45 | Awal Dari Segalanya
Angin malam merebak masuk pada kamar yang berpendarkan cahaya temaram di mana kamar tersebut diisi oleh sepasang suami istri yang tengah duduk bersisian.
Bersandar pada kepala ranjang sembari mengaitkan tangan dengan kepala sang istri yang ia sandarkan pada bahu suaminya.
"Mas, aku ... mau menyampaikan sesuatu."
"Katakan saja."
"Mama berhasil hamil."
Ucapan yang dikatakan dalam waktu cepat tersebut membuat Handra mengernyit.
"Katakan sekali lagi."
"Mama hamil. Usia kandungannya sudah dua minggu," ulang istrinya amat hati-hati.
"Minta Mama untuk melakukan aborsi," perintah Handra cepat. "Mengapa kalian masih saja keras kepala? Itu bisa membahayakan Mama, Elma. Umur Mama sudah lima puluh satu tahun. Tolong jangan begini. Sudah berkali-kali aku menentang ide program kehamilan yang Mama dan Papa lakukan. Untuk apa mengharapkan anak saat mereka tak lagi muda? Akibatnya akan sangat fatal, Elma."
"Aku nggak berani bilang."
"Elma."
"Mas, anak yang Mama kandung sekarang, dia adalah yang kami nanti-nantikan selama ini. Aku ... Aku ingin anak itu lahir ke dunia ini. Aku akan merawat dia bersama Mama."
Wanita itu mengungkapkan kegetiran yang menggumpal besar di hatinya. Lima tahun menjalani bahtera rumah tangga dan belum juga dikaruniai anak yang dapat menjadi perekat keharmonisan keluarga, membuatnya begitu mendamba kelahiran janin yang kini tumbuh sehat di perut Ibunya.
Bukannya dia merasa pahit akan takdir rumah tangganya. Tidak sama sekali. Dia memang mendamba seorang anak. Dan itu bisa saja tidak berasal dari rahimnya sendiri, bukan?
"Kau menyalahkanku? Iya,'kan? Kamu pasti sedang menyalahkanku."
Handra menarik punggungnya dari kepala ranjang. Ia juga melepas genggaman tangan mereka.
Dia tersinggung.
"Kamu tahu aku tidak bermaksud demikian. Kita sudah membicarakan hal ini berulang kali, Mas."
"Ya, kamu marah, Elma, karena aku mandul."
"Mas!"
Handra selalu begini saat perkara keturunan diungkit ke permukaan. Dia akan mulai mengkerdilkan diri. Semenjak Dokter memvonisnya memiliki inferitilitas, ia menjadi amat sensitif saat mendengar kata 'anak' terlontar dari birai sang Istri.
"Bagaimana dengan Papa?" Handra bertanya mengenai tanggapan Ayah Elma yang juga telah berumur senja. Dia tekan rasa tersinggung yang menjalari hatinya.
Sebelum melontarkan jawaban, Elma hela napasnya pelan-pelan. Membicarakan topik ini bak melangkah pada tepian tebing nan curam. Salah berpijak, konsekuensi besar telah menganga, menunggu kehancuran datang menggerogoti mereka.
"Papa tentu sangat senang saat tahu Mama berhasil hamil. Mereka akan mempertahankan janin itu. Mereka siap membesarkannya. Aku pun seide dengan mereka, Mas. "
Iras Handra dirambati oleh kekakuan. Ketidakpuasan terpancar jelas dari wajahnya.
"Kau dan mereka akan menyesali keputusan ini. Sadarkah kalian atas konsekuensi besar yang akan mendatangi kalian bila berkeras membiarkan anak itu lahir? Elma, banyak sekali risiko yang akan Mama derita. Tidak sedikit pula prosedur kehamilan yang harus Mama ikuti sebab beliau telah memasuki usia menopause."
"Bisa, Mas. Bisa. Tolong jangan skeptis. Kita tidak hidup di zaman dulu. Teknologi dalam dunia medis sudah cukup mempuni untuk mengatasi kasus seperti ini. Sebelum ke sini, aku sudah membaca puluhan artikel yang memuat tentang keberhasilan Ibu lanjut usia yang melahirkan. Bayi selamat, begitu pun dengan Ibunya. Aku ... Aku memiliki intuisi kuat bahwa adikku akan membawa kebahagiaan besar bagi kita semua, Mas."
"Elma, sejak kapan kita berpegang pada intuisi? Itu adalah hal konyol."
"Setidaknya kita harus mencoba."
Tanggapan sang istri yang bersikeras mempertahankan argumennya, tak pelak membuat Handra mengepalkan tangan.
Gestur itu langsung disadari oleh Elma.
"Mas, sungguh, tidak pernah sekali pun aku menyalahkanmu. Takdirmu adalah takdirku. Kita satu, Mas. Aku menerimamu karena aku mencintaimu, sangat. Dan sekali lagi kuingatkan, esensi dari pernikahan kita bukan berputar pada masalah keturunan. Bukankah kita baik-baik saja selama ini? Kita utuh, Mas."
Elma sentuh tangan suaminya pelan, kemudian ia genggam untuk berbagi kehangatan. Kehangatan yang ia harapkan mampu mencairkan suasana tegang yang saat ini memerangkap keduanya.
"Jangan anggap kabar kehamilan Mama sebagai beban. Kamu tidak bersalah. Kita bisa saja memiliki anak, banyak sekali solusi untuk memperolehnya. Namun, apa aku pernah memaksa untuk memilikinya? Tidak, bukan? Aku memang ingin mempunyai buah hati yang dalam wajahnya tergambar rupamu, aku ingin merawat anak kita sehingga dia tumbuh menjadi sosok tangguh sepertimu, melimpahinya dengan banyak kasih dan cinta sebagaimana aku dan dirimu menerima banyak kasih sayang dari orang tua kita dulu."
"Namun, Mas, bukan berarti aku tak puas selama ini. Tidak selamanya kita harus hidup dalam ekspektasi yang kita patok. Aku pun sangat-sangat sadar bahwa ada banyak kebahagiaan lain yang mampu membuat kita bahagia tanpa kehadiran seorang buah hati."
Handra perlahan mengangkat kepalanya, ia beri tatapan lurus pada wanita berparas anggun di hadapannya.
"Asalkan kamu tidak menyerah, Mas. Asalkan kita bersama."
Wanita ini, adalah istrinya. Pemegang takhta tertinggi di hatinya. Dia menerima Handra dengan tangan terbuka. Ia cintai Handra tanpa cacat sedikit pun.
Lalu, apa Handra tega membuatnya berdiri dalam kebimbangan hanya karena egoismenya yang kental?
Handra menggeleng.
Ia tak akan membiarkan Elma sedih. Tidak setelah semua ketidakberuntungan yang ia limpahkan dalam hidup Elma.
"Aku akan memiliki seorang adik." Tawa haru Elma terlontar. "Warna baru yang akan membawa kebahagian untuk keluarga kita. Lalu, bisakah aku menolak kehadirannya? Itu mustahil, Mas. Bantu aku dan orang tuaku untuk merawat anak itu. Tolong, Mas, bantu aku."
Handra segera memberikan pelukan erat pada istrinya. Pelukan yang menjadi penanda persetujuannya atas permintaan Elma.
Mungkin dia terlalu sensitif. Handra sadari itu. Perkara keturunan akan selamanya menjadi hal tabu baginya.
Namun, jika kadar kebahagiaan Elma bertambah besar melalui sosok adiknya yang dalam sembilan bulan lagi akan membersamai mereka, maka dia bersedia mewujudkan kebahagiaan tersebut.
Ini semua hanya demi Elma.
Tak lebih dari itu.
***
Handra pikir, dia akan berlapang dada setelah anak tersebut lahir.
Benar. Ajaibnya, bayi itu berhasil menyongsong kehidupan barunya di dunia setelah melalui banyak proses yang tak hanya menguras tenaga, tetapi juga emosi dari Ibu kandungnya.
Dia tetap lahir. Setelah sebelumnya Handra harap ia tak pernah ada.
Dengan berat hati, Handra wujudkan permintaan Elma untuk menerima kehidupan baru dari manusia yang telah mereka beri nama sebagai Elka Dyatmika itu.
Bayi perempuan yang lahir dengan sehat dan selamat tanpa cacat sedikit pun. Dia seketika menjadi bunga bagi semua orang yang amat mendamba mekarnya.
Eksistensi Elka bagai magnet yang terus menarik siapa saja untuk mendatanginya. Kini, ia telah tumbuh menjadi anak yang sehat. Bahkan dalam beberapa hari lagi, dia akan berumur satu tahun.
Oliv dan Khairi selaku orang tua kandung Elka, tampak disinari oleh kebahagiaan setelah berhasil memiliki anak kedua di usia mereka yang tak lagi muda.
Elka dielu-elukan. Dia mendapatkan perhatian yang berlimpah hampir setiap saat.
Dia dicintai oleh banyak orang.
Tapi tidak dengan Handra.
"Mas, aku mau nemenin Papa sama Mama ke Mal buat belanja persiapan ulang tahun pertama Elka. Boleh kamu tetap di rumah jagain Elka? Kata Mama dia udah kenyang dan sekarang lagi tidur. Kita usahain gak bakal lama nge-malnya."
Satu dari sekian banyak ketidaksukaan Handra adalah hal ini. Waktu Elma telah sepenuhnya disandera oleh Elka.
Dia selalu buang-buang waktu membaktikan diri pada adiknya yang rapuh itu.
"Kenapa nggak suruh Mama di rumah saja?" Handra menampilkan raut tak ikhlas, tapi meski begitu ia menjaga suaranya agar terdengar netral.
Akhir-akhir ini, dia agak kesulitan mengontrol emosi. Tinggal bersama mertua yang dianugerahkan seorang bayi, dibanding dia dan Elma yang seharusnya juga menerima keturunan, membuat amarahnya meledak-ledak di dalam sana.
Tetangga pasti telah bergunjing, begitu pun dengan sanak keluarga mereka. Mereka akan menumpuhkan kesalahan itu kepadanya dan Elma. Padahal di sinilah, dia yang salah.
Istrinya Elma sama sekali bukan pelaku yang patut diseret dalam masalahnya.
Andai Elka tak pernah hadir.
Pasti ketakutan-ketakutan konyol ini tak pernah datang menghantui hampir di setiap saat ia menghela napas.
"Mama maksa mau ikut. Katanya mau pilih sendiri kado untuk Elka. Kamu capek, ya, Mas?"
Bekerja nyaris seharian cukup membuat energi Handra terkuras. Dulu, pulang ke rumah selalu menghadirkan antusiasme tinggi baginya. Elma akan memberi sambutan hangat, menyiapkan makan malam untuknya, lalu menemaninya mengobrolkan banyak hal pada penghujung malam.
Sekarang, semua itu tak lagi seintens dulu. Elma memang memutuskan tidak bekerja setelah menikah. Handra yang melarangnya. Jadi, aktivitas Elma dulunya hanya berfokus pada kegiatan domestik rumah tangga. Bersama Olvi yang juga hanya seorang IRT. Sementara Handra dan Khairi bertugas sebagai penyedia segala kebutuhan dapur. Dulu, kehidupan mereka tidaklah seribet ini.
Setelah kehadiran Elka, semuanya berubah serba merepotkan.
Terlebih Elma. Dia terlalu menyibukkan diri untuk melayani adiknya. Handra tak suka itu. Amat membencinya. Bagi Handra, Elka bagai pembawa kesialan baginya.
Karena Elka, Elma tak begitu memedulikannya lagi.
Karena Elka, ketenteraman antara dia dan Elma tak setenang dulu.
Dan karena Elka pula, dia harus menyandang sebutan 'Papa' atas permintaan Elma.
Elma memintanya untuk menggunakan sapaan tersebut sebab Oliv memberikan kesempatan pada anak dan menantunya untuk dapat merasakan bagaimana menjadi orang tua.
Ayah dan Bunda untuk Oliv serta Khairi. Sedang Papa Mama untuk Handra dan Elma.
Bagaimana mungkin Handra tak kesal? Apa untungnya baginya bila Elka memanggilnya Papa? Bukan anak itu yang Handra inginkan untuk menyebut sebagai Papa. Hanya anak yang lahir dari rahim Elma-lah yang boleh memanggilnya demikian.
"Boleh, ya, Mas Handra? Aku nemenin Mama sama Papa?"
Tatapan penuh harap Elma akhirnya meruntuhkan kerasnya hati Handra. Dia tak akan pernah tega membiarkan Elma memohon kepadanya.
"Iya, tapi jangan lama-lama. Mas belum terlalu piawai jagain Elka." Itu hanya alasan Handra saja karena sebenarnya, dia enggan berlama-lama mengurusi bayi merepotkan tersebut.
"Gak bakal lama kok. Paling sejam doang, soalnya gak bisa lama-lama ninggalin bayi lucu itu." Elma terkikik geli.
"Jadi, aku sudah tak berarti lagi bagimu?" kata Handra memasang tampang kecut.
"Mas, kamu ini ngomong apa. Kok kayak cemburu gitu sama Elka?" Dua lengan Elma melingkari pinggang sang suami. Ia mendongak menatap tampang masam suaminya ini. "Kamu tetap prioritasku kok. Kamu dan Elka punya porsi kasih sayang yang berbeda bagiku. Nggak bisa disamaratakan. Kadar cintaku berbeda antara untuk kamu dan untuk adikku. Jadi, tolong jangan cemburu lagi, ya?"
Handra mendengkus kecil. Namun, ia peluk tubuh Elma erat-erat. Perkataan penenang dari istrinya bukanlah hal yang ingin dia dengar sekarang, tapi setidaknya Elma tahu bahwa ia mulai tak sabaran akibat diduakan.
Elma hanya boleh melimpahkan kasih sayang besar kepadanya. Untuk Elka sendiri hanya boleh sewajarnya saja.
Benar, Handra seegois itu. Sebab Elma adalah obsesinya.
Dering ponsel mengejutkan Handra kala dia juga mendengar Elka menangis kencang dari dalam kamar.
Dia yang awalnya duduk di ruang keluarga sembari menyelesaikan beberapa pekerjaan kantor yang belum sepenuhnya rampung, terkejut kala jeritan tangis Elka serta bunyi nada dering ponselnya terdengar nyaris bersamaan.
Handra mengecek ponsel lebih dulu, tapi kakinya juga mulai melangkah ke kamar Elka.
Nomor Elma terpampang sebagai penelepon.
"Kenapa belum pulang? Ini udah mau sejam lebih," berondong Handra tidak sabaran.
Tangannya telah menggenggam kenop pintu kamar Elka saat mendengar seseorang yang menyahuti pertanyaannya bukanlah suara familiar milik sang Istri.
"Pak, kami dari pihak pengelola Mal. Nomor Anda kami hubungi setelah mengecek riwayat panggilan terakhir pada ponsel ini," ujar suara bariton tersebut.
Handra mengerutkan dahi.
"Mohon maaf yang sebesar-besarnya, kami hendak menginfokan bahwa pemilik ponsel saat ini sedang dilarikan ke rumah sakit. Kami juga sedang menuju ke sana, Pak. Beliau bersama dua korban lainnya tertabrak mobil pajangan yang tidak sengaja lepas kendali akibat keteledoran petugas dealer yang sedang memamerkan brand mobil tersebut pada pengunjung. Ketiga korban menerima luka parah pada bagian kepala dan ...."
Handra tercenung menatap gagang pintu yang ia genggam dengan tangan kirinya.
Perlahan, tangan itu kembali terkulai lemas ke sisi tubuhnya.
Jantung yang semula berdetak normal, kini telah bertabuh kencang, dia bahkan mulai mendengar detak mengerikan tersebut.
Tidak.
Elma baik-baik saja. Mungkin orang itu salah memberikan informasi. Elmanya sedang baik-baik saja.
Handra kembali mengecek nomor yang baru saja menghubunginya.
Istriku
Aneh. Nama itu terdaftar pada riwayat panggilan masuk terbaru di ponselnya.
Tidak. Orang yang telah dilarikan ke rumah sakit itu sudah pasti bukan Elma. Handra yakin, istrinya sedang berbelanja di Mal. Dalam keadaan sehat, dan sebentar lagi akan pulang ke rumah.
Tangis Elka kembali menyita fokus Handra.
Jerit tangis yang begitu memekakkan telinga itu, mengapa terdengar aneh? Ada kepiluan yang terkandung di dalamnya. Seolah Elka tahu apa yang sebenarnya telah terjadi.
Saat itulah, Handra dihantam oleh kenyataan paling mengerikan yang tak pernah ia kira datang secepat ini. Pikirannya kosong, sedang hatinya mencelus amat sesak.
Ponsel kembali berdering. Menampilkan ID yang sama seperti beberapa saat lalu.
Handra tak menempelkan ponsel itu ke telinga. Ia genggam benda persegi panjang tersebut pada posisi sejajar dengan perutnya.
Fitur loud speaker segera ia aktifkan.
"Pak, maaf dan izinkan saya untuk menyampaikan hal ini kepada Anda. Kami baru saja mendengar keterangan dokter bahwasanya ... istri Anda telah mengembuskan napas terakhirnya pada pukul tujuh lewat dua menit di rumah sakit Pondok Indah akibat mengalami pendarahan pada otak."
***
Udah mulai jelas belum sama masa lalu Elka?
Em ....
Kalau doi dibinasain juga, kira-kira seru gak, ya?👀 Supaya Elma meet up lagi ama adek tercintanya.
Biarin Daniyal sama cewek lain aja💋
HOHOHO (tawa paling jahad)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro