Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

46 | Hurts Like Hell

Para pelayat satu persatu meninggalkan rumah duka. Mereka yang awalnya silih berganti memberikan sokongan kekuatan untuk Handra, kini mulai meninggalkannya tenggelam dalam menung panjang.

Siapa yang menyangka, di usianya yang belum genap tiga puluh tahun, ia telah kehilangan orang-orang paling berharga yang pernah ia miliki.

Dimulai dari orang tua kandungnya yang telah lama berpulang saat ia masih mengenyam pendidikan sekolah menengah atas.

Lalu, kini dia juga harus kehilangan istri yang begitu ia cintai.

Belum lagi, sang istri pergi bersama kedua orang tuanya akibat keteledoran pihak Mal yang telah berjanji akan membiayai anak korban hingga ia dewasa nanti. Seolah itu adalah solusi terbaik untuk menyelesaikan dosa besar yang mereka perbuat.

Mereka pikir masalah berakhir hanya dengan bantuan kecil seperti demikian. Bagaimana dengan Handra? Mereka tidak berpikir bahwa imbas dari situasi ini, Handralah yang paling menderita.

Ia kehilangan Elma. Cintanya yang berjanji akan membersamainya hingga maut menjadi jurang pemisah bagi keduanya, tapi bukan takdir sepeti ini yang Handra harapkan.

Andai Elma tidak pergi ke Mal tersebut. Tidak, andai istrinya tak mengindahkan permintaan Oliv dan Khairi untuk menemani mereka.

Bukan. Pangkal masalahnya bukan berasal dari situ sebab semuanya hanya bersumber dari satu orang.

Elka.

Andai bayi sialan itu tidak pernah hadir.

Andai pembawa petaka itu tak disayangi Elma.

Maka semua ini tidak akan pernah terjadi.

Ingin rasanya Handra mengamuk. Akan ia lepaskan kemarahan yang menggerogoti hatinya kepada Elka. Namun, apa tindakan tersebut bijak di saat sekarang?

Handra bagai hidup dalam kekosongan. Semua orang memberinya penguatan, melimpahkan kata-kata omong kosong yang memuakkan untuk didengar.

Mereka tidak tahu bahwa hidup Handra telah hancur di saat yang sama kala tubuh kaku Elma dimasukkan ke liang lahat. Elma membawa semua kewarasan diri Handra. Teganya wanita itu pergi. Teganya dia tinggalkan Handra dengan cara paling menyakitkan seperti ini.

Harus bagaimana ia sekarang? Elmanya telah pergi untuk selama-lamanya, tanpa berniat kembali ke rengkuhannya.

Dan kini, tersisa dia bersama Elka.

Elma tidak lahir dari keluarga besar. Dia anak tunggal dari orang tuanya yang juga merupakan anak tunggal di masing-masing keluarganya.

Saat menikah pun, hanya sedikit keluarga terdekat Elma yang menghadiri pernikahan tersebut. Tante serta sepupu Elma kebanyakan hanya berasal dari Khairi. Sementara dari pihak Oliv, hanya sedikit sanak saudaranya yang hadir.

Lingkup ikatan darah dari keluarga Elma tak seperti kebanyakan keluarga di luar sana. Itulah mengapa, saat Oliv dikabarkan tengah mengandung, semua orang dibuat antusias sebab ada generasi baru yang akan melanjutkan darah dari keluarga mereka.

Elma dan orang tuanya baru lima hari dikebumikan saat seorang wanita yang merupakan sepupu Khairi, meminta secara langsung pada Handra untuk merawat Elka. Wanita itu paham dengan kondisi mentalnya yang belum cukup stabil, Handra pasti bisa kesulitan merawat Elka.

Bagaimana pun juga, merawat bayi sama sekali tidak mudah. Terlebih bila itu dilakukan oleh laki-laki yang belum memiliki pengalaman.

Namun, penolakan tegas yang Handra beri pada akhirnya membuat wanita itu menggugurkan niat.

Handra telah memantapkan hati akan membiarkan Elka tinggal di sisinya. Bukan untuk dirawat sepenuh hati. Melainkan demi diberi pelajaran.

Handra akan memberikan pelajaran 'berharga' pada Elka agar dia sadar sebesar apa kesalahan yang telah ia perbuat.

Setelah melewati empat puluh hari masa perkabungan, Handra memboyong Elka kembali ke tanah kelahiran pria itu. Tempat di mana dia memiliki kuasa penuh untuk diri Elka.

Jakarta Selatan.

Dengan amarah yang tak pernah menyusut, ia tinggalkan semua orang yang menginginkan Elka. Mereka yang berharap bisa merawat Elka seusai kepergian Oliv, Khairi dan Elma, tak akan sudi Handra izinkan untuk memilikinya.

Karena sekali lagi, Elka adalah petaka yang harus ia 'rawat' sendiri. Dia bersedia membersarkan bayi perempuan ini. Ia siap menyewa orang untuk membantunya merawat Elka dengan imbalan dari tabungan yang dia miliki sekarang. Ia juga perlu mendapatkan pekerjaan baru. Semuanya harus kembali pada posisi normal walau rasanya terdengar mustahil. Tanpa Elma, dia tetaplah si cacat yang sampai kapan pun pincang sebelah.

Dan ketika semua telah berada dalam kondisi normal, maka Handra pastikan ketenteraman Elka berakhir saat itu juga.

"Elka! Sini kamu!"

Gadis kecil yang baru saja tertidur di sofa ruang tamu usai mencuci bekas piring yang ia gunakan selepas makan siang itu, berjengit kaget saat mendengar pekikan namanya disebut. Ia lantas bangun cepat-cepat, menyebabkan percikan pening merebak di kepalanya.

Belum sempat dia memastikan apa yang sedang terjadi, ia tahu-tahu merasakan pipinya dicubit kencang hingga menyebabkan Elka langsung berdiri sambil berjinjit. Dua tangan kecilnya ia gunakan untuk melepaskan tangan besar yang kini sedang menyiksanya tersebut.

"Anak bodoh! Kenapa kamu nggak langsung pulang saja tadi!"

Handra menambah frekuensi cubitannya pada pipi Elka. Jerit sakit terdengar dari gadis yang kini berumur sebelas tahun itu. Matanya langsung berkaca karena cubitan ini terasa sangat sakit. Meskipun terbiasa, Elka masih sulit menahan rasa sakit dari semua tindak kekerasan Handra.

"Sakit. Pipi Elka sakit, Papa."

Lagi dan lagi, dia disiksa. Elka sudah dititik ia lejar untuk melawan. Handra akan selalu menemukan cela untuk menyiksanya. Bahkan sesederhana ia bernapas di dekat lelaki dewasa itu, hal tersebut sering kali membuat Handra menggila dan melibas Elka menggunakan gesper.

Ini terjadi sejak ia kecil. Di depan orang lain, terlebih saat tetangga atau orang yang mengaku sebagai keluarga Elka datang jauh-jauh dari Gorontalo untuk mengecek kelangsungan hidupnya, Handra akan bersikap baik kepadanya.

Bersikap sebagai orang paling baik yang pernah hadir di hidup Elka. Itu bak hari libur untuknya. Libur dari makian, pun siksaan.

Namun, belakangan Elka tahu bahwa lelaki dewasa yang selama ini ia panggil Papa, ternyata bukanlah orang tua kandungnya. Melainkan adalah Kakak iparnya sendiri. Itu adalah penuturan dari seorang tante yang dahulu berkata pernah meminta untuk merawat Elka, tetapi mendapatkan penentangan dari Handra. Dia ceritakan serpihan masa lalu yang membuat Elka senang.

Senang karena ia akhirnya tahu siapa orang tua kandungnya. Bahkan, ia juga memiliki Kakak perempuan yang amat cantik. Elma Kaluna. Istri dari Handra. Sayang sekali, ia dan ketiga orang tersebut berpisah oleh jurang kematian.

Semenjak mengetahui hal itu, Elka jadi membayangkan akan sebahagia apa dirinya bila mereka masih berada di sisinya. Dia pernah memiliki keluarga lengkap. Bukankah itu membahagiakan untuk didengar? Hanya dengan melihat foto ketiga orang tersebut, entah mengapa Elka rasa mereka adalah manusia-manusia baik.

Atau, mungkinkah, mereka serupa dengan Handra? Menyiksanya bila perasaan mereka sedang buruk?

Elka tak tahu. Dia sudah terbiasa hidup dalam naungan ketakutan sampai lupa bahwa bayangan hidup penuh suka cita itu adalah ilusi yang terlalu mahal untuk ia reguk.

Dulu, Elka kecil tak terlalu memikirkan mengapa perlakuan Handra amat timpang dari kebanyakan orang tua. Seperti milik teman-temannya. Elka dulu sering sekali menempel pada Papanya, meminta disayang. Dia selalu berharap dilindungi. Baginya, Handra adalah sosok Papa yang akan selalu ia dengarkan. Dia tetap membiarkan dirinya tenggelam dalam harapan bahwa Handra bisa berubah lebih lembut bila terus didekati.

Ia tak lejar untuk mengemis kasih sayang. Yang Elka tahu, Handra telah susah payah membiayai kehidupannya. Tugasnya adalah berbakti dan tak melawan meski dimarahi.

Namun, entah mengapa ia mulai merasa capek dan sudah tak sanggup lagi. Setiap detik ia lalui dengan banyak ketakutan.

Ia takut pada Handra.

Selain itu, ketakutan terbesarnya adalah sakit. Karena ketika sakit, dia tak memiliki tenaga. Dia akan terpaksa terbaring lemah dan tak bisa menghindar kala Handra memukulinya hanya karena alasan sepele, atau bahkan tanpa sebab. Seperti sekarang.

"Jangan pernah sakit! Kalau pun sakit, lebih baik mati saja! Tidak ada yang akan merawatmu!"

Kata-kata itu sudah berada di luar kapala Elka. Bagaimana dia lupa saat hardikan tersebut berulang kali terucap dari Handra.

Namun, mau semengerikan apa pun siksaan yang ia terima, ia harus bertahan. Memangnya dia punya pilihan? Dia hanyalah bocah SD berumur sebelas tahun yang tidak mengenal dunia. Hanya Handra tempatnya untuk kembali. Hanya kepada Handra dia tetap 'aman' dari kerasnya hidup di Ibu kota.

"Guru kamu nelepon Papa. Dia negur Papa karena jarang jemput kamu di sekolah. Sengaja Papa pilih sekolah yang dekat dari rumah kita biar kamu bisa jalan kaki, biar kamu gak manja! Dia gak tahu Papa kerja banting tulang untuk rawat kamu, biayain kebutuhan kamu, dan kamu malah bikin Papa malu karena dianggap gak becus ngurusin kamu! Kamu pikir jadi orang tua mudah? Papa sibuk Elka! Jawab sialan!"

Handra beralih mendorong kepala Elka.

"Elka tadi pusing. Mau langsung pulang tapi badan Elka lemes. Jadi, Bu guru nawarin untuk anter Elka pulang," jelas gadis itu seraya memejamkan mata. Sakit di pipinya mulai bisa ia toleransi meski ia yakini besok akan meninggalkan bekas memar, tapi tidak dengan pening yang terasa menyakitkan di kepalanya. Sakit sekali rasanya.

"Alasan! Kamu memang mau bikin Papa malu!"

"Nggak Papa, Elka nggak begitu," sanggah Elka membela diri dengan suara lemahnya.

Bisa dikatakan, ini adalah kali pertama ia melakukan pembelaan diri.

Dia sudah tidak kuat.

"Oh, mulai ngelawan kamu. Bagus. Bagus." Handra menangguk sambil memasang tampang murka. "Masuk kamar! Jangan berani keluar sebelum Papa kasih izin!"

"Di kamar dingin, Papa. Elka nggak tahan sama AC. Boleh Elka minta remotnya sama Papa?" Gadis itu baru saja menengadahkan tangan, tetapi sejurus kemudian, ia menerima tepisan kuat hingga menyebabkan tangannya terhempas cukup kencang, bersamaan dengan tubuhnya yang nyaris tumbang. Tubuhnya benar-benar berada dalam kondisi buruk sekarang.

Elka gigit bibir bagian dalamnya. Dia hanya ingin tidur nyaman. Alasan ia tak berbaring di kamar dan malah tidur di sofa ruang tamu sebab suhu dingin di kamarnya sangat mengganggu. Handra memang mengaturnya pada suhu rendah sejak kemarin. Dia menghukum Elka karena bertanya seperti apa orang tua kandung serta sosok Kakak perempuan yang kata sang tante yang dulu begitu menyayanginya.

Tak pernah Elka kira menyebut nama Kakaknya membuat Handra murka dan dengan cepat memukul mulutnya. Ia dilarang menyebut nama sang Kakak karena menurut Handra, nama mendiang istrinya tak seharusnya disebut oleh anak pembawa sial seperti Elka.

Itu akan mendatangkan siksaan baru bagi mendiang Elma di alam kubur. Jadi tak seharusnya bagi Elka seenaknya menyebut nama sakral tersebut.

"Anak sialan! Sekarang sudah berani protes juga kamu!"

Tanpa disangka, Handra menendang paha Elka dan menyebabkan gadis itu terperosok membentur lantai.

Elka sadar ia tak seharusnya melawan, tapi mau sampai kapan ia terus dijadikan objek pelepas amarah Handra?

Melihat Handra hendak melepaskan gesper yang ia lilitkan pada celana kantornya, Elka kepalkan dua tangan ringkihnya, bersiap untuk menerima hantaman.

Lari terdengar menjanjikan, tapi dengan kondisi seperti ini, ia mustahil melakukannya. Kepala serta badannya benar-benar sakit untuk diajak berkompromi.

"Setelah tahu identitas aslimu, kamu jadi lebih nakal. Kau pikir kau siapa berani menentang Papa? Ingat Elka, Papa yang memberimu makan selama ini. Papa yang menyekolahkanmu, memberikan atap untukmu tidur, memberi pakaian layak untukmu. Kau kira meski orang tuamu masih hidup, mereka juga akan menyayangimu? Tidak anak bodoh. Mereka lebih jahat dari Papa. Mudah saja bagi mereka untuk menyiksa anak nakal sepertimu karena sejatinya, kau adalah pembawa kesialan bagi kami!"

Satu bunyi lantang dari gesper yang dihantam pada tubuh Elka terdengar nyaring.

Bunyi pecutan berikutnya kembali terdengar. Sekali, dua kali, berulang-ulang.

Elka tak tahu apakah dia masih bisa selamat dari ini atau tidak. Namun, kalau pun selamat, ia pikir itu sia-sia. Untuk apa berharap selamat jika pada akhirnya, Handra tak pernah berubah?

Apa ... kehilangan nyawa adalah pilihan menjanjikan?

Kalau begitu, Elka berharap ini adalah hari terakhirnya dapat membingkai wajah Handra dalam memori otaknya.

Untuk yang terakhir kalinya, ia akan memberanikan diri mentatap seperti apa rupa dari sosok Papa yang dulu pernah sangat dia sayangi ini. Sosok orang tua yang ia harapkan mendapatkan kebahagiaan abadi setelah kepergian raga dan jiwanya.

Papa Handra.

Sampai mati pun, akan Elka bawa ingatan menyakitkan ini. Ia akan mengadu pada mereka yang telah lebih dulu meninggalkannya.

Akan ia adukan bagaimana kerasnya hidup yang ia jalani selama ini.

Akan dia laporkan semua kekejaman Handra kepadanya.

Namun, apakah mereka yang telah lebih dulu tiada, sudi mendengar lolongan kesakitannya? Bukankah kata Handra, orang tua kandungnya lebih jahat dari bayangannya?

Lalu, harus ke mana Elka sekarang? Apa ada tempat lain yang sudi menerima pembawa sial sepertinya?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro