinta saya untuk dia."

"Dia anak manja. Semua keinginannya harus terkabul. Mungkin cara saya membesarkannya kurang bijak sampai dia sering berlaku kekanakkan."

Zuri berkata dengan nada santai saat dia dan Elka sedang makan siang di salah satu Mal terkemuka di Jakarta. Mal PI. Mereka selalu menyempatkan diri untuk menghabiskan waktu bersama semenjak acara pertunangan lima hari lalu.

Elka berusaha menjaga sikap agar Handra tahu, dia juga bisa diandalkan. Membangun ikatan emosional bersama Zuri memang melelahkan, tapi dia tak boleh menyerah sampai pernikahan Handra dan calon tantenya ini benar-benar terwujud.

"Elka, saya memang bukan manusia yang bersih dari kesalahan. Mungkin kedepannya, saya akan membuatmu kecewa pada sikap dan sifat saya yang berseberangan dengan ideologi, maupun pendirian yang kau pegang selama ini," tutur Zuri mengubah topik obrolannya. "Saya takut kamu terganggu bila saya mencampuri urusan kehidupanmu nanti."

"Tante tidak perlu khawatir. Saya siap menerima kehadiran Tante di hidup saya. Bagaimana pun juga, Tante akan menjadi keluarga saya. Ibu yang selama ini saya harapkan keadirannya."

Tentu saja Elka siap. Jika tidak, Handra bisa mengamuk.

"Kamu anak baik, Nak. Saya harap, untuk kedepannya kita bisa menjadi keluarga yang benar-benar utuh. Jangan khawatirkan Damar. Dia bukanlah momok yang harus kau takuti. Biar Tante yang ngurus dia."

Elka mengangguk pelan. Dalam hati ia amat berharap Zuri mampu mengendalikan keliaran sang Putra yang agak menyeramkan. Tingkat halusinasi Damar sudah sangat buruk sampai mengira Elka juga menyukainya.

Pernikahan yang coba dihentikan oleh Damar, akhirnya tetap terlaksana. Zuri resmi diperistri oleh Handra, tanpa kehadiran Damar tentu saja. Entah dia sedang berada di mana.

Hari terus berlanjut. Masih diiringi ketidakberuntungan bagi Elka. Ia yang awalnya sering menghabiskan waktu di luar rumah demi mereguk kesenangan duniawi, kini mulai terhambat akibat Zuri yang hampir setiap saat selalu berada di dekatnya.

Dia sangat memperhatikan anak tirinya. Menanyai apa saja kebutuhan Elka, atau sesederhana makanan apa yang ingin Elka santap saat makan siang, pun malam hari, Zuri selalu menanyakan hal itu. Dia berperan menjadi sosok Ibu yang sempurna.

Asing. Perasaan disayangi ini, rasanya asing bagi Elka.

Apakah dia boleh berharap lebih?

Disayangi, agaknya cukup menyenangkan. Perasaan hangat yang membuncah di hati, membuat Elka nyaman. Ia seperti tengah dilindungi.

Zuri adalah seorang arsitek. Dia acap kali berbagi tentang kisah hidupnya. Ia memiliki dua Kakak, lelaki dan perempuan. Namun, karena sebuah kejadian kurang mengenakkan, ia kehilangan hubungan baik dengan Kakak-Kakaknya.

Zuri berkata bahwa sejak kecil, ia juga tidak begitu diberi kasih sayang yang cukup oleh orang tua mereka. Di saat Kakak-Kakaknya diberi kesempatan mengenyam pendidikan di luar negeri, dia harus puas bersekolah di negeri sendiri sebab Ayahnya hanya mengandalkan dirinya dan selingkuhan sang Ayah untuk merawatnya yang telah sakit-sakitan.

Itu kisah tragis menurut Elka. Beban mental yang ditanggung oleh wanita itu juga menguras banyak tenaga dan emosi. Dia jadi bersimpati pada kisah hidup tantenya yang pahit.

Hubungan mereka pada akhirnya berangsur-angsur dekat bak perangko. Secara mengejutkan, Elka berhenti 'bermain-main'. Dia membebaskan diri dari dunia malam yang pernah menjadi pelarian terbaik untuk membuatnya melepas lara dari semua kenyataan pahit dalam hidup.

Kini, dia memiliki obat baru yang jauh lebih berharga dari alkohol maupun nikotin. Ia aman sekarang.

Miris memang, dia hanyalah individu rapuh yang selalu mencari tempat 'baru' untuk berlindung agar mampu mereguk ketenangan hati.

Attachment anxiety. Begitulah diagnosa konyol yang Elka dengar dari psikolog tentang gangguan mental yang ia derita kala melakukan konsultasi semasa bersekolah SMA.

Dia tak terima disebut sebagai manusia yang takut akan pengabaian dan takut kehilangan cinta dari seseorang.

Saat beberapa kali melakukan konsultasi, akhirnya ia berhenti melakukannya sebab hasil diagnosa dari psikolog tersebut dianggapnya terlalu merendahkan dirinya. Itulah mengapa, selama ini dia lebih memilih bersenang-senang tanpa berharap disayangi oleh orang lain.

Saat itu, Elka pikir dia memang benar. Asesmen dari psikolog yang ia anggap konyol, terbukti benar adanya saat dia sadar bahwa kini, dia telah bergantung sepenuhnya pada Zuri.

Dia menumpukan semua sumber kebahagiaannya pada wanita yang ia anggap sebagai orang tuanya itu. Dan beruntung, Zuri yang tak tahu menahu mengenai status Elka yang sebenarnya bukanlah anak kandung Handra, begitu menyayangi Elka. Dia menyayangi sang putri dengan sepenuh hati. Memberikan suntikan kasih sayang tiada akhir.

Dahaga Elka benar-benar terpuaskan.

Namun, selayaknya sifat manusia yang tak pernah berpuas diri, dia selalu berkeinginan menuntut lebih. Dia ingin Zuri selalu memperhatikannya, tetapi karena ganjalan besar bernama Damar, perhatian Zuri tak sepenuhnya ia dapatkan.

Pasalnya, Damar bertingkah semakin liar. Dia tak segan membuat Elka terpojok. Damar dengan gamblangnya berkata bahwa alasan dia ingin Zuri menceraikan Handra, tidak lain karena ia enggan bersaudara dengan Elka yang berperangai buruk.

Ia beberkan semua tabiat buruk adik tirinya di masa lalu. Tentang dunia malam yang digandrungi oleh Elka, dan kebiasaan buruk lainnya yang ia karang sendiri agar Zuri percaya bahwa membangun hubungan dengan orang seperti Elka dan Handra bukanlah pilihan terbaik.

Elka tentu saja syok. Lelaki yang awalnya berkata mencintai dirinya, nyatanya tak segan membuat namanya buruk demi membuat Zuri berpisah dari Handra. Sampai seperti itu usaha Damar agar perpisahan orang tua mereka terjadi.

Lebih mengejutkan lagi, saat Zuri tak berada di dekat mereka, Damar selalu berkata pada Elka bahwa dia siap melakukan hal apa pun agar mereka bisa bersama.

Walaupun itu artinya, nama Elka harus ia buat hina.

"Brengsek! Mau lo apa, hah?!"

Elka tepis tangan Damar yang mencegahnya masuk kamar.

"Lo. Gue mau lo."

Mata Elka sontak terpejam, ia mengepalkan tangan kuat-kuat.

"Gue udah bilang, 'kan? Bagaimana pun caranya, kita harus bersama. Meskipun itu artinya, gue bakal pakai cara paling kotor," ungkap Damar masih tak tahu malu.

Entah terbuat dari apa hatinya yang rusak ini?

"Lo sebodoh apa Damar sampai berpikir gue mau sama iblis kayak lo? Setelah semua hal tolol yang lo perbuat itu? Nggak sama sekali! Sampai mati gue gak sudi nerima lo!"

"Ka, gak usah pura-pura. Gue tahu, lo hanya berusaha berdamai dengan keadaan karena kita gak bisa bersama lantaran status orang tua kita. Makanya sejak awal, gue juga gak berdiam diri. Lo lihat sendiri, 'kan, gimana kerasnya usaha gue untuk bikin mereka pisah? Gue bahkan mengorbankan nama baik lo supaya Mama pisah dari Om Handra."

"Lo benar-benar udah gila. Orang kayak lo harusnya mendekam di rumah sakit jiwa!"

"Lo juga gila, Elka. Bisa-bisanya lo nolak gue hanya karena gengsi. Harusnya kita bisa bersama seandainya lo nggak denial dengan perasaan lo. Atau, haruskah kita mendekam di RSJ biar terbebas dari Mama dan Om Handra?"

"Gue punya laki-laki yang gue suka, dan orang itu bukan lo! Dia baik, dia sopan, dia nggak gila kayak lo!"

Elka tumpahkan kekesalan hatinya pada lelaki di depannya. Selain ART yang sedang berada di dapur dan takut melerai mereka, hanya ada Elka dan Damar di rumah ini. Orang tua mereka sedang bekerja.

Entah harus dengan cara apa Elka bisa menghilangkan khayalan Damar tentang khayalan menjijikkan pria tersebut.

Untuk apa menyukai pria sepertinya jika ada lelaki seperti Daniyal yang telah sepenuhnya menyandera hati Elka?

Benar, Elka jatuh cinta pada teman sejurusannya di kampus. Lelaki bernama Daniyal itu berhasil meluruhkan semua benteng pertahanan diri Elka yang dahulu berkata siap menjomlo hingga embusan napas terakhirnya.

Sikap ramah, rendah hati, sopan, baik saat bertutur kata, serta tampan, semua aspek positif yang melekat pada pria tersebut berhasil mengkhianati tekad Elka.

Kendatipun sekarang, ia harus puas untuk memendam perasannya sendiri. Meski rasanya, Elka ingin jujur pada Daniyal. Ia ingin mengungkapkan rasa ini pada pria itu.

"Ya, Elka, terus saja menyangkal. Lo yang bela-belain ngarang cerita demi menyembunyikan perasaan lo yang sesungguhnya, itu malah bikin gue makin semangat untuk menghancurkan pernikahan orang tua kita. Jangan khawatir, mereka tetap akan berpisah."

"Lalu apa? Lo kira setelah mereka pisah, kita akan bersama? Setelah lo ngejelekin gue di depan Mama? Lo bodoh apa gimana, Mar? Gue ... gue benar-benar gak habis pikir sama jalan pikiran lo."

"Gampang saja bagi gue untuk balikin nama baik lo. Mama itu rentan pada cerita sedih. Mainin empati Mama bukan perkara besar. Satu, dua kali, atau tiga kali gue ngarang cerita tentang apa alasan yang mendasari lo sampai suka berpesta, dan cinta pada dunia malam, Mama pasti paham bahwa lo hanyalah anak yang berusaha dapetin kebahagiaan agar pikiran sedih lo teralihkan. Ah, lo ngiranya gue nggak sadar seburuk apa kualitas hubungan lo bersama Om Handra? Gue tahu, Ka, kalian gak dekat sama sekali. Bahkan, gue pernah lihat dia mukulin lo."

Elka tergemap atas penuturan mengejutkan lelaki tersebut.

"Kenapa? Kaget karena gue tahu kenyataan menyedihkan itu? Elka, alasan lain gue mau orang tua kita pisah, supaya lo nanti juga terbebas dari Om Handra. Sebab didetik pertama kita bersama, gue nggak akan biarin dia berada di dekat lo lagi. And then, case closed."

Kaki kanan Elka ia gunakan untuk menendang paha Damar. Gerakan mendadak tersebut akhirnya membuat cekalan Damar di tangan Elka terlepas. Kesempatan tersebut digunakan oleh perempuan itu untuk segera masuk ke dalam kamar dan menutup pintu sekuat tenaga.

Damar harus dihentikan. Semakin dibiarkan, dia hanya akan menghancurkan kebahagiaan Elka yang prematur ini.

Cukup sudah.

Elka menolak diperlakukan semena-mena lagi oleh pria tersebut. Maka suatu ketika, ia membalikkan semua trik manipulasi Kakak tirinya pada lelaki itu.

"Lo ... apa yang lo lakukan di sini?! Keluar! Keluar dari kamar gue!"

"Salah lo karena gak kunci pintu kamar. Teledor banget lo, Ka."

Damar memandangi Elka lurus-lurus. Ia menelan ludah usai melihat perempuan di depannya hanya mengenakan celana pendek serta tank top hitam setelah keluar dari kamar mandi.

"Ka, gue sayang banget sama lo. Gue pun heran kenapa sampai sebesar ini rasa suka gue terhadap lo. Jika izin dari Mama belum kita kantongi, setidaknya ... kita bisa sedikit bersenang-senang, 'kan? Mumpung Mama dan Om Handra lagi gak di rumah. Gue tadi lihat Om Handra masuk ke mobil Mama. Mereka udah pergi. Cuma ada kita sekarang."

"Jangan macam-macam!" jerit Elka dengan nada bergetar ketakutan.

"Ah, maksud lo, ayo macam-macam?" kekehan rendah terlontar dari bibir Damar. "Udah, Ka, sekarang berhenti pura-pura. Gue punya kondom kok. Lo akan suka ini. Nanti gue ajarin gimana caranya. Mau, ya?"

"Ma! Mama Elka takut!"

Tawa Damar menguar di udara. Dia mulai melangkah mendekati Elka.

"Bukan jeritan seperti itu yang mau gue dengar dari mulut lo. Dan bukan nama Mama pula yang harus lo sebut, tapi nama gue. Damar."

"Damar!"

Baik Damar dan Elka, keduanya terperanjat kala teriakan itu tahu-tahu terdengar bersamaan dengan kemunculan Zuri dari dalam kamar mandi. Sejak tadi, dia berada di situ. Ia dan Elka memang berencana tidur bersama malam ini atas permintaan sang putri yang mangaku sering bermimpi buruk akhir-akhir ini.

Ia yang sedang membersihkan wajah, sama sekali tidak menduga akan mendengar keributan serta kata-kata tak senonoh yang diucapkan oleh putranya sendiri kepada putrinya.

"Kenapa kamu begini, Nak? Kenapa kamu hukum Mama sampai seperti ini?!"

"Aku gak lagi hukum Mama. Ini semata-mata karena aku cinta sama Elka. Andai Mama gak bersama Om Handra, aku dan Elka pasti berjodoh. Tolong, Ma, cerailah dari Om Handra. Beri aku kesempatan untuk berbahagia."

"Damar sadarlah! Kamu sudah sangat keliru mengambil langkah. Elka itu saudaramu. Bukan seseorang yang pantas kau gauli!"

"Mama gak pernah biarin aku senang! Mama Ibu yang egois! Apa Mama sadar seburuk apa kualitas Mama sebagai orang tua selama ini? Mama hanya fokus bekerja, dan selalu bertengkar dengan Kakak-kakak Mama terkait ketidakadilan hidup yang Mama rasakan padahal sebenarnya, Mama punya pilihan untuk keluar dari ketidakadilan itu seandainya Mama memang mau dan enggan memelihara mental sebagai korban! Lalu bagaimana denganku? Sampai kapan aku juga harus menerima ketidakadilan hidup yang Mama persembakan kepadaku?!"

"Jangan kurang ajar! Kamu tidak tahu sekeras apa perjuangan Mama sampai bisa menghidupimu selama ini! Maka dengar baik-baik, Mama gak akan pernah mau menceraikan Handra! Dia yang bantu Mama untuk bangun dalam keterpurukan. Jangan keras kepala, Damar, atau Mama akan memberikan hukuman keras kepadamu."

"Egois! Mama egois!"

Zuri menangis lantaran begitu kecewa pada sikap anak kandungnya.

"Baiklah. Aku pergi dari sini. Jika Mama masih berniat memperpanjang status hubungan Mama dan Om Handra, aku siap meninggalkan Mama."

Ultimatum dari putranya, membuat Zuri dilanda syok.

"Mengapa Mama begitu kejam? Aku hanya ingin bahagia bersama Elka. Hanya dia yang membuatku bersemangat menyambut hari. Mama boleh menganggap perasaanku konyol, tapi cintaku terhadapnya tidak sesederhana seperti bayangan Mama. Mama ingin aku bahagia? Maka ceraikan Om Handra. Beri aku kesempatan untuk merasakan kebahagiaanku sendiri. Dan bila Mama masih berkeras hati, aku nggak akan pernah mau lihat muka Mama lagi."

Akibat telah terpojok, akhirnya Damar memilih melarikan diri. Menghilang sebelas bulan lamanya adalah cara yang Damar tempuh untuk menghukum sang Ibu.

Dengan bantuan sepupu yang awalnya sering ia hinakan, dia berhasil melewati pergantian bulan tersebut tanpa adanya hambatan nan berarti. Kendatipun sebenarnya, ia telah berbuat dosa besar.

Amat besar.

Tanpa sengaja, ia menghamili seorang wanita akibat didorong oleh rasa depresi. Sungguh hidup yang memuakkan. Bak ungkapan jatuh tertimpa tangga, kini dia harus menanggung kesialan lain.

Namun, selalu ada rencana sempurna di kepala Damar. Pikirnya begitu.

Ia membawa bayi yang telah susah payah dilahirkan oleh wanita pekerja di kelab malam yang ia hamili itu untuk pulang bersamanya ke rumah di mana Elka dan sang Ibu tinggal di dalamnya.

Bayi tersebut akan ia gunakan sebagai bentuk pemberontakan supaya Ibunya kian merasa bersalah dan malu. Bersalah karena tidak mengabulkan permintaan perceraian yang Damar minta sehingga menuntunnya sampai berbuat nekat, serta malu sebab telah gagal membesarkan Damar. Lalu dengan begitu, Zuri menyerah dan bersedia menceraikan Handra.

Kemudian, Elka tak lagi menjadi suadara tirinya. Perempuan itu akan beralih status menjadi istrinya. Nanti, saat situasi di antara mereka telah kembali normal.

Sungguh rencana yang apik.

Ia mengira rencananya akan berujung pada hasil memuaskan.

Siapa sangka, perkiraan Damar melenceng jauh. Ibunya mengalami serangan jantung saat bayi tersebut ia bawa pulang ke rumah. Elka pun segera melarikannya ke rumah sakit.

Nahas beribu nahas, Damar tidak menyangka bahwa hari itu adalah hari terakhirnya menatap dunia.

Sosok yang selama ini luput dari perhatiannya, ternyata telah lama menyimpan dendam terhadapnya.

Handra

Ia menghabisi nyawa anak tirinya akibat didorong oleh murka sebab tingkah Damar telah membuat pernikahannya bersama Zuri bagai bertabur duri.

"Saya kira kamu akan berhenti bertingkah," ujar Handra sembari menekan gagang pisau pada leher Damar yang perlahan kehilangan kesadaran. Kejang di tubuh anak tirinya malah membuat Handra terhibur. "Kau bermimpi bisa memisahkan saya dan Zuri?"

Tawa rendah Handra terdengar menyeramkan. Sorot tajam yang ia beri pada Damar tak jua pudar. Tangisan bayi lelaki yang memekakkan telinga, menjadi pengisi suara dari situasi mencekam di ruang tamu rumah Handra.

"Kau bodoh jika mengira saya akan tetap diam. Saya bukannya tidak tahu sebejat apa perbuatanmu pada Elka, tapi saya memilih membiarkannya karena Zuri masih belum tahu bagaimana aksi bejatmu di belakangnya."

"Kau boleh saja memiliki Elka. Lagi pula, dia tidak begitu penting bagi saya karena fungsinya hanya sebagai pelampiasan emosi saya yang sering kali tidak stabil."

"Namun, Damar, saya tidak bisa menoleransi sikapmu lagi karena kau berulang kali membuat Zuri kesusahan akibat tindakanmu yang melampaui batas. Kau menciptakan kegaduhan pada pernikahan kami yang baru saja dimulai."

"Jika hidupmu terlalu menyusahkan Zuri, mengapa kau tidak mati saja? Tenanglah, Elka juga akan menyusulmu agar kalian bisa bersama di alam sana. Selamanya, tanpa terhalang oleh saya dan Zuri."

Sekali lagi, Handra tatap wajah Damar lebih jelas. Iras setenang permukaan danau, ia pasang kala kedua bola mata Damar terarah ke atas.

"Maaf, saya hanya sedikit gila. Saat kau bertemu Elma nanti, katakan padanya bahwa saya masih sangat mencintai dia. Tolong sampaikan juga, alasan saya menikah lagi karena harta Zuri cukup menggiurkan untuk dikuasai. Itu saja."

Handra lepas pisau yang telah merenggut nyawa Damar dalam sekali tarikan, menyebabkan darah segar nan kental segera menyeruak.

"Tenang di alam sana, Damar."

***

Red flag enjoyers, jangan stres ya baca ini.

Let me know ya kalau ada typo. Ngetik sambil merem soalnya.

Ini part terakhir bahas masa lalu Elka. Part depan kalian bakal jumpa lagi dengan dia.

Entah dalam keadaan hidup atau ... iykyk.

Lol.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro